Sate Loso Khas Pemalang

Sate adalah makanan terbuat potongan daging yang ditusukkan dengan bambu atau kayu kecil kemudian dibakar. Agar lebih enak, sebelum disajikan sate juga dibumbui olahan kacang atau kecap.

Sate sebagai kuliner hampir ada di seluruh Indonesia. Bahannya dapat berupa ayam, kambing, sate, hingga kerbau. Nama dan cara pengolahannya pun bermacam-macam, bergantung dari daerah mana sate itu berasal.

Di Pemalang, misalnya, ada sate yang dinamakan Loso. Konon, kuliner berbahan daging kerbau atau sapi muda ini diciptakan oleh Pak Loso, empu sate dari daerah Weleri, Kendal, yang bermukim di Pemalang. Dan, dari resep peninggalan Pak Loso yang diwariskan secara turun temurun inilah sate loso kemudian berkembang dengan berbagai varian yang dijual di hampir setiap sudut Kota Pemalang.

Sate resep Pak Loso bertekstur empuk karena sebelum dibakar akan melalui proses pembaceman terlebih dahulu. Adapun bumbu-bumbu yang diperlukan, di antaranya: bawang merah (dihaluskan), bawang putih (dihaluskan), ketumbar (dihaluskan), serai (digeprek), lengkuas (digeprek), santan, gula merah, garam, dan saus kacang.

Bumbu-bumbu tadi dibacem dengan cara direbus hingga mendidih lalu dicampur dengan potongan daging sapi atau kerbau. Setelah meresap, potongan daging ditusuk dengan bambu atau kayu kecil dan dibakar di atas bara api hingga matang. Dan terakhir, sebelum disajikan ditambah dengan bumbu kacang.

Foto: https://www.inibaru.id/kulinary/mengenal-kuliner-khas-pemalang-sate-loso

Topeng Dalang Madura

Topeng dalang sangat populer di kalangan orang Madura. Topeng dalang sudah ada pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya sekitar abad ke-15. Konon, Prabu inilah yang pertama kali menubuhkan topeng di daerah Madura. Mengingat bahwa hubungan Madura dengan kerajaan yang di Jawa (Majapahit dan Singosari) sangat erat, maka tidak dapat dipungkiri bahwa topeng dalang madura mendapat pengaruh dari topeng yang ada di kedua kerajaan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya topeng dalang madura menempuh jalan sendiri. Lebih-lebih, ketika agama Islam mulai masuk ke tanah Madura. Dalam hal ini cerita-cerita yang dipentaskan banyak menyelipkan ajaran-ajaran yang berlandaskan agama Islam.

Perkawinan antara seorang keluarga Mataram dan seorang keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono (1830-1850) dengan salah satu puteri raja Madura (Bangkalan) semakin mengangkat topeng dalang madura. Malahan, Paku Buwono VII memberi hadiah berupa seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai runtuh di bumi Madura, topeng madura kembali menjadi kesenian rakyat hingga tahun 1950-an. Hal itu tercermin dari banyaknya group kesenian topeng dan pengrajin topeng di berbagai pelosok Madura. Memasuki tahun 1960-an topeng Madura mengalami kesurutan. Hal itu disebabkan para tokohnya banyak yang meninggal, sementara generasi muda belum menguasainya. Pada tahun 1970-an topeng madura kembali bangkit atas jasa dalang tua yang bernama Sabidin dari Sumenep, sehingga di daerah Sumenep banyak dijumpai kesenian ini. Di Desa Slopeng, Kalianget, Marengan, dan Pinggir Papas misalnya, banyak seniman tradisional yang masih menekuninya. Salah satu kelompok topeng dalang yang sangat tua adalah yang ada di Desa Slopeng Dasuk dengan nama “Rukun Perawas”.

Warna dalam topeng dalang erat kaitannya wataknya. Warna merah mencermin pemberani; warna kuning mencermin keluruhan budi; warna hitam mencerminkan kebijaksanaan; warna hijau mencerminkan kelembutan; dan warna kuning emas mencerminkan keagungan. Sementara, gerakan tari dalam topeng dalang meliputi gerak: halus, sedang, dan kasar. Dalam suatu pementasan, kesenian ini diawali dengan gending pembuka. Kemudian, disusul dengan tari gambuh tameng, sebuah tari yang menggambarkan keperkasaan. Tarian ini mencerminkan sebuah ungkapan “Etembang pote mata lebbi bagus pote tolang” yang artinya dari pada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah. Selanjutnya, disusul dengan tari branyak rampak prapatan, yaitu tari yang menggambarkan kegesitan dan kelincahan empat satria. Lalu, disusul dengan tari klono tunjung seto, yaitu tari yang menggambarkan seorang satria utusan dewa dari Swargaloka yang diutus turun ke mayapada untuk memberi suri tauladan kepada para remaja. Sebagai puncaknya, tiba-tiba datang sumber penyakit (Raja Setan). Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan mudah.

Kabupaten Tasikmalaya

Letak dan Keadaan Alam
Kabupaten Tasikmalaya merupakan satu dari delapan belas kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis kabupaten ini sebelah utara berbatasan dengan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis; sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Garut; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis (jabarprov.go.id). Wilayahnya tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit. Sedangkan luasnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Tasikmalaya adalah 270.882 km² dengan titik koordinat 7°02’29” – 7°419’08” Lintang Selatan dan 107°54’10” – 108°26’42” Bujur Timur.

Kabupaten Tasikmalaya terdiri atas 39 kecamatan yang mencakup 351 desa. Ke-39 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Cipatujah beribukota di Cipatujah terdiri atas 15 desa seluas 246,67 km² (9,12%); (2) Kecamatan Karangnunggal beribukota di Karangnunggal terdiri atas 14 desa seluas 136,33 km² (5,04%); (3) Kecamatan Cikalong beribukota di Cikalong terdiri atas 13 desa seluas 139,66 km² (5,16%); (4) Kecamatan Pancatengah beribukota di Cibongas terdiri atas 11 desa seluas 201,85 km² (7,46%); (5) Kecamatan Cikatomas beribukota di Pakemitan terdiri atas 9 desa seluas 132,68 km² (4,90%); (6) Kecamatan Cibalong beribukota di Cibolang terdiri atas 6 desa seluas 58,58 km² (2,16%); (7) Kecamatan Parungponteng beribukota di Parungponteng terdiri atas 8 desa seluas 47,27 km² (1,75%); (8) Kecamatan Bantarkalong beribukota di Hegarwangi terdiri atas 8 desa seluas 59,83 km² (2,21%); (9) Kecamatan Bojongasih beribukota di Bojongasih terdiri atas 6 desa seluas 38,58 km² (1,43%); (10) Kecamatan Culamega beribukota di Cintabodas terdiri atas 5 desa seluas 68,32 km² (2,52%); (11) Kecamatan Bojonggambir beribukota di Mangkonjaya terdiri atas 10 desa seluas 169,29 km² (6,26%); (12) Kecamatan Sodonghilir beribukota di Sodonghilir terdiri atas 12 desa seluas 93,11 km² (3,44%); (13) Kecamatan Taraju beribukota di Taraju terdiri atas 9 desa seluas 55,85 km² (2,06%); (14) Kecamatan Salawu beribukota di Salawu terdiri atas 12 desa seluas 50,50 km² (1,87%); (15) Kecamatan Puspahiang beribukota di Puspahiang terdiri atas 8 desa seluas 34,90 km² (1,29%); (16) Kecamatan Tanjungjaya beribukota di Tanjungjaya terdiri atas 7 desa seluas 43,08 km² (1,362,%); (17) Kecamatan Sukaraja beribukota di Sukapura terdiri atas 8 desa seluas 43,08 km² (1,59%); (18) Kecamatan Salopa beribukota di Mandalahayu terdiri atas 9 desa seluas 121,76 km² (4,50%); (19) Kecamatan Jatiwaras beribukota di Jatiwaras terdiri atas 11 desa seluas 73,37 km² (2,71%), (20) Kecamatan Cineam beribukota di Cineam terdiri atas 10 desa seluas 24,61 km² (2,91%); (21) Kecamatan Karangjaya beribukota di Karangjaya terdiri atas 3 desa seluas 47,90 km² (1,77%); (22) Kecamatan Manonjaya beribukota di Manonjaya terdiri atas 12 desa seluas 39,41 km² (1,46%); (23) Kecamatan Gunungtanjung beribukota di Gunungtanjung terdiri atas 7 desa seluas 33,61 km² (1,24%); (24) Kecamatan Singaparna beribukota di Singasari terdiri atas 10 desa seluas 24,82 km² (0,92%); (25) Kecamatan Mangunreja beribukota di Mangunreja terdiri atas 6 desa seluas 29,64 km² (1,1%); (26) Kecamatan Sukarame beribukota di Sukarame terdiri atas 6 desa seluas 19,92 km² (0,74%); (27) Kecamatan Cigalontang beribukota di Jayapura terdiri atas 16 desa seluas 119,75 km² (4,43%); (28) Kecamatan Leuwisari beribukota di Arjasari terdiri atas 7 desa seluas 53,26 km² (1,97%); (29) Kecamatan Sariwangi beribukota di Jayaratu terdiri atas 8 desa seluas 49,66 km² (1,84%); (30) Kecamatan Padakembang beribukota di Cisaruni terdiri atas 5 desa seluas 37,71 km² (1,39%); (31) Kecamatan Sukaratu beribukota di Sukaratu terdiri atas 8 desa seluas 57,13 km² (2,11%); (32) Kecamatan Cisayong beribukota di Cisayong terdiri atas 13 desa seluas 59,40 km² (2,20%); (33) Kecamatan Sukahening beribukota di Calincing terdiri atas 7 desa seluas 28,42 km² (1,05%); (34) Kecamatan Rajapolah beribukota di Rajapolah terdiri atas 8 desa seluas 21,45 km² (0,79%); (35) Kecamatan Jamanis beribukota di Sindangraja terdiri atas 8 desa seluas 21,28 km² (0,79%); (36) Kecamatan Ciawi beribukota di Ciawi terdiri atas 11 desa seluas 45,32 km² (1,67%); (37) Kecamatan Kadipaten beribukota di Buniasih terdiri atas 6 desa seluas 45,79 km² (1,69%); (38) Kecamatan Sukaresik beribukota di Sukaratu terdiri atas 8 desa seluas 17,80 km² (0,66%); dan (38) Kecamatan Pagerageung beribukota di Pagerageung terdiri atas 11 desa dengan luas 66,74 km persegi (2,47%) (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).

Topografi Kabupaten Tasikmalaya bervariasi mulai dari dataran rendah hingga tinggi (perbukitan dan pegunungan) dengan ketinggian 25-880 meter dari permukaan air laut. Adapun daerah dataran rendah hingga tinggi secara berurut adalah: Cikalong, Cipatujah, Culamega, Parungponteng, Cibolang, Pancatengah, Cikatomas, Sukaraja, Bantarkalong, Karangnunggal, Bojongasih, Salopa, Manonjaya, Cineam, Karangjaya, Tanjungjaya, Gunungtanjung, Sukarame, Jatiwaras, Singaparna, Mangunreja, Leuwisari, Sukaresik, Rajapolah, Ciawi, Sukaratu, Cisayong, Jamanis, Sariwangi, Pagerageung, Kadipaten, Salawu, Cigalontang, Padakembang, Puspahiang Sukahening, Sodonghilir, Bojonggambir, dan Taraju.

Iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lain di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober - Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April - September. Curah hujan rata-rata 179 milimeter per tahun. Sedangkan, temperaturnya rata-rata 20°-31° Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (seperti rambutan, manggis, duku, kopi, dan durian), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, singkong, dan mentimun). Fauna yang ada di wilayah kabupaten ini seperti yang biasa diternakan oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya.

Pemerintahan
Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut jabarprov.go.id, sejak abaf VII hingga XII di wilayah yang sekatang menjadi Kabupaten Tasikmalaya telah ada sebuah bentuk pemerintahan kebataraan di sekitar Galunggung. Pucuk pemerintahannya silih berganti dipimpin oleh Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan terakhir Batari Hyang.

Pada masa Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari, sistem pemerintahan kebataraan menjadi kerajaan bernama Galunggung (13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111). Setelah Batari Hyang lengser, masih ada 6 orang keturunannya yang menjadi Raja di Galunggung.

Kerajaan Galunggung kemudian digantikan oleh kerajaan baru yang berpemerintahan di Sukakerta (sekarang wilayah Dayeuh Tengah, Kecamatan Salopa) dengan rajanya bernama Sri Gading Anteg. Pemerintahan di Sukakerta selanjutnya digantikan lagi oleh pemerintahan yang berkedudukan di Sukapura. Pada masa VOC yang berkedudukan di Batavia, Sultan Agung Mataram mengangkat penerus kekuasaan Sukapura Bupati dengan gelar Wiradadaha I atas jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur.

Antara tahun 18-13-1814 (masa pemerintahan RT Surialaga) ibukota kabupaten dipindahkan ke Tasikmalaya. Pada pemerinahan Wiradadaha VII (1832) ibukota dipindahkan ke Manonjaya untuk memperkuat pertahanan Belanda dalam menghadapi serangan Pangeran Diponegoro. Namun, oleh Belanda ibukota dipindahkan lagi ke Tasikmalaya dengan alasan lebih mendukung kepentingan ekonomi ketimbang Manonjaya yang kurang strategis guna dijadikan tempat pengumpulan hasil perkebunan. Dan, nama Kabupaten Sukapura pun diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya hingga sekarang.

Saat ini, struktur organisasi pemerintahan tertinggi di Kabupaten Tasikmalaya dipegang oleh seorang Bupati yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jawa Barat. Bupati menjalankan pemerintahan dengan tugas-tugas meliputi bidang pemerintahan, ketentraan dan ketertiban, kesejahteraan masyarakat, sosial politik. Agama, tenaga kerja, pendidikan, kepemudaan dan olahraga, kependudukan, perekonomian, dan pembangunan fisik prasarana lingkungan, serta bidang-bidang lain yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.

Dalam menjalankannya Bupati dibantu oleh Inspektorat Daerah (PPID) dan Sekretariat Daerah. Sekretariat Daerah terdiri atas: Bagian Pemerintahan Desa, Bagian Organisasi, Bagian Pemerintahan, Bagian Hukum, Bagian Pengadaan Barang/Jasa, Bagian Ekonomi dan Pembangunan Penduduk, Bagian Kesejahteraan Rakyat, dan Bagian Tata Usaha. Selain itu ada pula dinas-dinas yang menjalankan peran tertentu dalam menunjang roda pemerintahan daerah, di antaranya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; Dinas Kesehatan dan Pengendalian Penduduk; Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan, dan Permukiman; Dinas Sosial, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Dinas Perindustrian dan Perdagangan; Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga; Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan; Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dan Tenaga Kerja; Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu; Dinas Lingkungan Hidup; Dinas Perhubungan; Dinas Kerarsipan dan Perpustakaan; dan Dinas Komunikasi dan Informatika (struktur.tasikmalayakab.go.id).

Para aparatur bekerja dalam satu kerangka visi dan misi yang sama untuk kemajuan Kabupaten Tasikmalaya. Visi tersebut adalah “Kabupaten Tasikmalaya yang Religius/Islami, Maju, dan Sejahtera Tahun 2025”. Visi itu dijadikan sebuah misi yang harus dilaksanakan atau diemban agar seluruh anggota organisasi dan pihak yang berwenang dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran Kabupaten Tasikmalaya dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Adapun misinya adalah: (a) mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa, berkualitas, dan Mandiri; (b) mewujudkan perekonomian yang tangguh berbasis keunggulan agribisnis; (c) mewujudkan tata keperintahan yang baik (good governance); dan (d) mewujudkan infrastruktur wilayah yang lebih merata dengan memperhatikan aspek lingkungan yang asri dan lestari (jabarprov.go.id).


Dan, sama seperti daerah lain di Indonesia, Kabupaten Tasikmalaya juga memiliki logo sebagai bagian dari identitas wilayah. Adapun logo Kabupaten Tasikmalaya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) Perisai bersudut lima berwarna putih menunjukkan sifat gotong royong yang melambangkan kepribadian, adat istiadat, kepercayaan dan kebudayaan daerah, sejak dulu sekarang dan kemudian; (2) gunung galunggung berwarna biru yang melambangkan ciri Tasikmalaya; (3) simbol industri melambangkan sebagian dari sumber penghidupan rakyat beserta kekayaan alam di daerah Kabupaten Tasikmalaya; (4) tiga buah sungai yang melambangkan pemberi sumber kehidupan rakyat; (5) sawah 17 petak berwarna hijau melambangkan kesuburan/kemakmuran rakyat yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945; (6) sawah berwarna kuning melambangkan sebagian penghidupan rakyat yang didapat dari kerajinan tangan; (7) bambu runcing melambangkan sejarah perjuangan rakyat daerah Tasikmalaya dalam mengusir penjajah; (8) pita kuning melambai bertuliskan “Sukapura Ngadaun Ngora” melambangkan kemajuan yang abadi; dan (9) warna putih melambangkan tekad suci, warna hitam melambangkan kekekalan yang abadi, warna kuning melambangkan keadaan gilang gemilang, warna hijau melambangkan kehidupan yang tertinggi, adil, subur makmur, dan warna biru melambangkan kesetiaan dan kejujuran (jabarprov.go.id).

Kependudukan
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bandung (sensus tahun 2019) penduduk Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 1.796.496 jiwa dengan jumlah Kelapa Keluarga (KK) 619.018. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-laki mencapai 913.795 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 882.701 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 39 kecamatan, yaitu: Cipatujah dihuni oleh 66.575 jiwa (laki-laki 33.778 jiwa dan perempuan 32.797 jiwa); Karangnunggal dihuni oleh 84.807 jiwa (laki-laki 42.965 jiwa dan perempuan 41.842 jiwa); Cikalong dihuni oleh 63.695 jiwa (laki-laki 32.099 jiwa dan perempuan31.596 jiwa); Pancatengah dihuni oleh 46.522 jiwa (laki-laki 23.656 jiwa dan perempuan 22.896 jiwa); Cikatomas dihuni oleh 49.775 jiwa (laki-laki 25.445 jiwa dan perempuan 24.330 jiwa) Cibalong dihuni oleh 33.221 jiwa (laki-laki 16.756 jiwa dan perempuan 16.465 jiwa); Parungponteng dihuni oleh 35.713 jiwa (laki-laki 18.222 jiwa dan perempuan 17.491 jiwa); Bantarkalong dihuni oleh 36.097 jiwa (laki-laki 18.479 jiwa dan perempuan 17.618 jiwa); Bojongasih dihuni oleh 20.339 jiwa (laki-laki 10.420 jiwa dan perempuan 9.919 jiwa); Culamega dihuni oleh 24.801 jiwa (laki-laki 12.735 jiwa dan perempuan 12.066 jiwa); Bojonggambir dihuni oleh 40.127 jiwa (laki-laki 20.484 jiwa dan perempuan 19.643 jiwa); Sodonghilir dihuni oleh 63.773 jiwa (laki-laki 32.691 jiwa dan perempuan 31.082 jiwa); Taraju dihuni oleh 40.024 jiwa (laki-laki 20.287 jiwa dan perempuan 19.737 jiwa); Salawu dihuni oleh 59.819 jiwa (laki-laki 30.317 jiwa dan perempuan 29.502 jiwa); Puspahiang dihuni oleh 34.298 jiwa (laki-laki 17.206 jiwa dan perempuan 17.092 jiwa); Tanjungjaya dihuni oleh 43.865 jiwa (laki-laki 22.239 jiwa dan perempuan 21.626 jiwa); Sukaraja dihuni oleh 51.534 jiwa (laki-laki 26.345 jiwa dan perempuan 25.189 jiwa); Salopa dihuni oleh 47.968 jiwa (laki-laki 24.521 jiwa dan perempuan 23.447 jiwa); Jatiwaras dihuni oleh 51.303 jiwa (laki-laki 26.376 jiwa dan perempuan 24.927 jiwa); Cineam dihuni oleh 33.831 jiwa (laki-laki 16.861 jiwa dan perempuan 16.970 jiwa); Karangjaya dihuni oleh 11.823 jiwa (laki-laki 5.958 jiwa dan perempuan 5.865 jiwa); Manonjaya dihuni oleh 62.238 jiwa (laki-laki 31.474 jiwa dan perempuan 30.764 jiwa); Gunungtanjung dihuni oleh 30.381 jiwa (laki-laki 15.685 jiwa dan perempuan 14.696 jiwa); Singaparna dihuni oleh 69.330 jiwa (laki-laki 35.000 jiwa dan perempuan 34.330 jiwa); Mangunreja dihuni oleh 39.396 jiwa (laki-laki 19.847 jiwa dan perempuan 19.549 jiwa); Sukarame dihuni oleh 40.503 jiwa (laki-laki 20.669 jiwa dan perempuan 19.834 jiwa); Cigalontang dihuni oleh 74.045 jiwa (laki-laki 38.047 jiwa dan perempuan 35.998 jiwa); Leuwisari dihuni oleh 40.548 jiwa (laki-laki 20.631 jiwa dan perempuan 19.917 jiwa); Sariwangi dihuni oleh 35.106 jiwa (laki-laki 17987 jiwa dan perempuan 17.119 jiwa); Padakembang dihuni oleh 40.327 jiwa (laki-laki 20.421 jiwa dan perempuan 19.906 jiwa); Sukaratu dihuni oleh 50.082 jiwa (laki-laki 25.573 jiwa dan perempuan 24.509 jiwa); Cisayong dihuni oleh 59.278 jiwa (laki-laki 30.170 jiwa dan perempuan 29.108 jiwa); Sukahening dihuni oleh 31.486 jiwa (laki-laki 15.875 jiwa dan perempuan 15.611 jiwa); Rajapolah dihuni oleh 48.980 jiwa (laki-laki 25.008 jiwa dan perempuan 23.972 jiwa); Jamanid dihuni oleh 37.110 jiwa (laki-laki 18.956 jiwa dan perempuan 18.154 jiwa); Ciawi dihuni oleh 64.019 jiwa (laki-laki 32.446 jiwa dan perempuan 31.573 jiwa); Kadipaten dihuni oleh 37.044 jiwa (laki-laki 19.222 jiwa dan perempuan 17.822 jiwa); Pagerageung dihuni oleh 57.855 jiwa (laki-laki 29.386 jiwa dan perempuan 28.469 jiwa); serta Kecamatan Sukaresik dihuni oleh 38.828 jiwa yang terdiri atas laki-laki 19.558 jiwa dan perempuan 19.270 jiwa (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).

Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk yang berusia 0-4 tahun ada 161.378 jiwa (laki-laki 84.385 jiwa dan perempuan 76.993 jiwa), kemudian yang berusia 5-9 tahun ada 167.186 jiwa (laki-laki 87.637 jiwa dan perempuan 79.549 jiwa), berusia 10-14 tahun ada 174.972 jiwa (laki-laki 91.768 jiwa dan perempuan 83.204 jiwa), berusia 15-19 tahun ada 151.043 jiwa (laki-laki 78.374 jiwa dan perempuan 72.669 jiwa), berusia 20-24 tahun ada 119.555 jiwa (laki-laki 58.845 jiwa dan perempuan 60.710 jiwa), berusia 25-29 tahun ada 120.877 jiwa (laki-laki 59.376 jiwa dan perempuan 61.502 jiwa), berusia 30-34 tahun ada 122.918 jiwa (laki-laki 60.618 jiwa dan perempuan 62.300 jiwa), berusia 35-39 tahun ada 138.390 jiwa (laki-laki 68.216 jiwa dan perempuan 70.174 jiwa), berusia 40-44 tahun ada 135.211 jiwa (laki-laki 68.975 jiwa dan perempuan 66.236 jiwa), berusia 45-49 tahun ada 126.440 jiwa (laki-laki 65.762 jiwa dan perempuan 60.678 jiwa), berusia 50-54 tahun ada 101.537 jiwa (laki-laki 52.135 jiwa dan perempuan 49.402 jiwa), berusia 55-59 tahun ada 80.693 jiwa (laki-laki 41.314 jiwa dan perempuan 39.378 jiwa), dan berusia 60 tahun ke atas ada 196.298 (laki-laki 96.392 jiwa dan perempuan 99.906 jiwa) dari jumlah total penduduk. Ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar berusia produktif.

Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah daerah yang relatif dekat dengan ibu kota provinsi, Kabupaten Tasikmalaya tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini adalah: 330 buah Taman Kanak-kanan (TK) dengan jumlah siswa sebanyak 12.364 orang dan 870 tenaga pengajar; 558 buah Raudatul Atfah (RA) dengan jumlah siswa sebanyak 15.902 orang dan 1.151 orang tenaga pengajar; 1.087 buah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa sebanyak 161.286 orang dan 8.856 orang tenaga pengajar; 223 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 28.351 orang dan 1.663 orang tenaga pengajar; 268 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa 63.928 orang dan 4.005 orang tenaga pengajar; 203 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 36.505 orang dan 2.356 orang tenaga pengajar; 68 buah Sekolah Menangah Atas dengan jumlah siswa sebanyak 20.727 orang dan 1.295 orang tenaga pengajar; 139 buah Sekolah Menangah Kejuruan dengan jumlah siswa sebanyak 44.289 orang dan 2.656 orang tenaga pengajar; 96 buah Madrasah Aliah dengan jumlah siswa 16.838 orang dan 1.262 orang tenaga pengajar; dan 6 buah perguruan tinggi.

Sementara untuk sarana kesehatan terdapat 3 buah rumah sakit, 1 buah rumah sakit bersalin, 48 buah poliklinik, 41 buah puskesmas, 151 buah puskesmas pembantu, dan 64 buah apotek (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya sangat beragam, di antaranya: pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kabupaten, kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya (12.146 orang). Kemudian, ada juga yang berusaha sendiri/own account worker (169.542 orang), berusaha dibantu buruh tidak tetap/employer assisted by temporary worker (163.120 orang), berusaha dibantu buruh tetap/employer assisted permanent worker (46.096 orang), buruh/karyawan (33.626 orang), pekerja bebas di pertanian/agriculture free time worker (79.859 orang), pekerja bebas non pertanian/non agriculture free time worker (90.028 orang), pekerja tak dibayar/unpaid worker (95.230 orang), buruh/karyawan/pegawai/employee (182.006 orang), dan lain sebagainya.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Kabupaten Tasikmalaya sangat beragam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya tahun 2020, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (1.753.535 orang). Sedangkan sisanya adalah penganut Kristen Protestan (447 orang), Katolik (92 orang), Hindu (5 orang), dan agama lainnya sejumlah 49 orang. (Gufron)

Sumber:
“Kabupaten Tasikmalaya”, diakses dari https://jabarprov.go.id/index.php/pages/ id/1046, Tanggal 10 November 2020.

“Struktur Kabupaten Tasikmalaya”, diakses dari https://struktur.tasikmalayakab. go.id/, tanggal 10 November 2020.

BPS Kabupaten Tasikmalaya. 2020. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 2020. Tasikmalaya, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya.

Dupplang

Dupplang adalah tarian tradisional Madura yang unik dan langka karena telah jarang dipentaskan. Tarian ini menggambarkan kehidupan dari seorang perempuan desa. Konon, dupplang diciptakan oleh seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi terakhir yang menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi. Selanjutnya, tarian ini jarang dipentaskan sejak adanya pergantian sistem pemerintahan (peralihan dari sistem raja ke bupati).

Tarian dupplang dibawakan oleh seorang penari perempuan. Busana yang dikenakan bergantung di mana pertunjukkan itu digelar. Jika di lingkungan keraton, biasanya berbusana adat legha. Sedangkan, jika di kalangan masyarakat biasa, busana yang digunakan adalah kain panjang dan kebaya. Adapun durasi pertunjukkannya sekitar 1-2 jam. Tarian dupplang menggambarkan proses bercocok tanak sejenis umbi-umbian yang dilakukan oleh seorang perempuan, mulai dari penanaman, pemupukan, pemanenan, penjemuran, sampai pemasakan (memasaknya). Tarian ini sering dipentaskan untuk menyambut tamu, memeriahkan acara perkawinan, selamatan desa atau sedekah laut. Pementasannya tidak memerlukan panggung, tetapi halaman yang luas. Gerakan-gerakannya cukup rumit dan membutuhkan stamina yang tinggi. Oleh karena tingkat kesulitannya relatif tinggi, maka banyak penari yang segan mempelajarinya, sehingga tarian dupplang semakin dilupakan orang dan akhirnya tidak dikenal lagi oleh generasi berikutnya.

Upacara Ngekak Sangger di Desa Legung, Sumenep

Ngekak sangger adalah salah satu tahap upacara dalam lingkaran hidup (perkawinan) yang ada pada masyarakat Desa Legung, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep. Sebagai suatu proses, perkawinan diawali dengan pencarian jodoh. Orang tua akan berusaha mencari calon isteri untuk anaknya yang sudah baligh (dewasa) dengan meminta bantuan kepada seseorang yang disebut pangadek. Peran pangadek adalah.mencari informasi tentang seorang gadis yang telah diincar untuk menjadi menantu seseorang yang menyuruhnya. Melalui tetangga atau kerabat dekat pangadek berusaha mengetahui apakah gadis yang bersangkutan masih sendiri atau sudah ada yang punya. Setelah diketahui bahwa gadis tersebut masih sendiri, maka nyabak jajan (lamaran) dilakukan. Dalam hal ini calon pengantin laki-laki mengirim seperangkat peralatan keperluan perempuan yang terdiri atas: perhiasan emas (bagi yang mampu), bedak serta segala macam kue-kue, dan bhan-gibhan (makanan khas daerah). Pengiriman itu dilakukan oleh sebuah rombongan yang berjalan secara beriringan. Setelah diterima, pihak perempuan segera membalas dengan memberi seperangkat keperluan calon pengantin laki-laki. Kiriman balasan tersebut berupa makanan serta ikan yang dibawa oleh kerabat dekat pihak perempuan. Proses ini disebut balessan atau tongebbhan. Dengan demikian berarti sang gadis secara resmi sudah bertungan dengan seseorang.

Menjelang hari perkawinan ada upacara mapar gigi, yaitu meratakan gigi agar tampak indah. Calon pengantin perempuan dipingit, tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Bahkan, dijaga agar tidak terkena serampat (kemasukan roh halus). Sehari menjelang upacara perkawinan, seorang wanita yang dituakan, dengan pakaian yang serba tertutup, membawa kendi berisi air serta damar kambheng (lampu minyak) ke rumah mempelai pengantin perempuan. Di sepanjang perjalan dia tidak boleh membalas teguran orang (membisu) sambil menuangkan air dalam kendi setetes demi setetes. Sedangkan, damar kambheng diletakkan di kamar mempelai perempuan dengan maksud agar menjadi pembuka jalan demi keselamatan kedua mempelai.

Pagi harinya rombongan pengantin pria yang diiringi kesenian hadrah dan saronen menuju rumah pengantin wanita untuk melaksanakan upacara ngekak sanger. Mereka membawa berbagai macam bingkisan yang berupa: (1) Sepasang ayam yang terbuat dari kayu sebagai lambang keuletan (kegigihan); (2) Bendera uang yang ditancapkan pada kue sebagai lambang kesejahteraan; (3) Bunga sekar mayang sebagai lambang kerejekian yang melimpah; (4) Sirih dan pinang beserta kelengkapannya; (5) Pangonong sebagai lambang keulatan dan kemakmuran; (6) Judang yang berisi keperluan rumah tangga; dan (7) Aneka macam kue.

Pengantin beserta rombongannya disambut oleh wakil keluarga pihak perempuan. Di sini terjadi dialog dalam bentuk parsemon (kiasan) atau pantun. Intinya adalah bahwa pihak pengantin pria datang dan pihak pengantin perempuan mempersilahkan masuk. Sementara, di depan serambi ada satu buah sangger yang untaiannya lepas satu. Tugas pengantin pria adalah merangkainya (mengikat kembali) sebagai simbol bahwa perkawinan bukan hanya pertautan antarkedua mempelai, tetapi sekaligus masuknya pengantin pria dalam keluarga besar sang isteri. Makna lainnya adalah sebagai pembelajaran bagi pengantin pria agar selalu arif, tertib, dan bersopan-santun sebagaimana halnya rangkaian sangger.

Acara selanjutnya adalah ngarak pengantin perempuan dengan tandu oleh beberapa orang, sementara pengantin pria naik kuda serek. Mereka melewati pusat-pusat keramaian seperti: pasar, persimpangan jalan, alun-alun, masjid, kantor kecamatan, dan seputaran desa. Ngarak tersebut diiringi oleh kesenian saronen. Selesai ngarak acara dilanjutkan dengan sabung (mempertemukan kedua mempelai). Dalam hal ini pengantin perempuan didudukkan di atas talam kuningan berisi beras dilapisi kain kuning yang disebut lekser talam. Kemudian, dilanjutkan dengan nyacap, yaitu para sesepuh, kerabat meneteskan kuntum melati yang direndam dalam air. Sedangkan, sisanya diminum oleh kedua mempelai dengan harapan dikaruniai rejeki serta keturunan yang saleh/sholeha. Terakhir, kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan disertai dengan hiburan topeng dalang atau mocopat.

Jajangkungan

Jajangkungan adalah istilah orang Sunda untuk menyebut sebuah permainan keseimbangan menggunakan bambu sebagai penyangga tubuh. Di sejumlah daerah di Indonesia permainan ini dikenal dengan nama Egrang. Istilah jajangkungan sendiri konon berasal dari kata “jangkung” yang berarti “tinggi”. Jadi, apabila sedang beraksi, pemain akan menjadi tinggi dengan bambu sebagai pijakannya. Dari mana permainan ini berasal sudah tidak diketahui lagi karena penyebarannya hampir merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki banyak pepohonan bambu.

Pemain
Permainan jajangkungan dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dari kanak-kanak hingga orang dewasa. Jumlah pemainnya bergantung dari jumlah bambu yang tersedia. Seorang pemain menggunakan dua bilah bambu sebagai pengganti kaki ketika berjalan.

Tempat Permainan
Jajangkungan tidak membutuhkan tempat (lapangan) khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di tanah. Jadi, dapat di tanah lapang, halaman rumah, atau di jalanan sepi. Bentuknya memanjang karena selama permainan berlangsung akan digunakan sebagai arena berlari.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah sepasang bambu yang dibuat sedemikian rupa agar dapat dinaiki. Adapun bambu yang biasa dipakai berjenis tali, hejo, atau hideung. Pemilihan ketiga jenis bambu ini sebagai bahan baku karena dianggap cepat kering, tidak mudah retak, dan tidak merekah ketika disambungkan.

Setelah bambu dipilih dan dikeringkan, tahap selanjutnya adalah memotongnya menjadi dua bagian masing-masing sepanjang 2,5-3 meter atau lebih dengan diameter seukuran pegangan tangan. Terakhir, pada bagian bawah bambu (sekitar 30-60 centimeter dari pangkal) dilubangi untuk memasang ruas bambu lain sebagai pijakan kaki. Panjang bambu pijakan disesuaikan dengan ukuran kaki penggunanya.

Aturan Permainan
Ada beberapa macam aturan dalam jajangkungan, bergantung dari kesepakatan para pemainnya. Aturan yang paling umum adalah adu kecepatan dari titik A munuju titik B. Pemain yang pertama mencapai titik B (garis finish) dinyatakan sebagai pemenang. Aturan lainnya adalah ketahanan di atas jajangkungan dengan saling adu kekuatan. Pemain yang dapat menjatuhkan lawannya dinyatakan sebagai pemenang.

Jalannya Permainan
Apabila jajangkungan bersifat adu kecepatan, maka para pemain akan berdiri di garis start sambil memegang bambu. Setelah diberi aba-aba barulah mereka menaiki bambu dan berlari secepatnya menuju garis finish. Pemenangnya adalah pemain yang pertama menyentuh garis finish. Sedangkan apabila bersifat adu ketangkasan, pemain akan saling menjatuhkan dengan mengadukan bambu yang dinaiki hingga salah seorang terjatuh. Pemain yang tetap berdiri di atas bambu dianggap sebagai pemenang. Begitu seterusnya hingga seluruhnya mendapat giliran bermain. Permainan akan berakhir bila mereka lelah atau hari telah petang.

Nilai Budaya
Permainan jajangkungan jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, keberanian, kerja sama, persaingan, kecermatan, ketekunan, ketelitian, ketertiban, dan sportivitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam usaha seseorang agar dapat berdiri seimbang di atas dua bilah bambu. Tanpa kerja keras dalam berlatih, seseorang tidak akan mungkin berdiri di atas bambu sambil menunjukkan kehebatan berlari tanpa terjatuh.

Nilai keberanian tercermin dari para pemain yang harus memiliki keberanian berdiri dan berjalan gunakan dua bilah gambu. Keberanian sangat diperlukan sebab tidak mustahil seseorang akan terjatuh ketika sedang bermain jajangkungan. Keberanian juga diperlukan ketika seseorang ingin tampil dengan jajangkungan yang lebih tinggi (di atas rata-rata).

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Walau hanya sekadar permainan, jajangkungan adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, seperti pemain, wasit, dan penonton. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling bekerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing agar permainan terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena jajangkungan. Para pemain berusaha sedemikian rupa agar dapat mendahului lawan mencapai garis finish (bila adu kecepatan) atau berusaha sekuat mungkin menendang jajangkungan lawan agar terjatuh (bila adu kekuatan). Atau dengan kata lain, setiap pemain akan berusaha saling mengalahkan dalam persaingan yang sehat.

Nilai ketertiban juga tercermin dalam proses jajangkungan itu sendiri. Olahraga atau permainan apa saja, termasuk jajangkungan, perlu sebuah ketertiban. Ketertiban tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta yang dengan sabar menunggu giliran, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan sehingga tidak mengganggu jalannya permainan.

Nilai ketekunan dan ketelitian tercermin dalam proses pembuatan jajangkungan. Untuk membuat alat permainan ini diperlukan ketelitian dalam hal pemilihan serta aturan pemotongan bambu. Sedangkan ketekunan tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan waktu. Apabila pembuat tidak tekun, niscaya jajangkungan yang dibuat tidak sesuai dengan yang diharapkan

Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar berlari dengan cepat atau menendang jajangkungan lawan agar terjatuh tanpa kehilangan keseimbangan sendiri. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (Gufron)

Foto: https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2015/Keseimbangan-Hidup-dalam-Permainan-Egrang/
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive