Batu Kacakup

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, dahulu di daerah Alaswangi hidup seorang tokoh bernama Ki Sajir. Dia merupakan seorang sakti mandraguna yang memiliki kekuatan luar biasa. Oleh karenanya, bila warga Alaswangi sedang ada masalah, dia akan diminta bantuan guna menyelesaikannya. Salah satunya adalah ketika beberapa kampung di Alaswangi, yaitu: Cimedang, Kupluk, Nanggorak, dan Cisaat mengalami kekeringan berkepanjangan Ki Sajir diminta untuk mengatasinya.

Adapun jalan keluar yang direncanakan oleh Ki Sajir ialah dengan membuat sebuah sungai yang berhulu di daerah Pasar Menes menuju Kampung Cisaat. Namun, dia meminta sebuah syarat sebelum mengerjakannya yaitu seekor kerbau bule (berwarna putih) jantan.

Setelah disanggupi, keesokan harinya Ki Sajir mulai membuat cekungan membentuk aliran sungai di sebuah mata air dekat Pasar Menes. Dia tidak bekerja seorang diri, melainkan dibantu oleh sahabat karibnya yang bernama Ki Suwuk. Mereka berdua adalah orang sakti sehingga dalam waktu sangat singkat terbentuklah sebuah sungai hingga ke Desa Cisaat.

Masyarakat Alaswangi pun bergembira karena areal persawahan mereka mulai tergenang lagi. Saking gembiranya mereka lupa memenuhi janji untuk memberikan Ki Sajir seekor kerbau bule jantan. Bahkan, ketika ditagih salah seorang tokoh masyarakat setempat malah mengoloknya. Dia mengatakan bahwa Ki Sajir hanya seorang tua renta yang sudah bau tanah. Tidak ada gunanya meminta kerbau dan lebih baik bila pekerjaan membuat sungai dijadikan amal ibadah sebagai bekal kehidupan di alam baka.

Ucapan tadi tentu saja membuat Ki Sajir marah. Dia tidak menyangka kalau warga Alaswangi akan mengingkari janji mereka. Namun karena kalah jumlah, dia tidak dapat berbuat apa-apa selain balik badan dan menggerutu sampai ke rumah.

Tidak berapa lama kemudian Ki Sajir meninggal dunia. Dia dimakamkan tidak jauh dari sungai yang telah dibuatnya. Selang beberapa minggu setelah kematian Ki Sajir muncul kejadian aneh di sekitar sungai. Ada seekor kerbau bule jantan merusak tepian sungai yang dibuat Ki Sajir. Oleh warga hal itu dianggap wajar karena kadangkala kerbau memang melakukannya ketika sedang mandi.

Namun, karena perusakan terjadi berulang kali aliran air pun akhirnya berubah. Air yang tadinya mengalir hingga ke Cisaat berubah arah menuju Sungai Cigondang. Akibatnya, persawahan warga Alaswangi mengering kembali. Mereka tidak mampu memperbaiki arah sungai karena alirannya sangatlah deras.

Mengetahui bahwa si perusak adalah kerbau bule berjenis kelamin jantan, mereka akhirnya sadar kalau ini adalah akibat telah mengingkari janji pada Ki Sajir. Sebagian warga lantas berinisiatif mendatangi makam Ki Sajir guna mendoakan sekaligus meminta maaf atas kelalaian mereka. Selain itu, untuk menghormati Ki Sajir, sungai buatannya diberi nama sebagai Sungai Cisajir.

Upaya “membujuk” Ki Sajir dengan mendoakan, meminta maaf, serta memberi nama sungai rupanya sia-sia belaka. Sungai Cisajir sudah tidak dapat dibelokkan kembali ke arah Desa Cisaat. Lahan persawahan tetap kering dan tidak ditanami apa pun. Orang-orang mulai kelaparan karena persediaan beras semakin menipis.

Di antara warga yang kelaparan ada seorang bernama Nyi Karni, janda bahenol beranak dua yang bekerja sebagai buruh tani. Sejak persawahan mengering dia kehilangan pekerjaan. Sebagai gantinya, dia mencari umbi-umbian yang masih tersisa dan belum diambil orang. Selain itu, juga mencari ikan-ikan dan keong-keong yang terperangkap di aliran bekas sungai yang dibuat Ki Sajir di daerah Alaswangi.

Suatu hari saat Nyi Karni pergi mencari makanan untuk kebutuhan keluarga, anak-anaknya merasa cemas. Sebab, biasanya dia akan pulang sebelum ashar. Namun, ditunggu hingga menjelang magrib Nyi Karni tidak juga pulang. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk mencarinya disekitar pematang sawah.

Setelah mencari agak lama akhirnya mereka bertemu Nyi Karni yang sedang membersihkan keong-keong emas hasil tangkapannya. Mereka mengajaknya pulang. Sampai di rumah, Nyi Karni lalu merebus dan memakan keong emas hasil tangkapannya. Keong emas itu merupakan makanan terakhir yang mereka makan. Hari-hari setelahnya tidak ada lagi bahan makanan yang dapat mereka bawa pulang.

Putus asa dengan kondisi hidup yang semakin sengsara, Nyi Karni lalu mengajak kedua anaknya untuk memasrahkan diri pada sebuah batu besar di tepi sungai. Sampai di atas batu, Nyi Karni meratap agar penunggu batu itu menelan mereka karena sudah tidak tahan lagi menjalani hidup. Aneh bin ajaib, ratapan itu didengar oleh makhluk halus penunggu batu. Tidak lama setelahnya, anak-beranak itu hilang begitu saja seakan ditelan batu.

Oleh masyarakat setempat, hilangnya Nyi Karni dan anak-anaknya di dekat batu besar dianggap sebagai kejadian luar biasa. Mereka lalu memberi nama batu itu sebagai Batu Kacakup dan dipercaya sebagai sarang makhluk halus. Dia dianggap sangat angker dan siapa saja yang hendak melewatinya harus meminta izin terlebih dahulu.

Keangkerannya terus berlangsung hingga suatu hari batu tersambar petir dan terbelah menjadi tujuh bagian. Kini, batu itu sudah dianggap sebagai batu biasa alias tidak terlalu menyeramkan. Letaknya berada di Sungai Cicadas menuju Kampung Cisaat, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Diceritakan kembali oleh Gufron

PMJ, Pelestari Bajidoran Karawang

Bajidoran merupakan salah satu jenis kesenian yang hingga saat ini masih tetap eksis di kalangan masyarakat pedesaan Jawa Barat. Ada beberapa versi mengenai asal usul kesenian ini. Menurut karawangtoday.com, bajidoran (diperkirakan akronim banjet/tarian, tanji/alat musik, dan bodor/lawakan) adalah transformasi dari tari ketuk tilu. Di daerah Priangan, bajidoran sering juga disebut sebagai kliningan-bajidoran atau kliningan-jaipongan. Sedangkan versi lainnya dari Aprilianti (2013), menyatakan bahwa bajidoran adalah istilah orang Karawang bagi jaipongan tanpa pola. Dalam artian, para penari tidak memiliki skill khusus dalam menari dan hanya mengikuti iringan musik sambil mengharapkan saweran.

Ada banyak grup bajidoran yang ada di Jawa Barat. Salah satunya adalah Gurp PMJ asal Desa Ciranggon, Kabupaten Karawang. PMJ merupakan akronim dari Putra Mandiri Jaya yang didirikan oleh Ujang Lanay pada sekitar tahun 1995. Anggotanya terdiri dari 3 orang sinden (salah satunya isteri Ujang Lanay bernama Hj. Euis Megawati), 13-17 orang nayaga, seorang Master Ceremony, 14 orang penari, serta beberapa orang pengatur peralatan dan perlengkapan panggung. Asal pemain tidak hanya dari Karawang saja, melainkan dari daerah-daerah lain di sekitar Pantai Utara Jawa Barat yang memiliki tradisi bajidoran, seperti Bekasi dan Subang.

Komposisi jumlah pemain dalam grup PMJ dari awal pendirian hingga saat ini relatif tidak berubah. Apabila ada yang keluar karena alasan tertentu, maka posisinya akan segera digantikan oleh pemain baru. Oleh karena nama grup ini cukup terkenal, para pemain tidak ada yang bermain pada grup lain untuk mencari nafkah. Sebab, jadwal manggung sangat padat. Sebelum pandemi Covid-19, untuk satu bulan paling tidak ada sekitar 24 kali jadwal manggung di wilayah Banten, Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Karawang sendiri.

Sekali panggilan manggung, PMJ mematok "harga normal" antara Rp.15-20 juta rupiah. Namun, apabila yang nanggap juga berprofesi sebagai seniman tradisi Sunda, dapat dinego menjadi "harga batur" dengan nominal setengah dari "harga normal". Oleh pemimpin grup, uang tersebut dibagikan pada para pemain sesuai dengan tingkat jabatannya dengan urutan: tukang kendang vokal, tukang rebab, tukang kendang dobel, tukang rincing, tukang saron, tukang bonang, tukang kecrek, dan pemegang peralatan saweran. Para penari dan sinden mendapat bagian sama yang rata-rata hanya sebesar Rp.100 ribu. Sinden dan penari dapat memperoleh tambahan penghasilan dari saweran para bajidor yang hasilnya juga dibagikan dengan komposisi 6 untuk sinden-penari dan 4 untuk para nayaga.

Menurut penuturan salah seorang pemainnya, Charlie (tukang goong), setiap pentas grup PMJ selalu membawa waditra tradisional dan modern. Waditra tradisional berupa goong besar dan kecil, dua set kendang, dua buah kentrung, dua buah saron, penerus, gambang, bonang, kecrek, dan rebab. Sedangkan waditra modern berupa jimbe dan keyboard. Jimbe merupakan alat musik pukul asal Afrika bermembran kulit atau mika. Menurut artculture567.blogspot.co.id, Jimbe tergolong alat musik ritmis karena tidak bernada dan hanya bisa menghasilkan ketukan saja. Pada kesenian bajidoran jimbe dan keyboard hanya dimainkan untuk lagu-lagu tertentu saja yang bersifat instrumentalia.

Seluruh waditra diangkut menggunakan truck berukuran 3/4 bersama dengan genset, sound system, dan peralatan pendukung lainnya. Genset berfungsi sebagai penyedia daya bagi sound system pengeras suara waditra. Jadi, dalam setiap penampilannya, Grup Putra Mandiri Jaya tidak harus menggunakan sumber listrik PLN. Mereka dapat bermain di mana saja karena memiliki sumber listrik sendiri. Selain truck, grup PMJ juga menggunakan sebuah elf serta empat buah minibus untuk mengangkut para penari dan nayaga.

Pertunjukan Bajidoran Grup PMJ
Pertunjukan Bajidoran PMJ dimulai dengan membuat panggung berukuran panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Tinggi bagian depan panggung sekitar 1,5 meter, tinggi bagian belakang 2 meter, dan tinggi atap sekitar 5 meter. Pada panggung pementasan dipasang banner di bagian depan bertuliskan "Ujang Lanay Karawang", lampu di bagian atap, sound system (8 buah di kiri, 8 buah di kanan, dan 4 buah di belakang waditra. Susunan waditra dibagi menjadi 3 saft. Saft pertama diisi oleh kendang dobel di sebelah kiri dan kendang vokal di sebelah kanan. Saft kedua diisi oleh jejeran saron, gambang, bonang, dan kecrek. Saft terakhir diisi oleh pemain rebab dan goong.

Tahap selanjutnya penyelarasan waditra (nyetem) serta pensinkronan suara waditra dengan sound system. Tahap ini dilakukan lebih dari setengah jam. Di sela-sela penyeteman, salah seorang pemain yang memiliki keahlian khusus menyiapkan sesajen demi kelancaran pertunjukan. Isi sesajen (bergantung ketersediaan bahan) diantaranya adalah: kemenyan, deugan, kopi manis dan pahit, rurujakan tujuh rupa, kembang tujuh rupa, pisang sesisir, beras, rokok Djarum Super sebatang, Minak Djinggo sebatang, Gudang Garam Merah Sebatang, Dji Sam Soe sebatang, dan cerutu sebatang. Setelah didoakan, sesajen diletakkan di bawah panggung.

Usai nyetem, para nayaga yang mengenakan seragam berwarna putih mulai memperdengarkan lagu-lagu instrumental sebagai pembukaan. Sambil menunggu penonton memenuhi arena, MC mulai membuka acara dengan memperkenalkan grup PMJ, orang yang punya hajat, meminta izin pada aparat desa setempat, dan mempersilakan para aparat memberikan sambutan. Pada segmen ini tetabuhan terus dibunyikan tanpa henti sambil menunggu para sinden dan penari muncul sekitar pukul sembilan malam.

Saat muncul, secara berbaris mereka berjalan menaiki panggung lalu duduk bersimpuh di depan nayaga dengan posisi membentuk setengah lingkaran atau huruf U. Para sinden (berjumlah 3 orang) berada di bagian tengah mengenakan baju berwarna merah, sementara penari mengenakan juga mengenakan baju merah plus karembong hijau berada di samping kiri dan kanan mereka. Seluruhnya mengenakan sanggul/konde besar, kain kebaya, serta tata rias tebal alias menor agar terlihat cantik. Tujuannya adalah untuk memikat para penonton agar menyaksikan acara sampai selesai serta memberikan saweran sebanyak mungkin. Sebagai catatan, dahulu para penari dan sinden grup PMJ mengenakan kostum milik sendiri sehingga penampilan mereka tidak seragam. Namun saat ini kostum disediakan oleh pimpinan grup. Agar penonton tidak bosan, setiap bulan mereka berganti kostum.

Ketika mereka duduk itulah irama musik berubah untuk mengiringi lagu wajib Kembang Gadung. Tidak lama kemudian salah seorang di antaranya maju dan mulai menari. Gerakan tarinya khas jaipongan gaya kaleran yang memperlihatkan spontanitas, kesederhanaan, semangat, keceriaan, genit, erotis dan sensual. Penari memperlihatkan kemolekan tubuhnya, mulai dari lirikan mata, leher, dada, pinggul, hingga bokong yang membangkitkan rangsangan bagi lawan jenis. Khusus untuk bagian pinggul penari melakukan gerakan geol (pinggul berputar), gitek (gerakan pinggul ke kanan dan kekiri diiringi hentakan), dan goyang (gerakan gitek tanpa hentakan). Oleh karena itu, tidak heran ketika penari kedua dan ketiga ikut tampil para penonton laki-laki mulai "menggila" dan merangsek hingga ke depan panggung.

Seakan menyihir para penonton, sinden kemudian menyanyikan lagu ibingan Karawang Tandang serta lagu bajidoran (juragan empang, naik percuma, baju loreng, dan lain sebagainya). Seorang penonton pun mulai muncug (menari) ditengah kerumunan sambil memberikan saweran. Khusus untuk saweran pihak PMJ menyediakan uang pecahan Rp.2-5 ribu sebanyak Rp.5-10 juta guna dipertukarkan. Apabila ada orang yang memberikan saweran sebesar Rp.50-100 ribu, uang tersebut tidak lantas diambil melainkan dikembalikan lagi oleh tukang nyoder dalam bentuk pecahan Rp.2-5 ribu untuk digunakan nyawer. Begitu seterusnya hingga acara berakhir sekitar pukul 02.00 WIB yang ditutup dengan lagu Mitra Sunda.

Wujud Kebudayaan dalam Bajidoran
Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga yaitu gagasan atau ide yang menciptakan nilai-nilai; perilaku; dan artefak. Namun dalam hal ini wujud ide agak digeser sedikit oleh nilai budaya. Nilai budaya digunakan sebagai pembentuk ide atau gagasan bagi terciptanya suatu bentuk kebudayaan. Dalam analisis tentang bajidoran, nilai budaya yang diketengahkan adalah syukuran. Syukuran merupakan ungkapan seseorang atau kelompok orang atas keberhasilan mencapai sesuatu.

Kegembiraan atas keberhasilan itu oleh seniman diwujudkan dalam bentuk gabungan seni tari, suara, dan musik yang disebut sebagai bajidoran. Setiap gerakan tari dan iringan musik bajidoran menjadi bentuk perilaku pemuas rasa syukur atas keberhasilan yang menyiratkan kegembiraan. Sedangkan wujud fisiknya berupa artefak yang dipergunakan seperti gambang, saron, rebab, goong, tata lampu, dan lain sebagainya.

Tetapi apabila melihat dari tata lampu yang berkedap-kedip, mendengarkan iringan musiknya yang menyerupai dugem, dan gerakan para bajidor yang seperti orang sedang dugem, maka nilai budayanya adalah akulturasi. Oleh karena kondisi kesenian tradisional yang seakan hidup segan mati tak mau, seniman jaipongan yang imajinatif dan kreatif ingin mengembangkan tarian yang bisa diterima oleh kalangan muda. Dugem dari Barat sebagai alternatifnya. Dengan menggabungkan kedua jenis kesenian tersebut, maka terciptalah bajidoran yang fungsinya lebih sebagai hiburan pelepas rutinitas keseharian. Seperti dikatakan di atas, pola perilaku yang tercipta adalah gabungan dari dua budaya (Sunda dan Barat), sementara artefaknya juga gabungan dari yang tradisional (kendang, saron, gambang) dan modern (jimbe, keyboard, tata lampu). (Gufron)

Sumber:
"Bajidoran Kesenian Khas Karawang Makin Terkikis", diakses dari http://karawangtoday.com/wp/?p=1596, tanggal 24 Desember 2016.

"Jimbe", diakses dari http://artculture567.blogspot.co.id/2016/03/jimbe.html, tanggal 24 Desember 2016.

Aprilianti, Victoriana Aire. 2013. Perkembangan Kesenian Bajidoran di Kabupaten Karawang Tahun 1980-1990. Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia.

Nyi Parung Kujang

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, ada seorang putri keturunan Kerajaan Galuh Pakuan bernama Ratna Wulan. Perawakannya semampai, berkulit kuning langsat, berambut panjang melebihi ukuran tubuhnya, beralis tebal, dan bermata besar alias belo. Wajahnya cantik luar biasa hingga banyak orang terpesona bila melihatnya.

Ratna Wulan memiliki dua orang kakak laki-laki. Oleh karena dialah satu-satunya anak perempuan, Sang ayahanda tentu sangat menyayangi dan memanjakannya. Bahkan karena dimanja sangat berlebihan, membuat dua saudaranya menjadi iri dan berujung pada perselisihan berkepanjangan.

Agar perselisihan tidak semakin meluas, Sang ayah yang juga Raja Galuh Pakuan meminta mereka berkumpul untuk menyesaikannya. Namun, ketiganya sama-sama tidak ada yang mau mengalah sehingga dengan berat hati Sang Rajalah yang memutuskan. Dia memerintahkan Ratna Wulan harus meninggalkan kerajaan. Putusan ini disambut gembira oleh kedua saudaranya.

Mendapat putusan yang dirasa tidak adil Ratna Wulan tentu saja langsung menangis. Tetapi dia tetap menerimanya dan segera undur diri dari hadapan ayahanda dan kedua saudaranya untuk menemui Sang Suami, Raden Ganda Mayogi. Sang Suami juga tidak dapat berbuat apa-apa selain mematuhi putusan Sang Raja.

Esok harinya, bersama anak semata wayang Siti Jaganti, mereka pergi meninggalkan istana. Ketka tiba di kaki sebuah gunung ketiganya memutuskan beristirahat sejenak di sebuah gubuk kosong yang berada di tengah tegalan. Selama beristirahat Siti Jaganti mulai mempermasalahkan keadaan, mulai dari tiadanya kawan bermain hingga dayang-dayang istana yang biasa merapikan rambut ibunya. Sang Ayah kemudian menenangkan dengan mengatakan bahwa nanti juga ada anak-anak kecil yang tinggal di sekitar gubuk untuk diajaknya bermain, sedangkan untuk Ratna Wulan dia akan memanggil tujuh dayang dari kahyangan yang siap merapikan rambutnya.

Setelah beristirahat cukup lama, mereka sadar bahwa gubuk memang telah ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga keluarga kecil itu akhirnya menetap di sana. Dan, sejak saat itu Ratna Wulan mengganti nama menjadi Nyi Parung Kujang dengan tujuan agar tidak dikenali oleh para pengikut kerajaan.

Suatu hari, entah tidak ada yang merawat atau karena sudah sangat panjang, Nyi Parung Kujang merasa gerah pada rambutnya. Dia lalu menagih janji Sang Suami agar mendatangkan tujuh dayang dari kahyangan untuk membantu mengeramasi dan menjemur rambutnya.

Permintaan Nyi Parung Kujang disanggupi oleh Raden Ganda Mayogi. Dia meminta izin bertapa guna mendatangkan para dayang dari kahyangan. Tidak berapa lama bertapa sambil membaca mantra-mantra sakti, turunlah para dayang kahyangan di depan gubuk. Mereka langsung mengambil air dari Sungai Cisata dan Cigonda guna membasuh rambut Nyi Parung Kujang.

Sambil mengeramasi Nyi Parung Kujang, pada dayang menyanyikan sebuah lagu yang sekaligus sebagai asihan berbunyi: “Sih kasih gonaya panti/Rambut aing rambut kasih/Ngarumbay sepanjang gantar/Aci manik setumuruk turuki/Kang adi-adi mangka welas mangka asih/Sih asih sajagat kabeh”.

Selesai bernyanyi sambil menjemur rambut Nyi Parung Kujang, tiba-tiba muncul segerombolan kuda dari arah gunung. Mereka berlari sangat kencang dan ada sebagian yang menabrak sandaran gantar tempat rambut dijemur. Akibatnya, rambut itu menggulung dan menyeret Nyi Parung Panjang hingga puluhan meter.

Singkat cerita, Nyi Parung Kujang pun terluka parah. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dia sempat berpesan pada Raden Ganda Mayogi dan Siti Jaganti agar semua perempuan keturunannya nanti jangan memiliki rambut sepanjang dirinya.

Oleh masyarakat sekitar, tempat kejadian Nyi Parung Kujang diseret oleh sekawanan kuda yang saat ini berada di daerah Cisaat dinamakan sebagai Sigar Gantar. Dan, para perempuan di tempat itu sampai sekarang tidak ada yang mimiliki rambut sepanjang tubuh mereka.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Regent Boncel

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, ada sebuah kampung kecil berada di kaki Gunung Giriawas bernama Kandangwesi. Di dalamnya hanya terdiri atas beberapa rumah panggung dengan halaman luas dan bersih. Dari segelintir rumah panggung itu ada sebuah rumah yang bentuknya berbeda. Pemiliknya bukanlah penduduk asli melainkan seorang pengembara yang akhirnya menetap. Dia memiliki hobi memelihara burung dan kuda. Untuk merawatnya, dia mempekerjakan beberapa orang penduduk setempat.

Salah seorang perawat hewan peliharaan Si pengembara adalah anak muda bernama Boncel. Walau masih muda, tampilannya bagaikan seorang tua dengan tubuh teramat kurus. Selama menjadi perawat kuda hubungan dengan Sang majikan terlihat cukup baik hingga suatu saat dia terpaksa berhutang guna keperluan yang sangat mendesak.

Hutang piutang inilah yang membuat hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Oleh karena Boncel tidak juga membayar hutang, perlahan terjadi perubahan sikap pada Sang majikan. Dia berubah dari seorang ramah menjadi bengis dan kejam. Seluruh tindakan Boncel dalam memelihara kuda dianggap salah.

Tidak tahan dengan perlakuan Sang majikan Boncel akhirnya melarikan diri. Selama berjam-jam dia berlari memasuki hutan belantara hingga tiba di sebuah pondok reot. Boncel bermaksud melepas lelah di pondok itu. Namun, rupanya dia tidak dapat tidur. Sepanjang malam dia hanya memikirkan apa yang harus dilakukan guna menyambung hidup. Selan itu, dia juga memikirkan nasib kedua orang tua yang mengandalkannya sebagai tulang punggung keluarga. Bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Apakah mereka akan diganggu oleh Sang majikan karena dirinya pergi begitu saja?

Pikiran-pikiran tadi membuatnya terjaga sepanjang malam hingga terdengar suara ayam berkokok. Ketika matahari terbit dia memulai lagi pelariannya ke arah timur dan bertemu dengan sekelompok orang yang pulang berburu. Melihat Boncel seperti orang kebingungan, mereka lalu mengajaknya pulang ke Pamijahan.

Di Pamijahan Boncel hanya tinggal selama beberapa minggu. Oleh karena teramat rindu pada orang tua, dia pamit pulang ke Kandangwesi. Sepanjang perjalanan rupanya dia tidak ingat lagi arah pulang dan hanya berputar-putar di dalam hutan hingga akhirnya singgah di sebuah kampung. Kebetulan di sana ada sebuah pedati yang hendak menuju Garut. Dia lalu menumpang pedati itu.

Sampai di Garut, ada sebuah perhelatan besar. Sang Regent atau Bupati sedang menikahkan anaknya. Di antara tamu undangan terlihat pula Regent Cianjur bersama dengan pengiringnya. Salah seorang di antaranya adalah Juragan Kepala yang bertugas sebagai koordinator transportasi dan akomodiasi bagi Regent Cianjur. Boncel mendekatinya dan menawarkan diri menjadi kuli angkut. Seusai perhelatan dia ikut Juragan Kepala mengangkuti barang-barang bawaan Regent Cianjur.

Di Cianjur Boncel tinggal di rumah Juragan Kepala. Pekerjaannya sehari-hari adalah mengurus kuda dan (tanpa diminta) membantu di dapur. Dia sangat rajin dan pandai menitipkan diri sehingga Juragan Kepala dan keluarga menyayanginya. Bahkan, karena kelakuan baiknya, dia juga dipercaya untuk antar-jemput anak mereka yang belajar di Sekolah Kabupaten. Dan, dari antar-jemput inilah Boncel kemudian belajar membaca dan menulis. Dia selalu memperhatikan ketika para guru mengajar anak-anak di kelas.

Suatu hari Juragan Kepala melakukan inspeksi mendadak ke kandang kuda. Dia mendapati beberapa tulisan beraksara Sunda seperti “Kandang Si Raden” dan “Kandang Si Pelor” di beberapa bagian kandang. Tanpa basa-basi dipanggilnya Boncel lalu didiktenya agar menulis sesuatu. Hasil dikte ternyata tertulis dengan benar. Boncel pun diperintahkan meninggalkan kandang kuda untuk selanjutnya bekerja sebagai penyalin surat yang datang ke meja Juragan Kepala.

Ketika Juragan Kepala naik jabatan menjadi Patih, Boncel juga naik menjadi juru tulis. Sejak itu, perlahan namun pasti karir Boncel semakin bersinar. Tidak lama jadi juru tulis dia diangkat sebagai asessor lalu jaksa di Bogor. Belum sampai dua tahun menjadi jaksa, karena memiliki prestasi kerja baik serta kedekatannya dengan para petinggi Belanda, dia ditunjuk menjabat sebagai Regent di Caringin.

Di lain tempat, ada seorang pedagang dari Caringin datang ke Kandangwesi dan menginap di rumah Pak Boncel. Malam hari sebelum tidur, Sang pedagang bercerita bahwa di Caringin ada regent baru yang bukan berasal dari kalangan priyayi. Namanya pun lucu dan khas orang kebanyakan, yaitu Boncel.

Mendengar penuturan tadi, Pak dan Mak Boncel tentu terkejut. Setelah menanyakan bagaimana ciri-ciri fisiknya, mereka merasa kalau bupati itu adalah anak sematang wayang yang telah lama menghilang bak di telan bumi. Agar lebih yakin, keduanya sepakat menemuinya di Caringin. Semoga saja Sang regent memanglah Si Boncel, anak yang selama ini mereka cari.

Menjelang matahari terbit, mereka telah berada di serambi rumah sambil membawa perbekalan. Sebelum pergi mereka berpamitan pada para tetangga sembari menitipkan rumah dan hewan peliharaan. Namun, rupanya Caringin adalah sebuah tempat yang sangat jauh. Lebih dari dua bulan perjalanan barulah Pak dan Mak Boncel sampai di kediaman Regent Caringin..

Sampai di gerbang dihentikan oleh penjaga yang menanyakan tujuan kedatangan mereka. Pak dan Mak Boncel menjelaskan ingin menemui Boncel, anak mereka yang telah lama tidak kembali. Penjelasan Mak Boncel tentu saja membuat penjaga tertawa terbahak. Pikirnya, mana mungkin kakek-nenek yang tampak lusuh seperti pengemis memiliki hubungan darah dengan Regent Caringin.

Agar lebih lucu, Si penjaga kemudian menanyakan ciri-ciri fisik Boncel. Dugaannya, kedua kakek-nenek itu tidak akan bisa menjawab. Kalaupun dijawab, kemungkinan akan ngawur alias sekenanya. Dugaannya ternyata salah, Pak dan Mak Boncel menjawab dengan sangat detail bagaimana ciri-ciri fisik Boncel. Bahkan, tanda hitam di pipi Sang Regent pun mereka tahu.

Si penjaga tidak jadi tertawa. Dia mempersilahkan mereka menunggu sementara dirinya menemui Regent Boncel. Namun, dia tidak menjamin apakah Regent mau menemui mereka atau tidak. Dia khawatir Regent malah marah karena didatangi oleh kakek-nenek lusuh yang menyerupai pengemis.

Kekhawatiran Si penjaga ternyata benar. Regent Boncel tiba-tiba marah ketika dilapori ada kakek-nenek lusuh yang mengaku sebagai orang tua dan ingin bertemu dengannya. Dia langsung berdiri dan berjalan menuju gerbang menghampiri kedua orang tua itu. Ketika berhadapan, tanpa basa-basi dia langsung menendang Mak Boncel yang berlari hendak memeluknya. Mak Boncel langsung jatuh terlentang sambil menjerit kesakitan.

Tanpa memperdulikan erangan Mak Boncel, dia malah menghardik keduanya dan berkata bahwa orang tuanya telah lama meninggal dunia. Dia lalu memerintahkan para pengawal mengusir mereka. Regent Boncel malu pada orang-orang yang kebetulan melihat kejadian itu, padahal tahu dan sadar bahwa yang dihadapi adalah orang tua kandungnya sendiri. Rasa malu mengakui kedua orang tua di hadapan banyak orang membuatnya gelap mata. Status sebagai seorang regent dia anggap tidak layak memiliki orang tua yang tampak seperti orang miskin.

Sejak kejadian itu Regent Boncel sering termenung. Pikirannya selalu dihantui perasaan bersalah telah menendang dan mengusir orang tuanya sendiri. Padahal, di dalam hati ingin sekali bersujud dan memeluk mereka. Ego akan statuslah yang membuatnya tidak mau mengakui. Begitu seterusnya, hari-hari hanya diisi dengan lamunan hingga suatu saat, entah dari mana, dia terkena penyakit kulit yang tidak lazim.

Regent Boncel menderita gatal di sekujur tubuh. Dia tidak bisa lagi berkonsentrasi pada segala hal. Sepanjang waktunya hanya menggaruk, menggaruk, dan menggaruk hingga badan menjadi kurus kering dan lecet di mana-mana. Segala macam ramuan obat yang diberikan oleh puluhan tabib tidak mampu menyembuhkan. Bahkan, gatal di sekujur tubuh malah semakin hebat. Regent Boncel akhirnya sadar bahwa penyakit yang diderita mungkin adalah sebuah hukuman karena telah berbuat semena-mena terhadap orang tua. Dan, untuk menebus dosanya Regent Boncel akan kembali ke Kandangwesi guna bersujud dan memohon ampun.

Singkat cerita, Regent Boncel pulang kampung. Namun dia tidak dapat bertemu dengan Pak dan Mak Boncel karena keduanya telah meninggal dunia. Menurut cerita para tetangga, sepulang dari Caringin mereka sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Regent Boncel hanya bisa pasrah. Dia tidak dapat memohon ampun pada orang tua dan harus menanggung penyakit kulit yang tiada sembuh hingga akhir hayatnya.

Diceritakan kembali oleh gufron

Syekh Maulana Mansyuruddin Cikadeuen

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, di daerah Banten Selatan ada seorang pangeran bernama Maulana Mansyuruddin atau dikenal juga dengan nama Sultan Haji. Beliau adalah putra Raja Banten Sultan Agung Abdul Fatah. Setelah Sang ayahanda lengser keprabon, Maulana Mansyuruddin didapuk menggantikannya menjadi Sultan Banten.

Namun, baru menjabat selama sekitar dua tahun beliau berencana ke jazirah Arab guna mendirikan negara Banten di Bagdad. Selama beliau pergi urusan pemerintahan Banten diserahkan pada putranya yang bernama Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Sang putra akan didampingi oleh para bangsawan istana sebagai penasihatnya.

Sebelum bertolak ke Bagdad beliau diamanati oleh Sultan Agung Abdul Fatah agar jangan memakai seragam kerajaan bila tidak ingin mendapat malu. Selain itu, selama perjalanan tidak boleh menyimpang arah alias harus langsung ke tempat tujuan. Satu-satunya tempat yang boleh disinggahi untuk beberapa lama hanyalah Mekkah. Itu pun apabila kebetulan melewatinya ketika pulang ke Banten.

Sampai di Bagdad ternyata berbeda dengan apa yang diharapkan. Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup mendirikan Negara Banten di sana. Dia pun kembali ke Banten. Dalam perjalanan pulang Beliau lupa akan wasiat Sang Ayahanda dan singgah di Pulau Menjeli, sebuah wilayah di negeri Cina. Di tempat itu beliau malah menikah dengan Ratu Jin. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang putra.

Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di Pulau Menjeli, Sang anak rupanya terbujuk oleh rayuan Belanda yang berusaha menjadikannya sebagai Sultan Banten secara resmi. Sang kakek tentu saja tidak menyetujui. Baginya Sultan Maulana Mansyuruddin belumlah pulang dari negeri Bagdad dan tidak ada kabar berita yang menyatakan beliau telah wafat. Oleh karena itu, tidak sepantasnya Pangeran Adipati Ishaq, dengan bantuan Belanda, mengangkat dirinya sebagai Raja Banten secara permanen.

Sebelum pengangkatan Pangeran Adipati Ishaq menjadi Sultan Banten, tiba-tiba ada seorang yang singgah di pelabuhan dan mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin. Berperawakan menyerupai Sultan Maulana, dia datang dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah sehingga banyak orang percaya. Padahal, sebenarnya dia adalah Raja Pendeta keturunan Raja Jin penguasa Pulau Menjeli.

Sang Sultan Maulana palsu kemudian mengambil alih pemerintahan Banten dengan gayanya yang arogan sehingga rakyat menjadi tidak simpatik. Sultan Agung Abdul Fatah yang merasa ada ketidakberesan berusaha menghentikannya. Beliau meminta bantuan seorang Auliya Alloh keturunan Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke-2) bernama Pangeran Bu’ang atau Tubagus Bu’ang. Bersama rakyat mereka berusaha menumpas Sang Sultan gadungan agar keadaan Banten kembali seperti semula.

Namun, karena yang dilawan adalah keturunan Raja Jin, mereka kalah. Sang Sultan Gadungan lalu menghukum Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang atas dasar makar. Adapun hukumannya adalah mengasingkan mereka ke daerah Tirtayasa. Rakyat Banten yang menjadi saksi atas pengasingan tersebut memberi gelar pada Sultan Agung Abdul Fatah sebagai Sultan Agung Tirtayasa.

Peristiwa kekalahan dan diasingkannya Sultan Agung Abdul Fatah rupanya terdengar pula hingga ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin yang asli. Beliau sadar bahwa hal ini akibat kelalaiannya yang telah lupa akan wejangan Sultan Abdul Fatah agar jangan singgah ke mana-mana selama perjalanan pulang-pergi Bagdad. Untuk menebus dosa, beliau kembali lagi ke Baitulloh Mekkah memohon ampun kepada Allah SWT serta meminta petunjuk agar dapat langsung sampai ke Banten untuk membereskan kemelut di Kesultanan Banten.

Setelah berdoa sekian lama akhirnya beliau mendapatkan pengampunan sekaligus petunjuk dari Allah SWT. Sultan yang kemudian mendapat gelar Syekh ini lalu terjun ke dalam sumur zam-zam dan tiba-tiba muncul di daerah Cibulakan Cimanuk, tepat di sebuah mata air dengan batu besar di bagian tengahnya. Sebagai penanda, batu itu dipahatnya menggunakan jari telunjuk yang di kemudian hari dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Quran.

Tiba di istana Syekh Maulana Mansyuruddin langsung membereskan kekacauan politik yang terjadi dan mengembalikan Sang Ayahanda dari tempat pengasingannya. Selanjutnya, beliau kembali memimpin Kesultanan banten seperti sedia kala. Pada masa kepemimpinannya, tidak hanya pemerintahan saja yang menjadi fokusnya, melainkan juga penyebaran Islam ke seluruh Banten.

Dalam usaha mensyiarkan Islam, suatu hari beliau singgah di daerah Cikoromoy dan menikahi gadis setempat bernama Nyai Sarinten atau Nyi Mas Ratu Sarinten. Sang Nyai merupakan seorang gadis berambut sangat panjang melebihi tinggi tubuhnya. Pernikahan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan Nyai Sarinten menghasilkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Sholih (setelah dewasa berjuluk Kyai Abu Sholih).

Pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Di kala hendak mandi di sungai, Nyai Sarinten terjerat rambutnya sendiri hingga jatuh dan meninggal akibat kepalanya terbentur batu kali. Sepeninggal Nyai Sarinten, Syekh Maulana melarang kaum perempuan keturunannya memelihara rambut hingga melebihi tinggi tubuh mereka.

Kepergian Nyai Sarinten membuat Syekh Maulana pindah ke daerah Cikadeun. Tidak lama kemudian beliau menikah lagi dengan seorang perempuan dari daerah Caringin Labuan bernama Nyai Mas Ratu Jamilah. Selanjutnya, Beliau mulai menyebarkan lagi syariah Islam di bagian selatan pesisir Banten.

Saat menyusur hutan Pakuwon Mantiung di selatan pesisir Banten Beliau merasa kelelahan dan beristirahat di bawah sebuah pohon waru yang rindang. Oleh karena mengantongi khodam Ki Jemah, secara ajaib pohon waru yang menaunginya merunduk seperti sedang menghormat. Konon, sejak kejadian itu setiap pohon waru yang baru tumbuh batangnya tidak akan pernah lurus lagi.

Tidak jauh dari tempatnya beristirahat, sayup-sayup terdengar suara harimau. Ketika didekati kaki harimau itu ternyata telah terjepit kima. Sang harimau pasrah dan hanya sesekali mengaum pada Syekh Maulana Mansyuruddin. Oleh karena beliau adalah seorang Auliya dan Waliyulloh, maksud auman tadi dapat dapat dipahaminya. Sang harimau dilepaskan dari kima yang menjepit kakinya.

Setelah bebas, Sang harimau yang dinamainya sebagai Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam diminta agar jangan mengganggu anak-cucu serta seluruh keturunannya. Sang harimau menyanggupi. Dia bukanlah harimau biasa, melainkan raja dari lima siluman harimau yang ada di Pakuwon, yaitu: Ki Maha Dewa di Ujung Kulon; Ki Bima Laksana di Gunung Inten; Raden Singa Baruang di Pakuwon Lumajang; Ki Bolegbag Jaya di Gunung Pangajaran; dan Raden Putri di daerah Manjau.

Singkat cerita, peristiwa itu merupakan satu dari sekian banyak hal yang dialami Syekh Maulana Mansyuruddin selama beliau menyiarkan Islam ke berbagai daerah di Banten. Beliau akhirnya wafat pada tahun 1672 Masehi dan dimakamkan di Cikadeun Pandeglang Banten.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Layang Lakbok, Layang-layang Berlampu yang Terbang Malam Hari

Lakbok adalah nama salah satu kecamatan yang secara administratif berada di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Konon, kecamatan ini dahulu adalah sebuah leuweung ganggong atau hutan yang sangat angker dan belum terjamah manusia. Ia awalnya berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sukapura yang pada tahun 1913 berunah nama menjadi Tasikmalaya.

Lakbok mulai dibuka menjadi kawasan pemukiman atas inisiatif Dalem RAA Wiratanuningrat, Bupati Sukapura ke-14 yang berkuasa antara tahun 1908-1937. Pembukaan diawali dengan pembuatan selokan guna pengeringan rawa. Selanjutnya, RAA Wiratanuningrat mengeluarkan surat berstempel “Cap Singa” berisi pemberian hak kepemilikan tanah pada masyarakat. Selama belum menjadi hak milik pepohonan besar yang berada di sekitarnya tidak boleh ditebang.

Surat berstempel itu rupanya menarik banyak orang untuk bermukim di Lakbok. Mereka tidak hanya berasal dari daerah sekitar leuweung ganggong saja, melainkan juga dari daerah perbatasan di Jawa Tengah. Dan, sejak saat itu banyak orang Jawa Tengah bermukim di Lakbok.

Para pemukim Lakbok bermatapencaharian sebagai petani. Seusai panen mereka selalu mengadakan kenduri sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada kenduri yang diadakan besar-besaran tanggal 16 Juni 1926 dihadiri juga oleh RAA Wiratanuningrat. Saat hendak kembali ke Sukapura, Bupati melihat ada sekelompok orang bermain layang-layang di areal persawahan yang telah dipanen. Senang melihat kegembiraan mereka, Bupati kemudian menyarankan agar layang-layang lebih digalakkan terutama usai panen raya.

Saran Bupati rupanya diindahkan oleh penduduk Lakbok. Mereka kemudian mengembangkan layang-layang sebagai sarana hiburan usai panen. Saat ini, sedikitnya ada tiga jenis layang-layang di daerah Lakbok, yaitu (1) Sendaren yang terdiri atas tanggalan, kapal/kapalan, dan kampretan. Layangan sendaren lebih mengunggulkan keindahan ketika berada di udara; (2) Kodokan yang lebih bersifat untuk kompetisi menggunakan gelasan (diadu). Layang-layang kodokan ada yang diberi ekor dan ada pula yang tidak berekor; dan (3) kapas yang juga untuk kompetisi namun bukan diadu hingga putus melainkan paling lama berada di udara.

Layang Lakbok merupakan jenis layang-layang kapas yang dibuat seringan mungkin agar dapat bertahan di udara dalam waktu lama dengan kondisi angin yang tidak terlalu kencang. Layang-layang ini mulai muncul sekitar tahun 1990-an saat ada inovasi dari kalangan muda untuk menambahkan lampu pada bagian badan layang-layang yang berasal dari daya baterai jam tangan. Oleh karena menggunakan lampu, maka layang lakbok mulai diterbangkan dari sore hingga malam hari.

Kompetisi layang lakbok dilakukan dengan cara menerbangkan secara bersamaan puluhan layang-layang lalu diikat menjadi satu dan ditinggalkan. Pemenang adalah peserta yang layang-layangnya paling lama mengudara dibanding layang-layang milik kompetitor lainnya. Adapun hadiahnya bermacam-macam, dari sepeda motor hingga sehelai kain sarung.

Proses pembuatan Layang Lakbok
Layang lakbok dibuat dari batang bambu untuk bagian rangka dan plastik tipis sebagai penutupnya. Batang bambu yang akan dijadikan kerangka layang-layang haruslah kering, sebab apabila basah akan mudah patah. Proses pembuatannya sendiri diawali dengan menyerut sejumlah bambu membentuk lingkaran dengan panjang sekitar 50 centimeter atau sesuai selera si pembuat dan berdiameter sangat kecil. Ukuran diameter lingkaran bambu berpatokan pada lubang cotton buds (korek kuping). Apabila bambu dapat dimasukkan dalam lubang cotton buds, maka layak untuk dijadikan kerangka.

Selanjutnya bambu dirangkai sedemikian rupa membentuk kerangka. Agar dapat menyatu, bambu-bambu itu disambung menggunakan potongan cotton buds yang telah dilumuri lem kayu. Setelah kerangka terbentuk, langkah berikutnya adalah merekatkan plastik tipis pada kerangka. Plastik yang digunakan bukanlah plastik baru, melainkan diambil dari pelindung tanaman yang sedang disemai.

Terakhir, bagian tengah rangka diberi lampu yang disambungkan ke sebuah beterai kecil berbentuk bulat pipih. Agar menghemat daya baterai, Pemasangan lampu dilakukan pada saat akan menerbangkan layangan di tanah lapang atau di areal persawahan yang telah dipanen.

Nilai Budaya
Apabila dicermati Layang Lakbok mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama. Nilai-nilai itu di antaranya adalah: kerja keras, ketekunan, kecermatan, kreativitas, serta persaingan. Nilai kerja keras tercermin dalam proses pembuatan mulai dari mencari bambu, membentuknya menjadi sebuah layang-layang, hingga menerbangkannya. Nilai ketekunan, kecermatan, dan kreatifitas juga tercermin dalam proses pembuatan layang lakbok. Tanpa ketekunan, kecermatan, dan kreatifitas mustahil dapat membuat sebuah layang-layang yang sangat ringan dan dapat terbang berjam-jam di udara. Dan, nilai persaingan tercermin dari maksud pembuatan layang lakbok sebagai alat untuk berkompetisi dalam sebuah perlombaan (gufron).

Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan

Secara teoretis semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup dalam kelompok sosial, tidaklah demikian. Pembedaan-pembedaan atas lapisan-lapisan merupakan gejala universal yang menjadi bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Selama ada yang dihargai dalam suatu masyarakat, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat bersangkutan. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis (tanah), kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesamaan dalam agama, atau bisa juga keturunan dari keluarga yang terhormat (Sudiyo, dkk. 1991:29).

Berkenaan dengan sistem yang berlapis-lapis itu, seorang sosiolog terkemuka, Pitirim A Sorokin yang dikutip oleh Sudiyo dkk. (1991) pernah mengatakan bahwa sistem itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat.

Selanjutnya, Sudiyo dkk (1991:29) mengatakan bahwa lapisan-lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, maka semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan di dalamnya.

Dalam proses perkembangan suatu masyarakat, sistem berlapis ada yang terjadi dengan sendirinya, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Biasanya yang menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah: kepandaian, tingkat umur (senioritas), sifat keaslian, keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan harta dalam batas-batas tertentu. Mengingat masyarakat yang satu dengan lainnya masing-masing mengembangkan sistem sosial-budaya tersendiri, maka tidak tertutup kemungkinan alasan-alasan yang dipakai dalam pembentukan sistem berlapis-lapis satu dengan lainnya berbeda. Sedangkan, stratifikasi sosial yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti: pemerintahan, perusahaan, partai politik, Angkatan Bersenjata atau perkumpulan.

Kekuasaan dan wewenang merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan di dalam masyarakat. Dan, karena kekhususannya itu, kekuasaan dan wewenang mempunyai sifat yang lain daripada: uang, tanah, benda-benda ekonomis, ilmu pengetahuan, dan kehormatan. Uang, tanah, dan sebagainya dapat terbagi secara bebas di antara para anggota suatu masyarakat tanpa merusak bentukan masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, apabila sesuatu masyarakat hendak hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan teratur pula, sehingga jelas kepemilikan kekuasaan dan wewenang bagi setiap orang dalam organisasi, baik secara vertikal maupun horisontal. Sebab jika kekuasaan dan wewenang tidak dibagi-bagi secara teratur, kemungkinan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.

Sifat sistem pelapisan sosial di dalam masyarakat dapat tertutup (closed social stratification) dan dapat pula yang terbuka (open social stratification). Sistem pelapisan yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Sebaliknya, dalam sistem yang sifatnya terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha ke pelapisan yang lebih tinggi dengan kecakapan sendiri. Sistem yang terbuka ini memberi perangsang bagi seseorang untuk menduduki lapisan yang lebih tinggi. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya seseorang tidak beruntung karena kurang cakap, sehingga menduduki lapisan yang lebih rendah (Sudiyo, dkk. 1991:30).

Hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam sistem pelapisan suatu masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan dan peranan kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem pelapisan, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat. Yang diartikan sebagai sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antarindividu dalam masyarakat, antara individu dan masyarakat, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti penting, karena langgengnya masyarakat bergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu-individu tersebut.

Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya, dia berarti menjalankan suatu peranan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena satu dengan lainnya saling bergantung. Tidak ada peranan tanpa kedudukan. Sebaliknya, tidak ada kedudukan tanpa peranan. Ibaratnya, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika Soerjono (1982) mengatakan bahwa di dalam pergaulan hidup seseorang senantiasa berhubungan dengan pihak lain. Biasanya setiap pihak mempunyai perangkat peranan tertentu (set of roles).

Stratifikasi merupakan hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain secara vertikal maupun mendatar dalam masyarakatnya. Dengan demikinan, peranan yang diambil oleh orang dalam masyarakatnya ditentukan oleh situasi kelompok.

Berkenaan dengan situasi individu dalam kelompok maupun dalam masyarakat luas, F. Znaniecki yang dikutip oleh Susanto (1999:65) berpendapat bahwa situasi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi subyektif maupun obyektif. Kenyataan bahwa manusia menurut F. Znaniecki mempunyai dua segi kehidupan, yaitu segi kehidupan publik maupun kehidupan pribadi, merupakan ciri yang membedakan manusia dari binatang. Justru dalam kehidupan bermasyarakatnya, manusia belajar untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan nilai dan keadaan yang sebenarnya yang sering tidak dinginkannya. Berbeda dengan manusia yang mempunyai kemampuan ini, binatang hanya bersifat pasif terhadap lingkungannya, yaitu dapat menerima keadaannya. Manusia dengan kemampuan untuk menerima dan menyesuaikan diri, mengambil tindakan yang lebih efektif dalam hidupnya.

Sementara itu, Susanto (1999:66) mengatakan bahwa stratifikasi terjadi dengan makin meluasnya masyarakat dan makin terjadinya pembagian pekerjaan. Jadi masyarakat modern akan memperlihatkan kecenderungan menuju stratifikasi yang lebih banyak lagi, karena dasar dari stratifikasi ialah pembagian pekerjaan, yaitu spesialisasi dan diversifikasi pekerjaan. Dasar pembentukan stratifikasi ialah bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk menilai suatu pekerjaan. Selain itu, juga biologik dan kebudayaan.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa stratifikasi sosial menghambat kemajuan masyarakat/individu. Sebenarnya stratifikasi sosial juga mempunyai beberapa keuntungan. Menurut kingsley Davis yang dikutip oleh Susanto (1999: 67), fungsi-fungsi dari stratifikasi sosial ialah sebagai: (a) stratifikasi sosial menjelaskan kepada seseorang “tempat”nya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan, menjelaskan kepadanya bagaimana harus menjalankannya dan sehubungan dengan tugasnya menjelaskan apa dan bagaimana efek serta sumbangannya kepada masyarakatnya; (b) karena peranan dari setiap tugas dalam setiap masyarakat berbeda-beda dengan seringkali adanya tugas yang kurang dianggap penting oleh masyarakat (karena beberapa pekerjaan meminta pendidikan dan keahlian terlebih dahulu) maka berdasarkan perbedaan persyaratan dan tuntutan atas prestasi kerja, masyarakat biasanya memberi imbalan kepada yang melaksanakan tugas dengan baik dan sebaliknya “menghukum” yang tidak atau kurang baik. Dengan sendirinya terjadilah distribusi penghargaan; dan (c) penghargaan yang diberikan biasanya bersifat ekonomis, berupa pemberian status sosial atau fasilitas-fasilitas yang karena distribusinya berbeda (sesuai dengan pemenuhan persyaratan dan penilaian terhadap pelaksanaan tugas) membentuk struktur sosial.

Sebagai sebuah kesatuan sosial, kaum nelayan mempunyai stratifikasi tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan penguasaan/pemilikan peralatan produksi melaut, keahliannya dan atau pendapatannya (hasil yang diperoleh). Berdasarkan ketentuan itu masyarakat nelayan, khususnya yang berada di Pulau Jawa, mengenal tiga kelas sosial, yaitu kelas: atas, tengah, dan bawah. Nelayan kelas atas diduduki oleh para pemilik peralatan produksi melaut, seperti: perahu, motor tempel, jaring, dan peralatan lainnya. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai “juragan”. Kelas menengah diduduki oleh nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau. Kelas bawah diduduki oleh para nelayan yang tidak memiliki peralatan produksi melaut dan keahlian tertentu yang berkenaan dengan pengoperasian perahu. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai “bidak”.

Hubungan antarkelas sosial yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan adalah saling membutuhkan. Juragan membutuhkan nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak untuk mengoperasikan dan menangkap ikan di laut. Sementara, nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak membutuhkan juragan karena yang memiliki peralatan produksi penangkapan ikan adalah juragan. Hubungan yang saling membutuhkan itu berpola patron-klien. Dalam hal ini juragan sebagai patron dan nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak sebagai klien. Sebagai patron, juragan tidak hanya membagi hasil tangkapan ikan berdasarkan aturan-aturan yang ada di kalangan masyarakat nelayan, tetapi membantu klien-nya manakala mengalami kesulitan keuangan.

Seseorang yang ada di kelas menengah dan bawah bisa saja menjadi juragan (kelas atas) jika memiliki peralatan produksi melaut atau dengan kata lain sistem pelapisannya bersifat terbuka. Caranya dengan meminta baku/toukel untuk membelikannya. Jika bakul/touke percaya, dia akan membelikan tanpa menggunakan secarik kertas apa pun sebagai bukti transaksi. Sistem ini dinamakan "hutang seumur hidup" karena bakul/touke tidak akan meminta perahu beserta jaring yang dibelikannya dibayar atau diangsur hingga lunas. Konsekuensi bagi nelayan yang berhutang harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul/touke dengan harga lebih rendah dari harga pasaran. Hasil tangkapan diolah lagi oleh bakul/touke kemudian dijual dengan harga yang tinggi. Jadi, seorang nelayan yang telah terikat "hutang seumur hidup" tidak diperbolehkan menjual hasil tangkapan pada bakul/touke lain atau pada pengepul di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Dia baru bisa "terbebas" dari hutang bila perahunya tidak dapat digunakan melaut dan bakul tidak memberinya perahu baru, mengembalikan perahu pada bakul/touke dan membeli perahu baru dengan uang sendiri, atau ada bakul/touke lain yang mau memberi perahu baru serta melunasi hutang si nelayan pada bakul yang lama.

Nelayan

Nelayan merupakan salah satu mata pencaharian yang tergolong tua. Pengertian dari nelayan itu sendiri ada banyak macamnya. Mulyadi (2005:7) misalnya, menyatakan bahwa nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung dari hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Imron yang dikutip Mulyadi (2005:7), mendefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan budidaya maupun penangkapan. Sementara Sastrawidjaya (2002), mendefinisikannya sebagai orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut.

Apabila merujuk pada konsep di atas, pekerjaan nelayan selalu ada pada setiap masyarakat yang tinggal di tepi pantai. Sebagai sebuah kesatuan sosial, mereka memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat dibedakan dengan masyarakat lain (bukan nelayan). Sastrawidjaya (2002: 42) membaginya menjadi tiga segi, yaitu: (1) segi mata pencaharian, nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian; (2) segi cara hidup, nelayan adalah komunitas gotong royong dan tolong-menolong untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga banyak seperti saat berlayar, membangun rumah atau tanah penahan gelombang; dan (3) dari segi keterampilan umumnya diturunkan dari orang tua, bukan dipelajari secara profesional.

Kelompok nelayan ini dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kategori. Monintja dan Yusfiandayani (2011) misalnya, mengkategorikan nelayan berdasarkan waktu operasional penangkapan, yaitu: (a) nelayan penuh (seluruh waktu kerjanya digunakan untuk menangkap ikan; (b) nelayan sambilan utama (sebagian besar waktunya digunakan untuk menangkap ikan), dan (c) nelayan sambilan tambahan (hanya sebagian kecil waktu kerjanya untuk menangkap ikan).

Ada lagi yang mengkategorikannya berdasarkan kepemilikan modal, yaitu: (a) nelayan juragan (dapat sebagai pemilik perahu dan alat tangkap ikan yang ikut melaut, pemilik perahu dan alat tangkap ikan namun tidak melaut, serta pemilik perahu, alat tangkap, dan modal tetapi bukan nelayan atau biasa disebut tauke), (b) nelayan pekerja/buruh (hanya memiliki tenaga tanpa alat produksi dan modal), dan (c) nelayan perorangan (nelayan yang hanya memiliki perahu kecil serta alat tangkap sederhana untuk keperluan sendiri) (Yuliriane, 2012 dan Mulyadi, 2005).

Selanjutnya, pengkategorian nelayan juga berdasarkan atas hasil tangkapan, yaitu: (a) nelayan subsisten (subsistence fishers) atau nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri; (b) nelasan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil; (c) nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk kesenangan atau olahraga; dan (d) nelayan komersial (commercials fishers), adalah mereka yang menangkap ikan untuk dipasarkan baik ke pasar domestik maupun mancanegara (ekspor) (Widodo dan Suadi: 2006: 29).

Kemudian, berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2015: 29) mengkategorikannya menjadi: (a) nelayan tradisional (peasant fisher) bersifat sub-sisten yang alokasi hasil tangkapannya dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari; (b) post-peasant fisher, nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor, beroperasi di wilayah pesisir, dan mulai berorientasi pasar serta ABK nya tidak bergantung pada tenaga kerja keluarga; (c) commercials fisher, nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, teknologi penangkapan modern yang membutuhkan keahlian khusus dalam mengoperasikannya; dan (d) industrial fisher, nelayang yang mengorganisasikan sistem agribisnis modern, relatif padat modal, dan memproduksi ikan kaleng serta ikan beku orientasi ekspor.

Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia adalah nelayan yang mempunyai ciri-ciri dari beberapa pengkategorian di atas, yaitu: cara hidup masih berbentuk komunitas gotong royong dan tolong-menolong dalam mengatasi suatu masalah (terutama pendanaan); keterampilan melaut diturunkan atau diwariskan dari orang tua; bekerja sebagai nelayan penuh atau seluruh waktu kerjanya digunakan untuk menangkap ikan; subsistance fishers, native fishers, peasant fishers, post-peasant fisher, commercials fisher; dan nelayan juragan, nelayan buruh, serta nelayan perorangan. Seluruh kategori di atas merupakan ciri-ciri dari nelayan tradisional.

Secara umum nelayan tradisional adalah mereka yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Mulyadi (2005: 173) menyatakan bahwa nelayan tradisional juga disebut sebagai orang yang bergerak di sektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor.

Ketergantungan nelayan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat bisa turun melaut, terutama pada musim ombak bahkan badai yang bisa berlangsung sampai lebih dari satu bulan. Akibatnya, selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki, pada musim tertentu tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh. Kondisi ini merugikan nelayan karena secara riil rata-rata pendapatan perbulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat paceklik.

Rendahnya teknologi penangkapan yang dimiliki oleh nelayan tradisional, mengakibatkan minimnya hasil tangkapan. Kemampuan untuk meningkatkan peralatan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi nelayan. Kondisi ini mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk dapat melepaskan diri dari kemiskinan karena sistem kerja mereka akan menjadi semacam lingkaran setan.

Produksi hasil laut yang diperoleh nelayan hanya akan memiliki nilai lebih apabila tidak hanya digunakan untuk makan, tetapi juga memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, masalah pemasaran merupakan aspek penting dalam kehidupan nelayan. Permasalahannya adalah akses terhadap pasar sering tidak dimiliki oleh para nelayan, terutama nelayan yang tinggal di pulau-pulau kecil. Sementara itu, kondisi ikan yang mudah membusuk, merupakan masalah besar yang dihadapi para nelayan tradisional. (Mulyadi, 2005:49).

Foto: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01330829/cerita-dedi-nelayan -natuna-yang-sering-diusir-kapal-keamanan-tiongkok-dan-vietnam-di-perairan-indonesia

Sumber:
Monintja, Daniel. Yusfiandayani, Roza. 2011. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Institut Pertanian Bogor.

Sastrawidjaya. 2002. Nelayan Nusantara. Pusat Riset Pengolahan Produk Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Satria, Arif, 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mulyadi, Subri . 2005. Ekonomi Kelautan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yuliriane, 2012. Tekanan kemiskinan struktural komunitas nelayan tradisional di perkotan. https://lppmunigresblog.file s.wordpress.com/2012/06/j urnal -tesis3.pdf, diakses pada tanggal 15 November 2020. Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.252 hlm.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive