Payang

Payang atau biasa disebut juga dengan istilah pukat kantong merupakan sebuah jaring yang terdiri atas: kantong, mulut, badan, sayap atau kaki, dan tali selambar. Pada bagian ujung kantong hingga ke ujung sayap terdapat waring bermata antara 2-40 cm. Agar dapat menangkap ikan-ikan permukaan yang sering melarikan diri ke lapisan air bagian bawah, mulut atas payang dibentuk sedemikian rupa hingga menonjol ke belakang, sementara mulut bawahnya menonjol ke depan. Sebagai penyeimbangnya, sayap dan mulut payang diberi pemberat, sementara bagian atasnya diberi pelampung dengan besar dan jarak tertentu. Pelampung terbesar ditempatkan pada bagian tengah dan mulut jaring.

Jaring payang dioparasikan oleh 3-5 orang nelayan (perahu kecil) dan 10-16 orang nelayan (perahu besar) sekitar 1-3 mil dari pantai tidak berkarang pada waktu siang maupun malam hari. Penebarannya dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan yang berlindung di sekitar tendak (rumpon) yang telah dipasang sebelumnya. Hasil tangkapan utama jaring payang diantaranya adalah: layang, solar, kembung, lemuru, japuh, tongkol, dan lain sebagainya.

Kepiting Lemburi

Apabila mendengar kata kepiting sebagai menu hidangan, tentu kita akan berpikir bahwa ada sebuah usaha keras untuk dapat memakannya. Lapisan luar atau cangkang hewan ini lumayan keras sehingga kadang harus memerlukan alat bantu guna mengeluarkan dagingnya. Namun, di daerah Pemalang, Jawa Tengah, ada sebuah kuliner khas berbasis kepiting dengan cangkang lunak.

Kepiting yang dijadikan sebagai makanan populer di daerah Pemalang ini bukanlah asal kepiting berukuran besar saja. Ia merupakan kepiting hutan bakau “modifikasi” para petambak. Adapun caranya adalah merangsang pergantian kulit kepiting yang berumur 21 hingga 25 hari dengan mencopot cangkang dan kakinya. Dan, saat akan berganti kulit itulah kepiting akan segera dipanen sehingga cangkangnya belum terbentuk sempurna (masih lunak).

Sedangkan cara membuatnya menjadi masakan yang oleh masyarakat setempat diberi nama sebagai Kepiting Lemburi memerlukan bahan-bahan seperti: ketumbar, asam jawa, garam, gula pasir, minyak goreng, cabai merah tanpa biji, bawang putih, tauco, dan jahe segar. Sebelum kepiting digoreng, seluruh bumbu tadi ditumis hingga berbau harum. Apabila kepiting sudah berubah warna menjadi kemerahan, maka siap disajikan bersama taburan daun bawang di bagian atasnya.

Bongko Mento

Bongko mento adalah makanan khas Kabupaten Pemalang yang berbahan dasar tepung terigu. Nama makanan ini juga ada di daerah Jepara, namun bahan pembuatnya berbeda. Bungko mento versi Jepara berbahan terigu, telur, garam, daging ayam, jamur kuping, soun, dan santan. Sementara bongko mento versi Pemalang berisi tumisan pepaya dan suwiran daging ayam.

Adapun cara membuatnya memerlukan bahan-bahan berupa: tepung beras, tepung terigu, telur ayam, daging ayam, pepaya, kelapa parut, daun jeruk, lengkuas, asam jawa, garam, kaldu bubuk, minyak sayur, lada bubuk, gula pasir, bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, dan jinten.

Sedangkan cara membuatnya diawali dengan membuat adonan dasar berbahan tepung beras, tepung terigu, telur ayam, dan garam. Bahab-bahan tadi kemudian digoreng guna membuat dadar. Selanjutnya, barulah menumis bumbu halus (bawang putih, bawang merah, kemiri yang sudah disangrai, jintan, dan ketumbar) bersama daun jeruk dan lengkuas. Setelah tumisan berbau harum, barulah dicampur dengan daging ayam. Dan, agar terasa lebih nikmat, ditambahkan beberapa bumbu lagi seperti garam, gula pasir, lada bubuk, kaldu bubuk instan, dan air.

Apabila telah tercampur sempurna, barulah adonan dituangkan ke dalam dadar berlapis daun pisang. Sebelum dibungkus, agar terasa lebih gurih adonan yang berada di atas dadar dikucuri areh atau santan matang Terakhir, setelah dibungkus lalu dikukus selama beberapa puluh menit. Hasil kukusan berupa bongko mento yang bercita rasa gurih yang siap dijadikan sebagai pengganjal perut.

Kathi Roll

Di belahan dunia mana pun jajanan pinggir jalan atau street food selalu menjadi primadona karena murah-meriah dengan rasa yang tidak kalah dengan makanan sajian restoran. Bahkan saking banyaknya peminat, stasiun televisi National Geographic sampai membuat rubrik khusus berjudul Street Food Around The World yang menampilkan berbagai jajanan kaki lima di seluruh dunia.

Di antara banyak negara yang memiliki street food paling bervariasi adalah India. Salah satu di antara sekian banyak jajanan pinggir jalan India yang paling diminati adalah kathi roll yang berasal dari daerah Kolkata, Benggala Barat. Makanan yang bentuknya mirip seperti kebab di Timur Tengah ini namun menggunakan paratha atau flat bread sebagai pembungkusnya.

Selain paratha, bahan lain pembuat kathi roll adalah: daging ayam, telur ayam, kulit tortilla, bawang bombay, kentang, wortel, bubuk kare, selada, keju parut, gula, tepung gandum, tepung terigu, minyak sayur, dan garam masala. Untuk menyajikannya, bahan-bahan tersebut diolah sedemikian rupa kemudian digulung dalam paratha lalu dipanggang dalam teflon hingga berwarna kuning kecoklatan.

Gulab Jamun

Gulab Jamun adalah kudapan berbentuk bola-bola kecil berasa manis terbuat dari terigu dan susu. Kudapan tradisional khas India ini juga ada di beberapa negara lain seperti Nepal, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka. Di India Gulab Jamun selalu ada dalam setiap perayaan Diwali atau Deepawali (festival cahaya sebagai simbol kemenangan kebaikan atas keburukan) dan Ganesh Chaturthi atau Vinayaka Chaturthi (perayaan guna memperingati kelahiran Ganesha, Dewa Pengetahuan, Kecerdasan, Perlindungan dan Kebijaksanaan).

Kudapan yang diambil dari kata “gulab” yang berarti “mawar” dan “jamun” atau buah plum ini relatif mudah dibuat. Adapun bahannya terdiri atas: susu bubuk, susu cair, tepung, soda kue, mentega leleh, minyak goreng, gula, kapulaga, air mawar, kunyit, jahe, dan kacang. Sedangkan cara membuatnya diawali dengan membuat adonan berbentuk bola-bola kecil berbahan susu bubuk, terigu, dan mentega. Bila ketiga bahan tadi telah tercampur rata, langkah berikutnya adalah menambah susu cair hingga menjadi adonan yang lembut dan tebal sebelum dibentuk bola-bola kecil menyerupai candil.

Setelah terbentuk, satu per satu bola-bola kecil tadi digoreng dalam api sedang. Bila telah matang merata yang ditandai dengan terapungnya bola dan berwarna kuning kecoklatan, langkah selanjutnya adalah meniriskan dan meletakkannya di atas tisu hingga minyaknya terserap. Dan bila bola-bola telah kering, sebelum disajikan terlebih dahulu disiram atau direndam dengan kuah manis yang terbuat dari gula, air, jahe, kunyit, kapulaga, dan air mawar.

Piranha Perut Merah

Bila mendengar kata Piranha yang ada di benak kita adalah ikan pemakan daging bergigi tajam dan berahang kuat yang hidup berkoloni di Sungai Amazon. Di habitatnya ikan ini memiliki puluhan jenis, di antaranya adalah: (1) Pygopristis Denticulata atau biasa disebut sebagai piranha emas karena tubuhnya berwarna emas dengan punggung kebiruan atau kekuningan; (2) Serrasalmus Sanchezi atau ruby red piranha dengan ciri-ciri perut berwarna cerah, tubuh pipih, tubuh berbintik perak, bagian kepala sedikit cekung, dan sirip berwarna merah; (3) Pygocentrus Cariba atau black spot piranha dengan ciri-ciri tubuh berwarna abu-abu keperakan, bintik hitam di sekujur tubuh, mata berwarna keperakan, dan bagian sirip berwarna oranye/merah; (4) Serrasalmus Gibbus atau gibbus piranha; (5) Serrasalmus Rhombeus atau black piranha atau red eye piranha karena memiliki ukuran mata besar dan berwarna merah; (6) Pygocentrus Piraya; (7) Serrasalmus Spilopleura atau gold piranha/reby red piranha dengan ciri-ciri bagian punggung kehijauan, perut kuning berbintik hitam dan kepala agak cembung; (8) Pristobrycon Striolatus dengan ciri-ciri moncong tumpul, kepala agak silver, rahang bawah dan berwarna oranye; (9) Metynnis Argenteus atau silver dollar karena berwarna perak dan bintik kehijauan; (10) Serrasalmus Serrulatus atau little saw piranha dengan ciri tubuh berwarna agak merah dan lubang “hidung” besar; dan (11) Pygocentrus Nattereri atau piranha merah atau piranha perut merah.

Piranha piranha perut merah atau red bellied piranha adalah jenis piranha yang paling banyak dipelihara orang. Spesies yang berasal dari filum chordata, kelas actinopterygii, ordo characiformes, famili serrasalmidae, dan genus pygocentrus ini sangat ditakuti karena dicitrakan agresif, seram, mengerikan, ganas, suka menyerang secara beramai-ramai dan mencabik-cabik daging mangsanya hingga tidak tersisa.

Ciri-ciri fisiknya sendiri sangat mendukung stigma mengerikan tadi. Walau hanya berukuran panjang maksimal hingga 30 centimeter, ia memiliki deretan gigi tajam berbentuk segitiga yang ditunjang oleh rahang sangat kuat. Tubuhnya pipih lebar dengan bagian atas berwarna abu-abu, sedangkan bawahnya merah. Seluruh tubuh berbintik kecil keperakan hingga mendekati bagi ujung ekor yang berwarna hitam.

Dibanding jenis piranha lain, habitat red bellied piranha sangat luas dan mampu bertahan hidup di mana saja (danau, rawa, sungai berlumpur, anak sungai, kolam, hingga pelagis air tawar). Dalam urusan makan pun, red bellied piranha memiliki variasi yang cukup banyak, mulai dari hewan air berukuran kecil, bangkai, serangga, krustasea, hingga capybara.

Saat makan inilah reputasinya disematkan sebagai rakus, ganas, buas, mengerikan, dan lain sebagainya. Di samping itu, penyerangan secara cepat dan berkelompok hingga membuat mangsa tercabik-cabik tanpa sisa atau hanya menyisakan tulang-belulang saja membuatnya mendapat stigma sebagai hewan “jahat” dan ditakuti banyak orang.

Padahal, sejatinya piranha perut merah atau red bellied piranha adalah hewan penakut dan kagetan. Mereka selalu hidup berkelompok sebagai perlindungan diri dari pemangsa yang berukuran lebih besar. Dan, apabila ada kawanan piranha terlihat menyerang makhluk lain yang berukuran lebih besar, maka kemungkinannya sangat lapar atau sumber makanan telah sangat menipis dan merasa terancam karena keberadaannya terganggu.

Oleh karena sifat aslinya yang cenderung penakut, kagetan, hidup bergerombol, serta cara makan super agresif, oleh sebagian orang red bellied piranha dijadikan sebagai hewan peliharaan. Bila dipelihara dalam aquarium umumnya terdiri atas empat ekor atau lebih piranha perut merah.

Berikut adalah video yang rada ajaib. Seekor mujaer yang awalnya merupakan makanan, rupanya dibiarkan begitu saja dan malah hidup bersama kawanan piranha selama lebih dari satu tahun sebelum akhirnya dipindahkan karena lebih rakus daripada piranhanya sendiri.

Masjid Agung Ar-Rahman Pandeglang

Masjid Agung Ar-Rahman Pandeglang (2)

Perahu Nelayan

Perahu adalah satu dari sejumlah peralatan produksi melaut. Sebelum manusia pantai mengenalnya, mereka hanya menangkap ikan di pantai dengan menggunakan panah atau tangan kosong, terutama untuk menangkap kerang. Dalam perkembangannya, ketika pengetahuan dan pengalaman bertambah, mereka membuat peralatan agar dapat menangkap ikan yang lebih banyak di perairan yang lebih dalam dengan menggunakan alat tertentu yang kemudian kita kenal sebagai perahu. Hasil penelitian Horidge yang dikutip oleh Tri Sulistiyono (2010:15) menyebutkan ada dua jenis perahu yang digunakan oleh nelayan, yaitu jukung dan mayang.

Jukung adalah perahu kecil terbuat dari sebatang kayu yang dikeruk pada bagian tertentu, sehingga dapat difungsikan sebagai alat transportasi di perairan. Perahu jukung memiliki variasi ukuran yang berbeda dan nama yang berbeda. Jadi, antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Di daerah Brebes, Tegal, dan Pemalang misalnya, perahu jenis tersebut dikenal dengan nama jukung klitik; di Semarang dikenal dengan nama cemplon; di Surabaya dikenal dengan nama jaten; dan di daerah Subang dikenal dengan nama jukung lawak atau compreng. Oleh karena ukurannya kecil dan kemampuan navigasinya sangat sederhana, maka jukung biasanya hanya digunakan di perairan pantai yang dangkal dan teluk yang relatif tenang. Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman, jukung lawak mulai hilang dari peredaran karena kurang memiliki nilai ekonomis.

Sementara mayang adalah jenis perahu yang terbuat dari papan dengan ukuran panjang 12-30 meter dan lebar 4-8 meter. Oleh karena ukurannya besar, maka perahu ini digunakan untuk menangkap ikan di lepas pantai. Jumlah awak perahu yang mengopersikannya antara 5 hingga 50 orang. Sebagaimana jukung, mayang dalam perkembangannya juga memiliki variasi dalam ukurannya.

Di daerah Jawa Tengah perahu yang disebut sebagai jukung tidak ada lagi; yang ada adalah perahu yang termasuk dalam tipe atau kategori mayang. Kategori ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis, bergantung dari ukurannya serta peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan, yaitu: (1) mayangan, (2) permajangan, (3) bese, (4) konting, (6) menting, (7) kolek, (8) kolekan, (9) potik, (10) soppek; dan (11) bingkung.

Berdasarkan bentuknya mayang dibedakan menjadi dua, yaitu mayang yang bagian haluan serta buritannya dibuat melengkung dan mayang yang haluan dan buritannya tidak melengkung. Mayang dalam bentuk yang pertama disebut “mayang/mayangan/permajangan”, sedangkan mayang dalam bentuk yang kedua disebut “bingkung”. Di masa lalu kedua bentuk mayang tersebut terbuat dari kayu sengon atau loban atau barsiah karena seratnya kuat (tidak mudah pecah) dan ringan. Akan tetapi, dewasa ini pada umumnya menggunakan kayu jati karena dipandang lebih tahan air, kuat, serta memiliki “ruh”.

Pembuatan sebuah perahu mayang biasanya dikerjakan oleh empat atau lima orang tukang perahu dalam waktu sekitar satu sampai empat bulan. Seorang tukang dibayar Rp100.000,00/hari. Selain itu, tukang masih diberi makan, minum, dan rokok (biasanya rokok Gudang Garam Internasional atau Djarum Coklat). Sebelum pembuatan perahu, diadakan sebuah upacara "slametan" dengan sesajen berupa: tangkai tebu, untaian padi, telur wajar/endog bebek (telur bebek), air bunga, dan bambu kuning. Upacara ini bertujuan agar pembuatan perahu berjalan dengan lancar (selamet) dan agar “ruh” di dalam kayu jati tidak terganggu. Setelah pembuatan perahu selesai, pemilik mengadakan "syukuran" sekaligus menentukan jenis kelamin, pemberian nama, serta menurunkannya ke air atau jog. Adapun peralatan dan perlengkapan upacaranya berupa: cerutu, janganan, oncom, kembang tujuh rupa, daun kaling, nasi tumpeng, daun kelor, bantal, uang receh, buah-buahan (jeruk, salak, apel), dan ikan laut berukuran kecil. Perlengkapan dan peralatan upacara tersebut ada yang digunakan sebagai sesajen kepada penguasa laut. Sesajen diletakkan pada bagian haluan dan dibiarkan hingga mengering. Selain itu, ada yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin perahu, dan ada pula yang dibagikan kepada peserta upacara sebagai bancakan.

Jenis kelamin perahu ditentukan dengan cara menggelindingkan belahan batok kelapa dari bagian haluan menuju lambung. Apabila batok berhenti dalam keadaan tertelungkup, perahu dinyatakan berjenis kelamin laki-laki. Sebaliknya, bila tertengadah, jenis kelaminnya adalah perempuan. Penentuan jenis kelamin berhubungan erat dengan "ikatan jodoh" antara pemilik dengan perahunya. Pemilik yang sebelumnya telah mempunyai perahu berjenis kelamin laki-laki, maka perahu kedua harus perempuan. Namun, bila jenis kelamin antara perahu pertama dan kedua sama, salah satunya akan diserahkan kepada anak, saudara atau bahkan dijual ke nelayan lain. Nama perahu bergantung pemiliknya. Namun demikian, di balik nama ada sesuatu yang diharapkan. Nama “Jati Mulya” misalnya, di samping untuk menunjukkan bahwa perahu terbuat dari kayu jati, juga agar pemiliknya dapat hidup mulya (sejahtera). "Samudera Jaya" diharapkan agar perahu dapat berjaya menangkap ikan di laut. "Kumbang Sejati" diharapkan agar perahu tetap berlayar seperti angin yang selalu berhembus. Kemudian, “Untung Jaya” diharapkan dengan pemiliknya akan selalu beruntung. Dan, nama “Sinar Laut” dimaksud agar perahu selalu bersinar (mendapat tangkapan ikan yang banyak). Saat ini, nama-nama perahu yang mengandung unsur laut, angin, tanah, dan air umumnya ditulis di bagian lambung kapal, sementara di haluan atau buritan ditulis nama si pemilik atau bahkan nama seorang artis ndangdut.

Berbagai jenis perahu mayang di atas berukuran relatif kecil dengan daerah operasional kurang lebih 10 mil laut, sehingga waktu yang digunakan untuk menangkap ikan relatif singkat. Pada umumnya para nelayan berangkat subuh dan pulang sekitar pukul 15.00 WIB. Hasil yang diperoleh, sebelum dibagi, diambil untuk mengganti biaya perbekalan, seperti: solar, beras, es balok, bumbu dapur, indomie, gula, kopi, dan rokok. Sisanya baru dibagi dengan ketentuan 40 persen untuk juragan dan 60 persen untuk Anak Buah Kapal (ABK), dengan rincian juru mudi mendapat 2 bagian, juru mesin mendapat 1 1/4 bagian, juru pantau mendapat 1 1/4 bagian, dan anak buah (penarik dan penebar jaring, penyinar lampu) mendapat 1 bagian. Khusus untuk juru mudi, apabila juragan tidak ikut berlayar, akan mendapat 3 bagian. Akan tetapi, bila juragan ikut berlayar, juru mudi tetap mendapat 2 bagian, sementara juragan mendapat 1 bagian ditambah dengan 40 persen biaya operasional.

Bagi anak buah kapal (ABK) atau bidak, pembedaan pembagian hasil didasarkan atas kemampuan dalam mengoperasikan alat tangkap (perahu dan mesin) maupun mendeteksi keberadaan ikan. Juru pantau misalnya, berdasarkan indera pendengaran dan penglihatannya harus dapat mengetahui keberadaan ikan target tangkapan. Adapun caranya dapat dengan numbeng (mencelupkan bambu ke dalam air untuk mendengarkan pergerakan kawanan ikan), mengikuti kawanan burung yang sedang berburu ikan permukaan, menentukan lokasi keberadaan ikan berdasarkan pantulan cahaya plankton di malam hari, mengarahkan juru mudi ke lokasi penaburan jaring, dan lain sebagainya.

Sedangkan, yang hanya mendapat satu bagian adalah bidak yang bertugas sebagai penarik-turun jaring dan pensortir hasil tangkapan. Bidak kategori ini bersifat lepas, dalam artian dapat berpindah perahu. Jadi, apabila juragan satu tidak sedang melaut dapat pindah ke juragan lainnya yang akan melaut. Mereka ada yang memang berprofesi sebagai nelayan dan ada pula petani yang ingin mencari nafkah tambahan sambil menunggu sawah panen.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive