(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, di daerah Kalimantan Timur ada sebuah kampung bernama Suggih. Penduduknya bermata pencaharian sebagai peladang dan nelayan. Para peladang Kampung Suggih setiap matahari condong ke arah barat, berbondong-bondong pulang dari ladang sembari membawa cangkul, mandau, dan lanjung atau keranjang yang dibawa di punggung dengan tali pengikat terletak pada bagian bahu dan kepala pembawanya.
Oleh karena letak ladang relatif jauh, maka perkampungan mereka relatif sunyi dari pagi hingga menjelang petang. Keriuhan baru terdengar setelah anak-anak yang ikut ke ladang mulai mengelompok dan bermain di tanah lapang, teras, dan atau halaman rumah. Apabila malam mulai larut barulah mereka beranjak ke peraduan. Begitu seterusnya keseharian sebagian besar penduduk Kampung Suggih.
Hanya ada satu keluarga yang tidak mengikuti kebiasaan ini, yaitu Kattong dan anak semata wayangnya. Kattong bukanlah seorang peladang. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah sebagai penjual air. Dia mengambilnya dari sumber air gunung yang dialirkan menuju rumahnya menggunakan buluh. Air itu kemudian dijajakan pada penduduk kampung dengan imbalan sejumlah hasil ladang.
Kattong tinggal bersama anak perempuan semata wayangnya bernama Maya. Sang anak berperawakan tinggi semampai dengan paras yang aduhai. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak pemuda dari Kampung Suggih atau kampung-kampung di sekitarnya yang jatuh hati. Mereka berlomba-lomba menebar pesona, namun tidak ada seorang pun yang berhasil memikat hati Maya.
Begitulah siklus hidup penduduk Kampung Sugih hingga suatu hari terjadi kemarau berkepanjangan. Sumber air mulai mengering sehingga banyak tanaman ladang menjadi layu dan akhirnya mati karena terbatasnya pasokan air. Lambat laun tidak hanya tanaman yang kekurangan air, para penanamnya pun mulai kelimpungan.
Namun, hal ini tidak terjadi pada Kattong. Entah mengapa air dari gunung yang dialirkan ke rumahnya tetap lancar. Merasa kasihan melihat kondisi penduduk kampung yang mulai kesulitan air, dia mempersilahkan mereka mengantri guna memanfaatkannya. Bahkan tidak hanya penduduk Kampung Suggih saja yang datang, melainkan dari kampung-kampung lain yang berdekatan.
Salah satu kampung yang penduduknya mengantri air di rumah Kattong adalah Betcit. Kampung ini dikepalai seorang sakti mandraguna dan pandai dalam ilmu bela diri bernama Useu. Konon, apabila sedang marah benda apa pun yang dilihatnya akan berubah menjadi batu. Dia memanfaatkan kesaktian tersebut untuk mengintimidasi warga agar mau diperintah, tunduk, dan patuh. Termasuk perintah mengantri air di rumah Kattong.
Saat mengantri itulah mereka melihat Maya keluar rumah. Tubuh tinggi semampai dan paras cantik nan menawan rupanya membuat warga Betcit terkesima. Mereka tidak mengira kalau si empunya rumah memiliki anak seperti bidadari dari Kahyangan. Saking terkesima melihat kecantikan Maya, beberapa di antaranya sampai lupa kalau wadah tempat menampung air telah penuh dan meluber.
Sepulang dari rumah Kattong mereka tidak hanya mengantarkan air, melainkan juga melaporkan tentang adanya seorang gadis cantik bak bidadari kahyangan pada Useu. Penasaran akan cerita itu, timbullah niat untuk melihat sendiri sosok Maya yang digambarkan oleh warganya. Adapun caranya adalah dengan ikut mereka mengambil air di rumah Kattong.
Bersama pembantu setianya, pagi-pagi sekali Useu berangkat ke Kampung Suggih untuk mengambil air. Sampai di rumah Kattong dia segera berbaur bersama warga lainnya guna mengantri air. Bersamaan dengan gilirannya menadah air, keluarlah Maya dari rumah untuk mengambil sesuatu.
Melihat Maya yang begitu anggun, jantung Useu seakan berhenti berdetak. Dia tidak menyangka kalau Maya secantik itu. Pandangan matanya tidak berkedip sedikit pun ketika mengikuti Maya keluar hingga masuk lagi ke dalam rumah. Begitu seterusnya hingga berhari-hari lamanya. Setiap pagi Useu pergi mengambil air di rumah Kattong dengan tujuan hanya untuk melihat penampakan Maya. Hingga suatu hari dia sudah tidak tahan lagi ingin mengawininya.
Useu lalu mengutus salah seorang pembantunya menemui Kattong guna meminang Maya. Utusan tadi diterima dengan baik. Namun ketika sang utusan menyampaikan keinginan Useu, dia ditolak halus dengan alasan Maya belum berkeinginan menikah. Selain itu, Maya juga dianggap belum cakap karena masih awam bagaimana seluk beluk menjadi seorang istri.
Penolakan Kattong menimbulkan amarah Useu. Tetapi dia tidak langsung melampiaskan dengan mendatanginya. Ditunggunya waktu selama seminggu sebelum dia mengutus lagi dua orang kepercayaannya menemui Kattong. Pikirnya, Kattong tentu telah berunding dengan Maya. Dia kemungkinan tidak akan menyianyiakan kesempatan ini karena yang melamar anaknya bukanlah orang sembarangan.
Dugaan Useu ternyata salah. Untusan kedua tersebut ternyata juga ditolak Kattong dengan alasan yang sama. Oleh karena itu, dia bertekad untuk datang sendiri menemui Kattong. Esok harinya, bersama para pengawal Useu mendatangi rumah Kattong. Ketika bertemu Useu langsung menyampaikan niatnya melamar Maya. Dan, sama seperti jawaban sebelumnya Kattong tetap menolak menjodohkan Maya dengan Useu.
Walhasil, Useu pun menjadi sangat marah. Melalui kesaktiannya, dia dapat mengetahui keberadaan Maya yang sedari tadi mengintip dari arah dapur. Dia lalu lari ke dapur dan menarik tangan Maya keluar dari rumah. Sementara Kattong hanya terdiam kaku bagai patung. Dia tidak dapat berbuat apa-apa karena telah dimantrai oleh Useu.
Sampai di halaman rumah (dekat pancuran), entah mengapa tiba-tiba tubuh mereka berdempetan, menjadi kaku, dan akhirnya membatu. Sejurus kemudian datanglah angin kencang yang disertai dengan hujan sangat lebat dan sambaran petir di mana-mana. Bahkan, saking lebatnya air pancuran yang tadinya kecil menjadi deras hingga mengenai tubuh membatu Useu dan Maya. Oleh karena derasnya air yang jatuh dan mengalir di sela-sela tubuh mereka menyerupai lesatan anak sumpit, penduduk setempat kemudian menamainya sebagai batu trumpit. Konon, apabila orang hendak melewatinya haruslah meletakkan dahan kayu di atasnya agar tidak mengalami sakit demam.
Diceritakan kembali oleh gufron