Bakso Rusuk KaDe

Bakso Rusuk KaDe berada di Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang. Berikut adalah foto-foto yang diambil pada pertengahan bulan November 2011 di warung yang tidak hanya menyediakan bakso rusuk sebagai menu andalannya, tetapi juga bakso mercon, bakso urat, mie ayam, dan sop iga.

Klenteng Soei Goeat Kiong

Secara administratif klenteng atau Kelenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) berada di wilayah Kalurahan 10 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Kotamadya Palembang. Klenteng ini letaknya berada di sebelah selatan tepian sekitar 110 meter dari Sungai Musi (sebelah timur Jembatan Ampera). Menurut penuturan dai Kwam in Fuk Cu (seorang penjaga Klenteng) mengatakan bahwa klenteng didirikan pada tahun 1839. Keberadaannyasebagai pengganti klenteng di kawasan pasar 7 Ulu yang terbakar (disamping rumah Kapiten Cina).

Beberapa peninggalan kuno yang masih terdapat di dalam Klenteng Soe Goeat Kiong antara lain: (1) tegel berwarna merah berbentuk segi delapan yang melambangkan Feng Shui (keberuntungan). Orang Tionghoa sendiri percaya bahwa warna merah merupakan warna keberuntungan mereka. Sehingga tidak mengherankan warna merah selalu mendominasi dari setiap sudut bangunan klenteng; dan (2) patung-patung yang diletakkan pada tiga ruangan peribadatan dan ruangan pendeta. Patung-patung tersebut adalah patung Dewi Kwam Im (Dewi Pengasih), patung Poo Shen (Dewa Pengobatan), dan patung Kwam Tun (Dewa Kesetiaan). Kedudukan dari patung Kwam Im berada di tengah-tengah relung ruangan diapit oleh patung Poo Shen pada relung sebelah kanan dan patung Kwam Tung di relung sebelah kiri

Di bagian dalam klenteng, tepatnya di paling belakang dan pada sisi ruangan paling timur terdapat gundukan tanah tumbuh. Oleh penjaga Klenteng dituturkan bahwa itu merupakan makam dari seorang muslimah (muslim perempuan) yang bernama Fatimah, keturunan dari Sultan Palembang yang dinikahi oleh orang Tionghoa.

Di lingkungan Klenteng Soei Goiat Kiong juga masih terdapat tradisi mendiri telur atau tradisi Klenteng Minyak. Keunikan yang terjadi pada tanggal lima dari bulan kelima Imlek ini adalah budaya antri untuk mendapatkan minyak gosok dari Klenteng Soei Goiat Kiong yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Foto: https://dailyvoyagers.com/blog/2019/03/11/tempat-wisata-di-palembang-bagian-1/

Barzanji

Al Barzanj adalah nama seorang Bangsa Kurdi penulis prosa dan puisi yang terkenal pada zamannya. Konon, nama kesenian yang berkembang di Kepulauan Riau ini berasal dari nama tersebut. Jadi dari kata “Barzanj” berubah bunyi menjadi “Barzanji”. Prosa dan puisi yang dihasilkan isinya menceritakan tentang riwayat kebesaran Nabi Muhammad S.A.W. Dahulu, karya seorang yang nama lengkapnya adalah Jafar Al Barzanj ini, dibacakan khusus untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Karya-karya tersebut kemudian dijadikan pegangan utama dalam upacara peringatan tersebut.

Di Kepulauan Riau, persebarannya meliputi daerah Tanjung Batu-Kundur dan Tanjungpinang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Sedangkan, jumlah pemain dan durasi pementasan fleksibel (menyesuaikan). Waktu pementasan tidak terbatas pada peringatan Maulud Nabi saja, tetapi juga hari-hari besar Islam lainnya, serta upacara perkawinan, dan pesta-pesta dalam upacara tradisional (upacara di lingkaran hidup individu). Sedangkan, kostum yang dikenakan berupa baju kurung (baju Melayu).

Gobang

Gobang adalah kesenian khas Orang Laut di Kepulauan Riau, salah satu komunitas adat yang dikategorikan sebagai terasing. Kesenian yang berkembang sekitar di awal abad ke-20 ini ditumbuhkembangkan oleh mereka, terutama kelompok yang berada di daerah Jemaja (daerah Pulau Tujuh). Para penarinya terdiri atas Laki-laki dan perempuan. Sembari menari mereka menyanyikan lagu yang diiringi oleh alat musik seruni, kompang, dan gong.

Gobang tidak hanya tersebar di Pulau Tujuh (Jemaja dan Siantan) saja, tetapi juga Lingga dan Singkep. Dengan perkataan lain, di mana ada Orang Laut disitu ada Gobang atau nama lainnya adalah Gumbang atau To Pengka. Disebut demikian, terutama sebutan yang terakhir (to pengka) karena tidak lepas dari berbagai macam topeng sebagai propertinya (topeng binatang, topeng perempuan, dan topeng laki-laki). Bahasa yang digunakan bahasa Melayu-Riau Kepulauan dengan durasi pementasan mulai dari pukul 20.00 sampai menjelang fajar menyingsing. Lagu-lagu yang dinyanyikan antara lain: Abang Dinding Limau, Anak Malang, Abang Tamelan, dan Ganjo.

Gazal

Salah satu jenis kesenian orang Melayu-Kepulauan Riau ini konon berasal dari Timur Tengah. Gazal adalah bahasa Arab yang berarti sajak. Kesenian gazal masuk ke Kepualan Riau dan tumbuh subur di Penyengat melalui Malaysia, tepatnya dari Muar lalu Johor.

Gazal pada dasarnya adalah sebuah kesenian yang merupakan alat dakwah dalam penyebaran agama Islam. Namun, sekarang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Iramanya khas, nadanya lembut dan mendayu-dayu. Di Kepulauan Riau sendiri penyebarannya, disamping di Penyengat juga di Tanjungbalai Karimun. Lagu-lagu yang dinyanyikan meliputi: Bulan Mengambang, Pak Ngah Balik, Sayang Muslina, Damak, Laksemana Mati Dibunuh, Sri Mahligai, Musalmah Manis, Malam Merindu, Nasib Panjang, dan Siti Payung. Adapun peralatan musik yang digunakan adalah harmonika, gitar, biola, marakah, gendang, tabla, dan gong.

Jumlah pemain dan durasi pementasannya menyesuaikan. Sedangkan, waktu pementasan seringkali pada saat diadakan upacara di lingkaran hidup individu (perkawinan dan khitanan), atau dalam rangka memeriahkan hari-hari besar agama Islam dan hari-hari besar nasional, khususnya hari ulang tahun kemerdekaan.

Bardah

Bardah adalah kesenian yang termasuk dalam jenis pembacaan syair. Kesenian ini diiringi oleh musik yang terdiri atas kompang dan rebana. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab yang kadang dicampur dengan bahasa Melayu-Riau Kepulauan. Durasi pementasannya menyesuaikan.

Kesenian yang persebarannya meliputi daerah: Siantan, Bunguran Barat, dan Tanjungbatu-Kundur ini, biasanya dipentaskan pada peringatan hari-hari besar agama Islam, penyambutan tamu, dan upacara di lingkaran hidup individu. Sedangkan, kostum yang dikenakan adalah baju kurung Melayu. Dewasa ini bardah jarang tampil dalam berbagai kesempatan (kalau tidak dapat dikatakan menjelang ajal).

Hadrah Kompang

Di daerah Kepulau Riau kesenian ini terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama menirukan kelompok kedua (lihat Kompang). Hardah Kompang dipentaskan setelah acara Barzanji. Nama lain dari kesenian ini adalah Radat Hadrah atau rebana. Lagu-lagu yang dilantunkan berupa Shalawat Nabi Muhammad dan syair Barzanji. Sedangkan, persebarannya meliputi: Daik-Lingga, Bunguran Timur, Serasan, Bunguran Barat, Tanjungbalai Karimun, Tambelan, Tanjungbatu-Kundur, dan Dabo Singkep.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Riau Kepulauan dan bahasa Arab. Jumlah pemainnya paling sedikit 6 orang, kadang sampai 20 orang. Durasi pementasan sekitar satu jam pada peringatan hari-hari besar Islam (Maulud Nabi Muhammad S.A.W) dan upacara-upacara di lingkaran hidup individu (perkawinan atau khitanan). Sedangkan, peralatan pengiringnya adalah rebana kerincing, keracah (krincingan), dan kompang. Kemudian, kostum yang digunakan adalah baju kurung Melayu.

Gurindam Dua Belas

Kata Gurindam Dua Belas tidak asing lagi bagi telinga masyarakat di berbagai pelosok tanah air, khususnya yang pernah duduk di bangku sekolah karena sering diucapkan oleh guru pengajar bahasa Indonesia. Gema dari Gurindam bahkan menerobos lintas negara, dari yang paling dekat (tetangga) sampai yang paling jauh. Ini artinya, bahwa orang Melayu telah dapat menghasilkan karya besar dalam susastra. Karya ini berisikan petuah atau nasihat-nasihat, baik untuk para remaja, orang yang sudah berumah tangga, maupun para pejabat. Petuah-petuah itu, sesuai dengan roh Melayu yang tidak lepas dari ajaran agama Islam.

Pada masa lalu gurindam dua belas hanya merupakan pembacaan Gurindam yang dilagukan semata (irama syair yang dipadukan dengan irama nandung). Akan tetapi, sekarang sering diiringi oleh musik. Pelantunnya bisa hanya perempuan, bisa laki-laki, atau perempuan dan laki-laki.

Kesenian yang termasuk jenis pembacaan syair dan diiringi musik ini dapat dikatakan hanya tersebar di Penyengat. Suatu pulau yang merupakan tanah kelahiran sang pengarang sekaligus pujangga istana yaitu Raja Ali Haji. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Kepulauan Riau yang huruf “er”-nya tidak terlalu jelas. Sedangkan, kostum yang dikenakan, baik laki-laki maupun perempuan adalah baju kurung Melayu. Untuk laki-laki sering menggunakan baju kurung teluk belanga. Sedangkan peralatan pengiringnya terdiri atas seruni, kompang, dan gong. Waktu pementasan biasanya pada saat acara penyambutan tamu, hari-hari besar nasional, dan festival-festival kebudayaan dan atau kesenian.

Wayang Cecak

Wayang cecak merupakan sebuah kesenian yang tumbuh dan berkembang di daerah Kepulauan Riau. Konon, kesenian ini bermula dari kalangan orang Tionghoa yang bermukim di Tanjungpinang dan Daik-Lingga. Namun dalam perkembangannya orang-orang Tionghoa itu sendiri hampir tidak mengenalnya lagi. Justru kalangan orang Melayulah yang menyerap dan menumbuhkembangkannya.

Henri Chamber-Loir, yang dikutip oleh Raja Hamzah Yunus (1994) mengatakan bahwa Wayang Cecak merupakan bentuk drama yang dimainkan oleh perempuan dewasa. Berdasarkan apa dipertunjukkan, kesenian ini dapat dikatakan sebagai teater boneka yang dimainkan dengan dua jari telunjuk. Wayangnya, yang notabene adalah bonekanya itu sendiri, dibuat dari kain perca dengan tinggi kira-kira sejengkal (tidak lebih besar dari cecak). Oleh karena itu, permainan ini disebut sebagai Wayang Cecak. Adapun cerita yang sering dipentaskan berkisar tentang cinta yang berakhir dengan duka (tokohnya selalu menemui ajal). Judul ceritanya antara lain Siti Zubaidah dan Selendang Delima.

Di masa kini, dapat dikatakan, hanya seorang bernama Khadijah Terung yang mengetahui banyak (menguasai) tentang wayang cecak. Dia tinggal di sebuah desa di Pulau Penyengat, sebuah pulau yang tidak lepas dari kesejarahan Melayu, karena pernah menjadi salah satu pusat Kerajaan Melayu Riau-Lingga dengan peninggalan-peninggalannyanya yang masih dapat dijumpai sampai hari ini, seperti masjid sultan yang kemudian disebut sebagai Masjid Penyengat dan Makam Engku Puteri.

Kompang

Kompang asalah salah satu jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. Kesenian yang menyerupai hadrah ini dibawakan oleh paling sedikit 5 orang laki-laki dan perempuan. Mereka melantunkan syair baezanji berbahasa Arab-Parsi berisi puji-pujian terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Allah) dalam iringan rebana. Kompang dipentaskan dalam rangka memeriahkan sebuah pesta perkawinan (pada saat pengantin diarak), pada acara khitanan atau menyambut tamu.

Durasi pementasannya menyesuaikan waktu dan acara yang dimeriahkannya. Untuk acara khitanan misalnya, biasanya pementasan baru dimulai sekitar pukul 22.00 WIB sampai menjelang subuh. Alat musiknya semacam rebana atau hadrah tetapi dalam ukuran agak lebih besar. Alat tersebut bernama Kompang. Kostum yang dikenakan adalah baju kurung Melayu. Adapun persebarannya di Kepulauan Riau meliputi daerah Sekop Darat Singkep, Tanjungpinang, Tanjunguban, Sebung, Kampun Bugis, Tanjungbalai Karimun, Tanjungbatu Kundur, dan Daik-Lingga.

Masjid Al Alam Marunda

Masjid Al Alam Marunda (2)










Tanaman Insulin

Tumbuhan insulin atau Smallanthus sonschifolius merupakan salah satu jenis tanaman yang berasal dari daerah Meksiko yang kemudian menyebar ke seluruh Amerika, Asia, hingga Afrika. Oleh karena asal muasalnya dari Meksiko, maka ia juga dijuluki sebagai Mexican Sunflower dengan ciri-ciri: akar bonggol berjumlah 4-20 buah dengan diameter 11 cm dan panjang mencapai 25 cm, warna umbi bervariasi (ungu, krem, putih gading, cokelat, merah muda), bunga menyerupai aster berwarna kuning, batang silinder atau sub-angular berwarna hijau, dan daun berbentuk bulat telur (id.wikipedia.org).

Beberapa bagian tumbuhan insulin banyak dimanfaatkan guna mengobati berbagai penyakit, terutama diabetas. Id.wikipedia.org mencatat fluktosa atau gula buah dalam umbi insulin dapat membuat karbohidrat tetap dicerna walaupun konsentrasi gula darah rendah sehingga penderita diabetes terhindar dari hiperglikemia. Kemudian, serat larutnya (oligofruktosa) dapat menjadi bakteri baik ketika berada di dalam usus (prebiotik).

Selain umbi, yang paling banyak dimanfaatkan bagi penyembuhan penyakit adalah daun insulin. Menurut penelitian International Journal of Ayurveda Reaserch yang dikutip hellosehat.com, daun insulin yang telah dikeringkan dan ditumbuk halus hingga menjadi bubuk lalu dilarutkan dengan air mampu menurunkan kadar gula darah puasa (GDP) dan dua jam setelah makan (GD2PP) ke taraf normal dari kondisi hiperglikemia.

Masih menurut hellosehat.com, manfaat selanjutnya dari daun insulin adalah: (1) menurunkan kadar kalium dan natrium yang menyebabkan tekanan darah tinggi; (2) mengandung quercetin dan diosgenin (senyawa antioksidan) yang berguna melawan efek radikal bebas; dan (3)ekstrak metanolnya mampu menghambat perkembangan bakteri tertentu (Bacillus megaterium, Micrococcus leuteus, Staphylococcusn aureus, Streptococcus lactis, salmonella dan bakteri Pseudomonomon aeruginosa). Sementara aladokter.com menambahkan beberapa manfaat lagi, yaitu: (1) mampu mencegah berkembangnya penyakit kanker dan (2) menurunkan kadar kolesterol sehingga dapat mengurangi resiko serangan jantung, jantung koroner, dan stroke.

Bagi penderita diabetes, mengutip gaya.tempo.co, cara mengolah daun insulin menjadi obat dimulai dengan menyiapkan daun insulin sejumlah lima lembar lalu dicuci hingga bersih. Setelah bersih daun ditiriskan, dipotong kecil-kecil dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Ketika telah kering direbus dalam air hingga mendidih dan berwarna kecoklatan. Air rebusan inilah yang dikonsumsi guna menurunkan kadar gula dalam darah.

Namun, apabila gula darah telah stabil hendaklah menghentikan konsumsi air rebusan daun insulin. Sebab, walau tergolong obat herbal, jika dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan efek samping berupa peningkatan kadar kolesterol jahat (LDL) yang dapat merusak sel otot jantung.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa berada di area kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon atau Masjid Pakungwati ini merupakan salah satu bukti syiar Islam di tanah Jawa. Adapun pembangunannya diperkirakan sejak tahun 1480 Masehi atas prakarsa Sunan Gunung Jati atau Syekh Maulana Syarif Hidayatullah dan dibantu oleh Wali Sanga (kompas.com).

Menurut id.wikipedia.org, pembangunan masjid ini melibatkan sekitar lima ratus orang yang sebagian didatangkan dari daerah Majapahit dan Demak. Sedangkan arsiteknya adalah Raden Sepat, seorang asal Kerajaan Majapahit yang menjadi tawanan dalam perang Demak-Majapahit. Dia ditugaskan membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid.

Berkat dua orang arsitek tadi terbentuklah sebuah bangunan masjid yang hingga sekarang masih berdiri megah. Namun, walau tidak lekang dimakan zaman ada juga kerusakan-kerusakan kecil yang harus diperbaiki. Cagarbudaya.kemdikbud.go.id mencatat ada lima kali pemugaran terhadap bangunan masjid. Pemugaran pertama dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada sekitar tahun 1934 yang dipimpin Ir. Krijgman. Selanjutnya pada tahun 1960 Habib Syekh, R. Amartapura, dan Sulendraningrat memperbaiki bagian atap dan talang masjid. Antara tahun 1972-1974 Pemerintah Kota Cirebon melakukan perbaikan pada bagian serambu. Dan, tahun 1975-1978 Departemen Pendidikan dan kebudayaan melakukan pemugaran bangunan, soko guru, tempat wudlu, peturasan, dan penggantian atap sirap kayu jati.

Sejumlah tahap pemugaran di atas tidak mengubah bentuk bangunan masjid dan area di sekitarnya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa masih mempertahankan perpaduan arsitektur gaya Jawa dan Hindu Majapahit yang terlihat mulai dari gapura paduraksa hingga arsitektur dalam masjid (Indonesiakaya.com). Gapura paduraksa yang merupakan pintu masuk area masjid sejumlah enam buah berada di bagian timur (tiga buah), utara (satu buah), dan dua buah di bagian barat. Gapura-gapura tadi bagian puncaknya ada yang berhias sayap bersusun tiga, candi laras, tulisan Arab, hingga hiasan belah ketupat.

Halaman masjid dikelilingi tembok merah berhias belah ketupat dan segi empat serta tonjolan bata segi enam bermotif bingkai cermin. Pada bagian puncaknya terdapat pelipit dari susunan bata setinggi sekitar 70 centimeter dengan bagian atas dan bawah kecil sementara tengahnya melebar.

Melewati gapura dan halaman ada serambi yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu serambi dalam (berada di sekeliling bangunan utama) dan serambi luar (di sekeliling serambi dalam). Mengutip Cagarbudaya.kemdikbud.go.id, serambi dalam berada di sebelah timur dinamai Pemandangan, selatan dinamai Prabayaksa berukuran 29x6,40 meter, serambi utara berukuran 29x6,40 meter yang di dalamnya terdapat sebilah rotan yang dahulu berfungsi sebagai penjemur baju Sunan Kalijaga, serta serambi barat berukuran 33x7 meter yang di dalamnya ada sebuah bedug berukuran panjang sekitar satu meter dan diameter 80 centimeter diberi nama Sang Guru Mangir atau Kyai Buyut Tesbur Putih. Sedangkan serambi luar bagian timur terbagi atas dua bagian berbentuk persegi panjang dengan atap ditutup sirap; serambi luar bagian selatan berukuran 33,6x7 meter berfungsi sebagai pawastren atau tempat sholat bagi kaum perempuan; dan serambi luar bagian utara berukuran 17x7 meter berdampingan dengan Pemandangan.

Lepas dari serambi ada ruang utama berukuran 17,80x13,30 meter. Ruang utama ini memiliki sejumlah enam buah ruang lagi yang dikelilingi tembok dari batu kapur setinggi sekitar tiga meter dan tebal 56 centimeter. Tembok atau dinding masjid dihiasi dengan lubang angin berbentuk belah ketupat bergerigi dan pliaster berhias motif teratai serta sulur-suluran. Di antara dinding terdapat sembilan buah pintu dengan berbagai macam ukuran menuju ruang utama. Ke-sembilan pintu yang melambangkan sembilan orang wali (Walisongo) di tanah Jawa itu terdiri dari satu pintu utama berukuran 240x124 centimeter dan delapan buah lainnya berukuran 160 centimeter di sisi kiri dan kanannya.

Ruang utama masjid disangga oleh 30 buah tiang berbentuk bulat dengan diameter 40 centimeter. Jumlanya, pada bagian bagian timur ke barat sebanyak 12 buah, sedangkan yang berada di dekat dinding (termasuk sebuah tiang tatal) ada 18 buah (tirto.id). Tiang tatal masjid yang dibuat oleh Sunan Kalijaga tersebut merupakan soko guru atau tiang utama yang terbuat dari pecahan-pecahan kayu berukuran kecil. Ia bermakna sebagai lambang kesatuan dan kegotongroyongan.

Selain tiang tatal, di dalam ruang utama juga terdapat mihrab, mimbar, dan maksurah. Mihrab berukuran 244x140x250 centimeter beratap melengkung berhias motif bunga matahari berlidah api serta sulur-suluran. Menurut indonesiakaya.com bagian bawah mihrab terdapat tiga buah ubin yang dipasang olah Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang sebagai representasi dari iman, Islam, dan ihsan.

Tidak jauh dari mihrab ada mimbar yang diberi nama Sang Renggakosa berukuran 122x66x230 centimeter. Mimbar memiliki tiga buah anak tangga yang bagian tangan kursinya menyatu dengan tiang. Di bagian kiri mimbar ada maksurah atau pagar berbentuk palang kayu berukuran 325x250 centimeter sebagai tempat sholat Sultan Kasepuhan dan bagian kanannya ada maskurah bagi Sultan Kanoman.

Sementara di luar ruang utama terdapat: (1) tempat wudlu berjumlah empat buah di bagian utara, barat daya, timur laut, dan selatan; (2) istiwa berbentuk bundar dengan tongkat besi di permukaannya sebagai alat petunjuk waktu yang mengacu pada sinar matahari; (3) pelayonan atau tempat memandikan jenazah yang berada di bagian barat; dan (4) makam yang berjumlah 21 buah (berbentuk gundukan tanah diberi susunan bata dan nisan polos dari batu) yang berada di bagian barat daya masjid. (ali gufron)
 
Sumber:
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Sejarah dan Arsitekturnya”, diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/18/14000 0779/masjid-agung-sang-cipta-rasa--sejarah-dan-arsitekturnya?page=all, tanggal 5 Januari 2022.
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Sang_Cipta_Rasa, tanggal 5 Januari 2022.
“Masjid Agung Kasepuhan Cirebon”, diakses dari http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2014081200003/ masjid-agung-kasepuhan-cirebon, tanggal 6 Januari 2022.
“Masjid Sang Cipta Rasa Bagian Sejarah Islam di Tanah Cirebon”, diakses dari https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/masjid-sang-cipta-rasa-bagian-sejarah-islam-di-tanah-cirebon/, tanggal 6 Januari 2022.
“Sejarah Masjid Agung Kasepuhan Cirebon Ragam Arsitekturnya”, diakses dari https://tirto.id/sejarah-masjid-agung-kasepuhan-cirebon-ragam-arsitekturnya-gdTH, tanggal 6 Januari 2022.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive