Kecapi Jenaka

Kesenian Kecapi atau Kacapi Jenaka atau Jenaka Sunda ini diprakarsai oleh Dayat Hidayat atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Mang Dekok/Mang Ukok. Seniman yang lahir sekitar tahun 1931 di Ciwaru, Lebakwangi, Banjaran ini merupakan maestro kesenian kacapi. Kacapi jenaka lahir secara tidak sengaja dari pertemua Mang Dekok dengan seniman lain bernama Mang Utun atau Mang Udjo. Sekitar tahun 1960an mereka kemudian berkolaborasi membentuk sebuah kesenian baru yang dinamakan Kacapi Janaka. Adapun groupnya sendiri bernama Kacapi Jenaka Utun Ukok.

Sekitar tahun 1970an Kacapi Jenaka Utun Ukok menjadi pengiring Ros Rosita dalam acara Menglean (Kawih Istri). Lepas dari Ros Rosita mereka kemudian menelurkan dua buah album yaitu Jenjreng Jembret dan Tulung Balong. Album ketiga ini merupakan hasil kolaborasi dengan seorang seniman Sunda yang cukup berpengaruh yaitu Kang Ibing.

Setelah dua album tersebut beredar di pasaran, seni Kecapi Jenaka Sunda mulai dilirik masyarakat. Mang Ukok dan Mang Utun mulai kebanjiran “job” manggung pada ruang-ruang publik yang dihadiri banyak orang. Mereka menyajikan sebuah hiburan berupa lagu-lagu jenaka dan beluk sembari diiringi petikan waditra kacapi siter yang berirama bebas atau konstan. Di sela-sela lagu juga diisi banyolan-banyolan komunikatif yang mengundang tawa penonton.

Moyang Sangkal

Moyang Sangkal adalah salah satu jenis tarian khas Keraton Sumenep yang bersifat sakral. Tarian ini mulanya hanya dimainkan di lingkungan kerabat keraton pada zaman pemerintahan Sultan Abdurrachman (1811—1854). Moyang Sangkal disuguhkan dalam rangka menyambut para tamu yang berkunjung di Kabupaten Sumenep. Maksudnya adalah agar para tamu tersebut selama di Sumenep hingga kembali ke rumah selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dewasa ini tarian tersebut sudah tidak menjadi “milik” keraton lagi, tetapi milik masyarakat Sumenep.

Tarian Moyang Sangkal dibawakan oleh para penari yang masih gadis. Dalam sebuah tarian jumlahnya ganjil (3,5,7, hingga 13 orang penari). Sebelum para gadis membawakannya, mereka harus berpuasa (satu hari). Dalam sebuah pertunjukkan mereka (para penari) mengenakan busana khas Keraton Sumenep. Busana tersebut mirip dengan busana Pengantin Kebesaran Keraton (Busana Pengantin Legha), tetapi lebih sederhana dan didominasi oleh warna merah, kuning, dan hitam. Gerakan-gerakan tariannya halus dan datar tetapi mempunyai tekanan-tekanan yang eksotik sebagai ciri khas Sumenep. Gerakan tarian sampai saat ini belum mengalami perubahan yang mendasar. Namun demikian, secara keseluruhan gerakan-gerakan yang dilatunkan oleh para penari melambangkan keagungan, kesakralan, serta kelemah-lembutan puteri Keraton Sumenep. Tarian diakhir dengan penaburan beras kuning ke seluruh penjuru Pendopo Agung Keraton Sumenep. Makna yang terkandung dalam penebaran beras kuning ke segala penjuru itu adalah membuang sesuatu yang tidak baik demi keselamatan bersama.

Borondong

Borondong adalah salah satu jenis makanan (kudapan) tradisional khas daerah Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Sejak kapan kudapan bercita rasa manis ini dibuat sudah tidak diketahui lagi. Yang jelas, borondong telah diproduksi secara turun-temurun oleh warga masyarakat Kampung Sangkan, Desa Laksana, Kecamatan Ibun (jabar.tribunnews.com). Konon, borondong dahulu hanya merupakan suguhan para penggarap kepada pemilik sawah ketika masa panen tiba.

Borondong baru mulai diproduksi secara massal, menurut news.detik.com, adalah berkat jasa seorang warga Desa Laksana bernama Ema Erah. Bahkan, pada sekitar tahun 2004 bersama 40 orang pembuat berondong, Ema Erah juga mencoba mempopulerkannya ke luar daerah Ibun dengan membuat sebuah borondong raksasa seberat 2 ton berdiameter 6x8 meter. Hasilnya, mereka berhasil menyabet rekor Muri dan berondongnya diresmikan di Istana Plaza oleh pejabat Gubernur waktu itu Dani Setiawan serta Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Rejeki.

Berondong raksasa tersebut merupakan satu dari dua jenis borondong yang dibuat di Ibun, yaitu borondong garing. Sedangkan jenis lainnya adalah berondong enten. Proses pembuatan keduanya relatif sama, hanya pada bagian pencetakan serta ukurannya saja yang berbeda. Adapun langkah pembuatannya diawali dengan penyangraian gabah beras ketan yang telah di unun atau dikeringkan di atas hawu. Penyangraian menggunakan wajan berbentuk menyerupai tempayan kecil terbuat dari tanah liat di atas hawu (tungku berbahan kayu bakar) hingga gabah berubah bentuk menjadi seperti popcorn.

Selanjutnya, sisa-sisa gabah dibersihkan dengan cara diayak. Tahap ini dilakukan sejumlah dua kali. Ayakan pertama berada dalam sebuah kamar khusus agar serbuk kulit gabah tidak beterbangan, sedangkan ayakan kedua dilakukan untuk membersihkan gabah yang tidak tersangrai secara sempurna. Setelah gabah “popcorn” bersih dari serbuk, langkah berikutnya adalah mencampurnya dengan larutan gula merah (kinca) yang telah diberi pewangi nenas atau mangga kweni.

Apabila yang akan dibuat berjenis enten atau wajit ketan, maka larutan kinca ditambah kelapa parut dikentalkan dan dibentuk bulat lalu dibungkus atau dibalut atau ditaburi dengan borondong. Sedangkan, apabila berjenis garing larutan kinca (tanpa kelapa parut) dicampur dengan borondong lalu dicetak padat dalam sebuah mangkuk kecil hingga berbentuk bulat atau pipih. Setelah terbentuk, sebelum dikonsumsi berondong akan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven atau dijemur di bawah sinar matahari.

Sumber:
“Borondong, Makanan Tradisional Ibun Bandung yang Melegenda”, diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3708412/borondong-makanan-tradi sional-ibun-bandung-yang-melegenda, tanggal 10 September 2020.

“Borondong Majalaya, Kudapan Tradisional dari Ibun Bandung yang Masih Eksis Hingga Saat Ini”, diakses dari https://jabar.tribunnews.com/2019/01/02/borond ong-majalaya-kudapan-tradisional-dari-ibun-bandung-yang-masih-eksis-hingga-saat-ini?page=2, tanggal 10 September 2020.

Seni Jibrut

Di Kabupaten Bandung, tepatnya di Kampung Kiaraeunyeuh, Kecamatan Pamengungpeuk Banjaran ada sebuah kesenian bernama Jibrut. Menurut disparbud.jabarprov.go.id, kesenian ini pertama kali dicetuskan oleh seorang bernama Mang Aji sekitar tahun 1930 dan mencapai puncaknya sekitar tahun 1945. Asal nama jibrut sendiri adalah akronim dari “Ji” yang diambil dari nama pencetusnya “Aji” dan “Brut” yaitu suara telapak tangan ketika dihimpitkan pada ketiak atau cecekolan (bagian lutut atau sikut bila dilipat).

Mengutip bonoquest.wordpress.com, konon seni Jibrut lahir ketika Mang Aji masih kecil dan menjadi penggembala kerbau, kambing, atau itik miliki tetangganya. Di kala hewan gembalaan sedang merumput dia iseng memasukkan telapak tangannya ke ketiak sambil menghentakkan bahu sehingga mengeluarkan bunyi “brut”. Bunyi itu dijadikan sebagai “beat” pengiring bunyi kendang atau siulan yang dikeluarkan oleh mulutnya. Dan, oleh teman-temannya “musik” Mang Aji tadi dipadukan dengan suara tepukan sehingga menimbulkan sebuah harmonisasi bunyi yang mengundang tawa.

Kepandaian membunyikan “brut” ini rupanya terus diasah hingga Mang Aji berumur sekitar 40 tahun. Bahkan, dia menjadikan bebunyian itu sebagai sebuah kesenian baru yang dinamakan “jibrut” dengan menambah beberapa unsur lain seperti hentakan kaki, gerakan pantomim, lawakan atau bebodoran, serta sajian lakon berupa cerita kehidupan sehari-hari.

Oleh Mang Aji, jibrut kemudian dijadikan sebagai mata pencaharian. Bersama teman-temannya, dia sering memainkan jibrut keliling kampung pada pagi (pukul 10.00-13.00), sore (pukul 16.00-18.00), dan malam hari antara pukul 19.00.21.00. Selain berkeliling kampung, mereka juga mengiringi arak-arakan pengantin sunat dan acara-acara khusus di alun-alun atau lapangan.

Sumber:
“Kesenian Jibrut” diakses dari https://bonoquest.wordpress.com/2010/11/ 06/kesenian-jibrut/, tanggal 1 Agustus 2020.

“Jibrut”, diakses dari http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=515&lang=id#:~:text=Seni%20Jibrut%20ini%20pertama%20kali,Arak%C2%ACarakan%20Budak%20Sunat, tanggal 1 Agustus 2020.

Sebring Elod

Di daerah Ciparay, Kabupaten Bandung ada sebuah penganan ringan yang dinamakan Sebring elod. Dalam situs ayobandung.com, keberadaan penganan ini di Ciparay tidak lepas dari seorang pemuda bernama Muhammad Ridwan. Dia mulai merintis usaha sebring elod atau biasa juga disebut keripik kaca sejak sekitar tahun 2015 sebagai strategi bisnis untuk menyamai penjualan seblak dan basreng yang dijual dalam kemasan.

Elod sendiri terbuat dari cairan limbah singkong yang akan dibuat menjadi aci atau tepung tapioka. Ia berwarna hijau kecoklatan, berpostur padat namun lembek, dan bila dicicipi berasa asin-gurih. Agar dapat dibuat menjadi keripik, menurut cep-rahmat.blogspot.com ada beberapa tahap yang harus dilalui. Pertama, membersihkan elod dengan mencampur air lalu di aduk dan didiamkan selama beberapa jam hingga kotoran elod mengambang di bagian atas.

Selanjutnya, elod yang telah bersih diberi bumbu berupa irisan bawang merah, merica, garam, dan lain sebagainya. Kemudian, elod dimasukkan dalam wajan dan dipanaskan hingga mengental berwarna kekuningan lalu diiris sangat tipis menyerupai kaca transparan. Setelah itu dijemur di bawah sinar matahari. Dan, setelah kering dapat langsung digoreng untuk disajikan sebagai teman minum kopi atau teh.

Sumber:
“Muhammad Ridwan, Produksi Keripik Elod Khas Ciparay”, diakses dari https://ayobandung.com/read/2019/07/05/56878/muhammad-ridwan-produksi-ke ripik-elod-khas-ciparay, tanggal 15 September 2020.

“Proses Pembuatan Kerupuk Elod”, diakses dari http://cep-rahmat.blogspot.com /2015/08/proses-pembuatan-kerupuk-elod.html, tanggal 15 September 2020.

Kipo

Bila berbicara tentang kuliner khas Yogyakarta yang ada di benak sebagian kita adalah gudeg, bakpia, atau yangko. Padahal ada banyak sekali jenis kuliner baik yang ekstrim seperti belalang goreng hingga kuih-muih basah yang lembut dan nikmat. Salah satu kuih basah tersebut adalah Kipo yang berbentuk lonjong agak pipih, tekstur lembut, dan berwarna hijau. Penganan ini berpusat di Kotagede, sebuah daerah yang berada di sebelah Kota Yogyakarta.

Menurut tuguwisata.com, kipo telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Nama kipo sendiri konon berasal dari kata “iki opo” yang diakronimkan menjadi “kipo”. Namun entah mengapa kipo pernah mengalami kelangkaan karena tidak dibuat orang lagi. Baru pada sekitar tahun 1946 ada seorang bernama Paijem Djito Suhardjo membuat dan kembali mengenalkannya pada masyarakat Jogja, khususnya yang ada di sekitar Pasar Kotagede (travel.kompas.com).

Makanan ringan atau camilan ini berbahan dasar tepung beras ketan, kelapa muda, dan gula jawa. Cara pembuatannya, pertama (untuk isi), gula merah dipanaskan dengan air yang diberi daun pandan. Setelah mendidih, diberi kelapa parut dan garam, lalu diaduk hingga rata lalu sedikit demi sedikit dicampur dengan tepung ketan dan santan panas, sehingga mudah dibentuk sesuai dengan keinginan. Agar warnanya menjadi kehijau-hijauan, maka adukan tersebut diberi air daun suji atau pewarna makanan (hijau). Lalu, ambil setengah sendok makan adonan kulit, memasukkan adonan isi ke dalamnya, dan dibentuk setengah lingkaran. Selanjutnya, memanaskan wajan yang dialasi dengan daun pisang, lalu adonan yang telah diisi ditaruh di atasnya dan ditekan-tekan sedemikian rupa hingga apa yang disebut sebagai kipo siap dicicipi (matang).

Sumber:
"Kipo, Makanan Khas Jogja yang Wajib Kamu Coba", diakses dari https://travel.kompas.com/re ad/2019/07/26/081000427/kipo-makanan-khas-jogja-yang-wajib-kamu-coba-?page=all, tanggal 1 Septem ber 2020.

“Kipo: Jajanan Khas Dari Kotagede Yogyakarta Yang Melegenda”, diakses dari https://www.tuguwisata.com/ kipo-khas-kotagede-yogyakarta/, tanggal 1 September 2020.

Petaruan

Petauran atau biasa disebut juga dengan kubuw adalah istilah orang Lampung bagi tempat berlindung dari panas dan hujan yang sifatnya sementara. Petauran umumnya terdapat di ladang-ladang namun ada juga yang memanfaatkan sebagai gardu jaga di jalan kampung. Bangunan berbentuk segi empat berukuran kira-kira 2x2 meter, bertiang kayu, berlantai pelupuh bambu, beratap rumbia atau alang-alang, tidak berdinding, dan diikat dengan tali rotan atau dipaku.



Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive