Ajian Sakti Warisan Orang Tua

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, ada seorang dua laki-laki tua. Istrinya telah lama meninggal dunia. Dia hidup berdua dengan anak semata wayangnya yang masih kecil. Mereka tinggal dalam sebuah gubuk reot yang terkesan akan runtuh. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, laki-laki itu hanya menngandalkan orang yang membutuhkan tenaganya. Apabila tidak ada yang datang, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa.

Suatu hari, mungkin telah mendapat firasat, dia memanggil anak semata wayangnya yang tengah bermain di depan rumah. Setelah sang anak datang, dia bercerita bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Alam telah memberikan tanda agar dia bersiap bila sewaktu-waktu harus menghadap Sang Pencipta.

Mendengar penjelasan tadi, Sang anak mulai menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana bila Sang ayah pergi menyusul Sang ibu. Dia belum bisa bekerja layaknya orang lain sebab masih terlalu kecil. Nanti, apabila lapar bagaimana dia mendapatkan makanan. Apakah harus mengemis, meminta sanak saudara yang keberadaannya entah dimana karena tidak pernah diberitahukan, atau makan apa saja yang ditemui dan sekiranya dapat dimakan.

Melihat kegundahan anaknya, Sang Ayah lalu berkata bahwa tidak perlu sedih karena akan diberi ajian khusus berupa mantra sakti yang apabila diucapkan dapat mendatangkan rezeki serta kemuliaan. Tetapi, pengucapannya tidak boleh sembarangan dan hanya dalam keadaan sangat mendesak saja boleh dikeluarkan. Mantra itu berbunyi ‘hai…hai..aku tahu’.

Selang beberapa hari kemudian, laki-laki tua itu meninggal dunia. Sang anak menjadi sebatang kara. Dia tidak punya apa-apa lagi selain gubuk reot dan makanan persediaan yang cukup untuk satu atau dua minggu saja. Setelah persediaan makanan habis dia menjadi bingung. Tidak ada satu orang sanak saudara pun yang dikenalnya. Sementara para tetangga hanya datang memberi bantuan selama beberapa hari selama masa berkabung. Setelah itu mereka seakan melupakannya.

Pikir punya pikir, kenapa tidak pergi saja ke ibu kota kerajaan. Di sana mungkin akan banyak pekerjaan sehingga kanak-kanak pun dapat bekerja mencari uang. Apabila dia telah bekerja tentu hidup tidak akan sulit lagi. Dia dapat membeli apa saja yang dimaui dengan hasil jerih payah sendiri.

Namun, bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah berada di ibu kota kerajaan ternyata tidak ada orang yang mau mempekerjakan. Dia terpaksa menggelandang serta makan dari sisa-sisa makanan sebab tidak ada yang mau memberi makan. Setiap hari kerjanya hanya duduk di emperan kedai sambil menanti “jatah” dari orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya.

Suatu hari, entah mengapa, dia duduk di sebuah pohon rindang. Tidak jauh dari tempatnya duduk (di balik pohon) ada tukang cukur yang kebetulan tengah mencukur Baginda Raja. Ketika asyik merasakan hembusan angin sepoi-sepoi, dia teringat akan ajian sakti yang diberikan oleh Sang ayah. Dia pun lantas berkata “hai…hai…aku tahu” berulang kali dengan suara agak keras sambil membayangkan rezeki yang datang tiba-tiba.

Begitu mendengar kata-kata itu, si tukang cukur yang berada di balik pohon terperanjat. Dia sangat kaget karena disangka ada orang tahu tentang misi yang tengah diembannya yaitu membunuh Raja. Dengan muka pucat pasi dia membuang pisau cukurnya dan langsung bersimpun meminta ampun. Di hadapan Raja dia mengaku diberi perintah oleh salah seorang patih untuk membunuhnya ketika sedang bercukur.

Singkat cerita, Raja menjadi marah mendengar pengakuan si tukang cukur. Bersama patih yang telah memberikan perintah, Si tukang cukur dihukum mati dengan tuduhan makar. Sementara Si anak pembaca mantra dihadiahi emas dan permata atas jasanya menyelamatkan Raja. Dan, sejak saat itu dia hidup sejahtera.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Kisah Ayam Hutan

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, di sebuah kampung ada seekor ayam betina yang bertelur banyak. Beberapa minggu setelah dierami telur-telur menetas menjadi belasan ekor anak ayam. Ajaibnya, seluruh telur yang menetas berjenis kelamin jantan. Hal ini membuat dia menjadi sedih. Mengapa komposisi jenis kelamin seluruhnya jantan. Tidak ada seekor pun betina yang menetas dari telurnya.

Selang beberapa minggu kemudian seekor anaknya bertanya mengapa Sang ibu selalu murung. Bukankah seharusnya dia senang karena anak-anak akan menjadi jago semua. Apabila mereka besar dapat menjadi pelindung Sang ibu bila ada manusia atau binatang lain yang datang mengganggu.

Pertanyaan tadi dijawab Sang induk ayam dengan berkata sebaliknya. Oleh karena seluruh anak terlahir jantan, dia khawatir apabila nanti sudah besar akan dijadikan sebagai ayam jago aduan oleh pemiliknya. Kaki mereka akan dipasangi pisau sebagai senjata untuk bertarung, baik itu dengan ayam milik orang lain ataupun dengan saudara-saudaranya sendiri. Dan, apabila sudah dipertarungkan, umumnya akan ada salah satu ayam yang harus mati.

Mendengar penjelasan Sang ibu, anak ayam yang lain pun bertanya apakah semua ayam jantan akan menjadi jago aduan. Sebab, ada ayam jantan yang tidak bisa berkelahi. Selain itu, ada pula yang penampilannya tidak sempurna dan tidak layak dijadikan sebagai jago aduan. Bagi kategori ayam yang seperti itu kemungkinan akan dibiarkan saja berkeliaran hingga mati dengan sendirinya.

Sang ibu tertawa kecut (ayam bisa ketawa gitu?) mendengar pertanyaan sekaligus terawangan anaknya. Dia pun menjelaskan bahwa apabila ada ayam jantan yang takut berkelahi atau bentuk fisiknya tidak mencerminkan sebagai jago aduan, maka tidak akan dibiarkan bebas berkeliaran begitu saja. Nasibnya bahkan bisa lebih menyedihkan ketimbang diadu dengan jago lain, yaitu dijadikan hidangan oleh pemiliknya.

Anak-anak ayam yang semula ribut menjadi terdiam mendengar penjelasan Sang ibu. Mereka merasa seperti makan buah simalakama. Apabila tumbuh dewasa dan menunjukkan kejantanan sebagai ayam jago, sudah pasti nantinya akan diadukan dalam pertarungan hidup-mati dengan jago lain. Sementara bila menjadi ayam jago lemah, maka perjalanan hidup akan berakhir di penggorengan.

Di tengah keheningan suasana, tiba-tiba ada seekor anak menyeletuk keluarkan sebuah ide. Dia berusul agar tidak menjadi hidangan atau benda aduan, alangkah baiknya bila menyingkir dari kehidupan manusia. Hidup mandiri tanpa bergantung pada manusia mungkin lebih bahagia walau makanan tidak selalu tersedia. Hutan merupakan tempat paling sesuai karena relatif bebas jangkauan manusia.

Walau terkesan sembarangan, usulan anak ayam ternyata masuk akal bagi Sang ibu dan saudara-saudaranya. Mereka juga berpikiran lebih baik hidup merdeka ketimbang bergantung pada manusia. Oleh karena itu, mereka kemudian bermusyawarah menentukan waktu yang cocok guna meloloskan diri dari kandang tanpa diketahui pemiliknya.

Setelah terjadi kesepakatan, tepat tengah malam ketika Sang pemilik dan sebagian besar warga kampung tertidur lelap, anak-beranak ayam itu menyelinap keluar kandang menuju hutan. Sampai di tengah hutan lalu berpencar mencari makan sendiri-sendiri. Dan, hingga sekarang keturunan mereka tetap hidup di hutan yang oleh masyarakat disebut “ayam hutan”.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Sinen Urai Lingot dan Sinen Urai Luang

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada dua orang janda bernama Sinen (ibu) Urai Lingot dan Sinen Urai Luang yang rumah dan ladangnya saling berdekatan. Masing-masing dikaruniai seorang putri yang namanya sama seperti mereka. Setiap hari mereka pergi dan pulang dari ladang bersama-sama. Terkadang, ketika sedang berada di ladang mereka juga menyelingi menangguk ikan.

Suatu hari Sinen Urai Luang menyuruh anaknya (Urai Luang) ke rumah Sinen Urai Lingot mengajak ke ladang sekaligus menangguk ikan. Ajakan ini diiyakan oleh Sinen Urai Lingot yang kemudian menyuruh Urai Lingot menyiapkan arit dan tangguk. Mereka lalu pergi ke rumah Sinen Urai Luang untuk selanjutnya bersama-sama menuju ladang.

Sampai di persimpangan jalan mereka berpisah menuju ladang masing-masing. Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sibuk mencabuti rerumputan yang tumbuh di sela-sela padi huma di ladang mereka. Rerumputan yang telah dicabut dibuang di sungai kecil agar air menjadi keruh sehingga ikan mudah ditangguk. Tengah hari setelah pekerjaan merumput sebagian besar telah selesai dilanjutkan dengan menangguk ikan.

Namun, tidak demikian halnya dengan Sinen Urai Luang dan Urai Luang. Oleh karena rerumputan di ladang mereka sangatlah banyak, hingga tengah hari pencabutan belum selesai. Sementara dari arah hulu air sungai telah keruh yang menandakan Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang menangguk ikan. Melihat hal itu timbullah rasa iri pada Sinen Urai Luang dan berusaha agar dapat mengimbangi pekerjaan anak-beranak Urai Lingot. Dia lalu menyuruh anaknya yang sedang merumput mengambil tangguk. Mereka akan menangguk dari bagian hilir ke hulu sungai menuju ladang Sinen Urai Lingot.

Sampai di sana mereka melihat Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang asyik mencabuti rerumputan. Rupanya mereka telah selesai menangguk dan kembali merumput sambil menanti matahari terbenam. Merasa aneh, Sinen Urai Luang mendatangi Sinen Urai Lingot dan menanyakan mengapa dia masih merumput padahal air sungai keruh pertanda ada aktivias menangguk.

Sinen Urai Lingot yang tidak merasa kalau Sinen Urai Luang agak iri menjawab singkat bahwa sebelum tengah hari ladang mereka sudah hampir seluruhnya bersih dari rerumputan liar sehingga dia dan anaknya melanjutkan menangguk ikan. Dan, karena jumlah ikan dirasa sudah cukup untuk makan malam, mereka kembali merumput.

Sinen Urai Luang yang sudah diselimuti rasa iri pura-pura tidak melihat ladang Sinen Urai Lingot bersih dari rerumputan. Dia malah mengajak menangguk ikan lagi dengan asalan hasil tanggukannya masih sedikit. Sinen Urai Lingot pun menyangupi ajakan tersebut. Mereka berdua turun ke sungai sementara anak-anak dibiarkan bermain di sekitar ladang.

Ketika tengah asyik bermain, tiba-tiba jatuh sebuah ubai (sejenis rambutan tidak berbulu) di dekat Urai Lingot. Urai Luang yang juga melihat buah itu berusaha mendahului sehingga terjadilah perebutan di antara mereka. Masing-masing menjerit sehingga menimbulkan kegaduhan.

Tidak lama berselang, datanglah Sinen Urai Lingot. Dia menasihati Urai Lingot agar buah ubai tadi dimakan bersama Urai Luang. Alasannya, tidak baik apabila sesama kawan saling berebut benda yang tidak begitu berarti. Nanti apabila sudah musim, mereka dapat nikmati sampai puas karena dalam satu pohon saja jumlahnya tidak terhitung.

Urai Lingot turut nasihat Sang ibu. Dia menghisap buah ubai sebentar lalu diserahkan pada Urai Luang. Begitu seterusnya, silih berganti menghisap sampai tiba pada giliran Urai Lingot yang karena telalu bernafsu tertelanlah buah ubai itu. Urai Luang menjadi marah dan berteriak memanggil ibunya. Sambil mengumpat mengeluarkan kata-kata kotor dia mengadu pada Sang ibu bahwa Urai Lingot telah berbuat curang dan ingin menguasai buah ubai untuk dirinya sendiri.

Walau telah dijelaskan bahwa tertelannya biji ubai bukanlah kesengajaan, Sinen Urai Luang dan Urai Luang tetap saja menuduh yang bukan-bukan. Ketika Sinen Urai Lingot berusaha meredakan suasana, kedua anak-beranak itu tetap ngotot sehingga pertengkaran malah menjadi bertambah besar. Bahkan terus berlanjut sampai mereka beranjak pulang.

Di perjalanan timbul niat jahat dari Sinen Urai Luang. Dia berencana mengenyahkan Sinen Urai Lingot dari muka bumi. Rencana itu dijalankan ketika mereka memasuki hutan yang di kanan-kiri ditumbuhi pepohonan besar. Tiba-tiba tangan Sinen Urai Lingot ditarik dan kepalanya dipukul dengan kayu hingga tidak sadarkan diri.

Selanjutnya, tubuh Sinen Urai Lingot diseret menuju rerimbunan pohon lalu ditimbun bebatuan. Terakhir, badannya ditindih sebuah batu besar sebagai tanda pelampiasan kekesalan. Kemudian, dia menarik tangan Urai Lingot untuk diajak pulang tanpa menghiraukan tangisannya yang mengira Sang Ibu telah tewas.

Tiba di rumah Sinen Urai Lingot, Urai Lingot dibiarkan begitu saja. Mereka langsung pulang ke rumah sendiri tanpa menghiraukan Urai Lingot yang terus menangis tanpa henti. Sebelum meninggalkan Urai Lingot, Sinen Urai Luang dan anaknya malah sempat mengejek dengan mengatakan agar Urai Lingot tidak usah menangis sebab sang ibu tidak akan kembali lagi.

Pagi harinya Sinen Urai Lingot siuman. Tetapi dia tidak dapat menggerakkan tubuh yang ditindih oleh batu besar. Dia hanya dapat menggerakkan tangan guna mengusap wajah yang penuh tanah. Usai mengusap wajah, tiba-tiba datang burung murai. Burung yang oleh masyarakat Dayak Kenyah dianggap sakti itu dimintai tolong agar memindahkan batu besar yang ada di atas tubuhnya.

Setelah batu berhasil disingkirkan, Sinen Urai Lingot berterima kasih pada Sang Murai. Dia kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan perut terasa lapar sehingga dia berhenti sejenak mencari sesuatu yang dapat dimakan. Kebetulan, tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah pohon cempedak berbuah lebat. Dipanjatnya pohon itu dan dimakan buahnya satu per satu hingga perut terasa kenyang.

Saat tengah asyik menyantap buah cempedak, muncul seekor babi hutan berjalan di bawah pohon mencari sisa-sisa cempedak yang jatuh di tanah. Tanpa pikir panjang, babi tadi dilempar dengan sebuah cempedak besar tepat mengenai bagian telinga (bagian vital) hingga mati seketika. Selanjutnya, kedua kaki babi diikat lalu dipanggul menuju rumah.

Sampai di depan rumah Sinen Urai Lingot disambut gembira oleh Urai Lingot. Dia tidak menyangka Sang Ibu ternyata masih hidup. Padahal, dia melihat dengan kepala sendiri kalau Sang ibu telah dipukul oleh Sinen Urai Luang dan tubuhnya ditimbun batu. Kegembiraannya juga bertambah ketika melihat Sinen Urai Lingot datang membawa seekor babi hutan besar.

Singkat cerita, setelah anak-beranak tadi bekumpul kembali, Sinen Urai Lingot melanjutkan dengan memotong daging babi hutan menjadi beberapa bagian. Oleh karena sifatnya yang baik hati, daging tidak dikonsumsi sendiri, melainkan dibagikan pada para tetangga, tanpa terkecuali Sinen Urai Luang. Sore hari Sinen Urai Luang dan Urai Luang datang dan meminta maaf atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi. Mereka pun akhirnya berdamai dan persahabatan kembali seperti sedia kala.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Jeruk Emas

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, ada seorang raja adil dan bijaksana dalam memerintah sehingga sangat dicintai oleh segenap rakyatnya. Suatu hari Sang raja mendapat wangsit berupa bisikan gaib agar mengadakan sayembara. Adapun isi sayembaranya adalah bagi siapa yang berhasil mendapatkan buah jeruk emas akan mendapat hadiah dari kerajaan dan dinaikkan status sosialnya. Buah jeruk emas itu nantinya dijadikan sebagai penolak bala.

Setelah sayembara diumumkan tidak lantas ada sambutan. Orang-orang di seantero kerajaan malah menjadi bingung. Tidak ada seorang pun pernah melihat atau bahkan mendengar ada jeruk berkulit emas. Apabila tetap dicari, sampai mati juga tidak akan ketemu. Kecuali ada wangsit “jilid dua” yang dapat menunjukkan keberadaan buah itu.

Selang beberapa minggu kemudian ada seorang tua bernama Sakir datang ke istana. Di hadapan raja dia menyatakan sanggup mencari jeruk emas tersebut. Pak Sakir sebenarnya adalah orang sakti yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan kerajaan. Selain itu, dia juga tergiur oleh kenaikan status sosialnya bila berhasil membawa jeruk emas ke hadapan Raja.

Begitu mendapat restu dari raja, Pak Sakir segera berangkat. Sambil menggendong bakul besar di punggung dia berjalan menuju tempat yang diyakini terdapat pohon jeruk emas. Setelah berjalan seharian sampailah di tempat yang dituju. Tanpa mengulur waktu dipetiknya sebuah jeruk emas berukuran besar lalu dimasukkan ke dalam bakul.

Di tengah perjalanan pulang dia bertemu dengan seorang kakek super sakti (lebih sakti darinya). Sang Kakek bertanya benda apa yang berada di dalam bakul. Oleh karena tidak ingin diketahui, maka dijawab sekenanya bahwa yang dibawa adalah pasir. Tanpa disadari, ucapan tadi diamini oleh Sang Kakek sehingga buah jeruk emas itu berubah menjadi pasir ketika diserahkan. Dia pun kecewa dan pulang ke rumah dengan tangan hampa.

Berita mengenai Pak Sakir dan lokasi tempatnya mengambil jeruk emas rupanya menyebar ke mana-mana. Namun hanya orang-orang tertentu yang mau mengikuti jejak Pak Sakir karena lokasi pohon jeruk emas diyakini sangat angker. Secara sembunyi-sembunyi mereka datang silih berganti dan pulang dengan tangan kosong karena selalu bertemu Sang kakek sakti mandraguna. Tidak ada seorang pun yang mau berkata jujur pada Sang Kakek.

Begitu seterusnya hingga ada seorang pemuda tanggung bernama Jaka Meleng datang menghadap siap mencari dan membawa buah jeruk emas. Awalnya Raja dan para patih ragu akan kemampuan Jaka Meleng yang dianggap masih hijau dan belum memiliki kemampuan mumpuni. Tetapi karena sejauh ini tidak ada yang pernah berhasil, maka Raja merestui. Pikir Raja, siapa tahu pemuda tanggung tidak tahu apa-apa malah dapat membawa jeruk emas.

Singkat cerita, sama seperti yang sudah-sudah, Jaka Meleng juga ditanya oleh Sang kakek sakti mandraguna tentang benda dalam bakulnya. Oleh karena dia adalah seorang jujur, maka dijawablah pertanyaan kakek dengan mengatakan bahwa buah jeruk emas yang dibawa. Sang Kakek hanya mengangguk dan membiarkannya menerukan perjalanan.

Sampai di istana Jaka Meleng membuka tutup bakul dan menyerahkan jeruk emas kepada raja. Jeruk emas itu tidak berubah menjadi benda lain karena dia menjawab jujur pertanyaan Sang kakek sakti. Walhasil, Raja menjadi senang bukan kepalang. Dan, sesuai janji, dia menghadiahi Jaka Meleng pundi-pundi berisi emas-permata. Selain itu, statusnya juga dinaikkan serta diberi jabatan sebagai bupati.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Pak dan Mbok Mendong

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, ada sepasang suami istri bernama Pak dan Mbok Mendong yang tinggal di sebuah gubuk reot. Tidak ada yang tahu siapa nama mereka sebenarnya. Mendong adalah istilah warga setempat bagi orang yang pekerjaannya membuat tikar mendong. Oleh karena itu mereka disebut Pak dan Mbok Mendong karena pekerjaannya tiada lain adalah membuat tikar mendong yang hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang, apabila tikar tidak laku mereka terpaksa tidak makan barang satu atau dua hari.

Pasangan suami istri ini memiliki seorang anak perempuan yang masih kecil. Dia diberi nama Sumi. Badannya kurus kering karena kekurangan gizi. Dalam berpakaian, Sumi tidak seperti anak sebayanya. Dia hanya memiliki beberapa helai yang kondisinya lusuh dan di beberapa tempat tampak sudah berlubang. Pak Mendong tidak mampu membelikan yang baru karena hasil penjualan tikar untuk makan sehari-hari kadang juga tidak cukup.

Suatu ketika Pak Mendong bermimpi didatangi oleh mendiang nenek buyutnya. Sang nenek berpesan agar dia mengadakan semacam kenduri dengan menyembelih seekor kerbau. Orang-orang yang diundang dalam kenduri haruslah mereka yang berstatus sebagai fakir miskin. Adapun maksud dan tujuannya, Sang nenek tidak menyebutkan karena Pak Mendong terlanjur bangun dari tidur.

Pagi harinya, mimpi tadi malam diceritakan pada Mbok Mendong. Mimpi itu mereka anggap sebagai sebuah “wangsit” yang apabila dikerjakan maka akan mendatangkan berkah. Namun, dari mana mereka dapat membeli seekor kerbau beserta segala macam makanan untuk dihidangkan dalam kenduri?

Ada usulan dari Mbok Mendong agar menjual gubuk. Tetapi menurut Pak Mendong, walau dijual beserta isinya tidak akan cukup untuk mengadakan kenduri. Bahkan, untuk membeli seekor kerbau pun masih kurang. Lagi pula, mana ada orang yang mau membeli gubuk mereka karena kondisinya sudah tidak layak dan lahannya juga sangat kecil.

Percakapan suami-istri tadi akhirnya berhenti begitu saja. Baru beberapa hari kemudian Pak Mendong menemukan sebuah ide gila alias gendeng yang bagi sebagian orang dianggap di luar nalar. Dia membujuk Mbok Mendong agar mau menggadaikan anak semata wayang mereka pada orang terkikir sekaligus terkaya di kampung. Apabila selesai kenduri dan mendapat berkah Sumi akan ditebus kembali.

Setelah terjadi kesepakatan antara keduanya, Sumi pun digadaikan dan kenduri dapat dilaksanakan secara besar-besaran. Begitu para tamu undangan yang seluruhnya fakir miskin pulang, dari kuali bekas kenduri tiba-tiba muncul seberkas sinar berwarna keemasan. Ketika didekati ternyata di dalamnya penuh dengan batangan-batangan emas berkilauan. Batangan itu kemudian dikumpulkan dan dijual sehingga Pak dam Mbok Mendong langsung menjadi OKB alias orang kaya baru di kampungnya.

Sebagian dari uang hasil penjualan emas tadi digunakan untuk menebus Sumi. Sedangkan sisanya digunakan membangun rumah, membeli sawah dan ladang, serta disedekahkan bagi kaum fakir miskin. Atau dengan kata lain, harta “wangsit” dari nenek buyut Pak Mendong dimanfaatkan sebaik-baiknya dan bukan untuk berfoya-foya.

Penasaran akan kekayaan Pak Mendong yang datang secara tiba-tiba, orang terkikir dan terkaya di desa bertanya saat Pak Mendong menebus Sumi. Tanpa ditutup-tutupi Pak Mendong menceritakan segala kejadian yang dialami hingga mendapatkan banyak emas secara ajaib. Menurutnya, kenduri yang diperuntukkan bagi fakir miskin merupa.kan kunci dari keberkahannya.

Penjelasan Pak Mendong tadi tentu saja menggoda si kaya nan kikir. Tidak berapa lama setelahnya dia berencana ingin mengadakan kenduri juga agar mendapatkan berkah yang sama. Namun karena sangat kikir, setiap kali bernegosiasi dengan penjual kerbau selalu gagal karena tawarannya terlalu rendah jauh di bawah harga pasaran. Tidak putus asa gagal mendapat kerbau, dia lalu bersiasat mengganti dengan anjing. Pikirnya, apabila telah dimasak akan sama saja bentuknya. Apalagi orang yang diundang hanyalah fakir miskin yang jarang sekali makan daging.

Singkat cerita, dia mengadakan kenduri sederhana. Para tamu disuguhi masakan seadanya. Di tengah kenduri dia mengeluarkan daging anjing yang telah diolah sedemikian rupa sebagai hidangan besarnya. Namun, katika akan dimakan secara ajaib daging yang telah terpotong-potong itu menyatu dan si anjing hidup kembali seperti sedia kala. Dia langsung menyerang sang kaya nan kirir sehingga orang-orang yang berkumpul menjadi kaget dan lari tunggang langgang. Tinggallah tumpeng-tumpeng berserakan serta suara mengaduh-aduh dari si kaya nan kikir.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Kujur Brongsong

Kujur brongsong adalah sebutan orang Kubu/Rimbo di pedalaman Jambi bagi sebuah peralatan berburu berupa tombak setinggi ukuran orang dewasa. Kujur brongsong terbuat dari logam (besi) pada bagian matan dan gagangnya dari kayu tepis yang berserat, keras, serta relatif lurus. Tombak ini biasanya digunakan untuk berburu nangku (babi hutan), kera, rusa, napu, dan menjangan atau kijang. Adapun cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengah, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke arah sasaran yang biasanya berkumpul di dekat sumber-sumber air.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive