Kamajaya dan Dewi Ratih

Batara Kamajaya adalah salah satu di antara banyak dewa dalam agama Hindu maupun dalam ceritera wayang purwa. Ia terkenal tampan (cakap), berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan kasih sayang kepada isteri. Isterinya bernama Dewi Ratih tidak kalah terkenal karena cantiknya dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan suami isteri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.

Dalam kehidupan khususnya masyarakat Jawa, kerukunan pasangan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih merupakan idola. Setiap upacara pengantin Jawa, selalu diharapkan agar pasangan itu hidup rukun, damai dan saling setia seperti pasangan Kamajaya dan Dewi Ratih. Apabila di kemudian hari pengantin itu dikaruniai putera agar berwajah tampan seperti Batara Kamajaya dan apabila puteri agar berwajah cantik seperti Dewi Ratih, sama halnya seperti orang Islam mengharapkan berputera tampan seperti Nabi Yusuf dan berputeri cantik seperti Zulaiha.

Salah satu karya sastra lama yang menceriterakan kisah cinta Batara Kamajaya dan Dewi Ratih ialah buku Smaradahana. Penulis buku Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri. Dalam buku itu dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya (smara = asmara; dahana = api). Penyebab terbakarnya Batara Kamajaya adalah Dewa Siwa (Batara Guru).

Ada pendapat, bahwa isi buku Smaradahana merupakan gambar kisah cinta putera Kerajaan Daha (sebelum bernama Kediri) dengan puteri Kerajaan jenggala. Putera Kerajaan Daha bernama Hinu Kertapati dan puteri Kerajaan Jenggala bernama Candra Kairana. Masyarakat Kerajaan Daha pada waktu itu percaya bahwa Hinu Kertapati adalah penjelmaan (titisan) Bhatara Kamajaya, sedang Candra Kairana penjelmaan Dewi Ratih. Maka nama buku Smaradahana merupakan sindiran “Kisah cinta di Kerajaan Daha”.

Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian buku Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa Belanda disimpan di Perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tembang (puisi). Prof. Dr. R.M.Ng. Porbatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latin bahasa Jawa halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun 1952. Ringkasan isi buku Smaradahana sebagai berikut:

Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya (Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah Batara Kamajaya ke pertapaan Batara Guru.

Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat. Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya melepaskan panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah bunga yaitu kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya = rindu). “Panca Wisaya” itu berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru timbul rasa rindu kepada dewi uma permaisurinya. Setelah bangun dari tapanya, ternyata yang ditatap didepannya adalah Batara Kamajaya. Timbul marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali ke Kahyangan.

Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar berita suaminya mati terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama suaminya sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya terbakar, maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih besar. Lambaian nyapa api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara Kamajaya memanggil Dewi Ratih agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi Ratih telah menyatu dengan suaminya.

Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para dewa untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu para Dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat oleh Batara Kamajaya. Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki keturuanan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia). Maka Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat dipertahankan.

Sekembalinya Batara Guru di Kahyangan di jemput oleh Dewi uma permaisurinya. Pasangan Dewa itu saling melepaskan rindu karena cukup lama tak jumpa. Tak berapa lama berselang dengan kembalinya Batara Guru ke Kahyangan, lalu Dewi Uma hamil.

Pada saat Dewi Uma hamil muda, para Dewa datang menghadap untuk menghormati kembalinya Batara Guru dari bertapa. Kedatangan para dewa membawa hewan tungganggan masing-masing. Saah satu dewa itu adalah Batara Indra menunggang gajah yang terkenal besarnya. Pada waktu itu Batara Guru baru duduk di dampingi Dewi Uma, permaisurinya. Melihat kedatangan Batara Indra menunggang gajah yang besar itu, Dewi Uma sangat terkejut, takut dan menjerit-jerit. Batara Guru menghibur dan meredakan rasa takutnya permaisuri.

Dalam hati Batara Guru telah mengetahui apa yang akan terjadi akibat dari perasaan takut permaisuri yang sedang hamil muda itu. Maka ia berkata sudah menjadi kehendak Sang Hyang Tunggal, bahwa Dewi Uma akan melahirkan jabang bayi laki-laki berkepala gajah. Setelah sampai waktunya, benarlah Dewi Uma melahirkan bayi laki-laki berkepala gajah. Putera Dewi Uma itu diberi nama Batara Ganesa.

Tidak lama kemudian Kahyangan kedatangan bala tentara Raja Nilarudraka. Maksud kedatangan Raja Nilarudraka adalah ingin melamar bidadari Kahyangan untuk dijadikan permaisuri. Para dewa tidak dapat meluluskan lamaran itu. Sebab semua makhluk di arcapada telah diatur oleh Dewata untuk jodohnya masing-masing yaitu dewa dengan dewi (bidadari). Satria dengan puteri, pandita dengan endang, raksasa dengan raksasi dan seterusnya. Karena permintaan Raja Nilarudraka ditolak, maka terjadilah perang antara bala tentara dewa menghadapi bala tentara raksasa. Para dewa tidak mampu menghadapi serangan itu.

Batara Guru memutuskan agar Batara Ganesa yang masih kecil itu maju ke medan perang. Terjadilah perang yang semakin seru. Semua bala tentara raksasa dihadapinya dengan gigih. Anehnya setiap bala tentara raksasa dapat dibunuhnya, Batara Ganesa bertambah besar. Seluruh bala tentara raksasa dapat dibinasakan. Akhirnya Batara Ganesa perang tanding (satu lawan satu) dengan Raja Nilarudraka. Perang dahsyat adu kesaktian dan kekuatan itu sangat ramai. Dalam perang itu salah satu taring (gading) Batara Ganesa patah. Dalam perang tanding ini Raja Nilarudraka dapat dibinasakan dan dibunuh.

Karena Batara Ganesa hanya mempunyai satu taring (gading) maka diberi nama Eka Denta (eka = satu; denta = gading atau taring). Dalam agama Hindu, patung Ganesha digambarkan gemuk berperut gendut sebagai lambang dewa ilmu pengetahuan. Patung Gadesa dalam posisi duduk bersila, tangan kanan memegang patahan gading dan telapak tangan kiri telentang di atas paha kaki kiri memegang separuh batok kepala. Belalai menjulur menuju batok kepala di tangan kiri sebagai lambang tidak henti-hentinya menuntut ilmu.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive