Topeng dalang sangat populer di kalangan orang Madura. Topeng dalang sudah ada pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya sekitar abad ke-15. Konon, Prabu inilah yang pertama kali menubuhkan topeng di daerah Madura. Mengingat bahwa hubungan Madura dengan kerajaan yang di Jawa (Majapahit dan Singosari) sangat erat, maka tidak dapat dipungkiri bahwa topeng dalang madura mendapat pengaruh dari topeng yang ada di kedua kerajaan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya topeng dalang madura menempuh jalan sendiri. Lebih-lebih, ketika agama Islam mulai masuk ke tanah Madura. Dalam hal ini cerita-cerita yang dipentaskan banyak menyelipkan ajaran-ajaran yang berlandaskan agama Islam.
Perkawinan antara seorang keluarga Mataram dan seorang keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono (1830-1850) dengan salah satu puteri raja Madura (Bangkalan) semakin mengangkat topeng dalang madura. Malahan, Paku Buwono VII memberi hadiah berupa seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai runtuh di bumi Madura, topeng madura kembali menjadi kesenian rakyat hingga tahun 1950-an. Hal itu tercermin dari banyaknya group kesenian topeng dan pengrajin topeng di berbagai pelosok Madura. Memasuki tahun 1960-an topeng Madura mengalami kesurutan. Hal itu disebabkan para tokohnya banyak yang meninggal, sementara generasi muda belum menguasainya. Pada tahun 1970-an topeng madura kembali bangkit atas jasa dalang tua yang bernama Sabidin dari Sumenep, sehingga di daerah Sumenep banyak dijumpai kesenian ini. Di Desa Slopeng, Kalianget, Marengan, dan Pinggir Papas misalnya, banyak seniman tradisional yang masih menekuninya. Salah satu kelompok topeng dalang yang sangat tua adalah yang ada di Desa Slopeng Dasuk dengan nama “Rukun Perawas”.
Warna dalam topeng dalang erat kaitannya wataknya. Warna merah mencermin pemberani; warna kuning mencermin keluruhan budi; warna hitam mencerminkan kebijaksanaan; warna hijau mencerminkan kelembutan; dan warna kuning emas mencerminkan keagungan. Sementara, gerakan tari dalam topeng dalang meliputi gerak: halus, sedang, dan kasar. Dalam suatu pementasan, kesenian ini diawali dengan gending pembuka. Kemudian, disusul dengan tari gambuh tameng, sebuah tari yang menggambarkan keperkasaan. Tarian ini mencerminkan sebuah ungkapan “Etembang pote mata lebbi bagus pote tolang” yang artinya dari pada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah. Selanjutnya, disusul dengan tari branyak rampak prapatan, yaitu tari yang menggambarkan kegesitan dan kelincahan empat satria. Lalu, disusul dengan tari klono tunjung seto, yaitu tari yang menggambarkan seorang satria utusan dewa dari Swargaloka yang diutus turun ke mayapada untuk memberi suri tauladan kepada para remaja. Sebagai puncaknya, tiba-tiba datang sumber penyakit (Raja Setan). Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan mudah.