Maxiao 500RR, “Panigale” Made In China


Soal jiplak menciplak, China memang jagonya. Hampir semua produk sukses di pasaran selalu saja ada tiruannya. Ducati Panigale V4 misalnya, motor asal Italia yang sukses terjual hingga puluhan ribu unit pada tahun 2023 ini ternyata juga dicloning desain luarnya oleh produsen sepeda motor China. Adapun nama pasarnya adalah Maxiao 500RR.

Konon, munculnya Maxiao 500RR bukan lantaran mereka tidak pinya ide, tetapi karena permintaan pasar Tiongkok yang menginginkan motor bertampang layaknya Ducati Panigale V4 namun dengan harga terjangkau. Oleh karena itu, tak mau repot mendesain mereka langsung merespon dengan mencontek sebagian besar desain motor buatan pabrikan di Bologna tersebut.

Hasil contekan itu dapat dilihat mulai dari body depan hingga belakang, warna, kaki-kaki hingga tata letak merek dan jenis font pada sepeda motor. Body depan misalnya, memiliki headlamp sipit mengarah ke bawah yang identik dengan Panigale V4. Begitu juga dengan suspensi depan upside down, knalpot sedikit menyembul di bagian samping kanan fairing, buritan dengan sepasang lubang udara, lampu belakang ganda, velg multi spoke, ban belakang gemoy, hingga single swingarm hampir mirip Panigale V4.

Perbedaannya hanya terletak pada dapur pacu yang digunakan. Maxiao 500RR didukung mesin 4-tak paraller-twin 180 derajat berkapasitas 471cc DOHC berpendingin cairan buatan Loncin. Mesin ini dipercaya mampu mengeluarkan tenaga maksimal hingga 47,6 PS pada 8.500 rpm serta torsi 43 Nm di 7.000 rpm. Konon, tenaganya mampu membuat motor melesat dari 0-100 km/jam hanya dalam waktu kurang dari tujuh detik dengan kecepatan maksimal mencapai 160 km/jam.

Sebagai catatan, Maxiao 500RR juga dibekali fitur rem ABS dual-channel. Ukuran cakram depannya berdiameter 320 milimeter dan belakang 260 milimeter. Keduanya dibekali caliper besutan Brembo. Jadi, disamping untuk urusan pengereman Maxiao 500RR sebenarnya telah dibekali peralatan yang mumpuni. Sementara untuk mesinnya tentu kalah jauh dengan merek yang dicontek, namun cukup mengakomodir keinginan para pendamba Panigale V4 yang berkantong cekak. Bagaimana? Anda tertarik membelinya? (gufron)

Asal Mula Kampung Cirewed

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Kampung Cirewed berada di Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Dinamakan demikian karena dahulu banyak orang bawel yang tinggal di daerah ini. Cirewed sendiri merupakan hasil nasalisasi dari kata cerewet yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suka mencela (mengomel, mengata-ngatai), banyak mulut, nyinyir, dan bawel.

Konon, sebagian besar penduduk (terutama kaum perempuan) yang tinggal di sana mempunyai kebiasaan unik yaitu sering bergunjing dan kalau sedang berbicara sulit untuk dihentikan. Terlebih lagi bila sedang marah (baik pada suami, anak, maupun orang lain) mereka akan berbicara tanpa henti hingga arahnya menjadi melebar ke mana-mana. Kebiasaan para perempuan inilah yang kemudian dijadikan sebagai nama kampung tempat mereka tinggal.

Dahulu, Kampung Cirewed yang terletak di Jalan Raya Serang Km 13 Cikupa, merupakan secara administratif termasuk dalam Kelurahan Sukadamai. Namun, seiring bertambahnya jumlah penduduk, Kelurahan Sukadamai dimekarkan menjadi Kelurahan Bunder dan Kampung Cirewed menjadi bagiannya. (gufron)

Kumpo, Tarian Mistis dari Afrika

Kumpo adalah istilah suku bangsa Diola di Afrika Barat bagi makhluk gaib penjaga desa yang diyakini dapat melindungi dan menebar kebaikan pada kehidupan manusia. Makhluk ini digambarkan berpakaian daun lontar dan jerami serta memakai tongkat di kepala.

Oleh masyarakat Afrika Barat, khususnya di daerah Benin, Gambia, dan Senegal Kumpo dijadikan sebagai sebuah tarian mistis dengan menampilkan boneka setinggi manusia berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami yang dapat menari sendiri tanpa bantuan manusia.

Tarian kumpo biasanya dihadirkan dalam festival keagamaan voodoo setiap tanggal 10 Januari. Kata voodoo atau vodun atau vadou bagi masyarakat awam sering dipersepsikan sebagai sebuah boneka yang merepresentasikan seseorang dan bila ditancapkan paku akan menimbulkan rasa sakit pada orang tersebut. Padahal, sejatinya voodoo adalah sebuah tradisi keagamaan spiritis-animis yang berasal dari leluhur bangsa Afrika Barat.

Voodoo merupakan cara hidup yang meliputi seperangkat prinsip panduan dari berbagai elemen budaya, yaitu: kepercayaan dan praktik pribadi, sistem praktik medis tradisional, sistem etika yang ditransmisikan lintas generasi melalui peribahasa, cerita rakyat, lagu, dan lain sebagainya. Selain itu, voodoo juga mengajarkan kepercayaan pada makhluk tertinggi pencipta alam semesta yang disebut Bondye serta roh yang disebut Ioa atau Iwa yang bertanggung jawab atas wilayah atau bagian tertentu dari kehidupan.

Dalam festival voodoo kumpo menjadi sajian favorit yang dapat menyedot penonton. Sebelum tarian dimulai para tetua akan melakukan ritual pemanggilan roh leluhur melalui mantra-mantra terntentu sebagai perantaranya. Usai dimantrai, diiringi musik boneka kumpo yang berpakaian daun lontar dan jerami serta memakai tongkat di kepala mulai bergerak menari berputar-putar selama berjam-jam di tengah lapangan. Dan, selama menari kumpo diyakini dapat berinteraksi dengan penonton terpilih dalam bahasa rahasia. Konon, bahasa itu hanya dipahami oleh pawang yang nantinya akan bertindak sebagai penerjemah.

Legenda Danau Tondano

(Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara)

Alkisah, dahulu di daerah Minahasa ada sebuah gunung menjulang tinggi. Pada bagian utara dan selatan gunung dikuasai oleh dua orang tonaas. Tonaas wilayah utara memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Marimbaouw. Sementara tonaas wilayah selatan dikaruniai seorang putra bernama Maharimbouw.

Keduanya memiliki umur yang tidak terpaut jauh. Sayangnya mereka tidak saling kenal karena tempat tinggal yang dipisahkan oleh gunung. Jadi, Marimbaouw dan Maharimbouw hidup bersama klennya masing-masing hingga tumbuh dewasa dan siap meneruskan kepemimpinan orang tuanya.

Perbedaan keduanya hanyalah pada perspektif gender yang dianut klennya. Maharimbouw diposisikan sebagai seorang laki-laki patriark yang menjadi pusat kekuasaan. Dia dicitrakan sebagai pengambil keputusan, kuat, jantan, berani, bersifat pelindung, pantang menyerah dan rasional. Berdasar konstruksi sosial tadi Maharimbouw bebas melakukan aktivitas di luar rumah, baik siang maupun malam serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya sehingga memungkinkannya secara fisiologis, sosiologis, maupun pasikologis tumbuh sebagai pribadi kuat dan mandiri.

Sementara Marimbaouw awalnya diposisikan berkenaan dengan peran domestik perempuan dalam rumah tangga. Namun, karena dia adalah anak satu-satunya, maka mau tidak mau harus menjalankan pula peran sebagaimana layaknya laki-laki karena kelak harus menjadi tonaas menggantikan ayahandanya. Oleh karena itu, walau banyak laki-laki datang melamar, Marimbaouw menolak dengan halus sebelum dirinya siap menjadi tonaas.

Bahkan, saking seriusnya ingin menjadi tonaas Marimbaouw sampai mengubah penampilan secara total layaknya seorang laki-laki. Dengan demikian, dia pun bebas melakukan aktivitas layaknya laki-laki seperti mempelajari ilmu bela diri, berburu di hutan, dan lain sebagainya.

Suatu hari, ketika sedang mengasah ilmu berburunya di hutan dia ditangkap oleh Maharimbouw yang kebetulan tengah berjaga di daerah perbatasan. Dia pun diiterogasi karena dikira sebagai mata-mata yang dikirim dari daerah utara.

Merasa dirinya bukanlah seorang mata-mata Marimbaouw tentu saja menyangkal tuduhan Maharimbouw. Terjadilah adu mulut di antara keduanya yang berujung pada perkelahian. Marimbaouw dan Maharimbouw sama-sama mengeluarkan jurus andalan untuk mengalahkan satu sama lain.

Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika Maharimbouw menyerang ke arah wajah, tanpa disengaja mengenai bagian belakang kepala Marimbaouw sehingga rambut hitamnya yang panjang menjadi terurai dan menampakkan wajah aslinya.

Seketika Maharimbouw langsung menghentikan serangan. Dia berdiri kaku menyaksikan kecantikan Marimbaouw yang tengah sibuk merapikan rambutnya kembali. Dan, dengan hati masih berdegup kencang dia meminta maaf karena mengira Marimbaouw adalah orang yang sengaja diutus untuk memata-matai aktivitas tonaas wilayah selatan.

Selanjutnya, dia mempersilahkan Marimbaouw pulang kembali ke rumahnya. Namun, dia berharap agar Marimbaouw mau menemuinya kembali di tempat ini beberapa minggu ke depan. Maharimbouw telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bak gayung bersambut, harapan Maharimbouw ternyata ditanggapi oleh Marimbaouw. Dan, semenjang itu mereka kerap berjumpa di perbatasan. Benih-benih cinta akhirnya mulai muncul di antara keduanya.

Beberapa bulan kemudian Maharimbouw memutuskan untuk melamar Marimbaouw. Sayangnya, lamaran itu ditolak dengan alasan Marimbaouw sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum menjadi tonaas menggantikan ayahnya.

Begitu seterusnya, setiap kali bertemu alasan itu yang dimunculkan. Maharimbouw selalu saja membujuknya untuk melanggar sumpah hingga suatu saat Marimbaouw luluh dan akhirnya menerima. Mereka menikah secara diam-diam tanpa dihadiri orang tua dari kedua belah pihak.

Walhasil, baru beberapa hari menikah dampaknya mulai terasa. Akibat Marimbaouw melanggar sumpah wilayah dua tonaas tiba-tiba dilanda gempa bumi dahsyat yang menyebabkan bebatuan besar dari puncak gunung berjatuhan. Sejurus kemudian puncak gunung yang memisahkan kedua tonaas tiba-tiba menyemburkan lahar panas.

Tidak lama setelahnya, entah dari mana, datanglah air bah yang menenggelamkan seluruh wilayah bagian utara dan selatan di sekitar gunung tinggi itu. Lama-kelamaan kedua daerah itu menjadi sebuah danau besar yang oleh masyarakat kemudian dinamakan sebagai Tondano.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Kecamatan Sepatan

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Kecamatan Sepatan yang kini dimekarkan menjadi Sepatan dan Sepatan Timur memiliki sebuah kisah unik yang melatar belakangi penamaannya. Dahulu sebelum menjadi kecamatan di Kabupaten Tangerang daerah ini didiami oleh orang-orang yang tidak kembali lagi ke Banten setelah melakukan penyerbuan ke Jayakarta.

Lambat laun tidak hanya orang Banten saja yang menetap, melainkan juga mereka yang berasal dari beberapa etnis (Betawi, Sunda, Jawa) di daerah Jayakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Etnis Betawi di Jayakarta mulai datang dan menetap sekitar tahun 1600an. Adapun sebab kepindahan mereka ada yang menyatakan karena kedatangan Kompeni Belanda secara masif ke Jayakarta dan ada pula yang mengatakan karena wilayah Jayakarta waktu itu sering dilanda banjir.

Sementara etnis Sunda yang menetap sebagian besar berasal dari daerah Sumedang dan sisanya dari daerah Jasinga serta Lebak. Kedatangan orang-orang Sumedang ini mulai membanjir pasca penyerbuan pasukan Kerajaan Mataram ke Jayakarta antara tahun 1628 sampai 1929. Sedangkan pendatang dari Jawa adalah para pengikut Fatahilah dari Demak yang menguasai Banten sekitar tahun 1526. Selain itu ada juga kelompok-kelompok kecil sisa pasukan Mataram yang gagal mengepung Jayakarta.

Ketiga kelompok etnis tadi semakin hari mulai terdesak setelah Kompeni melarang orang-orang Tionghoa menetap di Jayakarta. Bahkan jumlah mereka semakin bertambah tatkala terjadi pemberontakan orang Tionghoa di Jayakarta yang telah berubah nama menjadi Batavia. Kompeni melarang mereka tinggal di Batavia dan hanya diperbolehkan menetap di daerah-daerah pinggiran.

Oleh karena sebagian orang Tionghoa memiliki modal besar, mereka kemudian menjadi tuan-tuan tanah di Tangerang. Akibatnya, penduduk yang datang sebelumnya (Betawi, Sunda, dan Jawa) menjadi terpinggirkan. Mereka kalah dalam hal penguasaan lahan partikelir karena tidak didukung oleh kekuatan finansial yang memadai.

Dan, untuk mencegah semakin meluasnya ekspansi orang-orang Tionghoa, mereka lantas mengerahkan orang-orang sakti membuat sebuah pembatas gaib yang diseput sepatan atau sipatan. Sepatan ini dibuat untuk membatasi wilayah para tuan tanah Tionghoa di sisi timur muara Sungai Cisadane dan wilayah pendatang sebelumnya di sisi sebelah barat. Hasilnya, konon, orang-orang Tionghoa tidak dapat melewati batas maya tersebut sehingga tidak bisa melakukan ekspansi ke sisi sebelah barat Sungai Cisadane.

Lambat laun seiring bertambahnya jumlah penduduk dengan etnis yang lebih beragam, sepatan tidak lagi menjadi pembatas gaib melainkan telah berupa populasi penduduk dalam sebuah kecamatan yang bernama sama dengan batas-batas: sebelah utara dengan Kecamatan Sukadiri dan Kecamatan Pakuhaji, sebelah timur dengan Kecamatan Sepatan Timur (hasil pemekaran Kecamatan Sepatan), sebelah selatan dengan Kota Tangerang, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rajeg serta Kecamatan Pasar Kemis. Di dalamnya terdapat sejumlah desa dan kelurahan, yaitu: Sepatan Pisangan Jaya, Kayu Bongkok, Karet, Mekar Jaya, Sarakan, Kayuagung, dan Pondok Jaya. (gufron)

Asal Mula Danau Batur

(Cerita Rakyat Daerah Bali)

Alkisah, ada sepasang suami istri yang tinggal di sebuah desa di pedalaman Bali. Mereka telah lama berumah tangga, namun belum juga dikaruniai momongan. Rutin menjelang tidur mereka selalu berdoa memohon agar keinginan mendapat bayi dikabulkan Tuhan.

Setelah sekian tahun berdoa akhirnya Tuhan mengabulkan permintaan mereka. Sang istri mulai mengandung dan sembilan bulan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki sehat tak kurang satu apa pun. Ajaibnya, Si bayi tumbuh dengan sangat pesat melebihi pertumbuhan manusia normal.

Ketika memasuki usia kanak-kanak tubuhnya sudah seperti orang dewasa. Orang-orang di sekitarnya menjulukinya sebagai “Kebo Iwa” atau “Paman Kerbau” karena tubuh dan nafsu makannya di luar batas kewajaran. Kedua orang tuanya sampai kewalahan memenuhi nafsu makannya yang luar biasa.

Sesuai dengan julukannya, Kebo Iwa bisa menjadi sangat pemarah terlebih bila makanan yang disediakan tidak membuatnya kenyang. Dia akan merusak apa saja yang ditemui, mulai dari rumahnya sendiri hingga rumah para tetangga yang letaknya berdekatan. Namun, apabila perutnya kenyang dia berubah menjadi sangat baik dengan membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, mulai dari meratakan tanah hingga mengangkut batu untuk membendung sungai.

Begitu seterusnya hingga suatu hari terjadi masa paceklik yang melanda desa hingga warga mulai kesulitan mendapatkan bahan pangan. Kondisi ini tidak membuat Kebo Iwa sadar. Dia tetap saja mengancam akan memporak-porandakan seisi desa apabila jatah makannya kurang.

Merasa terancam oleh keberadaan Kebo Iwa, warga desa bersepakat untuk menyingkirkannya. Adapun caranya adalah memberikan makan hingga kenyang lalu menyuruhnya menggali lubang yang sangat dalam untuk dijadikan sumur raksasa berdiameter besar dan dalam. Apabila lubang telah terbentuk dan Kebo Iwa berada di dalamnya, maka warga akan menimbunnya dengan batu kapur.

Setelah rencana penyingkiran disepakati esok harinya kepala desa mendatangi Kebo Iwa dan menawarinya pekerjaan sebagai penggali sumur dengan imbalan berupa makanan yang luar biasa banyak. Iming-iming tadi ditanggapi serius oleh Kebo Iwa. Dia minta ditunjukkan lokasi sumur akan dibuat.

Sampai di lokasi dia langsung menggali tanah membentuk sebuah lubang hanya dengan kedua tangannya tanpa alat bantu apapun. Ketika air mulai merembes Kebo Iwa merasa lelah dan ingin beristirahat. Dari dalam lubang dia meminta dikirimi makanan pada warga yang menunggu di atasnya.

Selesai makan sangat banyak, Kebo Iwa merasa mengantuk dan mencoba tidur di dalam lubang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh warga. Saat Kebo Iwa mulai terlelap beramai-ramai mereka menimbunnya dengan batu kapur hingga tubuhnya terlihat lagi dan akhirnya tewas kehabisan napas.

Ajaibnya, setelah Kebo Iwa tewas dari dalam sumur air memancar begitu besar hingga meluap ke mana-mana. Bahkan, saking banyaknya hingga membanjiri dan menenggelamkan desa menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat danau itu kemudian dinamakan sebagai Danau Batur. Sedangkan gundukan tanah hasil galian Kebo Iwa yang tidak ikut tenggelam dinamakan sebagai Gunung Batur.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Desa Panongan

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Panongan merupakan salah satu desa yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang. Menurut cerita yang berkembang pada masyarakat setempat, nama desa ini berasal dari kata “panoongan” (bahasa Sunda) yang berarti “sesuatu untuk dilihat”. Konon, sebelum menjadi sebuah desa, dahulu hidup seorang perempuan cantik bernama Nyai Menong. Sang Nyai hidup seorang diri di sebuah kawasan yang menjadi tempat perlintasan orang-orang dari berbagai kampung.

Oleh karena memiliki paras cantik jelita, Nyai Menong banyak dilirik para lelaki yang kebetulan melintasi depan rumahnya. Lama kelamaan, kawasan di sekitar rumah Nyai Menong dinamakan sebagai “Hulu Panoongan” karena hampir setiap laki-laki akan menyempatkan diri untuk noong (melihat) Sang Nyai. Tunjuannya bermacam-macam, mulai dari hanya sekedar mengagumi paras cantiknya, kemolekan lekuk tubuhnya atau aktivitas kesehariannya.

Aktivitas noong itulah yang kemudian menjadi sebuah arena bagi para jawara mengadu ilmu kanuragan guna merebut hati Sang Nyai. Di antara mereka ada dua orang jawara kelas kakap, yaitu Ki Banteng dan Ki Banjir. Saking kakapnya tempat petilasan mereka saat ini menjadi makom keramat yang ramai dikunjungi para peziarah. Mereka tidak hanya datang ngalap berkah di kedua makom tersebut, melainkan juga ke dua tempat lain di sekitar makom yang dinamakan sebagai Sumur Tujuh dan Telapak Sujud.

Seiring waktu nama panoongan oleh masyarakat setempat dilafalkan menjadi panongan dan menjadi sebuah desa dengan pemimpin pertamanya bernama Ki Angko. Pemimpin selanjutnya adalah Ki Janaan (1941-1949), Hasyim (1949-1957), Amat (1957-1965), H. Ahmad (1965-1981), Dadang Hermawan (1981-1989), Rais (1989), Suhendi (1999-2007), Suadi (2007-2013), dan Suhendi (2013-2020). (gufron)

Keraton Surosowan

Keraton Surosowan berada di Jalan Masjid Agung Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Keraton yang merupakan saksi sejarah kejayaan Banten ini dibangun pada abad ke 17 oleh Sultan Maulana Hasanuddin atas perintah Sunan Gunung Jati. Adapun tujuannya adalah sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan dan sebagai pusat Kerajaan Banten.

Keraton Surosowan dibangun dalam empat tahap. Tahap pertama berupa dinding keliling keraton dengan susunan bata berukuran 100-125 centimeter. Tahap kedua dinding bagian dalam sebagai penahan tembakan. Bentuknya berupa bastion atau bulwark yang menonjol dari dinding tirai benteng. Tahap ketiga berupa ruang dan penambahan lantai guna mencapai dinding penahanan. Dan tahap terakhir adalah perubahan gerbang utama dan gerbang timur.

Sebagai catatan, keraton ini pernah mengalami penghancuran. Penghancuran pertama terjadi ketika ada peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji sekitar tahun 1680. Setelah Sultan Haji menang dan naik tahta keraton diperbaiki kembali dengan menggandeng Hendrik Laurenzns Cardeel sebagai arsiteknya.

Tetapi tahun 1808 Keraton Surosowan dihancurkan oleh Gubernur Jenderal Deandels setelah Kesultanan Banten menolak tiga permintaan Belanda, yaitu: mengirimkan 1000 orang per hari sebagai pekerja di Ujung Kulon, menyerahkan Pati Mangkubumi ke Batavia, dan memindahkan keraton ke daerah Anyer.

Setelah dihancurkan kini yang tersisa hanya tinggal puing-puingnya saja dengan sisa bangunan masih terpendam di dalam tanah. Sisa-sisa itu di antaranya adalah: saluran air; tembok keliling berdinding strek dan kop; pondasi bangunan; struktur lantai ubin dan bata; kolam pemandian; dan jalan (gang).

Namun, secara fungsional seluruhnya masih saling berhubungan. Bangunan di dalam benteng berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan. Bangunan di depan gerbang berfungsi sebagai bangunan utama, pelayanan kerajaan, serta kediaman kerabat Sultan. Sementara di dalam benteng terdapat kediaman Sultan dan Taman Kolam Roro Denok dengan bale kambang di bagian depannya. Sedangkan di sisi selatan difungsikan sebagai penampungan air bersih, pemandian, dan kolam pengaturan air kotor.

Masjid Nurul Huda

Lokasi: Jalan Swadarma I Dalam Blok A RT 002/09 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Foto: ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive