Doclang

Sebelum memulai hari umumnya orang akan makan pagi atau sarapan. Ada banyak jenis makanan guna dijadikan sebagai penunjang aktivitas pagi hingga siang hari. Di daerah Bogor, misalnya, ada sebuah makanan yang banyak dikonsumsi orang untuk bersarapan pagi yang disebut sebagai doclang. Ia dahulu dijajakan secara berkeliling menggunakan pikulan, kecuali di kawasan Jembatan Merah Bogor yang menggunakan gerobak.

Doclang sendiri bentuknya sekilas menyerupai kupat tahu, yaitu irisan lontong yang dicampur dengan bumbu kacang dan ditambah dengan kentang rebus, telur rebus serta kerupuk dan sambal. Bedanya hanyalah pada lontong yang digunakan. Lontong pada doclang disebut pesor berbentuk segi empat dengan pembungkus berupa daun patat atau limpung (Phrynium capitatum). Daun yang dapat memberikan efek harum pada pesor ini mengandung banyak serat dan protein.

Selain pesor bahan-bahan lain dalam pembuatan doclang relatif sama seperti kupat tahu atau gado-gado, yaitu: kentang rebus, toge, daun selada, jeruk limau, bawang goreng, kecap manis, kacang tanah, minyak goreng, cabe kriting, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan kemiri. Bahan-bahan tadi ada yang dicampur langsung ketika proses pembuatan, ada juga yang diolah terlebih dahulu menjadi bahan halus sebagai bumbu doclang.

Bahan bumbu yang perlu diolah atau dihaluskan guna membuat saus kacang adalah kacang tanah, gula jawa, air, dan minyak goreng untuk menumisnya. Sedangkan bahan (bumbu halus) yang harus dimasak terlebih dahulu di antaranya: cabe keriting, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan kemiri.

Adapun cara membuat doclang diawali mempersiapkan saus kacang dengan menggoreng kacang tanah, menghaluskan dan mencampurkannya dengan garam, gula jawa, serta jeruk limau. Selanjutnya, kacang tanah yang telah halus tadi dicampur dengan bumbu halus lalu dimasak hingga airnya menyusut.

Bila telah mengental, bumbu tadi disiram di atas potongan pesor, tahu, kentang rebus, serta toge. Sebelum disajikan, agar lebih mengundang selera ditambah lagi dengan kecap manis, taburan bawang goreng, dan kerupuk secukupnya. Dan, bagi penyuka pedas, dapat pula ditambah dengan sambal agar lebih mak nyuuus.

Kabupaten Purwakarta

Letak dan Keadaan Alam
Kabupaten Purwakarta merupakan satu dari delapan belas kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis kabupaten ini sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karawan dan Kabupaten Subang; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Subang serta Kabupaten Bandung Barat. Wilayahnya tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit. Sedangkan luasnya adalah 971,72 km² dengan titik koordinat 6025’ – 6045’ Lintang Selatan dan 107030’ – 107040’ Bujur Timur.

Kabupaten Purwakarta terdiri atas 17 kecamatan yang mencakup 192 desa/kelurahan. Ke-17 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Jatiluhur beribukota di Jatiluhur terdiri atas 10 desa seluas 60,11 km² (6,19%); (2) Kecamatan Sukasari beribukota di Kertamanah terdiri atas 5 desa seluas 92,01 km² (9,47%); (3) Kecamatan Maniis beribukota di Citamiang terdiri atas 8 desa seluas 71,64 km² (7,37%); (4) Kecamatan Tegalwaru beribukota di Sukahaji terdiri atas 13 desa seluas 73,23 km² (7,54%); (5) Kecamatan Plered beribukota di Plered terdiri atas 16 desa seluas 31,48 km² (3,24%); (6) Kecamatan Sukatani beribukota di Sukatani terdiri atas 14 desa seluas 95,43 km² (9,82%); (7) Kecamatan Darangdan beribukota di Darangdan terdiri atas 15 desa seluas 67,39 km² (6,94%); (8) Kecamatan Bojong beribukota di Sukamanah terdiri atas 14 desa seluas 68,69 km² (7,07%); (9) Kecamatan Wanayasa beribukota di Wanayasa terdiri atas 15 desa seluas 56,55 km² (5,82%); (10) Kecamatan Kiarapedes beribukota di Kiarapedes terdiri atas 10 desa seluas 56,55 km² (5,37%); (11) Kecamatan Pasawahan beribukota di Sawah Kulon terdiri atas 12 desa seluas 36,96 km² (3,8%); (12) Kecamatan Pondoksalam beribukota di Salam Mulia terdiri atas 11 desa seluas 44,08 km² (4,54%); (13) Kecamatan Purwakarta beribukota di Nagri Kaler terdiri atas 10 desa seluas 24,83 km² (2,56%); (14) Kecamatan Babakancikao beribukota di Kadumekar terdiri atas 9 desa seluas 42,4 km² (4,36%); (15) Kecamatan Campaka beribukota di Campaka terdiri atas 10 desa seluas 43,6 km² (4,49%); (16) Kecamatan Cibatu beribukota di Cibatu terdiri atas 10 desa seluas 56,5 km² (5,81%); dan (17) Kecamatan Bungursari beribukota di Bungursari terdiri atas 10 desa seluas 54,66 km² (5,63%) (BPS Kabupaten Purwakarta, 2021).

Topografi Kabupaten Purwakarta bervariasi mulai dari dataran rendah hingga sedang dengan ketinggian 74-675 meter dari permukaan air laut. Adapun daerah dataran rendah hingga sedang secara berurut adalah: Babakancikao, Cibatu, Campaka, Bungursari, Jatiluhur, Sukasari, Purwakarta, Sukatani, Pasawahan, Pondoksalam, Tegalwaru, Plered, Maniis, Bojong, Darangdan, Kiarapedes, dan Wanayasa.

Iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lain di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober - Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April - September. Curah hujan rata-rata 179 milimeter per tahun. Sedangkan, temperaturnya rata-rata 20°-31° Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (seperti rambutan, manggis, duku, kopi, dan durian), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, singkong, dan mentimun). Fauna yang ada di wilayah kabupaten ini seperti yang biasa diternakan oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya.

Pemerintahan
Pemerintahan Kabupaten Purwakarta memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut purwakartakab.go.id, sejak era VOC sekitar tahun 1630 daerah Purwakarta dahulu merupakan bagian Kabupaten Karawang. Namanya waktu itu bukanlah Purwakarta melainkan Sindangkasih. Nama Sindangkasih berasal dari kata “Sindang” yang berarti “mampir” dan “Kasih” yang berarti “asih, cinta, sayang”, diambil dari peristiwa yang dialami Bupati RA Suriawinata yang mendapat perlakuan hangat dari penduduk setempat

Baru pada tahun 1968 menjadi sebuah kabupaten tersendiri yang terpisah dari Kabupaten Karawang dengan struktur organisasi pemerintahan tertinggi dipegang oleh seorang Bupati yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jawa Barat. Bupati menjalankan pemerintahan dengan tugas-tugas meliputi bidang pemerintahan, ketentraan dan ketertiban, kesejahteraan masyarakat, sosial politik, agama, tenaga kerja, pendidikan, kepemudaan dan olahraga, kependudukan, perekonomian, dan pembangunan fisik prasarana lingkungan, serta bidang-bidang lain yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.

Dalam menjalankannya Bupati dibantu oleh Wakil Bupati, Perangkat Daerah, Badan Daerah, dan Dinas Daerah. Perangkat Daerah terdiri atas: Sekretariat Daerah; Staf Ahli; Sekretarian DPRD; dan Inspektorat Daerah. Badan Daerah terdiri atas: Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah; Badan Keuangan dan Aset Daerah; Badan Pendapatan Daerah; dan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Sementara Dinas Daerah terdiri atas: Dinas Pendidikan; Dinas Kesehatan; Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan; Dinas Tata Ruang dan Permukiman; Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak; Satuan Polisi Pamong Praja; Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana; Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi; Dinas Lingkungan Hidup; Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana; Dinas Perhubungan; Dinas Komunikasi dan Informatika; Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perdagangan dan Perindustrian; Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu; Dinas Kepemudaan, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan; Dinas Kearsipan dan Perpustakaan; Dinas Pangan dan Pertanian; dan Dinas Perikanan dan Peternakan (inspektorat.purwakartakab.go.id).

Para aparatur bekerja dalam satu kerangka visi dan misi yang sama untuk kemajuan Kabupaten Purwakarta. Visi tersebut adalah “Mewujudkan Purwakarta Istimewa”. Visi itu dijadikan sebuah misi yang harus dilaksanakan atau diemban agar seluruh anggota organisasi dan pihak yang berwenang dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran Kabupaten Purwakarta dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Adapun misinya adalah: (a) meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial (tujuannya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang profesional, berbudaya, dan berintegrasi. Sedangkan sasarannya meningkatnya kualitas sumber daya manusia yang profesional, berbudaya, dan bertaqwa, meningkatnya kualitas pemuda dan olahraga, serta meningkatnya derajat kesehatan); (b) meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan profesional (tujuannya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif. Sedangkan sasarannya meningkatnya penerapan reformasi birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan umum yang baik dan efektif); (c) mewujudkan pembangunan infrastruktur dan pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (tujuannya meningkatkan pembangunan infrastruktur, penataan ruang pengembangan wilayah dan lingkungan hidup. Sedangkan sasarannya meningkatnya kapasitas dan kualitas dalam rangka percepatan pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan hidup); dan (d) mewujudkan perekonomian rakyat yang kokoh berbasis desa (tujuannya adal untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi serta daya beli masyarakat. Sedangkan sasarannya meningkatnya usaha kecil menengah dan koperasi serta terwujudnya iklim investasi yang kondusif) (ppid.purwakartakab.go.id).

Logo Kabupaten Purwakarta

Dan, sama seperti daerah lain di Indonesia, Kabupaten Purwakarta juga memiliki logo sebagai bagian dari identitas wilayah. Adapun logo Kabupaten Purwakarta dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) perisai bentuk segilima melambangkan dasar negara Pancasila sekaligus sebagai tameng bangsa; (2) padi dan kapas melambangkan kemakmuran yang bertumpu pada sektor pertanian; (3) gedung berwarna merah dan kuning merupakan simbol dari Gedung Keresidenan Purwakarta; (4) atap gedung yang berbentuk menyerupai Gunung Tangkuban Parahu merupakan representasi dari legenda Sangkuringan; (5) pelat merah bertulis “Wibawa Karta Raharja” mengandung makna sebagai daerah yang berwibawa, ramai, serta makmur sejahtera; (6) segi bergwarna hitam merah yang menggambarkan bendungan Jatiluhur melambangkan kebanggaan dan kemakmuran rakyat; (7) lengkungan berwarna hijau bergelombang putih-biru menyimbolkan Situ Buleud; (8); dan (9) warna hijau muda melambangkan harapan bagi masa depan daerah Purwakarta, warna hitam melambangkan keteguhan dan ketekunan hari, warna kuning melambangkan keagungan daerah, warna merah melambangkan tekat perjuangan bangsa yang pantang mundur, warna putih melambangkan kesucian dan keikhlasan hati dalam menanggulangi segala cobaan dan penderitaan hidup, warna biru melambangkan kesetiaan rakyat, dan warna hijau tua melambangkan masyarakat Purwakarta yang teguh pada agama (desaparakansalam.blogspot.com).

Kependudukan
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Purwakarta (sensus tahun 2020) penduduk Kabupaten Purwakarta berjumlah 997.869 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-laki mencapai 506.830 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 491.039 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 17 kecamatan, yaitu: Jatilihur dihuni oleh 73.952 jiwa, Sukasari 17.258 jiwa, Maniis 36.052 jiwa, Tegalwaru 53.184 jiwa, Plered 83.425 jiwa, Sukatani 76.907 jiwa, Darangdan 70.894 jiwa, Bojong 52.998 jiwa, Wanayasa 43.303 jiwa, Kiarapedes 28.387 jiwa, Pasawahan 49.458 jiwa, Pondoksalam 30.734 jiwa, Purwakarta 179.233 jiwa, Babakancikao 59.909 jiwa, Campaka 50.342 jiwa, Cibatu 31.267 jiwa, dan Bungursari dihuni oleh 60.565 jiwa (BPS Kabupaten Purwakarta, 2021).

Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk yang berusia 0-4 tahun ada 83.127 jiwa (laki-laki 42.543 jiwa dan perempuan 40.584 jiwa), kemudian yang berusia 5-9 tahun ada 83 904 jiwa (laki-laki 43 100 jiwa dan perempuan 40 804 jiwa), berusia 10-14 tahun ada 84 855 jiwa (laki-laki 43 687 jiwa dan perempuan 41 168 jiwa), berusia 15-19 tahun ada 86.336 jiwa (laki-laki 44.598 jiwa dan perempuan 41.738 jiwa), berusia 20-24 tahun ada 86.416 jiwa (laki-laki 44.065 jiwa dan perempuan 42.351 jiwa), berusia 25-29 tahun ada 85.729 jiwa (laki-laki 43.530 jiwa dan perempuan 42.199 jiwa), berusia 30-34 tahun ada 83.113 jiwa (laki-laki 42.115 jiwa dan perempuan 40.998 jiwa), berusia 35-39 tahun ada 76.739 jiwa (laki-laki 38.926 jiwa dan perempuan 37.813 jiwa), berusia 40-44 tahun ada 72.898 jiwa (laki-laki 36.171 jiwa dan perempuan 36.727 jiwa), berusia 45-49 tahun ada 65.958 jiwa (laki-laki 33.091 jiwa dan perempuan 32.867 jiwa), berusia 50-54 tahun ada 57.616 jiwa (laki-laki 29.218 jiwa dan perempuan 28.398 jiwa), berusia 55-59 tahun ada 44.480 jiwa (laki-laki 22.886 jiwa dan perempuan 21.594 jiwa), berusia 60-64 tahun ada 33.318 jiwa (laki-laki 17.240 jiwa dan perempuan 16.078 jiwa), berusia 65-69 tahun ada 24.054 jiwa (laki-laki 12.167 jiwa dan perempuan 11.887 jiwa), berusia 70-74 tahun ada 15.205 jiwa (laki-laki 7.295 jiwa dan perempuan 7.910 jiwa), dan berusia 75 tahun ke atas ada 14.121 (laki-laki 6.198 jiwa dan perempuan 7.923 jiwa) dari jumlah total penduduk. Ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Purwakarta sebagian besar berusia produktif.

Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah daerah yang relatif dekat dengan ibu kota provinsi, Kabupaten Purwakarta tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini adalah: 318 buah Taman Kanak-kanan (TK) dengan jumlah siswa sebanyak 12.488 orang dan 1.049 tenaga pengajar; 454 buah Raudatul Atfah (RA) dengan jumlah siswa sebanyak 18.583 orang dan 1.936 orang tenaga pengajar; 824 buah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa sebanyak 200.660 orang dan 9.721 orang tenaga pengajar; 120 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 18.566 orang dan 1.054 orang tenaga pengajar; 214 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa 78.214 orang dan 3.814 orang tenaga pengajar; 116 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 27.064 orang dan 1.695 orang tenaga pengajar; 53 buah Sekolah Menangah Atas dengan jumlah siswa sebanyak 28.627 orang dan 1.361 orang tenaga pengajar; 115 buah Sekolah Menangah Kejuruan dengan jumlah siswa sebanyak 43.979 orang dan 2.366 orang tenaga pengajar; 66 buah Madrasah Aliah dengan jumlah siswa 13.042 orang dan 951 orang tenaga pengajar; dan 6 buah perguruan tinggi.

Sementara untuk sarana kesehatan terdapat 9 buah rumah sakit, 6 buah rumah sakit bersalin, 58 buah poliklinik, 20 buah puskesmas, 46 buah puskesmas pembantu, 1.032 buah posyandu, dan 45 buah apotek. Sedangkan jumlah total tenaga medis sebanyak 566 orang yang terdiri atas 65 orang dokter, 249 orang perawat, 191 orang bidan, 41 orang farmasi, 20 orang ahli gizi (BPS Kabupaten Purwakarta, 2021).

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Kabupaten Purwakarta sangat beragam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta tahun 2021, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (963.991 orang). Sedangkan sisanya adalah penganut Kristen Protestan (7.582 orang), Katolik (2.069 orang), Hindu (136 orang), Budha (520 orang) dan agama lainnya sejumlah 6 orang.

Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (masjid, musholla atau langar). Berdasarkan data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta, jumlah masjid yang ada di sana mencapai 999 buah dan musholla/langgar/surau mencapai 1.623 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen dan Katolik mencapai 14 buah, agama Hindu mencapai 1 buah, dan agama Budha hanya ada 3 buah vihara atau kelenteng. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan atau gedung pertemuan bagi penganut aliran kepercayaan belum ada.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Kabupaten Purwakarta sangat beragam, di antaranya: pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kabupaten, kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya (7.655 orang). Kemudian, ada juga yang berusaha sendiri/own account worker (68.575 orang), berusaha dibantu buruh tidak tetap/employer assisted by temporary worker (40.436 orang), berusaha dibantu buruh tetap/employer assisted permanent worker (9.217 orang), buruh/karyawan (166.368 orang), pekerja bebas casual worker (65.366 orang), pekerja tak dibayar/unpaid worker (34.554 orang), dan lain sebagainya.

Para pekerja yang tidak mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian, baik sebagai pemilik, buruh, maupun pekerja bebas di Kabupaten Purwakarta, sebagian mengusahakan penganan simping untuk dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia. Para perajin simping di kabupatan ini berada di 11 dari 17 kecamatan, yaitu: Wanayasa (Desa Taringgul Tonggoh sejumlah 6 buah usaha, Desa Sakambang sejumlah 6 buah usaha, Desa Raharja sejumlah 3 buah usaha, Desa Babakan sejumlah 4 buah usaha, dan Desa Legok Huni sejumlah 4 buah usaha); Pondoksalam (Desa Situ sejumlah 1 buah usaha); Pasawahan (Desa Sawah Kulon sejumlah 5 usaha); Bojong (Desa Bojong Timur sejumlah 2 buah usaha, Desa Nagri Kaler sejumlah 1 buah usaha, dan Desa Cipaisan sejumlah 44 buah usaha); Purwakarta (Desa Sindang Kasih sejumlah 8 buah usaha), Desa Purwa Mekar sejumlah 1 buah usaha, dan Desa Munjul Jaya sejumlah 3 buah usaha); Cibatu (Desa Cibatu sejumlah 2 buah usaha dan Desa Wanawali sejumlah 2 buah usaha); Bungursari (Desa Bungursari sejumlah 2 buah usaha dan Desa Mekar Galih sejumlah 7 buah usaha); Jatiluhur (Desa Jatiluhur sejumlah 1 buah usaha dan Desa Cibinong sejumlah 2 buah usaha); Campaka (Desa Cirende sejumlah 2 buah usaha); Daragan (Desa Neglasari sejumlah 2 buah usaha dan Desa Karoya sejumlah 2 buah usaha); serta Kecamatan Tegal Waru (Desa Suka Mulya sejumlah 2 buah usaha dan Desa Sukahaji sejumlah 2 buah usaha simping).

Kursin

Kursin adalah sebutan nelayan di daerah Cirebon bagi sejenis jaring "bercincin" yang dalam bahasa aslinya bernama purse seine. Jaring purse sein pertama kali diperkenalkan di wilayah Pantai Utara Jawa oleh BPPL sekitar tahun 1970 di daerah Batang, Jawa Tengah dan kemudian di daerah Muncar sekitar tahun 1973. Oleh karena sangat potensial dalam meningkatkan hasil tangkapan, maka penggunaan jaring purse seine pun akhirnya meluas di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa (fiqrin.wordpress.com).

Sebagai sebuah jaring "bercincin" kursin dilengkapi dengan "tali cincin" atau "tali kerut" yang berfungsi untuk membentuk kantong ketika sedang dilakukan penarikan dari dasar laut. Selain tali kerut, sebuah kursin juga terbentuk dari beberapa bagian lain yang saling berkaitan, yaitu: tali pelampung berbahan PE diameter 10 mm dengan panjang 420 meter; tali ris atas berbahan PE diameter 6-8 mm, panjang 420 meter; tali ris bawah berbahan PE diameter 6-8 mm, panjang 450 meter; tali pemberat berbahan PE diameter 10 mm, panjang 450 meter; tali slambar berbahan PE diameter 27 mm, panjang bagian kanan 38 meter dan kiri 15 meter; pemberat dari timah hitam sebanyak 700 buah yang dipasang pada tali pemberat; cincin dari besi berdiameter 11,5 cm yang digantungkan setiap 3 meter pada tali pemberat; pelampung berbahan synthetic rubber; serampat berbahan PE dengan ukuran mata 1 inci sebagai penguat jaring; dan waring sebagai badan atau "daging" kursin dengan ukuran 1 inci untuk bagian sayap dan 3/4 inci di bagian pembentuk kantong.

Para nelayan umumnya tidak langsung menebarkan kursin untuk menangkap ikan, melainkan menggunakan alat bantu berupa lampu dan atau tendak (rumpon). Lampu berfungsi untuk mengumpulkan kawanan ikan yang tertarik akan cahaya (bila beroperasi malam hari). Adapun tendak berfungsi sebagai "rumah buatan" yang akan menarik kumpulan ikan untuk tinggal di dalamnya. Bentuk tendak menyerupai pohon dengan komponen berupa pelampung, tali panjang, pemberat, dan pemikat. Tendak umumnya dipasang pada kedalaman 30-75 meter dan dapat dipindahkan sebelum dilakukan penarikan kursin.

Cara mengoperasikan jaring kursin dimulai dengan menentukan letak tendak yang telah dipasang sebelumnya atau mencari daerah penebaran baru yang diperkirakan banyak terdapat kawanan ikan. Bila lokasi telah ditemukan, barulah lampu dinyalakan agar menarik perhatian ikan. Selanjutnya penurunan badan jaring, sayap, pelampung, pemberat bersama dengan tali temalinya sembari perahu berjalan melingkar membentuk huruf "o". Dengan cara demikian, ikan akan terkumpul di dalam lingkaran jaring yang bagian bawahnya mengerucut membentuk kantong. Jenis ikan yang diincar (target utama) adalah ikan-ikan permukaan, seperti: layang, bentang, kembung, lemuru, dan slengseng.

Asal Mula Ikan Pesut

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada sekelompok keluarga yang tinggal di daerah perbatasan Kotabangun dan Muara Muntai. Di antara mereka ada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang suami (bernama Ipung), istri, dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga Ipung bekerja sebagai nelayan dan juga berladang dengan menanam sayuran, padi, serta tanaman lahan kering lainnya.

Suatu hari Sang istri tidak pergi ke ladang. Hal ini oleh Ipung dianggap lumrah. Biasanya ketika Sang istri terlalu lelah bekerja akan menjadi tidak enak badan selama satu hingga tiga hari. Setelah itu dia akan sehat kembali seperti sedia kala. Menjelang pagi berangkat ke ladang dan sore harinya pulang sambil membawa sayur-mayur.

Namun kali ini berbeda. Sudah lebih dari tiga hari Sang istri hanya terbaring lemah di ranjang. Badannya mulai kurus karena tidak mau makan, muka pucat, lemah, dan diselingi dengan batuk-batuk. Ipung menjadi bingung. Pekerjaan di ladang terbengkalai sementara dia harus mengurus kedua anaknya sebelum berangkat mencari ikan.

Agar Sang istri lekas sembuh Ipung mendatangkan beberapa orang dukun guna mengobatinya. Tetapi bukannya sembuh, penyakit sang istri malah bertambah parah. Tubuhnya semakin hari semakin melemah dan akhirnya meninggal dunia. Hingga wafatnya, tidak ada seorang dukun pun mengetahui penyakit apa yang diderita oleh istri Ipung.

Semenjak ditinggal Sang istri Ipung terpaksa mengurusi kedua adaknya secara penuh. Selain itu,. dia tidak hanya bekerja mencari ikan tetapi juga mengerjakan ladang yang selama ini diusahakan oleh Sang istri. Begitu seterusnya hingga suatu hari desa mengadakan upacara adat erau sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.

Dalam upacara itu tidak hanya diisi oleh pemanjatan doa dan makan bersama, melainkan juga sebagai ajang berkenalan antara muda-mudi dalam bentuk menari dan menyanyi bersama. Ipung yang telah menduda tidak ketinggalan mengikutinya. Dia berpasangan dengan seorang pemudi cantik jelita.

Selesai menari bersama, Ipung berusaha mendekati si pemudi. Bak gayung bersambut, pendekatannya berhasil dengan baik. Si pemudi bersedia menjalin hubungan asmara. Selang beberapa bulan kemudian mereka menikah. Awalnya istri baru Ipung sangat rajin dan baik terhadap anak-anak tirinya. Tiap hari sebelum membantu Ipung di kenohan (danau) dan ladang dia selalu menyediakan makan bagi mereka.

Tetapi baru beberapa bulan menjadi istri Ipung watak aslinya mulai muncul. Dia kesal melihat anak-anak tirinya hanya diam di rumah saja. Sementara dia harus selalu menyiapkan makanan sebelum bekerja membantu Ipung. Oleh karena itu, jatah makan mereka dikurangi. Selain itu, mereka juga diharuskan mencari kayu bakar di hutan. Apabila jumlahnya kurang akan diberi hukuman.

Suatu hari hingga menjelang malam mereka hanya mendapatkan kayu bakar dalam jumlah yang sedikit. Takut bila mendapat hukuman dari Sang ibu tiri mereka memutuskan bermalam di hutan. Pagi harinya, sebelum mencari kayu bakar lagi mereka mencari pohon buah-buahan sebagai pengganjal perut.

Selagi mencari pepohonan yang buahnya dapat dimakan mereka bertemu dengan seorang lelaki tua. Sang lelaki tua heran mengapa ada anak kecil yang berani berada di dalam hutan belantara. Dia pun bertanya mengapa kedua anak itu berada di tempat yang jauh dari manusia. Apakah ayah dan ibu tidak mencari keberadaan mereka.

Ketika ditanya demikian, keduanya tidak mengatakan tujuan sebenarnya yaitu mencari kayu bakar. Mereka hanya mengatakan bahwa dari kemarin belum makan dan sedang mencari buah-buahan guna mengganjal perut. Namun, dari tadi tidak menemukannya karena hanya ada pohon-pohon besar dengan buah yang tidak dapat dimakan.

Merasa kasihan, Sang lelaki tua menyarankan agar pergi menuju arah utara. Di daerah itu banyak sekali pohon yang buahnya amat lebat. Tetapi mereka hanya boleh mengambilnya sekali saja dan langsung pergi dari sana. Sang lelaki tua tidak menjelaskan apa yang akan terjadi bila mereka mengambil buah sejumlah lebih dari dua kali. Padahal, apabila dilanggar maka keduanya tidak akan pernah bertemu dengan Ipung dan istri barunya.

Akibatnya, namanya juga anak kecil, ketika menuju arah utara dan menemukan pepohonan dengan buah yang sangat lebat mereka lupa akan pesan Sang lelaki tua. Keduanya makan begitu lahap sejumlah lebih dari satu buah. Bahkan, mereka juga memetik beberapa buah guna dijadikan sebagai bekal dalam perjalanan.

Selama perjalanan mencari kayu bakar, bila lapar mereka mengupas buah-buahan yang tadi dijadikan bekal. Begitu perbekalan habis barulah mereka memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah ternyata kedua orang tua tidak ada. Bahkan, seluruh peralatan di dalam rumah juga tidak ada. Tetangga yang kebetulan melihat adik-beradik itu sedang kebingungan lantas mendatangi dan mengatakan bahwa Ipunga dan istrinya telah pindah entah kemana.

Walau tidak tahu harus kemana mereka memutuskan mencari ayah dan ibu tirinya. Perjalanan yang ditempuh hampir mirip seperti ketika mencari kayu bakar. Berhari-hari berjalan namun tidak menemukan keberadaan Ipung dan istri barunya. Petunjuk baru ditemukan ketika berjumpa seorang kakek yang mengatakan bahwa di seberang sungai ada sebuah pondok yang baru didirikan oleh seseorang yang bernama Ipung. Sang kakek menambahkan, apabila hendak ke sana ada sebuah pohon roboh yang dapat digunakan sebagai “perahu” untuk menyeberang.

Singkat cerita, saran Sang kakek diindahkan sehingga dapat menyeberangi sungai dengan selamat. Sampai di seberang mereka langsung menuju pondok baru milik Ipung dan istrinya. Dan, sama seperti di pondok lama, Ipung dan istrinya tidak ada di rumah. Bedanya, di pondok yang baru tercium bau nasi pulut sedang ditanak.

Bau nasi pulut yang harum tentu membuat mereka menjadi sangat lapar karena telah berhari-hari lamanya hanya memakan bebuahan yang dijumpai di hutan. Oleh karena itu, tanpa menunggu si empunya rumah mereka langsung masuk pondok menuju dapur. Di dapur keduanya bergantian memakan nasi pulut yang masih sangat panas hingga tinggal keraknya saja.

Akibat lancang memakan pulut tanpa seizin pemiliknya, tubuh keduanya menjadi panas. Saking panasnya mereka berlari menuju sungai lalu menenggelamkan diri agar menjadi dingin. Apabila napas habis adik-beradik itu menyembulkan kelapa lalu menyelam lagi. Begitu seterusnya hingga secara ajaib, entah akibat apa, tubuh mereka secara perlahan berubah menjadi ikan yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai pesut.

Diceritakan kembali oleh gufron

Jalung dan Bungan Sigau Belawan

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada sebuah desa yang dipimpin oleh seorang bernama Jalung Sigau Belawan. Dia hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Bungan Sigau Belawan. Parasnya sangat cantik jelita sehingga banyak laki-laki yang melihat akan langsung terpana. Mereka berusaha memilikinya walau dengan cara yang tidak semestinya.

Hal ini terjadi ketika Jalung sedang tidak berada di rumah. Bungan yang ditinggal seorang diri diculik oleh dua orang pemuda tanpa ada seorang pun warga desa yang mengetahuinya. Dia dibawa ke sebuah pondok di tengah hutan lalu diperkosa oleh salah seorang di antaranya. Usai melampiaskan hasrat bejatnya mereka meninggalkan Bungan begitu saja di dalam pondok.

Begitu pulang ke rumah, Jalung segera menginterogasinya. Dan, setelah Bungan menceritakan secara detial apa yang dialami, Jalung marah bukan kepalang. Dia segera mencari kedua pemuda itu guna membalas dendam. Namun sayang, tidak ada yang mengenalnya. Bahkan, Bungan sendiri juga tidak mengenal pemuda yang telah memperkosanya.

Jalung yang tidak mau namanya tercoreng kemudian membuat sebuah keputusan berat bagi adik semata wayangnya itu. Di depan orang banyak, walau dengan berat hati, dia mengusir Bungan Sigau Belawan keluar dari desa. Adapun alasannya adalah agar kesucian desa tetap terjaga. Apabila Bungan tetap berada di desa, dikhawatirkan akan terjadi malapetaka bagi warga.

Setelah diusir, Bungan pergi menuju hutan belantara. Dia berjalan tak tentu arah hingga menjelang malam. Oleh karena hari sudah mulai gelap dan tidak dapat melihat jelas dia memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon tua nan rindang. Tidak lama berselang Bungan tertidur hingga matahari terbit di ufuk timur.

Ketika bangun, dia dikejutkan oleh seorang tua berambut putih dan berjengot tebal yang berdiri di hadapannya. Sang kakek menanyakan apa yang sedang dilakukan Bungan di hutan belantara ini. Mengapa dia hanya seorang diri tanpa ada orang lain yang menemani. Apakah dia tidak tahu kalau hutan ditinggali banyak binatang buas.

Rentetan pertanyaan kakek yang tampak baik hati membuat keterkejutan serta ketakutan Bungan menjadi sirna. Dia kemudian menceritakan bagaimana kisahnya hingga sampai berada di dalam hutan seorang diri. Dia tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa karena selama hidup tidak pernah berada dalam situasi semacam ini.

Mendengar penjelasan Bungan, Sang kakek terdiam sejenak. Tidak lama setelahnya, entah dari mana, dia memberikan seekor siput pada Bungan Sigau Belawan. Dia mengatakan bahwa siput itu harus dijaga baik-baik karena akan menolong Bungan. Selain siput, dia juga mengatakan bahwa Bungan akan selalu dilindungi oleh Dewa Bungan Malam.

Setelah menerima siput Bungan meminta izin pada Sang Kakek meneruskan perjalanan mencari tempat yang sesuai guna melanjutkan hidupnya. Dia berjalan menuju arah barat menempuh bukit dan lembah hingga tiba di sebuah padang rumput yang sangat luas. Namun, ketika hendak beristirahat di salah satu pohon rindang yang berada di sana tiba-tiba datang seekor ular sanca hendak membelitnya.

Merasa tidak dapat melarikan diri karena tubuhnya terlalu letih, Bungan diam saja. Dia hanya mengeluarkan siput pemberian Sang Kakek sebagai usaha terakhir menghalau sang ular. Ajaibnya, setelah siput di keluarkan sejurus setelahnya ada seekor burung enggang terbang rendah mengitari Bungan.

Sambil terbang, burung enggang mengatakan bahwa dia diutus oleh Dewa Bungan Malam guna menolong Bungan. Dia lalu meminta Bungan agar naik dan duduk di atas batu besar yang ada di hadapannya. Setelah Bungan duduk tiba-tiba saja batu itu bergerak meninggi sehingga sang ular tidak dapat menggapainya dan berlalu dari hadapan Bungan.

Setelah ular berlalu batu besar yang diduduki Bungan secara perlahan kembali seperti semula. Bungan berterima kasih pada burung enggang karena telah menolongnya dari ancaman lilitan ular. Dia lalu meminta izin melanjutkan perjalanan dengan tujuan yang tidak ditentukan. Hanya mengikuti kemana kaki melangkah.

Beberapa hari kemudian, Bungan tiba di sebuah anak sungai yang berair sangat jernih sehingga batu-batu yang berada di dasarnya dapat terlihat jelas. Dia mengikuti aliran sungai itu ke arah hilir hingga menjumpai sebuah pondok kecil yang sudah agak rusak. Pemiliknya adalah seorang laki-laki tua.

Sang lelaki tua yang melihat Bungan teramat letih mempersilahkannya masuk ke pondok. Setelah terlihat agak pulih barulah lelaki tua itu bertanya mengapa Bungan sampai di daerah terpencil ini dan mengapa dia hanya seorang diri. Apakah dia sedang melarikan diri karena terlibat suatu masalah.

Pertanyaan Sang lelaki tua dijawab sama seperti dia menjawab Sang kakek berjenggot pemberi siput. Dia memulai ceritanya mulai dari dibawa oleh dua orang pemuda tidak dikenal, diperkosa, dan akhirnya diusir oleh kakaknya sendiri karena dianggap suatu aib dan dapat mengakibatkan malapetaka bagi warga desa.

Penjelasan tadi membuat Sang lelaki tua trenyuh. Dia mempersilahkan Bungan untuk tinggal di rumahnya. Tetapi dia tidak menjanjikan sesuatu yang mewah selama Bungan tinggal di rumahnya. Sebab, dia sendiri serba kekurangan. Untuk makan pun dia hanya bergantung pada kemurahan alam di sekitarnya.

Bungan menerimanya dengan senang hati. Pikirnya, daripada hidup tak tentu arah, lebih baik tinggal bersama Sang lelaki tua yang terlihat baik hati. Untuk makan sehari-hari dia dapat membantu mencarinya di sekitar hutan. Selain itu, sungai yang tadi disusurinya juga terlihat memiliki banyak sekali ikan guna memenuhi kebutuhan protein mereka.

Tidak lama Bungan tinggal di pondok itu perutnya menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Beberapa bulan setelahnya dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Dia diberi nama Lencan Mepan Uyan Turan yang berarti tidak memiliki ayah. Selama tinggal di pondok, hanya Sang lelaki tua yang mengetahui keberadaan Bungan dan anaknya. Berkat siput ajaib yang dimiliki, mereka dapat menghilang bila ada orang yang datang ke pondok. Begitu seterusnya hingga Sang bayi tumbuh menjadi anak yang ceria, lincah dan mandiri.

Suatu hari dia pamit pada Sang ibu untuk mandi di sungai. Penasaran dengan apa yang akan diperbuat Sang Anak, Bungan mengikutinya ke sungai. Sampai di sungai dia melihat dua orang pemuda yang sedang menjala ikan mendekati Lencan. Namun, ketika mereka akan mengajaknya bicara Lencan bergegas lari menuju pondok.

Melihat Lencan lari menuju pondok mereka lalu mengikutinya. Mereka heran bagaimana mungkin Sang lelaki tua memiliki cucu. Padahal, selama bertahun-tahun dia hidup seorang diri. Tidak ada sanak kerabatnya yang tinggal di sekitar pondok. Apabila ada seorang anak di dalam pondok pastilah ada ibunya.

Saat bertemu Sang lelaki tua mereka langsung menanyakan keberadaan Lencan. Sang lelaki tua tentu saja menjawab bahwa tidak ada orang di dalam pondok kecuali dirinya. Bila tidak percaya, dia mempersilahkan kedua pemuda pencari ikan untuk mencarinya di dalam pondok. Dia tahu kalau Lencan dan ibunya telah menghilang berkat bantuan siput ajaib.

Penjelasan lelaki tua itu tidak begitu saja mereka terima. Tetapi untuk menghormatinya, mereka hanya mengangguk-angguk kemudian pamit. Malam harinya, dengan mengendap-endap mereka mendatangi lagi pondok guna menyelidiki dan membuktikan keberadaan Lencan. Menjelang subuh barulah ada tanda-tanda pergerakan orang di dalam pondok. Dari celah-celah dinding anyaman bambu mereka melihat Bungan dan Lencan sedang berada di dapur. Bungan menanak nasi sedangkan Lencan duduk di samping menemani.

Tanpa basa-basi kedua pemuda tadi langsung membuka pintu dapur yang tidak pernah dikunci. Mereka langsung menginterogasi anak-beranak itu. Disaksikan oleh Sang lelaki tua yang juga terbangun mendengar suara berisik dari arah dapur, Bungan kemudian menceritakan semua hal yang dialaminya.

Terkejut akan pengakuan Bungan, salah seorang dari mereka lalu mengakui bahwa dialah orang yang telah memperkosanya. Pemuda itu kemudian bersujud memohon maaf atas perbuatannya. Bila Bungan memaafkan dia bersedia bertanggung jawab menjadi suami sekaligus ayah Lencan.

Bungan rupanya mau memaafkan Sang pemuda. Tetapi permintaan maaf juga harus ditujukan pada Jalung Sigau Belawan agar kedudukannya pulih dan ketenteraman desa kembali seperti semula. Apabila Sang pemuda benar-benar tulus, maka dia akan berani datang dan menemui Jalung Sigau Belawan.

Sang lelaki tua yang dari tadi diam saja mulai angkat bicara. Dia bersedia menjadi mediator antara Sang pemuda dengan Jalung Sigau Belawan. Apabila Sang pemuda sendiri yang datang dikhawatirkan akan terjadi perkelahian sebab dialah yang menjadi penyebab diusirnya Bungan Sigau Belawan dan merendahkan martabat Jalung Sigau Belawan.

Singkat cerita, Bungan dan Sang pemuda setuju dimediasi oleh Sang lelaki tua. Keesokan harinya mereka berangkat menemui Jalung Sigau Belawan. Ketika bertemu rupanya kemarahan Jalung sudah reda tergantikan oleh rasa rindu yang teramat sangat pada Bungan. Oleh sebab itu, ketika dimediasi oleh Sang lelaki tua dia menerima permintaan maaf Sang pemuda dengan ikhlas. Selanjutnya, pernikahan pun dilangsungkan dengan sangat meriah. Bungan, Sang pemuda, dan Lencan Mepan Uyan Turan hidup bahagia bersama sanak kerabatnya.

Diceritakan kembali oleh gufron

Arad

Arad atau mini trawl adalah jaring berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan. Menurut Khaerudin (2006), konstruksi jaring arad terdiri atas: sayap, mulut, badan, kantong, pembuka mulut, tali temali (bridle line, warp, tali kantong, tali segitiga, tali penarik), pelampung, pemberat, danleno, palang, dan papan otter (bersifat opsional). Rinciannya sebagai berikut: sayap, merupakan perpanjangan badan jaring ke pembuka mulut yang terdiri atas sayap kanan dan sayap kiri. Keduanya membentuk mulut jaring yang berfungsi sebagai pengarah tangkapan masuk ke dalam jaring. Mulut bagian atas diikat dengan tali ris atas sebagai tempat pelampung, sedangkan mulut bawah diikat tali ris bawah untuk diberi pemberat; badan terbuat dari waring, berfungsi untuk mengurung ikan yang telah digiring oleh sayap; kantong berbahan PE, berada pada bagian paling belakang yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung hasil tangkapan; danleno, digunakan agar kedudukan sayap selalu tegak sehingga udang dan ikan yang berada di antara sayap dapat tergiring ke dalam jaring; pembuka mulut dari kayu atau besi, berfungsi untuk membuka mulut jaring secara horisontal sewaktu dioperasikan; palang, berfungsi sebagai perentang sayap agar selalu terbuka; dan tali segitiga, berfungsi sebagai penahan kedudukan palang agar tetap terentang mendatar.

Pengoperasian arad dimulai dengan menentukan daerah penebaran berkisar 1-2 jam perjalanan dari muara. Ketika lokasi telah ditentukan, barulah dilakukan penurunan kantong, badan, sayap, danleno, dan palang. Untuk jaring yang menggunakan papan otter, setelah seluruhnya berada di permukaan air, jaring tersebut ditarik perlahan agar kedudukan kedua sayap sejajar. Selanjutnya papan diturunkan dan dibiarkan mengapung sampai jaring terentang sempurna. Kemudian, ujung tali penarik diikat pada bagian depan perahu dan ujung satunya lagi disejajarkan dengan buritan hingga posisi jaring berada di belakang perahu.

Setelah target tangkapan mulai terperangkap, perahu bergerak perlahan menarik jaring. Usai penarikan mesin perahu dimantikan dan dilanjutkan dengan pengangkatan tali selembar, danleno, papan pembuka mulut, bridle line, sayap, waring, dan kantong menggunakan mesin gandar. Terakhir, hasil tangkapan dikeluarkan dari kantong dengan membuka simpul tali kantong.

Hasil tangkapan utama jaring arad adalah udang jenis dogol, jerbung, ronggeng, krosok, dan windu. Sedangkan hasil tangkapan samping mayoritas didominasi oleh ikan dermesal (ikan dasar), seperti pepetek, bilis, bawal putih, gulamah, kuro, kuniran, lemadang, kerong-kerong, buntal, remang, beloso, belanak, kerang darah, kakap putih, tigawaja, pari, bawal hitam, cumi-cumi, manyung, rajungan, sotong, dan lain sebagainya. Hasil tangkapan sampingan tersebut ada yang dimanfaatkan sebagai tambahan penghasilan dan ada pula yang dibuang lagi ke laut karena tidak bernilai ekonomis.

Sebuah Foto di Kanekes

Oleh: Ali Gufron

Bila melihat foto di atas, benak sebagian dari kita mungkin akan menganggapnya sebagai hal wajar. Seorang anak laki-laki berusia 3 atau 4 tahun sedang tiduran di balai sebuah rumah panggung. Jari-jemari anak itu sibuk memencet tombol-tombol pada telepon genggam milik orang tuanya. Dia memanfaatkan aplikasi permainan telepon genggam untuk bermain. Padahal sejatinya belum dapat membaca, hanya menggunakan simbol-simbol dalam permainan tersebut sebagai pedomannya. Namun, akan berbeda ceritanya jika foto tersebut diambil di sebuah kampung adat yang notabene masih mempertahankan budaya karuhun yang menganggap tabu bila bersinggungan dengan “benda-benda asing” dari dunia luar. Foto di atas diambil di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada pertengahan bulan Maret 2016. Warga masyarakat di desa ini menyebut diri mereka sebagai orang Kanekes, namun masyarakat umum sering menyebutnya sebagai orang Baduy.

Sebutan "Baduy" ada yang menyamakan dengan suku bangsa Badawi di Jazirah Arab dan ada pula yang berpendapat berkaitan dengan wilayah yang mereka diami, yaitu di sekitar Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara. Selain penamaan, asal usul orang Baduy pun memiliki banyak versi. Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak (2004), menyatakan bahwa bila merujuk pada naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, orang Baduy berasal dari pendeta (wiku) yang mengamalkan Jatisunda. Sisa dari Kabuyutan Jatisunda Sasaka Domas yang berada di wilayah Baduy dalam dan menjadi pusat "dunia"-nya orang Baduy. Sementara bila merujuk pada ungkapan tradisional orang Baduy "Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguh nu di teang, mending keneh lara jeung wirang tibatan kudu ngayonan perang jeung paduluran atawa jeung baraya nu masih keneh sawarga tua", maka orang Baduy diperkirakan berasal dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke Gunung Kendeng akibat diserang oleh kerajaan Islam dari Banten dan Cirebon.

Pendapat tentang orang Baduy yang merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran juga dikemukakan oleh Adimihardja (2000) yang menyatakan bahwa demi mengamankan urat nadi bagi pengangkutan hasil bumi, Pangeran Pucuk Ulum menempatkan sejumlah pasukan di Sungai Ciujung yang nantinya menjadi cikal bakal orang Baduy. Pendapat ini sebelumnya pernah disangkal oleh Garna (1993) dengan menyatakan bahwa ada seorang dokter berkebangsaan Belanda bernama van Tricht pernah melalukan riset kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada tahun 1928. Dalam risetnya van Tricht menyimpulkan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar.

Jauh sebelum Garna, ada pula Danasasmita dan Djatisunda (1986) yang menyatakan hal serupa. Menurut keduanya, apabila berbicara mengenai asal usul masyarakat Kanekes hendaklah bertitik tolak dari kedudukan mereka dalam konteks masyarakat Sunda lama. Masyarakat Kanekes mempunyai tugas khusus dalam hubungan dengan masyarakat Sunda secara keseluruhan. Mereka berkedudukan sebagai mandala yang mengemban tugas melakukan tapa di mandala. Adapun masyarakat Sunda lainnya - di luar mandala - berkedudukan sebagai nagara dan mengemban tugas melakukan tapa di nagara. Mandala adalah satu konsep dalam kerajaan Sunda lama yang berarti tempat suci sebagai pusat keagamaan. Orang-orang yang berada di dalamnya terdiri atas pendeta, murid-murid atau bahkan pengikut yang membaktikan diri bagi kepentingan kehidupan agama.

Pendapat Garna, Danasasmita, dan Djatisunda juga diamini oleh Ekajati (1995) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengakuan masyarakat Kanekes sendiri, sejak semula leluhur mereka hidup di daerah yang mereka diami sekarang, yaitu Desa Kanekes. Leluhur mereka bukan berasal dari mana-mana dan bukan pula sebagai pelarian. Bila dihubungkan dengan asal usul mereka dengan kaum pelarian dari Pakuan Pajajaran, bahkan mereka bersikukuh bahwa sejak zaman Nabi Adam AS pun leluhur mereka telah bermukim di daerah Kanekes.

Lepas dari berbagai versi mengenai asal usul tersebut, yang jelas orang Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun. Mereka membagi diri atas tiga kelompok, yaitu Tangtu Tilu, Panamping, dan Dangka (Moeis, 2010). TangtuTilu adalah kelompok paling ketat mengikuti adat. Mereka disebut sebagai Baduy dalam dan tinggal di tiga kampung di Desa Kanekes, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kelompok Panamping adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy dalam, seperti Cikadu, Kadukolot, dan Cisagu. Adapun Dangka adalah orang-orang Baduy yang tinggal di dua kampung di luar wilayah Kanekes, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Kampung Sirahdayeuh (Cihandam). Dengan kata lain, Dangka adalah areal yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Kanekes namun penduduknya masih memiliki keterikatan kekerabatan dan kosmik dengan warga serta tata aturan dan sistem yang berlaku di Tatar Kanekes (Pasal 1 ayat 9 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007).

Menurut Fathurokhman (2010), pembedaan kelompok tersebut didasarkan pada ketaatan dalam menjalankan aturan-aturan dan norma adat. Kelompok Baduy dalam sangat memegang teguh aturan-aturan adat yang telah ditetapkan oleh para karuhun, sementara kelompok Baduy luar lebih longgar dalam menjalankannya. Pembedaan juga disebabkan karena warga Baduy dalam memiliki kewajiban bertapa dalam pengertian meneguhkan atau melestarikan adat Baduy dan agama Sunda Wiwitan. Sementara itu, warga Baduy luar bertugas sebagai panamping untuk menjaga masyarakat Baduy dalam yang sedang bertapa, sehingga turut juga membantu meneguhkan adat.

Adapun aturan-aturan adat yang ada dalam masyarakat Baduy di antaranya adalah: (1) dilarang membuat kolam, membendung aliran air sungai atau membuat sumur dengan sanksi adat berupa denda atau diasingkan hingga keadaan kembali seperti semula; (2) dilarang menggunakan bahan kimia sebagai pupuk dengan sanksi berupa penyitaan; (3) dilarang memelihara hewan berkaki empat dengan sanksi adat berupa penyitaan atau penghancuran; (4) dilarang berburu dengan senapan dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; dilarang menggunakan peralatan pertanian modern (cangkul, traktor) dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; (5) dilarang menggunakan gergaji besi untuk menebang pohon dengan sanksi adat berupa penyitaan dan penghancuran; (6) dilarang menggunakan minyak bumi (minyak tanah, bensin, solar) dengan sanksi adat berupa penyitaan; (7) dilarang memasuki kawasan Sasaka Domas dengan sanksi adat berupa denda dan atau pengasingan; (8) dilarang merusak kawasan leuweung kolot atau leuweung larangan; (9) dilarang meracun ikan; (10) dilarang mandi menggunakan sabun dan pasta gigi; (11) dilarang menggunakan alas kaki; (12) kaum perempuan dilarang menggunakan perhiasan emas; (13) dilarang bersekolah; (14) dilarang menggunakan kendaraan bila bepergian; dilarang menggunakan peralatan elektronik; (15) dilarang membuka warung atau berdagang; (16) dilarang menggunakan perabot rumah tangga mewah; dan (17) dilarang berpoligami.

Segala aturan yang cenderung menolak perubahan tadi menurut Moeis (2010) terkait dengan konsep ruang yang merupakan fenomena penting dalam kepercayaan dan falsafah hidup mereka. Hal ini terwujud dalam dimensi makro dan mikro kosmos mereka yang membagi dunia menjadi tiga bagian. Bagian atas disebut sebagai Buana Nyungcung yang merupakan tempat persemayaman Sang Hiyang Keresa. Bagian tengah disebut Buana Panca Tengah, tempat berdiamnya mahluk hidup. Sedangkan bagian bawah disebut sebagai Buana Larang atau neraka.

Kembali ke masalah foto di atas, apabila dikaitkan dengan aturan adat yang tidak menghendaki adanya perubahan, tentu akan mengungkap sebuah makna baru di dalamnya. Istilah hegemoni mungkin dapat menggambarkan kondisi ini. Menurut Gramsci yang dikutip Barker (2009), hegemoni adalah proses penciptaan, peneguhan, dan reproduksi makna dalam sebuah ideologi. Ideologi sendiri dianggap sebagai sebuah ide, makna, dan praktik yang pada hakikatnya merupakan peta makna penopang kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Sebagai sebuah kesatuan sosial, orang Baduy memiliki ideologinya sendiri yang berasal dari sistem kepercayaan mereka. Pranata keagamaan inilah yang menjadi “perangkat kerja ke dua” guna mengekalkan aturan-aturan adat dari “perangkat kerja pertama”, yaitu kelas penguasa atau para puun (Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana) yang memiliki tugas sebagai pengambil keputusan, menetapkan hukum adat sekaligus menjaga titipan karuhun. Walaupun berbeda fungsi, kadang keduanya menjalankan pengaruhnya secara bersamaan. Para puun sebagai sebuah pranata tidak hanya menerapkan ideologi dalam cara kerjanya, tetapi juga kadang menggunakan pendekatan represif bagi orang-orang yang melanggar. Jaro Tangtu merupakan orang yang diberi mandat khusus oleh para puun dalam melaksanakan sosialisasi, penataan keamanan dan ketertiban, hingga penerapan hukum. Namun, apabila melihat foto tadi, ada salah satu aturan yang mulai mengendur, yaitu pelarangan penggunaan peralatan elektronik dengan sanksi berupa penyitaan. Hal ini mengindikasikan ada sebuah hegemoni baru datang dari kelas penguasa lain di luar Baduy. Sebuah hegemoni yang mampu “membujuk” orang Baduy agar mau melanggar aturan adatnya tanpa adanya suatu paksaan.

Hegemoni yang berasal dari kaum kapitalis dengan menggunakan pendekatan konsensus dapat menciptakan tindakan dan mempengaruhi perubahan sosial masyarakat Baduy secara halus dan tanpa disadari. Melalui idelogi kultural yang diterapkan, perlahan mereka menggiring dan mempengaruhi pola pikir orang Baduy untuk lepas dari kungkungan tradisi yang telah turun-temurun mereka anut. Ideologi yang mereka bawa menjalankan fungsinya pada wilayah privat dengan melakukan manipulasi terhadap kesadaran masyarakat serta berada di luar lingkup kekuasaan pemerintahan adat Baduy.

Pembangunan Base Transceiver Station (BTS) penyedia jasa layanan seluler dan pengaruh wisatawan (sengaja atau tidak), pengguna gawai merupakan alat penggeraknya. Daya tarik budaya populer berupa gawai (telepon seluler) beserta segala aplikasinya begitu “menggoda” bagi orang-orang yang baru bersentuhan dengannya. Supremasi dari kelompok kapitalis rupanya dapat mengendurkan hegemoni dari kelompok penguasa Baduy. Kontrol sosial yang dilakukan penguasa Baduy tidak dapat berbuat banyak menghadapi kelompok sosial lain di luar wilayahnya.

Hasilnya, walau perangkat pemerintahan adat telah menggunakan pendekatan represif dengan secara berkala melakukan razia ke tiap rumah dan menyita barang-barang elektronik bagi yang kedapatan menyimpan, tetapi sifatnya hanya sementara. Penduduk yang umumnya telah mengetahui jadwal razia akan terlebih dahulu menyelamatkan barang-barang mereka ke tempat aman, yaitu ke sanak kerabat di luar kawasan Kanekes. Selesai razia, mereka akan mengambilnya kembali dan tetap tidak mengindahkan aturan adat yang telah berlaku secara turun-temurun.

Kondisi ketidakmampuan elit Baduy mempertahankan kontrol sosial politik pada gilirannya akan menimbulkan beberapa pertanyaan. Akankah perangkat kekuasaan adat mampu membendung masuknya ideologi baru dari kaum kapitalis yang ingin merentangkan sayapnya ke segala penjuru? Mampukah mereka mempertahankan aturan adat yang telah mengakar dalam mengatasi nalar awam orang Baduy yang tidak lagi rigid atau kaku melainkan terus-menerus mentransformasi diri, memperkaya diri dengan gagasan-gagasan dan opini filosofis dalam kehidupan keseharian? Akankah kontrol sosial elit politik Baduy melalui kekuatan fisik dan ideologi dapat membuat foto di atas hilang dari pandangan kita ketika berkunjung ke Baduy? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Diterbitkan dalam Majalah Maneka Vol 2 No 1 November 2020
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive