Permainan Su Su An

Di daerah Karawang timur ada sebuah permainan yang disebut su su an. Dinamakan demikian karena dalam pelaksanaannya pemain harus berteriak “suuuuuuuuuuuuuu…” ketika hendak menyerang lawannya. Tumbuh dan berkembangannya su su an konon sejak zaman penjajahan Belanda. Waktu itu, anak-anak yang masih suka menggembala ternaknya menggunakan su su an untuk mengasah keterampilan mereka dalam bekerja sama guna mencapai kemenangan. Selain itu, su su an juga digunakan sebagai sarana hiburan sembari menjaga ternak gembalaan di tanah lapang.

Permainan su su an dilakukan oleh anak laki-laki berusia 6 hingga 14 tahun secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 5 hingga 15 orang pemain. Masing-masing kelompok akan memilih seorang anak sebagai pemimpin. Peran seorang pemimpin adalah mengarahkan para anggotanya ketika sedang bermain.

Apabila telah siap, pemimpin kelompok akan saling berhadapan untuk menentukan tempat permainan serta kelompok mana yang akan memulai terlebih dahulu. Setelah itu mereka akan bekerja sama membuat arena permainan seluas 10x5 meter yang bagian tengahnya dibuat garis batas bagi kedua kelompok. Garis batas ini hanya boleh dilewati oleh kelompok penyerang yang menang dalam undian.

Dalam proses permainan masing-masing kelompok akan menempati posisinya. Regu yang kalah undian berbaris berjejer, sedangkan regu yang menang berbaris ke belakang sesuai dengan urutan yang ditentukan oleh pemimpinnya. Apabila kedua regu telah siap, maka regu pemenang undian akan mulai menyerang melewati garis batas untuk menarik lawannya. Dan, apabila berhasil maka si penyerang akan berteriak “suuuuuu….” Sebagai tanda kemenangan.

Warung Nasi "Rasa Sunda"

Warung Nasi Rasa Sunda berada di Jalan Raya Serang-Pandeglang km. 5. Warung ini menyediakan masakan berupa: ayam goreng, ayam bakar, goreng benteur, goreng belut, sate ati ampela, tahu tempe bacem, semur jengkol, peps ayam, peps ikan, sate maranggi, sate ayam, karedok, cobek gurame, cobek ikan mas, ikan laut bakar, bakakak ayam kampung, sop gurame, sop iga sapi, sop iga kambing, dan lain sebagainya.

RM Cep Udin, Penyaji Angeun Lada Khas Pandeglang

Legenda Monyet Putih

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Pulau Untung Jawa yang pada masa penjajahan Belanda disebut sebagai Pulau Amiterdam ada sebuah cerita tentang kawanan monyet yang dipimpin oleh seekor monyet putih pernah menduduki pulau tersebut. Konon, peristiwa ini terjadi ketika pulau ditinggalkan penghuninya pada saat pemerintahan Belanda berakhir dan beralih ke Jepang. Dan, walaupun jejak-jejak Si Monyet Putih sudah tidak ada lagi, namun sebagian penduduk Pulau Untung Jawa masih mempercayai bahwa cerita itu benar adanya. Berikut adalah kisahnya.

Ketika pemerintahan Belanda berakhir dan beralih ke Jepang, terjadi mobilitas besar-besaran yang dilakukan oleh penduduk di Kepuluan Seribu. Sebagian dari mereka ada yang berpindah dari satu pulau ke pulau lain dan ada pula yang hijrah ke tanah Jawa untuk mencari penghidupan yang lebih layak.

Hal ini terjadi pula pada seluruh penduduk di Pulau Amiterdam. Mereka pindah ke pulau lain karena Pulau Amiterdam dianggap sudah tidak menjanjikan lagi. Akibatnya, Amiterdam pun menjadi pulau mati dan yang tersisa hanyalah rumah-rumah kosong serta barang-barang tidak berharga yang berserakan di sana-sini.

Tidak berapa lama setelah ditinggal penghuninya, secara ajaib tiba-tiba datanglah kawanan monyet berekor panjang ke Pulau Amiterdam. Mereka dipimpin oleh seekor monyet jantan berbulu putih bersih dengan mata berwarna merah dan mengenakan ikat kepala berwarna biru laut. Sang pemimpin monyet ini dikabarkan memiliki sorot mata sangat tajam yang dapat membuat takut siapa saja yang melihatnya.

Konon, sejak kedatangan kawanan monyet berekor panjang itu tidak ada seorang pun yang berani memasuki Pulau Amiterdam. Sebab, kabarnya ada seorang bajak laut terkenal bernama Bajul Kerok yang tewas bersama para pengikutnya di tangan kawanan monyet.

Setelah beberapa lama menguasai Pulau Amiterdam, pada sekitar tahun 1946-an kawanan monyet tersebut tiba-tiba menghilang tanpa diketahui rimbanya. Tidak ada jejak atau tanda-tanda sedikit pun mengenai keberadaan mereka di pulau itu. Jadi, sama seperti waktu mereka datang, saat pergi pun tidak ada yang mengetahui.

Dan, setelah telah kembali kosong, lambat laun penduduk yang tinggal di pulau-pulau lain mulai berani datang ke Pulau Amiterdam. Sebagian dari mereka bahkan ada yang mulai mendirikan rumah untuk menetap. Seiring dengan berjalannya waktu Pulau Amiterdam yang berganti nama menjadi Pulau Untung Jawa menjadi sebuah pulau ramai yang dihuni oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia.

Kisah Seekor Burung Gagak

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)

Alkisah, di dalam sebuah hutan belantara hiduplah seekor burung gagak. Suatu hari saat sedang mencari makan dia menemukan rontokan bulu burung merak dengan jumlah yang lumayan banyak. Setelah berpikir agak lama, dia menemukan sebuah ide untuk menempelkan bulu-bulu burung merak itu pada tubuhnya. Harapannya, bila mengenakan bulu dan berkumpul dengan kawanan merak, maka dia akan mendapat makanan gratis tanpa perlu bersusah payah mencarinya.

Setelah seluruh bulu merak menempel pada tubuhnya, gagak lalu mencari lokasi kawanan merak biasa berkumpul. Ketika bertemu dia langsung berbaur dengan berpura-pura sebagai burung merak. Awalnya kehadiran sang gagak diterima oleh kawanan merak. Namun, lama-kelamaan mereka menjadi risi karena Sang gagak berbulu merak sangatlah rakus. Dia menghabiskan hampir seluruh persediaan makanan kawanan merak.

Oleh karena penasaran, beberapa merak menyelidikinya. Selang beberapa waktu mereka akhirnya mengetahui bahwa kawan baru yang sangat rakus itu bukanlah seekor merak melainkan gagak. Mereka pun lantas mengusir sang gagak keluar dari kawanan.

Usai di usir, Sang gagak ke kawanannya sendiri. Namun, karena bulu burung merak tidak dapat dilepas dari tubuhnya, maka diterima bergabung. Teman-temannya mengira Sang gagak adalah seekor merak sehingga mereka mengusirnya.

Putus asa dengan penolakan kawan-kawannya sendiri, sang gagak akhirnya memutuskan menceburkan diri ke dalam sebuah lubuk. Dia tidak menyangka kalau perbuatannya memasak bulu merak pada tubuh malah berbuah malapetaka baginya.

Cantrang

Cantrang merupakan alat tangkap ikan berbentuk menyerupai payang namun berukuran lebih kecil dan berfungsi sebagai penangkap ikan-ikan demersal yang berada kurang dari 10 mil dari garis pantai. Konstruksi alat tangkap ini terdiri atas: kantong dari waring bermata satu inci yang bagian ujungnya diikat dengan tali agar hasil tangkapan tidak mudah terlepas; badan cantrang juga dari waring bermata 1,5 inci yang berfungsi sebagai penghubung sayap dan kantong; sayap berbahan polyethylene dengan ukuran mata 5 inci berfungsi sebagai penghadang sekaligus pengarah ikan agar masuk ke kantong; mulut atas dan bawah sebagai pembuka dan penutup jaring; pelampung dipasang pada tali ris atas sebagai pemberi daya apung sehingga mulut cantrang dapat terbuka; pemberat berbahan timah dipasang pada tali ris bawah agar cantrang cepat tenggelam dan tetap berada pada posisi walau terkena arus; dan tali penarik berdiameter 1 inci untuk menaik-turunkan cantrang.

Cara mengoperasikan cantrang diawali dengan menentukan daerah yang diperkirakan sebagai tempat berkumpulnya ikan. Bila lokasi telah ditentukan, barulah dilakukan penebaran cantrang sambil memperhatikan arah angin serta arus air agar tidak memengaruhi pergerakan perahu. Adapun urutan penebarannya dimulai dengan penurunan pelampung tanda, tali selambar, sayap kanan, badan sebelah kanan, kantong, badan sebelah kiri, sayap kiri, dan tali temali lain sembari perahu berjalan melingkar membentuk huruf "o". Dengan cara demikian, ikan akan terkumpul di dalam lingkaran dan terperangkap di kantong.

Aji Saka

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah)

Alkisah, di sebuah desa yang bernama Medang Kawit ada seorang laki-laki gagah, tampan, dan sakti mandraguna bernama Aji Saka. Walau sangat sakti, dia masih dikawal oleh dua orang jawara bernama Dora dan Sembada. Kemana pun Aji Saka pergi dari rumah selalu ada Dora dan Sembada yang mengikutinya.

Suatu hari, entah dari mana, dia mendengar kabar ada seorang raja bengis bernama Dewata Cengkar. Raja dari Kerajaan Medang Kemulan ini dikabarkan kelewat kejam. Hobinya adalah memakan daging manusia. Hampir setiap hari dia memerintahkan salah seorang patihnya bernama Jugul Muda mencari manusia guna dijadikan santapan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila orang-orang akan langsung bersembunyi bila mendengar kabar Patih Jugul Muda keluar dari istana.

Tergelitik mendengar hobi ajaib Sang Dewata Cengkar, Aji Saka berniat untuk pergi ke Medang Kemulan. Dia ingin membantu orang-orang di sana agar terbebas dari perasaan cemas jika sewaktu-waktu dijadikan santapan. Bersama Dora dan Sembada, dia berangkat menuju Medang Kemulan.

Saat mereka tiba di sekitar Pegunungan Kendeng, Aji Saka memerintahkan Sembada untuk menunggu di sana. Sembada ditugaskan menjaga keris pusakanya dan tidak boleh ada seorang pun (kecuali dirinya) yang memakainya. sementara Aji Saka dan Dora meneruskan perjalanan menuju Medang Kemulan.

Sebelum sampai di gerbang kerajaan, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Patih Jugul Muda. Setelah berbasa-basi, Aji Saka mengetahui rupanya Sang Patih sedang kebingungan karena sejak matahari terbit hingga tengah hari belum bertemu dengan seorang manusia pun. Padahal, hari itu dia harus memenuhi keinginan Raja Dewata Cengkar akan daging manusia.

Di tengah kebingungan Sang Patih, tanpa disangka Aji Saka menawarkan diri untuk menjadi santapan Dewata Cengkar. Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Patih Jugul Muda. Dia tidak perlu repot mengejar-ngejar orang yang banyak menyita energinya. Kini telah ada “korban” yang dengan sukarela datang menawarkan diri.

Setelah berada di kerajaan Patih Jugul Muda yang datang bersama Aji Saka langsung menghadap Dewata Cengkar. Terjadilah percakapan yang sangat cair di antara ketiganya. Dan, karena percakapan sangat lancar, Aji Saka dapat bernegosiasi sebelum dirinya dijadikan santapan. Dia meminta sebuah syarat, yaitu Dewata Cengkar harus memberi tanah seluas sorban yang dipakainya.

Persyaratan tadi tentu saja membuat Dewata Cengkar terbahak-bahak. Baginya, itu adalah sebuah persyaratan aneh bin ajaib yang pernah diajukan seseorang. Seberapa luas sorban yang dikenakan oleh seseorang? Untuk menutupi tubuh saja tidak cukup dan hanya dapat menutupi bagian kepala. Oleh karena itu, Dewata Cengkar kemudian mempersilahkan Aji Saka melepas sorbannya.

Tanpa disangka, ketika sorban dilepas lalu dibentangkan rupanya tidak hanya berukuran beberapa meter. Ia terus melebar dan meluas hingga menutupi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kemulan. Melihat sorban ajaib terus saja memanjang tanpa henti membuat Dewata Cengkar yang tadinya tertawa langsung terdiam. Dia sangat marah karena merasa telah dipermainkan oleh Aji Saka. Namun, ketika akan menyerang tiba-tiba tubuhnya terlilit dan tergulung sorban hingga ke laut selatan.

Tergulungnya Dewata Cengkar hingga tewas di laut selatan tentu merupakan kabar gembira bagi rakyat Medang Kemulan. Beramai-ramai mereka keluar dari tempat persembunyian guna menyambut Aji Saka sebagai seorang pahlawan. Dan, sebagai imbalan sekaligus rasa terima kasih, mereka lalu mengangkat Aji Saka sebagai raja di Medang Kemulan.

Tidak lama memerintah Medang Kemulan Aji Saka teringat akan keris sakti yang dititipkan pada Sembada di Pegunungan Kendeng. Dia lalu memerintahkan Dora mengambilnya. Dia tidak ingat kalau dahulu pernah berpesan pada Sembada agar tidak ada seorang pun yang boleh mengambil keris itu kecuali dirinya sendiri. Akibatnya, terjadilah pertarungan antara Dora dan Sembada. Dora merasa mendapat mandat untuk mengambil keris sakti itu, sementara Sembada juga diberi mandat untuk menjaganya. Keduanya bertarung hingga menemui ajal secara bersamaan.

Sadar akan kelalaiannya, Aji Saka kemudian membuat sebuah kisah yang menceritakan keheroikan pertarungan antara Dora dan Sembada. Adapun tujuannya adalah sebagai penghormatan atas kesetiaan dan jasa mereka terhadap dirinya.

Diceritakan kembali oleh gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive