Terbang

Terbang merupakan waditra (alat musik) yang digunakan dalam kesenian terbang kencer di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Alat musik ini sebenarnya ada di berbagai daerah dengan bentuk, ukuran, dan istilah yang berbeda-beda. Dalam kesenian terbang kencer, terbang yang digunakan disertai dengan kecrek yang terbuat dari besi putih. Bagian atasnya berbentuk lubang bundar dengan garis tengah sekitar 40 centimeter sedangkan bagian bawahnya bergaris tengah sekitar 35 centimeter (semakin menyempit). Bagian lubang atas ditutup dengan kulit kambing menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (Paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang).

Badan terbang terbuat dari kayu sawo yang dianggap keras, kuat, tidak mudah retak, serta dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang berjarak sama berukuran tinggi 1 centimeter dan panjang 11 centimeter dengan posisi mendatar. Di setiap lubang terdapat dua buah logam berbentuk bundar dan pipih menyerupai piringan compact disc (CD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gemerincing. Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut disebut sebagai "terbang kencer".

Selain kencer, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan.

Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika pementasan dilakukan dalam sebuah ruangan (biasanya ruang tamu), maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri route yang telah ditetapkan.

Dan, jika terbang tidak digunakan (disimpan), sentek dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Selanjutnya, agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain belacu (gufron).

Asal Mula Pulau Sangkar

(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, ada dua orang pendekar yang tinggal di wilayah Indragiri Hilir. Mereka bernama Katung dan Tuk Solop. Katung adalah seorang pendekar sakti mandraguna, tetapi memiliki sifat sombong. Hidupnya sangat mewah dan berkecukupan berkat usahanya menyabung ayam serta iuran dari murid-murid yang belajar bela diri padanya. Katung memiliki seorang adik angkat yang cantik jelita, bernama Suri. Dia anak dari lawan mainnya dalam menyabung ayam yang kalah dan terpaksa menitipkan anaknya pada Katung karena telah mempertaruhkan dirinya sendiri. Ayah Suri kemudian diasingkan ke tengah hutan.

Sementara pendekar yang satunya lagi, Tuk Solop, memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Kutang. Dia seorang pendekar yang ramah dan tidak sombong sehingga disukai banyak orang. Tuk Solop pernah membuka sebuah perguruan beladiri di rumahnya di pinggir Pantai Solop. Namun karena semakin sedikit orang yang datang berguru dan sebagian muridnya bahkan ada yang beralih berguru ke Katung, dia pun memutuskan pergi mencari tempat yang baru. Dia merasa kalah bersaing dengan Katung dalam hal mencari murid.

Beberapa bulan setelah Tuk Solop pergi, datanglah seorang pengembara bernama Bujang Kelana ke rumah Tuk Solop. Tujuannya adalah hendak berguru pada pendekar itu. Namun, karena Tuk Solop sudah tidak bermukim lagi di situ, maka yang didapatinya hanyalah sebuah padepokan kosong dan terlantar. Kecewa dan sekaligus lelah karena usahanya sia-sia, Bujang Kelana hanya duduk termenung di teras rumah Tuk Solop sambil memikirkan rencana apa yang akan dibuat selanjutnya.

Tidak berapa lama dia beristirahat di teras rumah Tuk Solop, melintasah Suri hendak kembali ke rumahnya. Mereka pun lalu berkenalan dan berbincang-bincang seputar maksud dan tujuan Bujang Kelana serta keadaan padepokan milik Tuk Solop. Setelah mendapat penjelasan dari Bujang Kelana, tanpa basa-basi Suri menceritakan bahwa Tuk Solop telah pergi meninggalkan padepokan semenjak murid-muridnya beralih guru ke Pendekar Katung.

Penasaran akan penuturan Suri, Bujang Kelana lalu mendesaknya agar meceritakan siapakah gerangan Pendekar Katung. Suri tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam sesaat sambil memandang ke sekeliling seolah-olah takut bila ada orang yang sedang mengawasinya. Kemudian dia berbisik lirih bahwa bila ingin mengetahui siapa Pendekar Katung, Bujang Kelana harus menemuinya lagi di tempat ini esok hari. Setelah itu, dia bergegas pergi meninggalkan Bujak Kelana.

Setelah Suri berlalu, muncullah seorang kakek buta yang dari tadi bersembunyi di balik semak belukar. Sang kakek datang menghampiri Bujang Kelana dan memperkenalkan diri sebagai Datuk Buta. Dan, sama seperti Suri, sambil memandang sekeliling dia berbisik pada Bujang Kelana bahwa Katung merupakan pendekar beraliran hitam. Namun, sebelum Datuk Buta lebih jauh menceritakan jatidiri Pendekar Katung, tiba-tiba dirinya mendengar suara yang mencurigakan. Datuk Buta pun segera pamit dan berlalu menuju semak belukar lagi.

Beberapa jam setelah Datuk Buta pergi, Suri datang lagi dengan berlari tergopoh-gopoh menemui Bujang Kelana. Dalam keadaan panik dia meminta Bujang Kelana membawanya pergi ke suatu tempat tersembunyi. Dia akan menjelaskan alasannya bila mereka telah berada di tempat aman. Mendengar permintaan itu, Bujang Kelana yang memang tertarik akan kemolekan Suri, tanpa membantah langsung membawanya ke tengah hutan.

Sesampainya di tengah hutan, mereka menuju ke sebuah goa untuk berteduh karena hari menjelang senja. Ketika mereka telah berada di dalam goa Suri lalu menjelaskan bahwa dirinya akan dikawin oleh Pendekar Katung. Selama ini dia telah dirawat dan dianggap adik oleh Pendekar Katung karena ayahnya telah di buang di hutan sebab kalah dalam pertaruhan sabung ayam. Oleh karena dia berparas cantik, lama-kelamaan Pendekar Katung tertarik dan akhirnya hendak mengawininya.

Usai bercerita panjang lebar, dari mulut goa datanglah Datuk Buta. Sambil berjalan perlahan dia menghampiri Bujang Kelana dan Suri. Di hadapan mereka Datuk Buta menyatakan bahwa orang yang dibuang karena kalah bersabung ayam adalah dirinya. Dia tidak dapat kembali lagi ke Pantai Solop untuk menemui Suri karena telah menyerahkan "nyawanya" ketika dikalahkan oleh Katung dalam arena sabung ayam. Selama di hutan dia bertemu dengan Tuk Solop dan diajari cara mengalahkan Katung. Namun sebagai syaratnya, dia harus menjadi buta agar dapat mengetahui kelemahan Katung.

Mendengar penuturan itu, dengan berlinang air mata Suri bersujud di kaki Datuk Buta. Setelah keduanya melepas rindu, bersama Bujang Kelana mereka menyusun rencana menyingkirkan Pendekar Katung. Adapun caranya adalah dengan menantangnya mengadu ayam. Tetapi sebelum pertarungan dilaksanakan, malam harinya Bujang Kelana pergi ke kandang milik Katung untuk menukar ayam jagonya dengan ayam milik Datu Buta yang bentuk dan ukurannya sama persis. Walhasil, dalam pertarungan ayam Pendekar Katung yang telah ditukar kalah dan akhirnya mati melawan ayam milik Bujang Kelana.

Tidak terima ayam jagonya dikalahkan hanya dalam sekali serangan, Pendekar Katung segera memerintahkan para pengawalnya menangkap Bujang Kelana. Pada saat Bujang Kelana ditangkap dan dipukuli oleh para pengawal, Pendekar Katung yang sedang mengawasinya langsung disergap dari arah belakang oleh Datuk Buta. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bujang Kelana. Dengan gesit dia berkelit dari para pengawal dan menyerang Pendekar Katung hingga tewas terkapar.

Sayangnya, kematian Katung tidak sempat menghentikan seluruh aksi dari para pengawalnya. Sebagian dari mereka berhasil menangkap dan melukai Suri hingga kondisinya parah dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian ini membuat Bujang Kelana sangat kecewa. Sang Bujang yang sejak awal sebenarnya telah menaruh hati pada kecantikan dan kemolekan tubuh Suri terpaksa harus merelakannya pergi tanpa kembali lagi.

Singkat cerita, setelah kematian Suri, Bujang Kelana pun pamit pada Datuk Buta. Namun sebelum pergi, entah mengapa, dia meminta sebuah sangkar ayam milik Datu Buta untuk dilemparkan sesampainya di tengah laut. Dan konon, beberapa tahun setelah kepergian Bujang Kelana, sangkar ayam yang dilemparkan ke laut tadi muncul ke permukaan dan lambat laut menjadi sebuah pulau. Pulau itu oleh masyarakat setempat kemudian disebut sebagai Pulau Sangkar Ayam.

Diceritakan kembali oleh gufron

Togapuri

Sejarah
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting pendukung kinerja manusia. Apabila kesehatan terganggu, kemungkinan besar sebagian aktivitas juga turut terganggu. Untuk mengatasinya, umumnya orang akan menggunakan obat-obatan konvensional yang diproduksi oleh pabrik. Namun seiring waktu, karena harga obat konvensional yang kian melambung dan efek negatif jangka panjang yang ditimbulkannya, sebagian orang mulai beralih pada obat-obat tradisional yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Salah seorang diantaranya adalah Toto Suhendro, pensiunan pegawai salah satu BUMN di Kota Bandung. Ketertarikan Toto berawal dari berbagai macam penyakit yang dideritanya pada sekitar tahun 1991, yaitu: jantung, vertigo, hipertensi, lambung, kolesterol tinggi, alergi terhadap debu, cuaca, dan makanan tertentu1. Alih-alih menggunakan obat konvensional, Toto malah mencoba terapi pengobatan tradisional serta olah pernafasan. Hasilnya, dua tahun kemudian dia sembuh seperti sedia kala.

"Khasiat" pengobatan tradisional yang dihasilkan dari tumbuhan rupanya tidak hanya berpengaruh pada kesehatan jasmani, tetapi juga pola pikir Toto Suhendro. Dia melihat ada suatu peluang usaha baru apabila tanaman obat dikelola dengan baik. Oleh karena itu, setelah pensiun sekitar tahun 2003, Toto mulai beralih profesi dengan mengembangkan tanaman obat di atas lahan miliknya seluas sekitar 7.000 meter persegi di kaki Gunung Kareumbi dengan ketinggian sekitar 900 meter dpl dan dikelilingi oleh Gunung Manglayang dan Gunung Geulis2. Adapun lokasinya berada di Dusun Lebakjawa, Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang3.

Lahan tanaman obat tersebut kemudian diberi nama Togapuri. Kata "Toga" merupakan akronim dari "Tanaman Obat keluarGA" atau dapat pula "Toto dan keluarGA". Sedangkan "Puri" berarti "istana", karena konon seluruh tanaman obat yang berada di sana diperlakukan secara istimewa bak raja di istananya4. Jadi, Togapuri dapat diartikan sebagai Istana Tanaman Obat yang dikelola oleh Toto dan keluarga.

Sebagai sebuah usaha di bidang agrowisata, Togapuri tentu memiliki visi dan misi sebagai pedoman operasionalnya. Visi Togapuri adalah menjadi pusat budidaya, bisnis, dan wisata agro berbasis tanaman obat serta lokasi terapi holistik yang terkemuka di wilayah bumi Priangan Timur. Sedangkan misinya: (1) memperkenalkan dan menggali kearifan tradisional dari nenek moyang berupa menyelenggarakan budidaya dan pengolahan hasil panen tanaman berkhasiat obat; (2) menggali berbagai jenis tanaman berkhasiat obat yang mempunyai nilai ekonomis sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan di dalam mengelola kebun dan menjalankan bisnis tanaman obat; (3) melestarikan pupuk dan pestisida alami serta memanfaatkannya sebagai upaya untuk menghasilkan produk yang alami; (4) melestarikan keindahan alam dan mengembangkan potensi wilayah sebagai anugerah Tuhan berupa pengembangan wisata agro berbasis tanaman berkhasiat; (5) memberdayakan sumber daya manusia di lingkungan sekitar agar dapat membantu program pemerintah menanggulangi pengangguran, kemiskinan, dan kebodohan; serta (6) memberikan layanan kesehatan masyarakat secara holistik dan terpadu dengan menggunakan bahan obat alami2.

Visi dan misi itu bertujuan memberikan manfaat di bidang kesehatan jasmani dan rohani serta meningkatkan wawasan di bidang tanaman obat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Untuk mewujudkannya, Togapuri yang bermotto "Cinta Alam Sehat Alami"5 ini menyusun beberapa program kerja, yaitu: (1) menyelenggarakan kegiatan budidaya dan bisnis tanaman obat serta agrowisata; (2) menyelenggarakan diklat tentang budidaya toga; (3) menyelenggarakan bimbingan teknis budidata toga di halaman rumah penduduk sekitar kebun sebagai upaya untuk menjaga kesehatan keluarga; (4) menyelenggarakan bimbingan teknis cara memproduksi toga yang bernilai ekonomis; (5) memfasilitasi pembentukan kelompok petani toga; (6) memfasilitasi penelitian tentang tanaman obat bagi kalangan akademisi; (7) mengolah limbah alami menjadi pupuk; (8) menggalakkan penanaman tanaman hias dan bunga yang berkhasiat sebagai obat di lingkungan desa sekitar Togapuri; (9) mengolah dan memasarkan hasil kebuh berupa ekstrak tanaman obat dan minuman kesehatan; dan (10) menyelenggarakan kegiatan konsultasi dan terapi kesehatan secara holistik2.

Bidang Usaha dan Fasilitas Togapuri
Agrowisata Togapuri memiliki sejumlah bidang usaha yang berbasis tanaman obat, meliputi: (1) pembibitan dengan menanam ratusan jenis bibit tanaman yang diperoleh dari berbagai daerah. Pembibitan ini ada yang dijual sebagai tanaman hidup dan ada pula yang dibudidayakan kemudian hasilnya dikeringkan sebagai bahan baku obat, baik berupa daun, buah, biji, akar, bunga, maupun kulit pohon; (2) Usaha di bidang minuman yang dibagi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama berupa ekstrak tanaman yang telah dikeringkan lalu diolah sedemikian rupa menjadi serbuk dan dikemas dalam plastik maupun kapsul. Sedangkan bentuk kedua disajikan bersama makanan yang diolah di kantin Togapuri dengan menu bergantung pada daftar paket wisata yang ditawarkan; (3) Klinik pengobatan holistik terpadu menggunakan metode iridologi, kinesiologi, dan phytobiophysic. Klinik ini berada di dua tempat yaitu Jalan Taman Margawangi, Margacinta, Bandung dengan jadwal praktek setiap hari Rabu dan di Togapuri sendiri yang baru beroperasi bila ada pengunjung yang datang melalui reservasi; dan (4) wisata argo kebun tanaman obat yang merupakan inti dari bidang usaha Togapuri.

Wisata argo yang ditawarkan oleh Togapuri terbagi dalam lima area, yaitu: area layanan publik, kebun produksi, layanan tamu, taman kahuripan, dan area sahabat alam2. Area layanan publik disediakan bagi seluruh pengunjung yang ingin menggunakannya. Di dalam area ini terdapat berbagai macam fasilitas, seperti: dua buah tempat parkir yang dapat menampung 30 unit mobil atau 6 buah bus berpenumpang 59 orang6, sebuah bale sehat tempat pengobatan holistik, tiga buah toilet umum, ruang tunggu, dan dilengkapi pula dengan taman bunga bertingkat. Area kebun produksi berfungsi sebagai kebun tanamam obat yang hasilnya akan dipasarkan. Di dalam area ini terdapat rumah pupuk dan tempat istirahat tamu berbentuk pendopo segi delapan yang mampu menampung hingga 50 orang. Selain dapat digunakan untuk istirahat, pendopo juga dapat digunakan sebagai tempat makan, ceramah, atau menggelar hiburan dengan iringan organ tinggal.

Selanjutnya, ada area layanan tamu yang berisi rumah tinggal (bale indung), rumah pembibitan, mushola (bale agung), rumah pertemuan, dapur umum, dan arena bermain. Bale indung dilengkapi dengan tujuh buah kamar tidur dan sebuah ruang spa berkapasitas dua tempat tidur6. Ruang pertemuan (aula) berukuran 120 meter persegi dan dilengkapi dengan sebuah toilet serta dua buah loudspeaker berukuran 15 inci. Bale agung dilengkapi dengan dua unit toilet, 5 buah kran air, 1 unit gentong wudlu7, dan dapat menampung hingga 20 orang.

Kemudian, area taman kahuripan merupakan tempat penanaman sekitar 300 jenis tanaman obat yang berasal dari tanaman liar, tanaman buah, tanaman hias, tanaman keras, tanaman sayur, dan tanaman rimpang. Di taman yang dibuat dalam lima tingkatan ini terdapat pula 8 jenis alat olahraga yang dapat digunakan sebagai terapi kesehatan. Dan terakhir, adalah area sahabat alam yang, sesuai dengan namanya, diciptakan agar pengunjung lebih dekat dan bersahabat dengan alam. Area sahabat alam dilengkapi dengan lapangan olahraga volley, basket, dan bulu tangkis yang dapat pula berfungsi sebagai arena senam massal dengan jumlah peserta hingga 250 orang.

Bagaimana? Anda berminat mengunjungi agrowisata tanaman obat yang berada di daerah Sumedang Selatan ini? Sebagai catatan, apabila berminat anda tidak dapat langsung menuju ke lokasi karena pihak pengelola Togapuri menerapkan aturan kunjung secara ekslusif, yaitu harus melakukan reservasi terlebih dahulu dengan minimal jumlah tamu sebanyak 20 orang (rombongan). Hal ini berkaitan dengan paket wisata yang ditawarkan agar pengunjung dapat mencapai tingkat kepuasan maksimal.

Foto: Pepeng
Sumber:
1. "Siapa Kami", diakses dari http://togapuri.com/new-page/, tanggal 15 Januari 2016.

2. Rachmawati, Elita. 2007. Segmentasi, targeting, dan positioning pada wisata agro tanaman obat togapuri dengan menggunakan model stv-triangle. Tesis/Proyek Akhir, Program Magister Administrasi Bisnis, Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung.

3. "Togapuri yang Menarik", diakses dari http://p2tel.or.id/2014/04/togapuri-yang-menarik/, tanggal 15 Januari 2016.

4. "Latar Belakang dan Sejarah Tanaman Keluarga", diakses dari http://kesehatan173.blog spot.co.id/2011/01/latar-belakang-dan-sejarah-tanaman.html, tanggal 17 Januari 2016.

5. "Togapuri, Tempat Wisata Kesehatan Herbal di Cilembu, diakses dari http://firmanzurig. blogspot.com/2013/08/togapuri-tempat-wisata-kesehatan-herbal.html#ixzz3y9TIASTf, tanggal 17 Januari 2016.

6. "Fasilitas", diakses dari http://togapuri.com/fasilitas/, tanggal 14 Januari 2016.

7. "Togapuri, Sumedang", diakses dari http://na-2x.blogspot.co.id/2011/06/togapuri-sume dang.html, tanggal 19 Januari 2016.

Nyai Anteh

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Alkisah, pada zaman dahulu kala di istana Kerajaan Pakuan ada dua orang gadis remaja bernama Endahwarni dan Anteh. Mereka sangat rukun walau memiliki status sosial berbeda. Endahwarni adalah calon pewaris tahta kerajaan, sedangkan Anteh hanyalah anak Nyai Dadap, seorang dayang kesayangan Ratu Pakuan. Anteh ikut dibesarkan di lingkungan istana bersama Endahwarni karena Nyai Dadap meninggal saat melahirkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, walau berbeda status sosial, Endahwarni tidak memperlakukan Anteh sebagaimana dayang lainnya. Hal ini disebabkan karena umur mereka tidaklah terpaut jauh. Endahwarni bahkan menganggap Anteh seperti adiknya sendiri. Oleh karena itu, jika mereka hanya berdua Endahwarni melarang Anteh memanggilnya gusti. Dia menghendaki agar Anteh memanggilnya dengan sebutan kakak.

Suatu hari Endahwarni dan Anteh diperintahkan menghadap Gusti Ratu. Setelah mereka datang, Gusti Ratu berkata bahwa Endahwarni harus memiliki pendamping hidup agar kelak dapat menjadi ratu dan menggantikan kedudukan ayahandanya memimpin rakyat Pakuan. Untuk itu, Gusti Ratu telah memilihkan seorang pemuda baik, gagah, tampan, dan dari keluarga bangsawan. Namanya adalah Anantakusuma, anak Adipati dari Kadipaten Wetan. Sementara Anteh yang bersimpuh dibelakang Endahwarni diperintahkan agar selalu menjaga dan menyediakan segala keperluan Endahwarni hingga dia menikah nanti.

Usai menghadap, mereka mengundurkan diri menuju kamar Endahwarni. Ketika telah berada di dalam kamar Endahwarni menyampaikan keluh kesahnya pada Anteh. Dia khawatir apabila calon suaminya tidak mencintainya karena mereka sama sekali belum pernah bertatap muka. Kekhawatiran Endahwarni segera ditepis oleh Anteh dengan menghibur bahwa Endahwarni merupakan puteri yang cantik jelita. Tidak ada seorang pemuda pun yang akan menolak bila bersanding dengannya. Selain itu, tidak mungkin bila Ibuda Ratu sembarangan dalam memilihkan jodoh untuk anak semata wayangnya.

Beberapa minggu kemudian, Anteh diperintah mengumpulkan bunga melati penghias sanggul Endahwarni. Oleh karena sifatnya yang selalu periang, saat memetik bunga Anteh bernyanyi sambil memperhatikan sekelompok kupu-kupu yang terbang mengelilingi bunga-bunga yang akan diambil sebagai penghias sanggul. Tanpa dinyana nyanyian Anteh terdengar oleh seorang pemuda tampan yang kebetulan lewat. Penasaran mendengar suara merdu itu, sang pemuda yang ternyata adalah Anantakusuma segera melompati tembok istana untuk mencari sumbernya.

Sambil mengendap-endap diantara tanaman bunga di taman istana, dia mencari sumber suara yang telah memikat hatinya. Dan, betapa terkejutnya dia ketika melihat suara merdu itu berasal dari seorang gadis cantik jelita yang sedang memetik bunga. Dalam hati, Anantakusuma mengira bahwa sang gadis pasti adalah calon isterinya, Endahwarni. Oleh karena itu, dia mendekati Anteh yang dikiranya Endahwarni untuk sekadar memberi salam sekaligus memperkenalkan diri.

Namun, ketika Anantakusuma memperkenalkan diri, Anteh yang belum sempat menjawab tiba-tiba saja dipanggil oleh salah seorang dayang istana karena Endahwarni membutuhkan bantuannya. Anantakusuma yang menyadari kalau gadis itu bukanlah Endahwarni segera berlalu meninggalkan taman istana. Sembari berjalan keluar dari lingkup istana, jantungnya berdebar-debar karena membayangkan suara serta paras Anteh nan cantik jelita. Pikirnya, gadis itu telah berhasil memikat hati. Alangkah bahagia bila dia dapat dijadikan sebagai pendamping hidup.

Kejadian tadi berlalu begitu saja hingga beberapa minggu kemudian datanglah Adipati Wetan bersama rombongan melamar Puteri Endahwarni. Anantakusuma yang berada di antara rombongan Sang Adipati segera menjadi pusat perhatian segenap penghuni istana. Ketampanan dan kegagahannya membuat para perempuan yang melihat menjadi terpana, tidak terkecuali Endahwarni. Sukmanya laksana terbang ke awan melihat penampilan fisik calon suaminya.

Tetapi kegembiraan Endahwarni hanya berlangsung sesaat saja. Sebab, Anantakusuma sama sekali tidak menampakkan keceriaan. Wajahnya murung dan terkesan tidak bersemangat. Dia baru kembali "bersinar" tatkala melihat Anteh datang membawakan hidangan dan mengaturnya di atas meja perjamuan. Matanya bahkan nyaris tak berkedip ketika menatap tingkah polah Anteh yang sedang mengatur tata letak segala jenis hidangan di atas meja.

Hal ini tentu saja membuat Endahwarni "panas hati" karena dibakar rasa cemburu. Ternyata Anantakusuma pernah bertemu dan jatuh hati pada Anteh. Jadi, tidaklah mengherankan apabila perhatiannya selalu tertuju pada Anteh yang sedang mengatur hidangan. Bahkan dia seakan tidak menghiraukan kalau hari itu akan menikah. Dalam pandangan Endahwarni, Anantakusuma sebenarnya ingin menikahi Anteh, tetapi karena sudah dijodohkan oleh kedua orang tua, maka mau tidak mau dia pun harus menurut.

Untuk mengatasi agar Anantakusuma tidak beralih ke lain hati, Endahwarni kemudian mengatur sebuah rencana licik guna menyingkirkan Anteh, yaitu dengan mengusirnya keluar dari istana. Rencana ini dilaksanakannya beberapa hari setelah dia menikah dengan Anantakusuma. Tanpa basa basi dia langsung mengusir Anteh tanpa alasan jelas. Endahwarni hanya mengatakan bahwa Anteh dapat merusak hubungan rumah tangganya apabila masih berada di istana.

Perkataan Endahwarni tadi tentu saja membuat Anteh terkejut luar biasa. Dia tidak mengerti kenapa Endahwarni tiba-tiba berkata demikian. Namun, karena Anteh hanyalah seorang dayang yang notabene termasuk dalam lapisan sosial bawah di istana, maka dia tidak dapat membantah atau meminta penjelasan yang lebih detail dari Endahwarni. Anteh hanya tertunduk lesu sambil berlalu menuju kamarnya untuk mengemasi barang. Selanjutnya, dia berpamitan pada para dayang lalu pergi meninggalkan istana menuju ke kampung halaman almarhumah ibunya.

Beberapa jam lamanya dia berjalan menyusuri lembah dan bukit hingga akhirnya sampai di sebuah pohon rindang dekat kampung ibunya. Ketika hendak melepas lelah di bawah pohon itu, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya datang menyapa, "Siapakah namamu, Nak?"

"Namaku Anteh, Paman," jawab Anteh agak terkejut karena tiba-tiba ada ada orang di dekatnya.

"Anteh," kata orang itu, "Wajahmu mengingatkanmu pada almarhumah kakakku Dadap."

"Dadap, Paman? Apakah dia seorang dayang istana?" tanya Anteh.

"Iya," Jawab sang lelaki singkat sambil menerawang mengenang adiknya.

"Dia adalah ibuku," jawab Anteh Singkat pula.

Sang lelaki yang bernama Waru itu langsung menatap Anteh dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak mengira kalau dapat bertemu dengan keturunan satu-satunya dari Nyai Dadap. Selama ini dia hanya mendengar kabar bahwa kakanya telah meninggal sewaktu melahirkan tetapi tidak pernah sekali pun melihat bayi yang dilahirkannya. Dan, sekarang akhirnya dia dapat bertemu dengan Anteh yang wajah dan perawakannya mirip sekali dengan Nyai Dadap.

Setelah mendengar penjelasan Anteh mengapa dia sampai di kampung ini, Waru lalu mengajaknya pulang untuk tinggal bersama keluarganya. Di rumah Anteh membantu Sang Paman menjahitkan baju-baju pesanan tetangga mereka. Dan, karena jahitan hasil karya Anteh tergolong indah, lama-kelamaan orang-orang yang berasal dari luar desa pun ikut menjahitkan baju kepadanya. Uang hasil jahitan sepenuhnya diberikan kepada Sang Paman untuk mencukupi keperluan hidup mereka sehari-hari.

Singkat cerita, belasan tahun kemudian Anteh menjadi seorang nyai. Dia telah berumah tangga dan memiliki dua orang anak. Suatu hari, ketika dia dan anak-anaknya sedang bersenda gurau di teras rumah datanglah sebuah kereta kencana dengan banyak sekali pengawal menunggang kuda di belakangnya. Begitu kereta berhenti, turunlah Putri Endahwarni dan langsung berlari menghampiri mereka. Sambil menangis, dia memeluk Nyai Anteh dan meminta maaf atas kekhilafannya. Dia pun kemudian membujuk Nyai Anteh agar kembali ke istana. Di sana, Nyai Anteh bersama keluarga akan dibuatkan rumah di sisi taman. Dan, karena Nyai Anteh sekarang telah berprofesi sebagai penjahit, maka dia akan diangkat menjadi penjahit istana.

Setelah berunding dengan Sang suami, Anteh akhirnya mau pindah ke istana. Tetapi kebahagiaan keluarga itu hanya berlangsung singkat. Sebab, Anantakusuma masih tetap menyimpan rasa cintanya pada Anteh. Hal itu "dibuktikannya" dengan selalu menyempatkan diri berkunjung ke taman istana secara sembunyi-sembunyi hanya untuk melihat paras cantik Nyai Anteh. Bahkan, karena sudah terlalu rindu, suatu malam saat bulan purnama Anantakusuma nekad mendatangi dan berusaha memeluknya.

Anteh yang kala itu sedang bermain dengan bermain dengan kucing kesayangannya, Candramawat, tentu saja terkejut, ketakutan, dan berusaha melarikan diri. Sambil berlari memeluk Candramawat Anteh berdoa pada para Dewa agar tidak diganggu lagi oleh Anantakusuma. Tanpa dinyana, doa Anteh dijawab oleh para Dewa. Tidak berapa lama kemudian tubuhnya diselimuti oleh sinar dan diangkat ke angkasan. Anantakusuma yang mengejarnya hanya terpana dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika tubuh Anteh menghilang di antara awan menuju bulan.

Sesampainya di bulan, dia tidak dapat pulang lagi. Keinginannya ternyata berbuah simalakama. Di satu sisi dia dapat terbebas selamanya dari Anantakusuma, tetapi di sisi lain dia tidak dapat lagi bertemu dengan keluarganya. Hidupnya sekarang hanya ditemani oleh Candramawat. Usaha satu-satunya agar dapat kembali ke bumi dilakukan dengan cara menenun kain menjadi tangga. Namun, hasil tenunan itu tidak pernah selesai karena selalu dirusak oleh Candramawat. Konon, bayangan aktivitas Nyai Anteh ketika sedang menenun tadi akan terlihat dari bumi bila bulan purnama tiba.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive