Ande Ande Lumut

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah)

Alkisah, di Kerajaan Jenggala ada seorang putra mahkota bernama Raden Putra. Dia memiliki seorang istri bernama Candra Kirana yang terkenal di seantero kerajaan memiliki paras sangat cantik. Namun, kehidupan harmonis suami-istri ini rupanya tidak berlangsung lama yang disebabkan oleh kehendak Sang Raja agar Raden Putra menggantikan kedudukannya. Bukannya senang, dia malah menolak dan pergi begitu saja dari istana.

Candra Kirana yang tidak diajak tentu menjadi sedih. Dia pun memutuskan meninggalkan istana juga guna mencari Raden Putra. Di perjalanan dia bertemu seorang janda kaya bernama Mbok Randa Kawulusan yang telah memiliki tiga orang anak perempuan bernama Kleting Abang, Kleting Wungu, dan Kleting Biru.

Oleh karena merasa kasihan melihat Candra Kirana seperti orang bingung yang tidak tahu harus berbuat apa, dia lalu mengajaknya pulang ke rumah. Selang beberapa waktu, Mbok Randa Kawulusan mengangkatnya menjadi anak keempat. Setelah diangkat anak Candra Kirana diberi nama baru yaitu Kleting Kuning.

Pengangkatan anak ini tentu saja membuat anak-anak kandung Mbok Randa Kawulusan menjadi iri. Rasa iri bukan disebabkan takut Kleting Kuning akan mendapat waris seperti mereka, melainkan karena kecantikannya yang luar biasa. Mereka takut kalau para pemuda akan selalu tertuju pada Kleting Kuning.

Walhasil, Kleting Kuning jadi bahan bulian saudara-saudara angkatnya. Dia diberi pakaian kumal alias lusuh layaknya seorang gelandangan. Selain itu, dia juga diharuskan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah mulai dari menyapu hingga mencuci pakaian saudara-saudaranya. Semua ini tidak diketahui oleh Mbok Randa Kawulusan karena sibuk mengurusi bisnisnya.

Suatu hari Mbok Randa Kawulusan berniat menjodohkan salah satu anak mereka dengan anak angkat Mbok Randa Dadapan yang bernama Ande Ande Lumut. Di Desa Dadapan dia terkenal sebagai seorang pemuda gagah dan sangat tampan. Sudah banyak para orang tua datang ke Mbok Randa Dadapan guna menjodohkan putri mereka namun belum ada satu pun yang diterima.

Agar mengena di hati Mbok Randa Dadapan, Mbok Randa Kawulusan menerapkan strategi berbeda. Dia memerintahkan ketiga anaknya pergi menemui Mbok Randa Dadapan. Sebelum pergi, Kleting Abang, Kleting Wungu, dan Kleting Biru diharuskan mengenakan pakaian yang terindah agar dapat menarik perhatian Mbok Randa Dadapan dan Ande Ande Lumut.

Namun, sebelum sampai di rumah Mbok Randa Dadapan rupanya ada sebuah sungai besar, lebar, dan dalam yang harus mereka lewati. Ketiganya bingung bagaimana cara menyeberanginya. Tidak ada satu sampan pun yang dapat mereka gunakan untuk sampai ke Desa Dadapan.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba muncul seekor kepiting raksasa bernama Yuyu Kangkang dari tengah sungai. Dia menghampiri ketiga gadis itu dan menawarkan bantuan guna menyeberang. Tetapi bantuan yang akan diberikan tidaklah bersifat cuma-cuma, melainkan ada syaratnya, yaitu mereka harus mau mencium dan dicium oleh Yuyu Kangkang.

Oleh karena sudah tidak ada jalan lain, ketiga adik-beradik itu menyetujui syarat yang diminta Yuyu Kangkang. Sampai di seberang mereka lalu mencium dan dicium oleh Yuyu Kangkang. Mereka tidak sadar kalau Ande Ande Lumut yang sedang memancing ikan melihat hal tersebut. Akibatnya, sampai di rumah Mbok Randa Dadapan ketiganya pun ditolak dengan alasan tidak dapat menjaga kehormatan karena mau mencium dan dicium Yuyu Kangkang.

Di lain tempat, Kleting Kuning yang mengetahui ketiga kakaknya pergi untuk bertemu Ande Ande Lumut lantas memohon izin pada ibu angkatnya guna menyusul mereka. Pikirnya siapa tahu Anda Ande Lumut adalah Raden Putra. Sebab, ciri-ciri yang dibicarakan orang mirip dengan suaminya tersebut.

Melihat penampilan Kleting Kuning yang tampak lusuh dan berbau tidak sedap, bukannya merestui Mbok Randa Kawulusan malah mencibirnya. Dia mengatakan bahwa Kleting Kuning tidak layak bersaing dengan ketiga kakaknya. Walau kalah cantik, mereka memiliki penampilan yang meyakinkan karena ditunjang oleh perhiasan dan pakaian yang mahal dan indah.

Cibiran Mbok Randa Kawalusan tidak dihiraukan Kleting Kuning. Dia tetap merengek ingin menyusul Kleting Abang, Kleting Wungu, dan Kleting Biru. Mbok Randa pun akhirnya mengizinkan walau dalam hati tertawa melihat perempuan lusuh ingin bersaing dengan kakak-kakaknya yang didandani moncer.

Sampai di tepi sungai dia juga menemui hal sama seperti ketiga kakaknya. Pertama, tidak menemukan satu pun alat transportasi yang dapat dipakai menuju Desa Dadapan. Kedua, didatangi Yuyu Kangkang yang menawarkan jasa “penyeberangan” dengan “bayaran” dicium dan mencium. Kepiting raksasa itu tidak peduli bagaimana bentuk fisik perempuan yang akan diciumnya.

Tanpa disangka, Kleting Kuning menolak tawaran Yuyu Kangkang. Dia mengusir Sang kepiting agar kembali ke tengah sungai lalu mengeluarkan jimat sakti berupa sebuah lidi. Selanjutnya, lidi itu dipukulkan pada air sungai yang membuatnya mendadak menjadi surut.

Yuyu Kangkang yang tidak bisa hidup tanpa air tentu saja kelabakan. Dia memohon agar Kleting Kuning mengembalikan kondisi air sungai seperti semula. Sebagai imbalannya dia akan menyeberangkan Kleting Kinung tanpa meminta dicium dan mencium.

Singkat cerita, volume air sungai dikembalikan seperti semula dan Kleting Kuning dapat menyeberang dengan selamat. Sesampai di Desa Dadapan dia mendapati ketiga kakaknya sedang bermurung muka karena ditolak mentah-mentah oleh Ande Ande Lumut. Padahal, ketiganya sudah tampil habis-habisan guna menggaet hati Ande Ande Lumut.

Di saat yang sama Ande Ande Lumut langsung menghampiri Kleting Kuning ketika sedang berhadapan dengan para kakaknya. Entah mengapa dia merasa ada “sesuatu” pada diri perempuan lusuh dan berbau tidak sedap itu. Dalam benaknya, pasti perempuan itu sangat tangguh berpendirian. Jadi, kecil kemungkinan bila mau dicium oleh Yuyu Kangkang.

Setelah berhadapan dan menelisik ciri-ciri fisik Ande Ande Lumut, yakinlah Kleting Kuning bahwa dia adalah Raden Putra. Kleting Kuning pun kemudian membuka penyamarannya dan menyatakan bahwa dia adalah Candra Kirana. Demikian pula Ande Ande Lumut. Mengetahui bahwa dihadapannya adalah Sang istri Candra Kirana, dia juga membuka penyamaran dengan menyatakan diri sebagai Raden Putra, Sang Pangeran Kerajaan Jenggala. Mereka pun kemudian berkumpul kembali sebagai suami-istri dan hidup bahagia hingga akhir hayat.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Heri Hendrayana Harris

Bila mendengar nama Heri Hendrayana Harris sebagian orang akan mengernyitkan dahi atau bahkan menggelengkan kepala sebagai tanda ketidaktahuan. Namun, bila diganti dengan nama penanya yaitu Gol A Gong, maka yang terbayang adalah seorang sastrawan dengan puluhan hasil karya serta segudang prestasi yang pernah diraihnya.

Heri Hendrayana Harris lahir di Purwakarta, Jawa barat, pada tanggal 15 Agustus 1963. Dia adalah anak kedua dari lima bersaudara. Sang ayah bernama Harris sedangkan ibunya bernama Atisah (keduanya berprofesi sebagai guru). Sejak tahun 1965 keluarga Harris hijrah dari Purwakarta ke Banten, tepatnya di sebuah rumah dekat Alun-alun Serang (biografi-penulis.blogspot.com).

Harris kecil adalah anak yang menyukai tantangan. Hal ini dia buktikan dengan menantang teman-teman sebayanya meloncat dari pohon menyerupai seorang penerjun payung. Menurut lautanpenulis.wordpress.com, akibat dari adu nyali ini Harris mengalami kecelakaan pada tangan kirinya. Dan, karena luka yang diderita sangat parah, pada bulan Oktober 1973 dia harus menjalani operasi amputasi di rumah sakit.

Kehilangan salah satu tangan tidak membuat Harris patah semangat. Berkat dukungan dari orang tua dia tetap menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan. Adapun jalan agar tidak selalu memikirkan kecacatan fisiknya adalah dengan kegiatan berolahraga dan membaca. Berkat olahraga, kususnya badminton, Harris pernah menjadi juara badminton Natar Orang Cacat Se-Indonesia di Solo dan Surabaya serta juara se-Asia Fespic Games di Solo dan Jepang (merdeka.com).

Sementara kegiatan membaca pada akhirnya membuat dia menjadi seorang penulis yang sangat produktif dengan nama pena Gol A Gong. Kata “Gol” diberikan oleh Sang Ayah sebagai ungkapan raya syukur atas karya yang diterima penerbit, “A” dimaknai sebagai “semua berasal dari Tuhan”, dan “Gong” adalah harapan Sang Ibu agar tulisan Harris menggema ke seantero negeri layaknya bunyi alat musik gong (id.wikipedia.org).

Kegiatan tulis-menulis inilah yang kemudian juga membawanya bekerja di bidang jurnalistik. Golagong.wordpress.com mencatat sejumlah pekerjaan yang pernah dan sedang dilakoni Gol A Gong, yaitu: Gramedia Majalah (Hai, Warta Pramuka) 1989-1990; Kartini Group (Tabloid Karina-Kabiro Bandung) 1993-1995; Scrip writer di Indosiar (1995-1996); Senior Creative di RCTI (1996-2008); Assistant Manager di Banten TV (2008-2010); Penulis scenario TV (1995-2010); dan Direktur Gong Media Cakrawala (penerbit, trip organizer, pelatihan) 2006 hingga sekarang.

Selain bekerja dalam bidang jurnalistik, suami dari Tias Tatanka dan ayah dari empat orang anak (Nabila Nurkhalisah, Gabriel Firmansyah, Jordi Alghifari, dan Natasha Azka Nursyamsa) ini juga memiliki jabatan organisasi, yaitu: Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat Indonesia; Dewan Pembina Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena; Dewan Penasehat Froum TBM; dan pendiri Rumah Dunia.

Mengenai Rumah Dunia, komunitas ini awalnya didirikan di atas tanah seluas 1000 meter persegi (sekarang 3000 meter persegi) yang terletek di belakan rumah Gol A Gong di Komplek Hegar Alam (biografi-penulis.blogspot.com). Bersama sesama sastrawan lain (Toto St Radik dan Rys Revolta), dia mendirikan Rumah Dunia sebagai wadah bagi kegiatan jurnalistik, sastra, film, teater, musik, dan menggambar (lautanpenulis.wordpress.com). Di tempat ini, ada kegiatan wisata baca, wisata dongeng, wisata teater, wisata mengarang, wisata gambar, dan wisata studi bagi anak-anak. Sementara bagi pelajar dan mahasiswa ada “gempa literasi” berupa pertunjukan seni, bazar buku, pelatihan menulis, anek lomba literasi, diskusi kebudayaan, hibah buku, bedah buku, dan penerbitan (golagong.wordpress.com).

Selama menjadi jurnalis dan berada di beberapa organisasi, Gol A Gong tetap produktif menulis, baik berupa novel, antologi, non fiksi, maupun puisi. Bahkan berkat tulisan-tulisannya, dia sempat mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya: Islamic Book Fair Award 2005; Nugraha Jasadarma Pustaloka (perpusnas 2007): XL Indonesia Berprestasi Award kategori pendidikan (2008); Literacy Award 2009 (Komunitas Literasi Indonesia); National Literacy Prize (Kemendiknas 2010); Elshinta Award (2010); Tokoh Penggerak Lierasi (IKAPI 2011); Anugerah Peduli Pendidikan (Kemdiknas 2012); Tokoh Sastra Indonesia (Balai Pustaka-Horison 2013); Anugerah Kebudayaan Indonesia (Kemdikbud 2015); Tokoh Literasi Nasional (Badan Bahasa 2016); Sepuluh Besar “Duta Baca Indonesia” (Perpusnas 2016) (merdeka.com).

Adapun karya tulis yang telah di buatnya, antara lain: Balada Si Roy buku Joe (Gramedia, 1989), Balada Si Roy buku Avonturir (Gramedia, 1990); Balada Si Roy buku Rende-vouz (Gramedia, 1990); Balada Si Roy buku ke Bad Days (Gramedia, 1991), Balada Si Roy buku ke Blue Ransel (Gramedia, 1991); Balada Si Roy buku ke Telegram (Gramedia, 1992); Balada Si Roy buku ke Kapal (Gramedia, 1993); Balada Si Roy buku ke Traveler (Gramedia, 1993); Balada Si Roy buku ke Epilog (Gramedia, 1994); Happy Valentine, novel (Gramedia, 1991); Bangkok Love Story, novel (Gramedia, 1994); Surat, novel (Gramedia, 1994); Tembang Kampung Halaman (Gramedia); Perjalanan Asia, travel writing (Puspa Swara, 1993); Kutunggu di Yogya, novel wisata )Puspa Swara, 1993); Menulis Skenario Itu (Lebih) Gampang, tips menulis (Puspa Swara, 1997); Nyanyian Perjalanan (Syaamil, 2001); Pada-Mu Aku Bersimpuh, novel (Mizan, 2001); Biarkan Aku Jadi Milikmu, novel (Mizan, 2001); Tempatku di Sisi-Mu, novel (Mizan, 2001); Al Bahri (Syaamil, 2001); Jendral Kecil (Mizan, 2002); Aku Seorang Kapiten, novel anak (Al Kautsar, 2002); Kacamata Sidik, Kumcer (Senayan Abadi, 2004); Masih Ada Cinta di Senja Itu, Kumcer (Senayan Abadi, 2004); Harga Sebuah Hati, kumcer (Akoer, 2004); Clay, novel (Cakrawala, 2004); Subuh Itu Biru, Chika – kumcer (LPPH); Hari Senjakala, novel (Fatahilah, 2004); Dua Kisah, kumpulan 2 novelet (Senayan Abadi, 2005); Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia, 2005); Labirin Lazuardi: Langit Merah Saga, novel (Tiga Serangkai, 2007); Labirin Lazuardi: Ketika Bumi Menangis (Tiga Serangkai, 2007); Labirin Lazuardi: Pusaran Arus Waktu (Tiga Serangkai, 2007); Aku Anak Matahari, memoar (Salamadani, 2008); Musafir, kumcer (Salamadani, 2008); Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup, tips menulis (Salamadani, 2008); The Journey: From Jakarta to Nepal, travel writing (Salamadani, 2008); Cinta-Mu Seluas Samudra, novel (Mizan, 2008); Mata Elang, komik (Mizan); Ini Rumah Kita Sayang (GIP); Gilalova 2 (Gong Publishing, 2010); Tiga Ombak (Gonga Publishing, 2010); Ledakan Idemu Agar Kepalamu Nggak Meledak (Gong Pulishing, 2010); Dunia Ikan (Gong Publishing, 2011); Aku Pantang Menyerah, novel seri anak 10 judul (Zikrul Hakim, 2011); Ayo Sekolah, novel seri anak 10 judul (Tzikrul Hakim, 2011); Aku Bangkit, novel remaja 10 judul (Tiga Serangkai, 2011); Rahasia Penulis Hebat Menciptakan Karakter, tips menulis (Gramedia, 2011); Mother Bukan Monster, parenting (Gramedia, 2011); Menggenggam Dunia, memoar (KPG, 2011); Relawan Dunia, motivasi (KPG, 2011); Si Aduy – Anak Kampung Jadi Sarjana, cerita komedi remaja (Zikrul Hakim, 2012); Rahasia Penulis Hebat Membangun etting Lokasi, tips menulis (Gramedia, 2012); Gempa Literasi (KPG, 2012); Travel Writer (KPG, 2012); Pasukan Matahari (Indiva, 2014); dan lain sebagainya.

Dogol

Dogol merupakan jaring yang terdiri atas tiga bagian utama, yaitu: sayap, badan, dan kantong. Dalam mengoperasikan dogol para nelayan umumnya juga menggunakan gardan yang berfungsi sebagai mesin bantu untuk menarik ke atas perahu pada saat hauling (Wiyono, 2011). Oleh karena itu, nelayan yang menggunakan jaring dogol cukup 3-4 orang saja dalam satu perahu. Hasil tangkapan jaring dogol di antaranya adalah: pepetek, udang barong, beloso, gulamah, tigawaja, rajungan, buntal, tetet, gurita, sembilang, pari, bawal hitam, patik, kembung, julung-julung, dan kerapu.

Bubu Apolo

Bubu apolo merupakan alat tangkap ikan yang memiliki pintu dan badan yang dirancang sedemikian rupa untuk memerangkap ikan. Bubu apolo termasuk perangkap berukuran kecil dengan panjang sekitar 7,2 meter, kaki 3,75 meter dan tinggi 0,60 meter. Mulut bubu berbentuk empat persegi dengan sedikit lekukan di bagian kiri dan kanan. Pada bagian kaki terdapat mestak yang diikuti oleh adanya dua buah kantung dengan panjang 1,60 meter dan lebar 0,60 meter. Sementara badannya berupa waring terbuat dari benang nilon halus (polyfilament) bermata kecil. Bubu apolo dioperasikan oleh 2-3 orang nelayan sekitar 1-2 mil dari pantai pada waktu siang maupun malam hari. Arah pemasangan pintunya dapat dibolak-balik menurut pasang-surutnya air laut. Setelah direndam selama beberapa jam, dapat dilakukan pengambilan hasil berupa udang rebon dan jenis-jenis udang kecil lain dengan cara mempertemukan bibir atas dan bibir bawah menggunakan tali lalu mengangkatnya ke permukaan.

Raden Tjetje Somantri

Di daerah Wanayasa tidak hanya ada Ayi Kurnia Iskandar dan sejumlah seniman lain yang mengharumkan nama Purwakarta di tingkat Jawa Barat maupun Nasional. Jauh sebelum generasi Ayi dan kawan-kawannya ada seorang pelopor seni tari kreasi Sunda bernama Raden Tjetje Somantri. Pria bernama asli Raden Rusdi Somantri ini lahir pada tahun 1892 dari pasangan Raden Somantri dan Nyi Raden Siti Munigar.

Bakat seni Tjetje mulai muncul setelah lulus MULO dan masuk Voor Work OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtemaren) sebuah sekolah Pamong Praja bagi kalangan menak di Bandung (id.wikipedia.org). Selama bersekolah di OSVIA Tjetje gemar menari tayub. Bahkan saking gemarnya, dia sering bolos hingga akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikannya.

Walau tidak tamat sekolah, Sang paman, R Karta Kusumah (orang yang mengasuh Tjetje karena Raden Somantri meninggal dunia) memasukkannya sebagai pegawai kecamatan di Wanayasa. Namun, karena sering mangkir untuk berlatih tari, dia diberhentikan. Begitu juga ketika Sang paman memasukkannya menjadi Mantri Polisi Kehutanan, Tjetje tetap melakukan hal yang sama. Bahkan, ketika bekerja sebagai pegawai Bank Denis (De Earste Nederlandsche Indische Spaarkas en Hipotheek Bank) tahun 1918, Tjetje juga tidak betah dan keluar untuk memfokuskan diri mempelajari seni tari (clikberita.com).

Adapun seni tari yang paling awal didalami Tjetje adalah Tayub. Tari ini dipelajarinya dari Aom Doyot (R Gandakusumah) pada sekitar tahun 1911. Menurut 18news.id/, selain Aom Doyot ada beberapa maestro tari lagi yang dijadikan guru oleh Tjetje, di antaranya adalah: Aom Menin (Camat Buahbatu yang ahli Wayang Wong), Wentar dan Koncer (Tari Topeng Cirebon), Sudiani dan Sujojo (pelatih tari Perkumpulan Tirtayasa dan Sekar Pakuan yang ahli tari Jawa), serta Elang Oto Denda Kusumah (tari topeng Cirebon). Jenis tarian lain yang juga dipelajari Tjetje adalah Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Menak Koncar, Panji, Topeng Pamindo, Topeng Kelana, serta Kendit Birayung.

Jalan hidup Tjetje mulai beralih dari hanya sekadar menari menjadi seorang koreografer ketika bertemu dengan pegawai Jawatan Kebudayaan Jawa Barat, yaitu RM Suyignya dan Tb Umay Martakusumah yang menjadikannya sebagai salah satu pengajar tari di BKI (Badan Kebudayaan Indonesia). Selama di BKI inilah satu demi satu tari kreasi Sunda mulai dibuatnya, di antaranya adalah: Dewi (1946), Anjasmara I dan II (1946), Kendit Birayung (1947), Puragabaya (1947), Dewi Serang dan Sulintang (1948), Komala Gilang Kusumah (1949), Ratu Graeni (1949), Topeng Koncaran (1949), Srigati (1949), Golek Purwokertoan (1950), Rineka Sari (1951), Kukupu (1952), Sekar Putri (1952-1954), Merak (1955), Golek Rineka (1957), Nusantara (1958), Anjasmara III (1958), Renggarini (1958), dan lain sebagainya (budaya-indo.com).

Tari ciptaan Tjetje tadi dianggap sebagai pembaharu tarian Sunda yang telah ada. Berkat kreasi barunya yang sebagian besar diperuntukkan bagi kaum perempuan, Tjetje berhasil merubah imej penari perempuan (ronggeng) menjadi lebih terhormat. Oleh karena itu, dia pun mendapat penghargaan berupa Piagam Wijaya Kusumah dari pemerintah. Dan, untuk tetap melestarikannya, hingga sekarang sejumlah tari kreasinya masih dipentaskan di berbagai event dalam maupun luar negeri. Bahkan, ada juga yang menjadikan sebagai bahan ajar di sekolah seni dan perguruan tinggi (SMKI Bandung, ISBI Bandung, dan UPI Bandung).

Bubu Wadong/Bintur

Bubu wadong/bintur adalah alat tangkap ikan menyerupai perangkap yang dirancang sedemikian rupa sehingga bila ikan masuk tidak dapat keluar lagi karena terhalang oleh pintu masuknya yang berbentuk corong. Bentuk bubu wadong sangat bervariasi, bergantung pada ikan target tangkapan dan kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya, seperti: sangkar, silinder, trapesium, segi empat, gendang, segitiga memanjang, kubus, bulat setengah lingkaran, lonjong, dan lain sebagainya. Walaupun bentuknya bervariasi, namun secara umum konstruksi bubu wadong terdiri atas: tali penarik terbuat dari polyethylene (PE) yang diikatkan pada bagian atas bubu sebagai penarik dan penurun bubu ke dalam air; mulut (ijeh) berbentuk corong sebagai jalur masuk ikan ke dalam perangkap; pintu sebagai tempat untuk mengambil hasil tangkapan; kantung (bersifat opsional) dari kawat kasa sebagai penyimpan umpan berupa ikan pepetek atau ikan rucah; rangka dari besi behel, lempengan besi, bambu, atau kayu yang dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan yang diinginkan; dan, badan dari waring benang multifilament PA berukuran 2 inci, anyaman kawat, anyaman bambu sebagai pembungkus rangka.

Adapun metode pengoperasiannya menurut Martasuganda (2002), dapat dipasang secara satu per satu (sistem tunggal) maupun berantai (sistem rawai) di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak ikan dasar (demersal). Waktu pemasangan dan pengangkatan bubu wadong ada yang dilakukan pada pagi, sore, atau malam hari, bergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Adapun lama perendamannya ada yang hanya beberapa jam, satu malam, tiga hari tiga malam dan bahkan ada pula yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive