Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa berada di area kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon atau Masjid Pakungwati ini merupakan salah satu bukti syiar Islam di tanah Jawa. Adapun pembangunannya diperkirakan sejak tahun 1480 Masehi atas prakarsa Sunan Gunung Jati atau Syekh Maulana Syarif Hidayatullah dan dibantu oleh Wali Sanga (kompas.com).

Menurut id.wikipedia.org, pembangunan masjid ini melibatkan sekitar lima ratus orang yang sebagian didatangkan dari daerah Majapahit dan Demak. Sedangkan arsiteknya adalah Raden Sepat, seorang asal Kerajaan Majapahit yang menjadi tawanan dalam perang Demak-Majapahit. Dia ditugaskan membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid.

Berkat dua orang arsitek tadi terbentuklah sebuah bangunan masjid yang hingga sekarang masih berdiri megah. Namun, walau tidak lekang dimakan zaman ada juga kerusakan-kerusakan kecil yang harus diperbaiki. Cagarbudaya.kemdikbud.go.id mencatat ada lima kali pemugaran terhadap bangunan masjid. Pemugaran pertama dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada sekitar tahun 1934 yang dipimpin Ir. Krijgman. Selanjutnya pada tahun 1960 Habib Syekh, R. Amartapura, dan Sulendraningrat memperbaiki bagian atap dan talang masjid. Antara tahun 1972-1974 Pemerintah Kota Cirebon melakukan perbaikan pada bagian serambu. Dan, tahun 1975-1978 Departemen Pendidikan dan kebudayaan melakukan pemugaran bangunan, soko guru, tempat wudlu, peturasan, dan penggantian atap sirap kayu jati.

Sejumlah tahap pemugaran di atas tidak mengubah bentuk bangunan masjid dan area di sekitarnya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa masih mempertahankan perpaduan arsitektur gaya Jawa dan Hindu Majapahit yang terlihat mulai dari gapura paduraksa hingga arsitektur dalam masjid (Indonesiakaya.com). Gapura paduraksa yang merupakan pintu masuk area masjid sejumlah enam buah berada di bagian timur (tiga buah), utara (satu buah), dan dua buah di bagian barat. Gapura-gapura tadi bagian puncaknya ada yang berhias sayap bersusun tiga, candi laras, tulisan Arab, hingga hiasan belah ketupat.

Halaman masjid dikelilingi tembok merah berhias belah ketupat dan segi empat serta tonjolan bata segi enam bermotif bingkai cermin. Pada bagian puncaknya terdapat pelipit dari susunan bata setinggi sekitar 70 centimeter dengan bagian atas dan bawah kecil sementara tengahnya melebar.

Melewati gapura dan halaman ada serambi yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu serambi dalam (berada di sekeliling bangunan utama) dan serambi luar (di sekeliling serambi dalam). Mengutip Cagarbudaya.kemdikbud.go.id, serambi dalam berada di sebelah timur dinamai Pemandangan, selatan dinamai Prabayaksa berukuran 29x6,40 meter, serambi utara berukuran 29x6,40 meter yang di dalamnya terdapat sebilah rotan yang dahulu berfungsi sebagai penjemur baju Sunan Kalijaga, serta serambi barat berukuran 33x7 meter yang di dalamnya ada sebuah bedug berukuran panjang sekitar satu meter dan diameter 80 centimeter diberi nama Sang Guru Mangir atau Kyai Buyut Tesbur Putih. Sedangkan serambi luar bagian timur terbagi atas dua bagian berbentuk persegi panjang dengan atap ditutup sirap; serambi luar bagian selatan berukuran 33,6x7 meter berfungsi sebagai pawastren atau tempat sholat bagi kaum perempuan; dan serambi luar bagian utara berukuran 17x7 meter berdampingan dengan Pemandangan.

Lepas dari serambi ada ruang utama berukuran 17,80x13,30 meter. Ruang utama ini memiliki sejumlah enam buah ruang lagi yang dikelilingi tembok dari batu kapur setinggi sekitar tiga meter dan tebal 56 centimeter. Tembok atau dinding masjid dihiasi dengan lubang angin berbentuk belah ketupat bergerigi dan pliaster berhias motif teratai serta sulur-suluran. Di antara dinding terdapat sembilan buah pintu dengan berbagai macam ukuran menuju ruang utama. Ke-sembilan pintu yang melambangkan sembilan orang wali (Walisongo) di tanah Jawa itu terdiri dari satu pintu utama berukuran 240x124 centimeter dan delapan buah lainnya berukuran 160 centimeter di sisi kiri dan kanannya.

Ruang utama masjid disangga oleh 30 buah tiang berbentuk bulat dengan diameter 40 centimeter. Jumlanya, pada bagian bagian timur ke barat sebanyak 12 buah, sedangkan yang berada di dekat dinding (termasuk sebuah tiang tatal) ada 18 buah (tirto.id). Tiang tatal masjid yang dibuat oleh Sunan Kalijaga tersebut merupakan soko guru atau tiang utama yang terbuat dari pecahan-pecahan kayu berukuran kecil. Ia bermakna sebagai lambang kesatuan dan kegotongroyongan.

Selain tiang tatal, di dalam ruang utama juga terdapat mihrab, mimbar, dan maksurah. Mihrab berukuran 244x140x250 centimeter beratap melengkung berhias motif bunga matahari berlidah api serta sulur-suluran. Menurut indonesiakaya.com bagian bawah mihrab terdapat tiga buah ubin yang dipasang olah Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang sebagai representasi dari iman, Islam, dan ihsan.

Tidak jauh dari mihrab ada mimbar yang diberi nama Sang Renggakosa berukuran 122x66x230 centimeter. Mimbar memiliki tiga buah anak tangga yang bagian tangan kursinya menyatu dengan tiang. Di bagian kiri mimbar ada maksurah atau pagar berbentuk palang kayu berukuran 325x250 centimeter sebagai tempat sholat Sultan Kasepuhan dan bagian kanannya ada maskurah bagi Sultan Kanoman.

Sementara di luar ruang utama terdapat: (1) tempat wudlu berjumlah empat buah di bagian utara, barat daya, timur laut, dan selatan; (2) istiwa berbentuk bundar dengan tongkat besi di permukaannya sebagai alat petunjuk waktu yang mengacu pada sinar matahari; (3) pelayonan atau tempat memandikan jenazah yang berada di bagian barat; dan (4) makam yang berjumlah 21 buah (berbentuk gundukan tanah diberi susunan bata dan nisan polos dari batu) yang berada di bagian barat daya masjid. (ali gufron)
 
Sumber:
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Sejarah dan Arsitekturnya”, diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/18/14000 0779/masjid-agung-sang-cipta-rasa--sejarah-dan-arsitekturnya?page=all, tanggal 5 Januari 2022.
“Masjid Agung Sang Cipta Rasa”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Sang_Cipta_Rasa, tanggal 5 Januari 2022.
“Masjid Agung Kasepuhan Cirebon”, diakses dari http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2014081200003/ masjid-agung-kasepuhan-cirebon, tanggal 6 Januari 2022.
“Masjid Sang Cipta Rasa Bagian Sejarah Islam di Tanah Cirebon”, diakses dari https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/masjid-sang-cipta-rasa-bagian-sejarah-islam-di-tanah-cirebon/, tanggal 6 Januari 2022.
“Sejarah Masjid Agung Kasepuhan Cirebon Ragam Arsitekturnya”, diakses dari https://tirto.id/sejarah-masjid-agung-kasepuhan-cirebon-ragam-arsitekturnya-gdTH, tanggal 6 Januari 2022.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Asal Mula Batu Trumpit

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, di daerah Kalimantan Timur ada sebuah kampung bernama Suggih. Penduduknya bermata pencaharian sebagai peladang dan nelayan. Para peladang Kampung Suggih setiap matahari condong ke arah barat, berbondong-bondong pulang dari ladang sembari membawa cangkul, mandau, dan lanjung atau keranjang yang dibawa di punggung dengan tali pengikat terletak pada bagian bahu dan kepala pembawanya.

Oleh karena letak ladang relatif jauh, maka perkampungan mereka relatif sunyi dari pagi hingga menjelang petang. Keriuhan baru terdengar setelah anak-anak yang ikut ke ladang mulai mengelompok dan bermain di tanah lapang, teras, dan atau halaman rumah. Apabila malam mulai larut barulah mereka beranjak ke peraduan. Begitu seterusnya keseharian sebagian besar penduduk Kampung Suggih.

Hanya ada satu keluarga yang tidak mengikuti kebiasaan ini, yaitu Kattong dan anak semata wayangnya. Kattong bukanlah seorang peladang. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah sebagai penjual air. Dia mengambilnya dari sumber air gunung yang dialirkan menuju rumahnya menggunakan buluh. Air itu kemudian dijajakan pada penduduk kampung dengan imbalan sejumlah hasil ladang.

Kattong tinggal bersama anak perempuan semata wayangnya bernama Maya. Sang anak berperawakan tinggi semampai dengan paras yang aduhai. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak pemuda dari Kampung Suggih atau kampung-kampung di sekitarnya yang jatuh hati. Mereka berlomba-lomba menebar pesona, namun tidak ada seorang pun yang berhasil memikat hati Maya.

Begitulah siklus hidup penduduk Kampung Sugih hingga suatu hari terjadi kemarau berkepanjangan. Sumber air mulai mengering sehingga banyak tanaman ladang menjadi layu dan akhirnya mati karena terbatasnya pasokan air. Lambat laun tidak hanya tanaman yang kekurangan air, para penanamnya pun mulai kelimpungan.

Namun, hal ini tidak terjadi pada Kattong. Entah mengapa air dari gunung yang dialirkan ke rumahnya tetap lancar. Merasa kasihan melihat kondisi penduduk kampung yang mulai kesulitan air, dia mempersilahkan mereka mengantri guna memanfaatkannya. Bahkan tidak hanya penduduk Kampung Suggih saja yang datang, melainkan dari kampung-kampung lain yang berdekatan.

Salah satu kampung yang penduduknya mengantri air di rumah Kattong adalah Betcit. Kampung ini dikepalai seorang sakti mandraguna dan pandai dalam ilmu bela diri bernama Useu. Konon, apabila sedang marah benda apa pun yang dilihatnya akan berubah menjadi batu. Dia memanfaatkan kesaktian tersebut untuk mengintimidasi warga agar mau diperintah, tunduk, dan patuh. Termasuk perintah mengantri air di rumah Kattong.

Saat mengantri itulah mereka melihat Maya keluar rumah. Tubuh tinggi semampai dan paras cantik nan menawan rupanya membuat warga Betcit terkesima. Mereka tidak mengira kalau si empunya rumah memiliki anak seperti bidadari dari Kahyangan. Saking terkesima melihat kecantikan Maya, beberapa di antaranya sampai lupa kalau wadah tempat menampung air telah penuh dan meluber.

Sepulang dari rumah Kattong mereka tidak hanya mengantarkan air, melainkan juga melaporkan tentang adanya seorang gadis cantik bak bidadari kahyangan pada Useu. Penasaran akan cerita itu, timbullah niat untuk melihat sendiri sosok Maya yang digambarkan oleh warganya. Adapun caranya adalah dengan ikut mereka mengambil air di rumah Kattong.

Bersama pembantu setianya, pagi-pagi sekali Useu berangkat ke Kampung Suggih untuk mengambil air. Sampai di rumah Kattong dia segera berbaur bersama warga lainnya guna mengantri air. Bersamaan dengan gilirannya menadah air, keluarlah Maya dari rumah untuk mengambil sesuatu.

Melihat Maya yang begitu anggun, jantung Useu seakan berhenti berdetak. Dia tidak menyangka kalau Maya secantik itu. Pandangan matanya tidak berkedip sedikit pun ketika mengikuti Maya keluar hingga masuk lagi ke dalam rumah. Begitu seterusnya hingga berhari-hari lamanya. Setiap pagi Useu pergi mengambil air di rumah Kattong dengan tujuan hanya untuk melihat penampakan Maya. Hingga suatu hari dia sudah tidak tahan lagi ingin mengawininya.

Useu lalu mengutus salah seorang pembantunya menemui Kattong guna meminang Maya. Utusan tadi diterima dengan baik. Namun ketika sang utusan menyampaikan keinginan Useu, dia ditolak halus dengan alasan Maya belum berkeinginan menikah. Selain itu, Maya juga dianggap belum cakap karena masih awam bagaimana seluk beluk menjadi seorang istri.

Penolakan Kattong menimbulkan amarah Useu. Tetapi dia tidak langsung melampiaskan dengan mendatanginya. Ditunggunya waktu selama seminggu sebelum dia mengutus lagi dua orang kepercayaannya menemui Kattong. Pikirnya, Kattong tentu telah berunding dengan Maya. Dia kemungkinan tidak akan menyianyiakan kesempatan ini karena yang melamar anaknya bukanlah orang sembarangan.

Dugaan Useu ternyata salah. Untusan kedua tersebut ternyata juga ditolak Kattong dengan alasan yang sama. Oleh karena itu, dia bertekad untuk datang sendiri menemui Kattong. Esok harinya, bersama para pengawal Useu mendatangi rumah Kattong. Ketika bertemu Useu langsung menyampaikan niatnya melamar Maya. Dan, sama seperti jawaban sebelumnya Kattong tetap menolak menjodohkan Maya dengan Useu.

Walhasil, Useu pun menjadi sangat marah. Melalui kesaktiannya, dia dapat mengetahui keberadaan Maya yang sedari tadi mengintip dari arah dapur. Dia lalu lari ke dapur dan menarik tangan Maya keluar dari rumah. Sementara Kattong hanya terdiam kaku bagai patung. Dia tidak dapat berbuat apa-apa karena telah dimantrai oleh Useu.

Sampai di halaman rumah (dekat pancuran), entah mengapa tiba-tiba tubuh mereka berdempetan, menjadi kaku, dan akhirnya membatu. Sejurus kemudian datanglah angin kencang yang disertai dengan hujan sangat lebat dan sambaran petir di mana-mana. Bahkan, saking lebatnya air pancuran yang tadinya kecil menjadi deras hingga mengenai tubuh membatu Useu dan Maya. Oleh karena derasnya air yang jatuh dan mengalir di sela-sela tubuh mereka menyerupai lesatan anak sumpit, penduduk setempat kemudian menamainya sebagai batu trumpit. Konon, apabila orang hendak melewatinya haruslah meletakkan dahan kayu di atasnya agar tidak mengalami sakit demam.

Diceritakan kembali oleh gufron

Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang

Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive