Bal Budhi

Bal budhi merupakan suatu permainan ketangkasan yang berkembang pada para penggembala di Pamekasan, Madura. Pada masa lalu permainan ini banyak dilakukan oleh para penggembala. Bal budhi menggunakan menggunakan bola tennis yang ditepak ke belakang (budhi). Dalam perkembangannya, permainan Bal budhi tidak hanya dilakukan oleh para penggembala saja tetapi juga anak-anak atau orang-orang di luar penggembala. Mereka membentuk group-group yang namanya cukup menggentarkan seperti: Se Kalap (halilintar), Se Mega Remmang (Kuda Terbang), Se Banjir (Banjir), dan lain sebagainya. Bal budhi dimainkan oleh laki-laki. Setiap group terdiri atas 9 orang. Dalam sebuah permainan dipimpin atau diatur oleh seorang wasit dan dua orang penjaga batas lapangan. Lebar lapangan 3 meter, sedangkan panjangnya tidak dibatasi (tidak terbatas).

Dalam sebuah permainan bal budhi, pemain yang menginjak tali batas dianggap “mati”. Demikian juga ketika bola yang dilambungkan tertangkap lawan. Jika pemain dapat melakukannya dengan baik (tidak menginjak tali dan tepakannya bagus), maka yang besangkutan mendapat nilai satu. Selanjutnya, pemain tersebut melakukan tepakannya yang kedua dengan cara menghadap lawan. Tepakan ketiga dilakukan dengan kedua tangannya. Tepakan keempat oleh masyarakat setempat disebut taba. Demikian seterusnya sampai tepakan ketujuh.yang disebut sabung. Sebagai catatan, setiap tepakan yang berhasil mendapat nilai satu. Jadi, dalam permainan yang menjadi pemenangnya adalah yang paling banyak mengumpulkan nilai.

Asal Mula Nama Desa Kasmaran di Indramayu

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Di Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, ada sebuah desa bernama unik, yaitu Kasmaran. Kata yang dalam KBBI berarti “jatuh cinta” ini terkait erat dengan asal usul keberadaannya. Ada sebuah cerita rakyat yang dapat menjelaskan asal usul nama tersebut. Adapun ceritanya sebagai berikut.

Berawal dari dua orang putra mahkota yang sedang berguru di wilayah Cirebon. Mereka adalah putra Pangeran Darma dari Indramayu dan putra Pangeran dari Sumedang Larang. Selama berguru rupanya mereka jatuh hati pada perempuan yang sama. Keduanya saling tebar pesona untuk merebut hati si perempuan hingga berbuah perkelahian karena tidak ada yang mau saling mengalah. Perkelahian akhirnya dimenangkan oleh putra Pangeran Darma dengan menewaskan putra mahkota Sumedang Larang.

Tewasnya putra mahkota Sumedang Larang tentu membuat ketegangan antarkedua belah pihak. Cirebon turun tangan menengahi. Sebagai pihak yang dirugikan Sumedang Larang meminta sebagian tanah di Lelea Indramayu yang akhirnya diberikan oleh Pangeran Darma agar peperangan tidak terjadi. Namun, pemberian tadi hanyalah siasat, sebab Pangeran Darma berusaha mengatur strategi agar dapat merebutnya kembali.

Caranya adalah dengan menyamar menjadi seorang perempuan genit yang memikat kaum pria namun sulit untuk dinikahi. Dia mendatangi wilayah perbatasan di tanah yang diminta Sumedang Larang untuk menggoda setiap laki-laki di sana. Hasilnya, banyak yang menjadi terpikat dan bahkan sanggup meninggalkan istri mereka.

Kehebohan tentang seorang perempuan Indramayu cantik yang mampu menggoda lelaki itu rupanya terdengar pula oleh Raja Sumedang Larang. Sang Raja yang merasa penasaran ingin melihat paras perempuan itu kemudian mendatanginya. Ketika bertemu langsung, dia pun tertarik dan hendak mempersuntingnya.

Sang “perempuan” penyamar bersedia dinikahi dengan catatan Raja Sumedang Larang harus menyerahkan daerah yang berada di wilayah Lelea sebagai maharnya. Oleh karena sudah kasmaran berat, keinginan itu dipenuhi Sang Raja dengan memberikan surat pengesahan di atas kulit kerbau yang telah ditandatangani.

Setelah berhasil mendapatkan surat pengesahan, “perempuan” itu mencoba melarikan diri. Raja Sumedang langsung mengejar hingga memasuki kawasan perbatasan Indramayu di Sungai Cipelang. Terdesak karena tidak bisa menyeberang, akhirnya Pangeran Darma membongkar kedoknya sebagai laki-laki tulen. Tentu saja hal ini membuat Raja Sumedang Larang kaget bukang kepalang. Dia sudah kasmaran pada seorang laki-laki yang menyamar menjadi seorang perempuan. Dan, tempat yang merupakan saksi bisu Pangeran Darma membuka kedoknya tadi oleh masyarakat sekitar kemudian dinamakan sebagai Kasmaran. Saat ini Kasmaran telah menjadi sebuah desa karena bertambahnya jumlah penduduk.

Boza, Minuman Tradisional Khas Turki

Boza adalah sejenis minuman tradisional yang telah turun-temurun dibuat oleh masyarakat Turki. Minuman berbahan rempah ini fungsi utamanya adalah sebagai penghangat tubuh. Boza juga berguna bagi perempuan hamil dan menyusui karena mengandung protein tinggi, karbohidrat, lemak, dan berbagai macam vitamin. Selain itu, efek probiotik yang dihasilkan dari ragi aktifnya juga dapat meningkatkan resistensi infeksi dan mengurai stres.

Boza berbentuk menyerupai puding berasa manis-asam dan beraroma tajam. Ia dibuat dari berbagai macam bahan, di antaranya adalah: jagung, gandum, gandum hitam, millet, malt, kayu manis, bulgur, ragi, dan nasi. Pembuatan boza memerlukan waktu relatif lama karena harus melalui proses fermentasi yang menghasilkan alkohol berkaadar sangat rendah.

Adapun prosesnya diawali dengan merebus bulgur dan nasi hingga seperti bubur. Setelah lembek disaring dan dijemur selama beberapa jam. Bila telah kering, campuran bulgur dan nasi tadi direbus lagi bersama ragi dan gula lalu didiamkan selama kurang lebih 20 jam. Gula akan ditambahkan lagi sebelum adonan disimpan di dalam lemari pendingin. Dan, apabila ingin disajikan akan ditaburi bubuk kayu manis dan buncis panggang sebagai penambah aroma dan rasa.

Foto: https://stock.adobe.com/nl/search?k=boza

Pentheng

Pentheng atau biasa juga disebut congugenean adalah salah satu jenis permainan anak-anak yang ada di kalangan masyarakat Pamekasaan, khususnya di daerah pedesaan. Permainan ini bisa dilakukan secara perorangan (seorang melawan seorang) atau beregu. Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah dua buah kayu berdiameter kurang lebih 2 centimeter dengan panjang sekitar 50 centimeter dan 10 centimeter. Kayu pertama disebut sebagai korbi yang berfungsi sebagai pemukul, sedangkan kayu kedua berfungsi sebagai budhu (yang dipukul). Selain kedua alat tersebut, permainan ini dilengkapi dengan sebuah lubang yang panjangnya kurang lebih 10 centimeter dan lebarnya kurang lebih 4 centimeter.

Sebelum bermain, untuk menentukan siapa yang akan memulai (bermain lebih dulu) diadakan dengan sute. Dalam hal ini siapa yang menang akan main bermain lebih dahulu. Pemenang sute meletakkan budhu di atas lubang dengan cara melintang. Kemudian, mengungkitnya dengan korbi. Sementara, lawan berjaga dan berusaha untuk menangkap budhu. Jika tertangkap, pemain itu berarti “mati” dan digantikan dengan lawan. Jika tidak tertangkap, budhu diarahkan ke korbi yang telah diletakkan di atas lubang dengan posisi melintang. Jika kena (menyentuhnya), maka berarti pemain “mati” dan digantikan oleh lawan mainnya. Namun, jika tidak mengenainya, pemain melanjutkan dengan melemparkan budhu dan memukulnya di udara. Jika budhu tertangkap lawan, maka berarti pemain “mati”, Namun, jika tidak, budhu tersebut dilemparkan ke arah lubang permainan. Jika budhu tersebut masuk dan atau berada di sekitar lubang dan jarak tidak lebih dari panjang korbi, berarti pemain “mati”. Namun, jika jauh dari lubang, pemaian pemain mendapatkan nilai dengan cara mengukur jarak antara lubang dan budhu dengan korbi. Selanjutnya, pemain meletakkan budhu ke mulut lubang. Kemudian, mencoba melayangkan budhu tersebut dan memukulnya. Jika budhu tersebut tertangkap lawan berarti “mati”. Namun, jika tidak, jarak budhu dengan lubang dihitung dengan korbi. Jumlah hitungan itulah yang menentukan menang dan atau kalahnya seorang pemain. Setelah itu, kembali ke awal dan seterusnya.

Tari Topeng Gettak

Topeng gettak adalah salah satu dari berbagai macam tarian yang berkembang di kalangan masyarakat pedesaan Pemekasan, khususnya masyarakat Kecamatan Proppo. Tarian ini menggambarkan suatu upaya pembasmian kejahatan (keangkaramurkaan). Oleh karena itu, gerakannya energik (dinamis). Setiap perubahan gerakan dipandu oleh bunyi “tak-tak” yang berasal dari gendang. Topeng yang digunakan adalah topeng Baladewa berwarna putih (bukan merah seperti topeng Baladewa yang ada di Pulau Jawa) sebagai simbol dari “kelembutan”. Maksudnya adalah walaupun orang Madura sekeras Baladewa tetapi memiliki kelembutan selembut Dewi Sumbadra.

Tarian yang disebut sebagai topeng gettak ini merupakan tarian masyarakat (orang kebanyakan) di luar keraton. Agar tidak melanggar aturan keraton, selama menari penari tidak boleh memegang senjata. Padahal tokoh Baladewa memiliki senjata andalan berupa tombak. Sebagai solusinya, tombak diganti dengan sapu tangan.

Tari topeng gettak diiringi oleh seperangkat waditra terdiri atas: sronen, kennong tello beserta perlengkapannya seperti: kendang, kempul, dan gong. Sesuai dengan namanya, tarian ini didominasi oleh bunyi gettak yang berfungsi sebagai pengatur gerak. Adapun pemangku geraknya adalah: sraman, senduwan, kojeran, balungan, dan lain sebagainya. Dewasa ini tari topeng gettak berfungsi sebagai hiburan. Tarian ini sering dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar nasional, menyambut tamu daerah, dan acara yang berkenaan dengan upacara di lingkaran hidup individu (ruwatan, kehamilan, dan kelahiran).

Orkes Tongtong

Tongtong adalah istilah yang berasal dari tiruan bunyi yang digunakan untuk menyebut satu kelompok alat musik sejenis kentongan yang terbuat dari bambu. Selain itu, tongtong juga digunakan untuk menyebut orkes musik yang terdiri dari sejumlah tongtong.

Orkes tongtong pada umumnya dibentuk (ada) pada bulan Ramadhan (puasa). Jenis alat musiknya beraneka ragam. Sedangkan, ukurannya bergantung pada dana yang tersedia, keterampilan, dan tingkahnya. Setiap kelompok dapat menambahkan berbagai alat musik lainnya, seperti: gendhang, kencer, kerca, dan pekeng. Susunan orkes dapat berubah-ubah menurut jam, kelelahan anggota rombongan, atau pun pertengkaran. Orkes ini pada dasarnya bertujuan untuk membangunkan orang yang berpuasa dan sekaligus mengingatkan agar bersaur sebelum matahari terbit. Oleh karena itu, mestinya dilakukan menjelang subuh (antara pukul 02.00 dan 03.00 WIB). Akan tetapi, anak-anak muda cenderung bermain pada awal atau tengah malam agar waktunya lebih lama.

Orkes tongtong selalu dimainkan berdasarkan improvisasi dan formula ritmis yang cukup pendek (diulang-ulang oleh satu atau beberapa alat sekaligus). Alat perkusi yang lebih rendah bunyinya (gendhang) menyusun irama jalin-menjalin yang merupakan struktur keseluruhan permainan. Sementara, tongtong itu sendiri mengisi sinkope yang disediakan oleh perkusi rendah. Penambahn alat perkusi rendah dan keras pada tongtong pada gilirannya membuat orkes semakin mempesona. Akan tetapi, kini yang menonjol adalah bunyi kerca dengan latar belakang suara yang rendah. Sedangkan, tongtong terdengar sebagai bunyi pinggiran, bagaikan sulaman ritmis ringan dalam panduan ritme-ritme alat perkusi yang bersuara rendah.

Tari Rondhing

Rondhing adalah salah satu jenis tarian yang ada di kalangan masyarakat Pamekasan, Madura. Ada beberapa nama atau istilah yang berkenaan dengan nama tarian ini, yaitu baris dan kenca. Disebut sebagai tarian baris karena tarian tersebut menggambarkan kegiatan pasukan yang sedang melakukan pelatihan baris-berbaris (pemuda setempat yang dijadikan sebagai tentara pada masa penjajahan Belanda). Kemudian, disebut sebagai kenca karena tarian didominasi oleh gerekan kaki yang dihentak-hentakan (kenca). Sementara, pengertian rondhing itu sendiri sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Konon, istilah tersebut berasal dari bahasa Belanda. Tarian yang disebut sebagai rondhing ini pada awalnya merupakan sisipan dari teater tradisioral (sandiwara rakyat) yang bernama Sandhur, dengan maksud agar lepas dari pencekalan pihak penjajah (Belanda).

Rondhing disajikan secara berkelompok terdiri atas 4 orang penari, atau lebih (massal). Mereka bisa satu jenis kelamin (laki-laki semua atau perempuan semua), tetapi juga bisa berlainan jenis (laki-laki dan perempuan). Kostum yang dikenakan menyerupai pasukan Hindia Belanda dengan berbagai tambahan, seperti: udeng (ikat kepala), rompi, semacam tanda pangkat yang berumbai, celana setengah panjang (sampai di bawah lutut), dan genta-genta kecil yang melingkari pergelakan kaki para penari.

Waditra yang digunakan untuk mengiringinya adalah: sronen dan kennong tello beserta seperangkat gamelan, seperti: kendang, kempol, dan gong. Adapun gendhing-gendhing yang dilagukan antara lain: sramaan, kojeran, dan balungan.

Muhammad Saud

(Cerita Rakyat Daerah Madura)

Alkisah, ada seorang bernama K. Abdullah. Dia adalah seorang lali-laki yang mempunyai istri lebih dari satu. Salah satunya bernama Nyai Nurima yang merupakan istri pertama. Suatu malam, K. Abdullah pulang ke rumah Nyai Nurima. Akan tetapi, setelah mengetuk dan mengucapkan salam berulang kali tidak juga ada jawaban dari dalam rumah. Dia tidak tahu kalau sang istri yang tengah hamil sedang sholat tahajjud.

Dalam suasana kesal menunggu, tiba-tiba terdengar jawaban salam anak laki-laki kecil dari dalam rumah. Dia sangat terkejut karena istrinya masih dalam keadaan hamil. Kalaupun telah melahirkan tidak akan mungkin sang bayi sudah bisa menjawab salamnya.

Usai sholat Nyai Nurima membukakan pintu. Setelah meminta maaf dia lalu menjelaskan bahwa dirinya tengah tahajjud sehingga tidak langsung menyongsong kehadiran K. Abdullah. Dia juga tidak menyangka kalau K. Abdullah akan datang, sebab “jadwalnya” bukanlah malam itu.

Mendengar penjelasan sang istri K. Abdullah hanya mengangguk. Fokus pikirannya tertuju pada jawaban salam dari suara anak kecil yang tadi didengarnya. Oleh karena itu, dia langsung menangnyakan siapakah gerangan anak kecil yang telah menjawab salamnya.

“Itu suara anakmu,” jawab Nyai Nurima sambil mengelus perut dan tersenyum simpul.

Terkejutlah K. Abdullah mendengar perkataan istrinya. Dia tidak menyangka kalau sang anak yang masih di dalam kandungan telah memiliki keistimewaan. K. Abdullah langsung bersujud syukur kepada Allah SWT.

Beberapa bulan kemudian, sang bayi pun lahir dalam keadaan sehat. Oleh karena sejak di dalam kandungan telah dapat berbicara, maka ketika lahir diberi nama Muhammad Saud yang artinya bisa menyahut.

Sejak lahir hingga berumur enam tahun Muhammad Saud tumbuh menjadi anak yang cerdas dan semakin bertambah keistimewaannya. K. Abdullah meyakini kalau anaknya kelak akan menjadi seorang pemimpin hingga tujuh turunan. Dan, agar selalu berjalan di jalur yang lurus, dia kemudian dimasukkan ke pesantren milik pamannya, K. Fakih, yang letaknya saat ini di daerah Lembung Barat, Kecamatan Lenteng.

Selama berada di pesantren, Muhammad Saud juga menunjukkan kecerdasan dan keistimewaanna. Konon, suatu malam muncul cahaya terang dari salah satu santri yang tengah tertidur pulas. K. Fakih yang melihat cahaya itu lalu membungkus tubuh santri yang bersinar dengan cara membuntal sebagian sarungnya. Esok harinya, dia meminta santri yang sarungnya terbuntal agar maju dan ternyata adalah Muhammad Saud. Melihat Muhammad Saud memiliki keistimewaan, sama seperti K. Abdullah, K Fakih juga berpendapat bahwa dia akan menjadi seorang pemimpin sampai tujuh turunan.

Lulus dari pesantren, Muhammad Saud menikah dengan perempuan bernama Nyai Izzah. Mereka dikaruniai dua orang anak, bernama Aryo Pacinan dan Panembahan Sumolo. Oleh masyarakat setempat dia kemudian diberi gelar “Waliallah” karena memiliki keistimewaan.

Wer Warat

Cara menangkap ikan di laut banyak macamnya. Ada yang menggunakan pancing, tombak, jaring, dan lain sebagainya. Di daerah Maluku misalnya, nelayan Sukubangsa Kei menggunakan metode khusus dengan membuat lingkaran di laut. Metode ini dnamakan wer warat atau tarik tali.

Wer warat dilakukan dengan cara membentangkan rotan yang dililit janur dari pesisir ke tengah laut. Bila dirasa sudah banyak ikan yang terperangkap, bentangan ditarik ke darat hingga membentuk sebuah lingkaran besar. di dalam lingkaran nelayan akan mengarahkan ikan yang terperangkap menuju ke satu tempat yang sudah disiapkan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive