Waring adalah istilah nelayan Pantura bagi salah satu dari sejumlah peralatan produksi melaut. Istilah waring itu sendiri memiliki beberapa macam versi. Versi pertama menyebutkan bahwa waring adalah anyaman benang plastik untuk berbagai macam keperluan di bidang pertanian dan perikanan (jualwaringmurah.wordpress.com). Versi kedua, menyatakan bahwa waring merupakan jaring yang terbuat dari anyaman plastik untuk tambak ikan (water net), pertanian, perkebunan, dan merakit mozaik stone (sites.google.com). Versi ketiga, menyatakan bahwa waring merupakan jala khusus semacam tukol atau dogol yang dibuat hanya untuk menangkap ikan teri (Engraulis) (Ikhwanulfalah.blogspot.com). Sedangkan, versi lainnya lagi menyatakan bahwa waring adalah anyaman benang nilon yang dibuat sedemikian rupa hingga membentuk lubang kotak berangkai.
Apabila merujuk pada versi terakhir, waring merupakan salah satu bahan dasar pembuat jaring. Jaring barulah terbentuk secara sempurna apabila di dalamnya terdapat rangkaian waring, pelampung, pemberat, dan rawe nilon atau kawat besi. Dahulu, pembuatan jaring menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, seperti: rawe, bambu, daun kelapa, pohon apu, dan tanah liat. Rawe digunakan untuk membuat waring dan tali-temali; bambu untuk membuat kerangka; daun kelapa untuk membuat penter atau tendak; pohon apu digunakan sebagai pelampung; dan tanah liat digunakan sebagai klanting (pemberat). Namun seiring dengan perkembangan zaman, aktivitas pembuatan jaring secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Nelayan lebih memilih bahan-bahan produksi pabrik seperti, nilon, besi, plastik, timbal, timah, multifilament, dan lain sebagainya. Jadi, tidak perlu lagi bersusah payah mencari bahan-bahan yang diperoleh dari alam sekitarnya karena tinggal membeli bahan-bahan tersebut di toko-toko perlengkapan nelayan atau langsung ke pabriknya.
Peralihan bahan baku pembuat jaring disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: waktu pembuatan, jangkauan tangkap, kualitas bahan, serta waktu dan biaya perawatan. Pembuatan jaring berbahan sintetis jauh lebih cepat karena hanya tinggal merangkai atau merakit bahan-bahan yang sudah diproduksi oleh pabrik. Jangkauan tangkap jaring sintetis lebih luas dan dalam dibanding jaring alami. Jika jaring sintetis bisa mencapai kedalaman 70 meter, jaring alami hanya dapat mencapai mencapai kedalaman 3-15 meter. Dari segi kualitas bahan, jaring sintetis dapat tahan hingga pemakaian selama lebih dari dua tahun, sedangkan jaring alami hanya mampu bertahan selama sekitar 6 bulan. Perawatan jaring sintetis cukup mencucinya dengan air tawar, kemudian diselimuti terpal agar tidak terkena tetesan oli mesin perahu dan sinar matahari. Perawatan yang membutuhkan ketelitian hanya terjadi bila benang waring putus, sehingga mata jaring (mesh size) menjadi lebar.
Khusus untuk waring sebagai "daging" jaring, pemilihan bahan sintetis lebih diutamakan karena memiliki daya elastisitas tinggi, berat jenis relatif baik, berserat halus, daya tenggelam memadai, tahan terhadap pelapukan, harga relatif murah, dan mudah perawatannya. Perawatan jaring sintetis umumnya cukup dengan mencucinya menggunakan air tawar dan kemudian diselimuti terpal agar tidak terkena tetesan oli mesin perahu dan sinar matahari langsung. Perawatan yang membutuhkan ketelitian hanya terjadi bila benang waring terputus dan menyebabkan mata (mesh size) melebar. Adapun perbaikannya dilakukan dengan cara menyulam menggunakan coban dan seleran. Coban adalah alat untuk merajut jaring, terbuat dari plastik berbentuk menyerupai jarum besar yang bagian tengahnya diberi lubang untuk dudukan benang. Sedangkan seleran adalah alat untuk membuat mata jaring (mesh size) berbahan bambu pipih dengan panjang 10-15 cm dan lebar 2-3 cm.
Penyulaman waring dilakukan oleh perempuan, anak lelaki yang belum diperbolehkan turun melaut, atau oleh para bidak. Jika para bidak yang mengerjakan penyulaman, mereka akan memeroleh sejumlah upah (dari pukul 09.00-16.00 WIB). Upah tersebut masih ditambah dengan pemberian makan dan rokok. Saat ini pekerjaan njuring atau merajut jaring sudah banyak ditinggalkan. Hal itu disebabkan waring yang baru lebih murah daripada memperbaikinya. Mereka lebih memilih membeli waring baru daripada harus memperbaikinya.
Perbaikan umumnya dilakukan ketika senar waring banyak yang putus sehingga matanya melebar dan sulit memerangkap ikan. Penyebabnya dapat bermacam-macam, seperti: terlalu sering menangkap ikan melebihi kapasitas, terkena "ranjau" (bangkai kapal, rumpon, karang), atau secara sengaja dipotong oleh nelayan lain. Pemotongan biasanya dilakukan karena jaring terlampau panjang dan mengganggu zona penaburan nelayan lainnya. Apabila pemotongan tidak diketahui oleh si pemilik jaring, maka hal itu dianggap lumrah alias biasa saja karena sudah sering terjadi di kalangan nelayan.
Namun, apabila pemilik segera mengetahui ada bagian jaringnya yang dipotong, walau tidak melihat aksi pemotongannya, maka perahu terdekat dengan lokasilah yang akan dituduh. Bila si tertuduh hanya memotong dan tidak mengambil hasil tangkapan jaring yang dipotong, penyelesaian dapat dilakukan secara kekeluargaan. Tetapi, bila si tertuduh juga mengambil hasil tangkapan, perselisihan dapat berlanjut hingga ke darat serta melibatkan banyak orang, termasuk pemerintah desa atau aparat kepolisian. Bahkan bisa lebih parah lagi apabila nelayan yang berseteru menggunakan jenis jaring yang berbeda.
Sebagai catatan, perkembangan pada penggunaan bahan baku ini pada gilirannya juga diikuti oleh pergeseran tingkah laku dalam perawatannya, khususnya yang berhubungan dengan "dunia gaib". Pada masa lalu misalnya, agar mendapat hasil melimpah para pemilik jaring umumnya akan mengasapi alat tangkapnya dengan dupa setiap malam jumat. Bagi nelayan kaya ada pula upacara ruwatan untuk mensucikan jaring setiap tanggal satu Suro dan selesai musim paceklik (musim barat) dengan mengundang tokoh agama atau orang yang dituakan dalam mayarakat untuk menjadi pemimpin upacaranya. Saat ini usaha pensucian alat tangkap tersebut sudah sangat jarang dilakukan. Para nelayan lebih memilih untuk mensucikannya secara bersamaan pada saat ada ritual nadran yang diadakan setiap tahun sekali.