Sungai Berair Merah

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, dahulu di hulu Sungai Mahakam ada sebuah desa bernama Kembang Janggut. Penduduknya sebagian besar menggantungkan hidup dari malau atau mengumpulkan sejenis getah pohon. Salah satu dari mereka adalah adik beradik Pak Moga dan Pak Kunci. Suatu hari mereka ingin malau ke dalam hutan. Segala perbekalan dikumpulkan guna digunakan selama malau.

Malam hari sebelum berangkat Pak Moga mendapat mimpi yang dia anggap sebagai firasat atau pertanda buruk. Mimpi itu disampaikan pada Pak Kunci. Dia menyarankan agar malau ditunda keberangkatannya. Apalagi jika pergi membawa serta keluarga, kemungkinan terjadi hal tidak diinginkan menjadi bertambah besar karena fokus mencari malau akan menjadi terpecah bila sambil mengawasi anak-anak, istri, dan ipar.

Pak Kunci percaya dengan ucapan Pak Moga. Menurut nenek moyang terdahulu, bentuk mimpi yang dialami Pak Moga kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Namun, bagi ipar Pak Moga yang turut serta dalam pencarian malau, mimpi tadi hanyalah kembang tidur belaka dan tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Oleh karena itu, sambil bercanda dia pun menyindir mereka agar mengganti celana dengan sarung sebagai simbol “penakut”.

Tidak terima dengan sindiran itu, Pak Moga dan Pak Kunci mengurungkan niat untuk membatalkan malau. Mereka kemudian berangkat menggunakan perahu. Sampai di hulu pencarian getah pohon dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki hutan. Tengah hari mereka memilih tempat teduh untuk beristirahat melepas lelah sambil mengisi perut. Sebelum memasak Pak Kunci membuat tungku sederhana, sementara Pak Moga mencari kayu bakar.

Ketika Pak Moga sedang asyik membelah kayu, di antara pepohonan berkali-kali terdengar suara burung seset. Dia selalu berpindah dari satu pohon ke pohon lain di sekeliling Pak Moga sehingga membuatnya kesal dan melemparnya dengan mandau hingga mati.

Tidak berapa lama kemudian, lewatlah seekor kancil yang sedang mencari makan. Merasa ada makanan menghampiri, ditebasnya kancil itu hingga mati. Setelah itu, lewat pula seekor ular besar dan dipukul hingga mati pula oleh Pak Moga. Pikirnya, kedua daging binatang itu lumayan untuk dijadikan teman nasi.

Saat makan tiba Pak Moga berkata lagi bahwa selesai makan sebaiknya mereka kembali ke rumah. Rencana malau dibatalkan saja karena sudah seharian belum juga menemukan pohon untuk dimalau. Sang adik ipar yang sebelum berangkat memanasi Pak Moga dan Pak Kunci langsung menyela bahwa mereka sudah berjalan jauh. Jadi apabila tidak dilanjutkan akan sangat rugi karena telah membuang waktu dan tenaga. Dia mengusulkan agar mereka bermalam saja karena hari telah senja.

Esok harinya, sebelum matahari terbit dari ufuk timur mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang senja barulah menemukan pepohonan yang akan dimalau. Namun, karena matahari sudah mulai tenggelam Pak Moga memutuskan membangun pondok darurat untuk bermalam di tepi sungai tidak jauh dari lokasi malau. Sang istri disuruhnya memasak bekal makanan yang dibawa dari rumah.

Usai makan, Pak Moga dan Pak Kunci berdiskusi tentang pohon mana yang esok hari akan di malau. Sebab, banyak sekali pohon yang dapat dimalau sehingga harus dipilih mana di antaranya yang terbaik. Sementara sang isteri berada di bagian belakang pondok membersihkan perlengkapan makan dan merebus air sedangkan sang adik ipar di bagian depan menghangatkan badan di dekat api unggun.

Tatkala keduanya berdiskusi dari belakang pondok terdengar jeritan minta tolong. Ketika didatangi ternyata istri Pak Moga telah terkena tombak di bagian perut. Dia langsung digendong dan dibawa masuk. Namun, belum sempat mengobati luka sang istri, tiba-tiba terdengar pula jeritan dari depan pondok. Rupanya adik ipar Pak Moga juga terkena tombak hingga berlumuran darah. Dia juga dibawa masuk.

Melihat Sang istri dan adik ipar berlumuran darah Pak Moga menjadi murka. Sambil membawa mandau dia langsung keluar pondok dan berteriak menantang orang yang telah menombak keluarganya. Sejurus kemudian, dari kegelapan malam muncullah puluhan orang bersenjata tombak dan mandau. Tanpa basa basi Pak Moga langsung menyerang sehingga pertarungan tidak dapat dielakkan.

Walau tidak seimbang Pak Moga dapat menewaskan mereka satu demi satu. Dia memiliki ilmu kebal senjata mandau dan tombak sehingga tubuhnya tidak terluka sama sekali. Hal ini membuat para penyerang kewalahan dan sebagian melarikan diri. Beberapa di antaranya mencari bala bantuan pada orang-orang yang memiliki keahlian menggunakan senjata sumpitan. Harapannya, Pak Moga tidak kebal sumpitan sehingga dapat dilumpuhkan.

Selang beberapa waktu orang-orang yang melarikan diri tadi kembali menyerang tidak lama setelah Pak Moga dan Pak Kunci menguburkan jenazah istri dan ipar Pak Moga. Mereka dibantu oleh belasan ahli sumpit. Walhasil, walau kebal mandau dan tombak, Pak Moga akhirnya kewalahan juga. Matanya berhasil disumpit hingga menjadi buta. Sementara mandaunya terlempar ke dalam sungai.

Kebutaan Pak Moga tidak lantas membuat para penyerang menghentikan serangan. Mereka tetap menghujaninya dengan tebasan mandau dan tusukan tombak. Namun, Pak Moga tidak bergeming karena masih kebal terhadap kedua senjata tersebut. Tetapi dia sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Malahan dia menyarankan agar para penyerang mengambil mandaunya yang tercebur di sungai bila ingin membunuhnya. Hanya dengan mandau itulah Pak Moga dapat dikalahkan.

Singkat cerita, para penyerang beramai-ramai terjun ke sungai mencari mandau milik Pak Moga. Oleh karena badan penuh dengan luka tebasan mandau, maka sungai pun menjadi keruh dan berwarna merah darah. Mandau tidak berhasil ditemukan walau telah berjam-jam dicari hingga mereka bosan dan akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Pak Moga yang dianggap sudah tidak berdaya. Konon, sejak saat itu lokasi jatuhnya mandau Pak Moga tidak dapat ditumbuhi pepohonan besar. Kalaupun ada hanya berupa rerumputan yang tidak berwarna hijau melainkan kuning kemerahan.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Raja dan Janda Setengah Baya

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, dahulu di negeri Berau ada seorang raja arif dan bijaksana. Dia bercita-cita ingin membuat negeri aman serta seluruh rakyatnya hidup sejahtera. Untuk itu, diangkatlah sebagian rakyatnya yang dianggap pintar guna ditempatkan pada posisi menteri dan pegawai kerajaan. Pada hari-hari tertentu setiap bulannya Sang Raja memanggil mereka dalam sebuah rapat untuk mengetahui sejauh mana kebijakan-kebijakan yang diterapkan dapat meningkatkan keamanan serta kesejahteraan rakyat.

Anehnya, seluruh pejabat yang diundang rapat melaporkan bahwa kerajaan dalam keadaan baik. Rakyat dalam keadaan aman. Tidak ada satu pun kejahatan sepanjang Raja memerintah. Dalam dunia perdagangan, setiap hari kapal-kapal dagang datang dan pergi dari pelabuhan, baik itu menurunkan maupun menaikkan komoditi, sehingga rakyat tidak pernah kekurangan sandang dan pangan. Sementara dalam bidang kesehatan, rakyat dikabarkan dalam keadaan baik. Tidak ada penyakit berbahaya yang menjadi pandemi dan memakan banyak korban jiwa. Yang ada hanyalah penyakit-penyakit ringan dan dapat diatasi secara cepat oleh para tabib.

Begitu seterusnya, setiap kali rapat laporan para pembesar selalu menyampaikan hal-hal baik pada Raja. Padahal, kadi kerajaan hampir kerap kali melaporkan adanya pencurian, perampokan, dan bahkan pemunuhan sehingga penjara menjadi penuh. Oleh karena itu, agar dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya, dia berniat terjun langsung ke lapangan. Dengan demikian, dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat di kerajaannya.

Agar tidak diketahui, Raja mulai beraksi tepat tengah malam ketika sebagian besar penghuni istana tertidur lelap. Berbekal pakaian seadanya yang umum dikenakan orang kebanyakan, dia menyelinap keluar istana. Sepanjang pagi dikunjunginya kampung-kampung sekitar kerajaan. Dan, yang tampak adalah pemandangan rumah-rumah panggung kumuh berdinding papan serta beratap daun rumbia yang bagian bawahnya sebagian besar tergenang air.

Pada salah satu rumah yang sudah reot dan tampak hampir roboh terdengar suara anak kecil menangis. Sang kakak yang tadinya berada di kolong rumah bergegas menghampiri dan berusaha menghibur agar berhenti menangis dengan berkata pada ibunya bahwa sang adik lapar. Sementara dari dalam rumah Sang ibu menjawab kalau air tanakan beras sudah mendidih. Begitu seterusnya, setiap sang adik menangis kakaknya akan berkata seperti itu dan ibunya menjawab seperti itu tanpa ada nasi yang dihidangkan.

Heran melihat “pertunjukan” mereka, Sang Raja mendatangi rumah itu. Sampai di depan pintu dia disambut oleh seorang perempuan setengah baya pemilik rumah. Dia adalah seorang janda beranak dua yang telah lama ditinggal mati sang suami. Setelah dipersilahkan masuk, tanpa banyak basa-basi Sang Raja langsung menanyakan percakapan yang terjadi antara anak dan ibu tadi agar si bungsu tidak menangis, padahal nasi yang diminta tidak kunjung datang.

Melihat si penanya sangat berwibawa, walau berpakaian layaknya orang kebanyakan, Sang janda terdiam. Dia tidak berkata apa pun, hanya pandangannya diarahkan ke tungku tempat menjerang sebuah periuk tua yang airnya sudah mendidih. Di dekat tungku berserakan potongan-potongan kayu bakar. Sementara di sampingnya bergeletakan peralatan masak sederhana yang tampak jarang terpakai.

Penasaran melihat periuk mengepulkan asap, Sarang Raja meminta izin pada si janda untuk melihat isinya. Setelah dipersilahkan, Raja tertegun melihat isi periuk berupa batu kerikil dalam air yang sudah mendidih. Sebelum Raja sempat berkomentar, Si Janda sudah menyela dan mengatakan bahwa sejatinya selama beberapa minggu ini tidak pernah ada beras yang ditanak. Selama musim hujan sedang berlangsung, pekerjaannya sebagai buruh cuci dan atau penumbuk tepung menjadi sepi. Dia tidak dapat meminjam atau berhutang pada tetangga karena sebagian besar dari mereka juga berada dalam situasi serba kekurangan.

Mendengar penjelasan itu, kini giliran Sang Raja yang terdiam. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam pikiran yang intinya selama ini dia belum dapat mensejahterakan rakyat. Para pembesar yang diangkat ternyata hanya bermanis muka di depannya. Sementara dia sendiri terlanjur percaya laporan mereka tanpa melakukan cross check kembali atas laporan-laporan tersebut.

Atas kesalahan ini, raja kemudian mengubah kebijakannya. Hampir setiap minggu dia keluar istana bersama para pembesar yang tadinya menyatakan keadaan rakyat baik-baik saja. Mereka diperintah memperbaiki apa yang salah sesuai dengan jabatannya masing-masing. Sementara bagi sang janda yang telah memberikan kesaksian, diberikan pekerjaan tetap sebagai tukang cuci istana. Dan mulai sejak saat itu, dia dan kedua anaknya dapat hidup secara layak.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Pencebung

Pencebung adalah istilah orang Kubu/Rimbo di Jambi bagi sebuah perangkap untuk menangkap binatang di dalam hutan khususnya gajah. Pancebung terbuat dari batang pohon bergaris tengah sekitar 30 centimeter. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan, ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang besar yang berada di daerah-daerah sumber air dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah dengan ketinggian kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah agar jika ada gajah yang menginjak atau menariknya, maka akan tertimpa atau kejatuhan batang kayu yang runcing itu.

Sebagai catatan, selain dengan menggunakan pencebung, gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap berupa lubang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan, sehingga tanah tampak rata. Dengan cara yang demikian gajah akan terjerumus ke dalam lubang yang ukurannya kurang lebih sama besarnya dengan gajah itu sendiri.

Aji Putri Bidara Putih

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, dahulu di daerah Muara Kaman ada seorang raja yang adil dan bijaksana. Dia mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita. Namun, walau telah menikah selama belasan tahun mereka belum juga dikaruniai momongan. Oleh karena itu, setiap tahun mereka mengadakan belian dan bedewa dengan tujuan agar dikaruniai anak oleh dewa. Setelah belasan kali berbelian dan bedewa barulah dewa mengabulkan permintaan mereka. Permaisuri mulai mengandung.

Sembilan bulan kemudian, pada saat bulan purnama Permaisuri melahirkan seorang bayi perempuan. Sebagai bentuk syukur sekaligus ucapan terima kasih pada para dewa, Sang Raja memberikan sejumlah harta bendanya kepada para pertapa serta fakir miskin yang ada di seantero kerajaan. Selain itu, dia juga mengadakan erau selama empat puluh hari empat puluh malam dengan mengundang para raja dari segenap penjuru mata angin.

Usai perayaan erau, konon karena si jabang bayi berdarah putih maka diberi nama Aji Putri Bidara Putih. Dia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Raja dan Permaisuri serta segenap isi istana. Sesuai dengan namanya, dia tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik. Ketika dewasa, para lelaki di kerajaan terpesona bila melihatnya. Namun mereka sadar bahwa Sang Putri bukanlah orang kebanyakan sehingga hanya sebatas memandang saja tanpa bisa mendekati, apalagi meremas-remasnya ^_^.

Kecantikan paras serta kemolekan tubuh Sang Putri rupanya tidak hanya tersohor di kalangan rakyat kerajaannya saja, melainkan hingga ke kerajaan-kerajaan lain disekitar dan bahkan sampai pula ke negeri Cina. Salah seorang pangeran dari negeri tersebut kemudian datang ke Muara Kaman bersama para pengawalnya hendak menyaksikan kecantikan Sang Putri. Apabila memang benar cantik jelita, dia akan langsung melamar dengan menyerahkan harta-benda berupa empas, perak, dan intan berlian sebagai maharnya.

Sampai di pelabuhan Muara Kaman mereka disambut oleh kegemparan warga setempat yang kaget bukan kepalang melihat armada asing. Mereka mengira armada itu datang untuk berperang sebab kapal yang digunakan dilengkapi dengan senjata untuk berperang. Atas inisiatif warga, salah seorang di antara mereka segera melaporkan kedatangan armada asing itu pada Raja.

Sang Raja kemudian mengumpulkan para hulu balang agar bersiap sedia apabila armada asing itu menyerang. Ketika kapal merapat, yang turun hanya beberapa orang Cina dengan mengenakan pakaian biasa tanpa perlengkapan perang atau semacamnya. Salah seorang dari mereka lalu bertanya pada penduduk dimana letak istana raja. Oleh karena tidak menampakkan tanda-tanda permusuhan, para penduduk pun memberitahukan arah jalan menuju istana raja.

Sampai di istana salah seorang utusan dari armada Cina tadi langsung menyampaikan maksud kedatangan, bahwa pangeran mereka ingin melamar Aji Putri Bidara Putih. Sang Raja tidak menerima lamaran itu begitu saja. Dia ingin melihat siapakah gerangan si pelamar yang oleh utusannya disebut sebagai pangeran. Dia tidak ingin putri sematawayangnya jatuh pada sembarang orang. Oleh karena itu, dia memerintah para utusan Cina kembali ke armadanya untuk memberitahu pangeran mereka agar menghadap.

Tidak berapa lama kemudian datanglah sang pangeran beserta segenap rombongannya. Mereka datang membawa pundi-pundi berisi emas dan benda mewah lain sebagai persembahan. Hal ini tentu saja membuat Raja senang dan langsung menyambut Sang Pangeran dengan hangat. Begitu juga dengan Aji Putri Bidara Putih yang mengintip dari balik tirai. Dia langsung jatuh hati melihat Sang Pangeran yang sangat tampan, berkulit putih serta berperawakan “sixpack” ^_^. Pikirnya, alangkah indah hidup bila Sang Raja menerima pinangan Sang Pangeran untuk dirinya.

Perasaan senang dan gembira Raja serta Aji Putri Bidara Putih hanya berlangsung singkat. Malam hari, saat jamuan makan, perasaan itu langsung berubah akibat adanya perbedaan budaya. Ketika berbagai macam makanan mewah telah dihidangkan, Sang Raja dan segenap isi istana mengharap agar para tamu dari Cina segera memakannya dan memuji kelezatan makanan di istana Raja. Namun yang terjadi sebaliknya, Sang Pangeran menitah salah seorang pengawalnya kembali ke kapal untuk membawa perlengkapan makan yang tidak tersedia di istana.

Saat pengawal menuju kapal, segenap penghuni istana saling berpandangan. Mereka heran dan agak sedikit tersinggung karena tamu belum juga mencicipi makanan yang telah dihidangkan. Padahal, umumnya orang dijamu oleh Raja langsung menyantap makanan yang dihidangkan karena dianggap sebagai anugerah super mewah. Sebab, sangat jarang ada orang yang dijamu kecuali tamu-tamu khusus yang diundang oleh Raja.

Sekembali dari kapal, pengawal itu membawa bungkusan kain berwarna hitam. Ketika dibuka isinya berupa puluhan pasang sumpit sebagai alat makan. Dalam tradisi masyarakat Cina, makan haruslah menggunakan sumpit dan mangkuk. Oleh karena itu, mereka pun meminta mangkuk yang sebenarnya akan digunakan sebagai mencuci tangan alias kobokan. Selanjutnya, mereka makan dengan lahap tanpa merasa canggung atau risih dengan tatapan melongo penghuni istana.

Usai makan mereka berpamitan hendak kembali menuju kapal. Sebelum undur diri Sang Pangeran yang telah melihat kecantikan Aji Putri Bidara Putih mengatakan bahwa semoga Raja mengabulkan permohonan untuk meminang putrinya. Beberapa hari ke depan dia akan mengutus salah seorang pengawal untuk menanyakan apakah lamarannya diterima atau tidak. Apabila diterima, dia akan datang dengan membawa barang hantaran untuk diserahkan pada Raja.

Setelah Sang Pangeran pergi, Aji Putri Bidara Putih mendekati ayahnya lalu berkata bahwa dia malu apabila nanti berjodoh dengan Sang Pangeran. Alasannya, Sang Pangeran beserta para pengikutnya adalah orang-orang liar yang tidak tahu tata krama. Sumpit dan mangkuk kobokan yang digunakan makan merupakan bukti akan tingkah laku mereka. Bagi Aji Putri, percuma kawin dengan orang tampan perkasa namun memiliki tabiat buruk.

Senada dengan Aji Putri, Sang Raja pun menganggap tingkah laku Pangeran Cina dan anak buahnya tidak sopan. Raja dan Aji Putri Bidara Putih melihat hal itu dalam kacamata budayanya sendiri sehingga menganggapnya sebagai tidak sopan, tidak patut, dan tidak tahu diri. Mereka tidak tahu kalau adat makan orang Cina yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya mengenai tata cara makan yang benar adalah seperti itu.

Ketidaktahuan akan adanya budaya lain itulah yang kemudian menjadi malapetaka. Aji Putri Bidara Putih tidak mau berjodoh dengan Pangeran Cina. Apabila mereka tidak terima dan merasa terhina lalu menginginkan perang, Aji Putri Bidara Putih sendiri yang akan melawannya. Dia meminta Sang Raja mengumpulkan seluruh hulubalang dan segenap rakyat agar bersiap-siap apabila terjadi peperangan.

Singkat cerita pinangan ditolak sehingga Pangeran Cina marah dan memproklamirkan perang. Pagi-pagi buta mereka sudah menyerang istana menggunakan senjata tempur yang sebelumnya telah dipersiapkan di kapal. Di lain pihak, bersama rakyat dan para hulubalang Aji Putri Bidara Putih telah bersiap di dalam benteng istana. Setelah saling berhadapan, peperangan tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua belah pihak sama-sama tidak mau mundur sehingga banyak terjadi pertumpahan darah selama beberapa hari.

Oleh karena karena kalah dalam persenjataan, walau jumlah rakyat Muara Kaman lebih banyak mereka akhirnya terkepung di dalam benteng istana. Raja yang mulai gusar kemudian masuk ke sebuah ruangan khusus tempat dia biasa bersemedi. Di ruang itu dia berdoa memohon pada dewata agar rakyatnya dapat melepaskan diri dari pasukan Pangeran Cina.

Sejurus selepas memanjatkan doa, dari arah danau di belakang istana tiba-tiba muncul ratusan ribu lipan berwarna hitam legam yang marayap cepat menuju pasukan Pangeran Cina. Mereka menggigit anggota tubuh pasukan Pangeran Cina hingga tewas menggelepar. Sementara sisa pasukan yang tersisa (termasuk Sang Pangeran Cina) lari tunggang langgang menuju kapal. Dengan demikian, terbebaslah rakyat Muara Kaman dari ancaman pemusnahan pasukan Pangeran Cina. Dan, sebagai ucapan terima kasih, lokasi “pasukan lipan” muncul oleh masyarakat kemudian dinamakan sebagai Danau Lipan.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Kujur

Kujur adalah sebutan orang Kubu di provinsi Jambi bagi peralatan berburu semacam lembing dengan panjang hampir mencapai 3 meter. Kujur terbuat dari kayu tepis yang dianggap ringan namun keras. Kayu ini relatif sulit didapatkan. Pada salah satu ujung kujur terdapat semacam pisau runcing dengan kedua sisi tajam (bentuknya lebih lebar dan pendek daripada tombak). Kujur diperoleh dengan cara membuat sendiri, kecuali mata pisaunya yang terbuat dari besi.

Raksa Dogar

Kabupaten Garut tidak hanya terkenal dengan dodol atau jaket kulitnya saja, tetapi juga hewannya yaitu domba. Paling tidak, ada dua versi tentang asul usul domba Garut Menurut id.wikipedia.org, domba Garut yang awal mulanya dikembangkan di daerah Limbangan merupakan campuran perkawinan antara domba lokal dengan domba jenis capstaad dari Afrika Selatan dan domba Merino dari Australia. Hasilnya, terbentuklah sebuah varietas baru yang besar, gagah, dan bertanduk indah. Sementara versi lain berasal dari Priarna, dkk (1993:16), yang mengatakan bahwa domba Garut adalah hasil perkawinan silang segitiga antara domba Merino, domba ekor gemuk yang berasal dari Jazirah Arab dan Australia, serta domba Priangan. Beberapa buktinya dapat terlihat pada ekor, bulu, dan tanduk. Ekornya bercirikan ekor gemuk, bulu dan tanduknya bercirikan domba Merino.

Lepas dari berbagai versi tersebut, domba varietas baru inilah yang kemudian dijadikan sebagai domba aduan oleh orang-orang Cibuluh dalam permainan ngaben/pamidangan/ngadu domba di lapangan Bunisari, Kampung Cibuluh. Seiring berjalannya waktu, permainan rakyat ini tidak hanya dikenal di Garut saja, melainkan menyebar hampir ke seluruh wilayah Jawa Barat. Ngadu domba tidak hanya bertujuan sebagai penyalur kesenangan, tetapi juga dijadikan sebagai ajang adu prestasi, dan gengsi para pesertanya.

Sementara bagi masyarakat Garut sendiri, domba Garut telah menjadi suatu ikon yang mengangkat nama daerah hingga ke tingkat nasional. Domba Garut tidak hanya dijadikan sebagai hewan aduan, tetapi dikreasikan sedemikian rupa menjadi beberapa macam kesenian sebagai bentuk perwujudan akan rasa keindahan. Salah satu di antaranya adalah kesenian Raksa Dogar.

Raksa Dogar adalah istilah yang digunakan untuk menamakan sebuah pertunjukan kesenian atau helaran. Istilah ini berasal dari dua kata, yaitu “Raksa” dan “Dogar”. “Raksa” adalah singkatan dari “Raksasa”, sedangkan “Dogar” adalah akronim dari “Domba Garut”. Jadi, Raksa Dogar dapat diartikan sebagai sebuah pertunjukan yang mempertontonkan domba Garut berwujud boneka ukuran raksasa. Dalam pementasannya dua buah raksa dogar diusung oleh delapan orang pemain.

Menurut visitgarut.garutkab.go.id, awal mula terciptanya kesenian ini diilhami oleh domba bernama Naga milik almarhum Aen yang oleh masyarakat Desa Dayeuhmanggung, Kecamatan Cilawu dianggap telah mengangkat nama Dayeuhmanggung di setiap perhelatan pamidangan. Setelah Si Naga mati, untuk mengenangnya, sipaku.disparbud.garutkab.go.id mengatakan bahwa pada sekitar tahun 2010 salah seorang warga Dayeuhmanggung bernama Cahya Diningrat beserta masyarakat setempat membuat replika Si Naga dalam bentuk boneka sajodo (jantan dan betina) berukuran tinggi sekitar 2 meter dan panjang sekitar 2,5 meter.

Kedua boneka domba raksasa tersebut kemudian diarak dalam bentuk helaran diiringi oleh sekitar 40 orang pesilat kanak-kanak. Adapun tujuannya tidak hanya untuk mengenang Si Naga, tetapi juga memperkenalkan domba Ciwalu, khususnya Dayeuhmanggung sebagai domba kualitas terbaik. Dengan demikian, diharapkan agar masyarakat Garut tertarik untuk mengembangkan ternak domba.

Selain itu, sebagai penyemarak, pertunjukan Raksa Dogar diiringi oleh reog dan kendang penca. Kesenian kendang penca sendiri pada mulanya berfungsi sebagai pengiring seni beladiri pencak silat. Namun dalam perkembangan selanjutnya digunakan pula sebagai pengiring permainan ngadu domba/pamidangan dan raksa dogar. Adapun waditra dalam kesenian ini terdiri atas: (1) kendang atau gendang yang di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 268) didefinisikan sebagai nama bunyi-bunyian berupa kayu bulat panjang, di dalamnya berongga dan pada lubangnya ditutupi kulit (untuk dipukul). Bahan baku kendang banyak terdapat di alam pedesaan, seperti badan kendang terbuat dari batang pohon kayu nangka, kedua ujung rongga ditutup dengan kulit/wangkis yang sekeliling tepinya diikat dengan rarawat dan simpay ‘cincin’ serta wengku ‘pengikat’ dari rotan. Menurut ukurannya, kendang ada dua macam, yaitu kendang besar dan kendang kecil yang disebut kulanter. Bentuk kendang adalah bulat panjang dan besar, kedua bidang mukanya tidak sama. Di tengah-tengah badan tampak membesar dan mengecil pada kedua ujungnya; (2) dua buah kulanter (kendang kecil); (3) tarompet terbuat dari bahan kayu dan tempurung. Bagian pangkalnya yang terbuat dari tempurung berfungsi sebagai penahan rongga mulut ketika meniup alat tersebut. Alat musik tiup ini memiliki tujuh lubang nada serta empat ‘lidah suara” sebagai sumber bunyi. Cara memainkan tarompet ditiup sesuai dengan nada dan wirahma lagu yang diinginkan. Kombinasi dengan penggunaan alat tersebut bergantung pada lagu atau gerakan yang diiringinya; dan (4) kempul (canang) merupakan alat musik pukul yang berfungsi sebagai penambah harmonisasi bunyi kendang atau lagu. Alat ini terbuat dari perunggu dengan bentuk bulat cekung. Sedangkan lagu-lagu yang sering dibawakan dalam kesenian Kendang Panca khususnya untuk mengiringi Pertunjukan Raksa Dogar adalah “Buah Kawung”, “Bajing Luncat”, dan lain sebagainya.

Apabila dicermati, pertunjukan raksa dogar tidak hanya bertujuan sebagai sarana hiburan semata. Ada nilai-nilai budaya tertentu yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu adalah: kreativitas, ketekunan, kesabaran, kerja keras, kerja sama, kekompakan, dan kreativitas. Nilai ketekunan, kesabaran, kerja keras, dan kreativitas tercermin dalam proses pembuatan boneka domba raksasa. Untuk dapat membuatnya tentu diperlukan kreativitas, ketekunan, kesabaran, dan kerja sama. Tanpa itu, mustahil dapat membuat sebuah boneka domba berukuran besar yang terlihat gagah, kuat, dan megah. Nilai kerja sama tercermin dalam proses pementasan raksa dogar itu sendiri. Sebagai sebuah helaran raksa dogar tentu melibatkan berbagai pihak yang satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu diperlukan kerja sama sesuai dengan peran dan kedudukan masing-masing agar pementasan berjalan dengan lancar. Dan, Nilai kekompakan serta ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. (gufron)

Sumber:
“Domba Garut”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Domba_Garut, tanggal 17 April 2020.

“Kesenian Raksa Dogar”, diakses dari https://visitgarut.garutkab.go.id/id/read/kesenian-raksa-dogar-388, tanggal 17 April 2020.

Priarnana, Suwardi Alamsyah, dkk. 1993. Permainan Rakyat Ngadu Domba di Kampung Cibuluh Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

“Raksa Dogar”, diakses dari https://sipaku.disparbud.garutkab.go.id/raksa-dogar, tanggal 20 April 2020.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive