Burung Tempua dan Puyuh

(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Alkisah, ada dua ekor burung bersahabat. Mereka adalah Puyuh dan Tempua atau Manyar. Walau berlainan jenis, setiap hari Tempua dan Puyuh selalu mencari makan bersama dari satu tempat ke tempat lain. Menjelang matahari terbenam keduanya baru berpisah menuju sarang masing-masing. Begitu seterusnya hingga suatu hari mereka berselisih paham tentang bentuk, ukuran, dan fungsi sarang yang ideal.

Menurut Tempua, sarangnyalah yang terbaik karena terbuat dari ribuan helai alang-alang dan rumput kering. Kedua benda tersebut dijalin sedemikian rupa selama berminggu-minggu hingga membentuk sebuah sarang yang indah sekaligus fungsional. Apabila hujan sarang tidak akan menjadi basah dan bila panas menyengat tetap terasa sejuk.

Penjelasan Tempua tadi rupanya membuat Puyuh terpancing. Sang Puyuh menjelaskan juga bahwa sarangnya jauh lebih praktis. Tanpa perlu menjalin alang-alang atau rumput kering, sarang tetap sangat kuat dan anti air. Dia hanya tinggal mencari pohon tumbang lalu berlindung di bawahnya. Apabila sarang dirasa sudah tidak aman, dia akan mencari pohon tumbang baru.

Pernyataan balik Puyuh ternyata juga membuat Tempua panas hati. Dan, sejak saat itu, setiap ada kesempatan mereka selalu memperdebatkan bentuk serta fungsi sarang. Masing-masing berpendapat bahwa sarangnyalah yang terbaik. Tidak ada yang mau mengalah hingga akhirnya muncullah ide untuk saling bertukar sarang selama jangka waktu tertentu agar dapat menilai mana yang lebih baik.

Burung Puyuh mendapat giliran pertama mencoba sarang Tempua. Oleh karena sarang berada pada tangkai pohon bagian atas, maka Puyuh yang tidak dapat terbang harus bersusah payah mencapainya. Sesampai di sarang, Puyuh kagum melihat bentuk sarang yang sangat indah, rapi, bersih, dan nyaman. Namun, kekaguman Puyuh hanya bersifat sementara. Malam hari dia sulit tidur karena merasa haus tetapi tidak dapat turun dalam keadaan gelap gulita.

Saat tengah malam, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga menggoyangkan pohon tempat Tempua bersarang. Walhasil, sarang pun terombang-ambing seakan hendak diterbangkan angin. Puyuh yang berada di dalam tentu saja merasa ketakutan. Dia berteriak-teriak memanggil Tempua yang berada di bawah agar datang menolong. Tetapi dengan santai (sekaligus menyombongkan diri) Tempua menjawab bahwa angin besar seperti itu sudah biasa dan tidak akan menghempaskan sarang. Tidak lama kemudian hembusan angin mereda dan kondisi sarang kembali seperti semula.

Menjelang matahari terbit, Puyuh keluar dan langsung menemui Tempua. Saat bertemu dia menyatakan tidak sanggup lagi tinggal di sarang Tempua dengan alasan takut ketinggian serta sulit mencari air bila malam telah tiba. Alasan ini tidak ditanggapi oleh Tempua. Dia seolah melupakan persaingan masalah sarang dan malah mengajak Puyuh mencari daerah baru untuk mencari makan.

Pencarian daerah baru tersebut tanpa disangka membawa jauh dari sarang. Ketika matahari akan tenggelam barulah mereka sadar. Puyuh yang tidak dapat terbang mengusulkan agar mencari pohon tumbang guna dijadikan sarang tempat bermalam sementara. Kebetulan di sekitar ada pohon tumbang dekat sebuah parit yang airnya mengalir cukup deras. Tempua sebenarnya tidak terlalu suka berlindung di bawah pohon tumbang, tetapi karena hari semakin gelap dia pun menyetujui usulan Puyuh.

Tidak berapa lama kemudian Puyuh telah tertidur pulas, sementara Tempua tetap terjaga. Seperti orang yang sedang mengalami “kegoncangan budaya ^_^”, dia tidak dapat langsung tidur dan hanya berjalan mondar-mandir di sisi Puyuh. Di saat bingung memikirkan bagaimana cara agar bisa tidur, tiba-tiba turun hujan lebat disertai petir menyambar-nyambar. Takut akan terkena air hujan yang dingin, Tempua mencoba merapatkan diri pada Puyuh yang tengah pulas.

Keesokan hari, Tempua mengeluh tidak dapat tidur di atas tanah beratap pohon tumbang. Oleh karena itu, Tempua menyatakan tidak akan mencoba sarang milik Puyuh yang dia yakini tidak akan berbeda jauh dari sarang sementara yang mereka diami tadi malam. Tempua telah merasakan bagaimana tidak nikmatnya sarang itu untuk ditinggali. Dan, sejak saat itu perbedaan antara sarang keduanya tidak lagi dipersoalkan. Tempua dan Puyuh sama-sama menyadari bahwa setiap makhluk hidup memiliki keunikannya sendiri-sendiri dan tidak dapat dibanding-bandingkan.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron

Perkedel Tahu Melati

Bahan
2 buah tahu agak besar
2 sdm udang yang telah dihaluskan
1 butir telur
2 siung bawang merah
2 siung bawang putih
Merica sedikit dan daun seledri
1 buah wortel, diiris tipis

Cara membuat
Tahu dicampur jadi satu dengan udang dan dihaluskan. Masukkan telur serta bumbu-bumbu tadi. Lalu kukus dengan cetakan melati. Setelah dikukus dipanggang di oven sebentar.

Usman Karim

Bila berbicara mengenai perempuan, anak-anak, dan kependudukan di daerah Kabupaten Way Kanan, nama Usman Karim pasti akan selalu menjadi "trending topic" pembahasan. Dia adalah Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Kabupaten Way Kanan. Dalam masa kepemimpinan yang terbilang masih seumur jagung Usman Karim telah membawa Way Kanan menyabet beberapa penghargaan tingkat nasional pada bidang yang ditanganinya.

Keberhasilan Usman tersebut tidak lepas dari didikan orang tua serta rasa kecintaan dan pengadian pada tanah kelahiran, Way Kanan. Usman Karim lahir di Negeri Besar pada tanggal 17 Juni 1963. Anak kedua dari empat bersaudara ini adalah putra pasangan Abdullah gelar Sunan Muka Adat dan Zahroh gelar Sutan Ibuan. Kakak kandung Usman bernama Amran gelar Sutan Gumanti, sedangkan adiknya Jupiah dan almarhumah Midah.

Sewaktu kecil, pria yang sebelum menikah bergelar Sutan Dijawi ini mulai mengenyam pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Besar. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Negeri Besar. Selama menempuh pendidikan dasar tersebut Usman tinggal bersama kedua orang tua. Di rumah dia dididik dengan disiplin yang cukup ketat agar menjadi seorang yang kuat, mandiri dan patuh terhadap adat istiadat yang telah diwariskan oleh generasi pendahulunya.

Kedisiplinan yang ditanamkan oleh orang tua Usman di antaranya adalah dengan mengharuskannya sholat lima waktu agar menjadi orang yang takwa dan beriman. Selain itu, agar bertanggung jawab juga dibekali dengan kedisiplinan diri. Misalnya, ketika pulang ke rumah tidak tepat waktu atau pekerjaan yang diperintahkan tidak diselesaikan dengan benar, maka Sang ayah akan memberi hukuman berupa cambukan rotan pada bagian kaki. Sedangkan untuk masalah ketaatan, sedari dini Usman diharuskan patuh terhadap kakak laki-lakinya sesuai dengan adat yang belaku dalam masyarakat Lampung.

Sebagai orang Lampung asli, Ayah Usman adalah keturunan bangsawan Pepadun dari Buay Pemuka Bangsa Raja, salah satu dari lima kebuayan di Way Kanan. Adapun asal usul kelima kebuwayan tersebut, berdasarkan cerita masyarakat setempat, adalah dari sebuah keluarga yang dipimpin oleh Tuan Purba Matahari yang datang menggunakan perahu dari lautan lepas menuju ke hulu Sungai Umpu untuk menetap. Keluarga Tuan Purba Matahari kemudian beranak-pinak hingga membentuk sebuah kampung.

Ketika kampung semakin padat, beberapa di antara mereka ada yang pergi ke daerah Way Kanan dan membentuk dua komunitas bernama Poyang Kuasa (cikal bakal Buay Semengguk) dan Poyang Pandak Sakti (cikal Bakal Suku Pak Ngepuluh). Rombongan Poyang Kuasa yang mengikuti Sungai Umpu menetap di bagian selatan Way Kanan. Sementara rombongan Poyang Pandak Sakti yang dipimpin Minak Ratu Putra awalnya menetap di Cingiue lalu menyebar ke daerah Rebah Canggung dan Tahmi. Kelompok yang berada di Tahmi membentuk sebuah komunitas baru terdiri dari 40 rumah sebagai cikal bakal Suku Pak Ngepuluh.

Selain keturunan Tuan Purba Matahari, ada pula beberapa kelompok yang datang dari Bukit Siguntang (Sumatera Selatan), yaitu: Cucung Dalam, Dayang, dan Naga Bersaing (dipimpin oleh Puyang Sakti). Di Way Kanan Puyang Sakti mengadakan kongsi dengan Puyang Serata Di Langik, Puyang Kuasa, dan Pandak Sakti membentuk persekutuan bernama Paksi Pak Tukket Pedang. Puyang Sakti mengepalai Buay Bulan, Puyang Kuasa mengepalai Buay Semenguk, Puyang Serata Di Langik mengepalai Buay Nuwat, dan Puyang Pandak Sakti memimpin Suku Pak Ngepuluh.

Pada perkembangan selanjutnya Buay Semenguk menjadi tiga buay (Buay Semenguk, Buay Baradatu, dan Buay Barasakti). Sedangkan Suku Pak Ngepuluh menjadi Buay Pemuka dan Buay Bahuga. Kelima buay inilah yang sekarang mendiami wilayah Kabupaten Way Kanan. Buay Semenguk mendiami kampung: Negeri Batin, Negeri Baru, Bumi Ratu, Gedung Batin, Bandar Dalam, Negeri Agung, Pulau Batu, dan Penengahan. Buay Baradatu mendiami kampung: Tiuh Balak, Gedung Pakuon, Cugah, Gunung Katun, Banjar Masin, Suka Negeri, Gunung Labuhan, dan Bengkulu. Buay Bahuga mendiami Kampung: Bumi Agung, Mesir, Negeri Tulang Bawang, Kebang, Karangan, Segara Mider, dan Kedatun. Buay Barasakti meliputi kampung: Karang Agung, Gunung Waras, Gunung Cahya, Rumbih, Negara Ratu, dan Negara Sakti.

Sedangkan buay terakhir, yaitu Buay Pemuka dibagi menjadi empat marga, yaitu: (1) Pemuka Pangeran Tua meliputi wilayah Kampung Pakuan Ratu, Tanjung Ratu, Gedung Menong, Kota Bumi Way Kanan, Sungsang, dan Kota Bumi Baru; (2) Pemuka Udik meliputi wilayah Kampung Blambangan Umpu, Gunu Sangkaran, Tanjung Rajo/Giham, dan Segara Midar; (3) Pemuka Udik/Pemuka Pangeran Ilir meliputi wilayah Kampung Kartajaya, Sri Menanti, dan Negeri Batin; serta (4) Pemuka Bangsa Raja yang berada di Kampung Negeri Besar.

Sebagaimana masyarakat Pepadun di daerah Lampung lainnya, kelima kebuwayan di Way Kanan menggunakan sistem kekerabatan yang ditarik secara patrilineal. Berdasarkan konstruksi sosial ini orang tua Usman cenderung memberi kebebasan pada anak laki-lakinya untuk melakukan aktivitas di luar rumah (publik), baik siang maupun malam hari serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya sehingga memungkinkan anak laki-laki secara fisiologi, sosiologis maupun psikologis tumbuh sebagai pribadi yang kuat dan mandiri. Hal inilah yang dialami Usman. Dia tumbuh sebagai seorang pribadi kuat dan mandiri serta patuh terhadap kakak sulungnya sesuai dengan prinsip primogenitur.

Pribadi kuat serta kemandirian inilah yang membuat Usman berani keluar dari Negeri Besar untuk meneruskan pendidikan di SPGN Negeri Kotabumi, Lampung Utara, pada tahun 1981. Setelah lulus, tahun 1985 dia kembali ke Negeri Besar untuk mengabdikan diri sebagai pegawai negeri dengan menjadi tenaga pengajar di SDN Negeri Besar. Di sekolah ini dia tidak hanya dapat menularkan ilmu yang dimiliki kepada anak didik, tetapi juga mentransfer "hatinya" pada salah seorang guru bernama Aminah.

Dari hasil perkawinan dengan Aminah, Usman dikaruniani tiga orang anak, yaitu: Ipin Novisianti gelar Pujian (lahir tahun 1987), Eja Anggraini gelar Nanggok, dan Muhammad Rizki Usman Pubara gelar Raja Lima. Rizki merupakan anak Usman Karim yang paling dibanggakan karena berjenis kelamin laki-laki. Bagi orang Lampung anak laki-laki adalah penerus keturunan. Jadi apabila sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki, agar tidak terputus garis keturunannya maka akan mengangkon (mengadopsi) anak melalui suatu upacara tertentu yang membutuhkan biaya relatif besar.

Setelah menikah Usman Karim tetap mengajar di SDN Negeri Besar hingga tahun 2000. Pada awal tahun dia pindah jabatan sebagai Kepala Cabang Dinas (Kacapdin) Pendidikan Kabupaten Lampung Utara. Dua tahun menjabat sebagai Kacapdin Usman "rehat" sebentar untuk melanjutkan pendidikan D2 jurusan keguruan di Universitas Terbuka hingga lulus tahun 2004. Kemudian ke Sekolah Tinggi Ilmu Pendidik (STKIP) Muhammadiyah di Kotabumi untuk mendapatkan gelar S1 tahun 2005.

Tamat dari STKIP Usman langsung menduduki jabatan Kepala Seksi Adat Istiadat Dinas Pemuda Olahraga Kabupten Way Kanan. Hanya sekitar tujuh bulan menjabat, dia dimutasi lagi sebagai Kepala Dinas Pendidikan Way Kanan hingga tahun 2007. Pada Desember 2007 jabatannya dinaikkan satu tingkat menjadi Camat Negeri Besar. Saat menjadi camat inilah Usman meneruskan lagi pendidikan menempuh jenjang S2 bidang manajemen di Universitas Saburai Bandarlampung.

Selama menjabat Camat Negeri Besar kiprah Usman dalam bidang kebudayaan cukup menarik. Hal pertama yang dilakukan adalah menghimbau warga masyarakat yang sedang melangsungkan perkawinan agar barang seserahan berupa peralatan rumah tangga sebaiknya diserahkan pada kedua mempelai. Kebiasaan di Negeri Besar adalah bahwa barang-barang tersebut umumnya "diperebutkan" oleh sanak kerabat yang ikut membantu terlaksanannya upacara perkawinan, sehingga mempelai kadang hanya mendapat sisanya.

Selain itu, dia juga menghimbau agar tidak seluruh kerbau dipotong dalam satu hari pada acara begawi. Adat kebiasaan yang selama ini berlaku yaitu memotong seluruh kerbau dalam satu hari umumnya daging hasil potongan tidak termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, Usman menyarankan memotong seekor kerbau perhari agar tidak mubazir. Kecuali bila jumlah kerbau lebih banyak ketimbang waktu begawi yang direncanakan, maka kerbau yang dipotong boleh lebih dari seekor perharinya.

Selang dua tahun menjabat sebagai camat, Usman turun ke jabatan Kasi Pemuda dan Olahraga di Disparbud Way Kanan. Salah satu sebab penurunan jabatan tersebut adalah karena dia menudukung calon bupati yang kalah dalam Pilkada setempat. Tidak lama setelah terpilih, Bupati baru langsung mendepak dan menggantikannya dengan Idrus sebagai Camat Negeri Besar. Namun, karena kinerja Usman dinilai baik, tidak sampai 6 bulan dia kembali menjadi Camat di daerah lain yaitu Negara Batin.

Usman mnejabat sebagai Camat Negara Batin selama lima tahun tiga bulan. Awal September 2016 dia ditarik lagi ke kabupaten menjadi Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Way Kanan berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 821/145/III.12.WK/2016 Tanggal 14 September 2016. Satu tahun kemudian Usman pindah menjadi Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat yang mengurusi bidang agama dan kemasyarakatan.

Sebagai Kabbag Kesra ada dua prestasi Usman terbilang cukup "moncer". Pertama, membawa Kabupaten Way Kanan menempati peringkat kedua pada perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran ke-46 setelah tahun sebelumnya hanya berada di peringkat keempat. Keberhasilan Usman dipicu oleh "kemarahan" Bupati karena Way Kanan belum pernah mendapatkan hasil memuaskan dalam pelaksanaan MTQ pada masa kepemimpinan bupati sebelumnya.

"Kemarahan" Bupati memicu Usman membuat formula khusus agar dapat memenangkan MTQ. Bekerja sama dengan LPTQ Kabupaten Way Kanan dia mengumpulkan 38 qori dan qoriah terbaik se-Kabupaten Way Kanan untuk mengikuti pembekalam pembinaan/training center di Pontok Pesantren Tahfizh Al Quran Daarut Tilawah Tanjungkarang. Hasilnya, bukan saja meraih peringat dua dalam MTQ nasional, tetapi juga membentuk suatu pakem baru bagi pembinaan calon qori dan qoriah Way Kanan di masa yang akan datang.

"Prestasi" kedua adalah berhasil mendatangkan Wijayanto, Ustadz "gokil" dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk tugas itu, Usman terbang langsung ke Yogyakarta membujuk Wujayanto agar bersedia hadir di Way Kanan. Oleh karena kesibukan Sang Ustadz yang sangat padat, Usman menggunakan strategi dengan mengatakan bahwa apabila tidak hadir maka jabatannyalah yang akan jadi taruhan alias di non-job-kan . Strategi Usman ternyata sangat efektif sehingga Wijayanto pun bersedia hadir.

Berkat keberhasilan membawa Way Kanan runnerup MTQ tingkat nasional dan "memajukan" bidang keagamaan, pada bulan Juni 2017 Usman diberi kepercayaan mengurusi masalah perempuan dan anak dengan dilantik menjadi Kepala Dinas P3AP2KB atau Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Adapun tugasnya antara lain: (1) menyiapkan rencana strategis dan laporan akuntabilitas kinerja Dinas; (2) melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan lingkungan tugas; (3) merumuskan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, pengendalian penduduk, dan keluarga berencana; (4) pembinaan dan pelaksanaan tugas pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, pengendalian penduduk, dan keluarga berencana; (5) menyiapkan petunjuk teknis dalam pelaksanan lingkup pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, pengendalian penduduk, dan keluarga berencana; dan (6) melaksanakan tugas kedinasan yang diberikan atasar serta berkoordinasi dengan instansi terkait dalam pelaksanaannya.

Kepercayaan Bupati kepada Usman untuk mengurusi masalah anak dan perempuan di Way Kanan ternyata tidak sia-sia. Dalam waktu relatif singkat (sekitar 1,5 tahun) Usman berhasil menorehkan beberapa buah prestasi, di antaranya: (1) Kabupaten Way Kanan masuk dalam enam besar pada ajang lomba Kesatuan Gerak (Kesrak) PKK-KB Kesehatan tingkat nasional, mewakili Provinsi Lampung. Sebelum maju ke tingkat nasional, pada 11 November 2017 Way Kanan yang diwakili oleh Kampung Pakuanbaru dan Kecamatan Pakuanratu berhasil meraih peringkat pertama lomba Kesrak PKK-KB Kesehatan Tingkat Provinsi Lampung. Atas dasar kemenangan tersebut Usman diundang oleh TP PKK Pusat dan BKKBN Pusat untuk mempresentasikan kegiatan Kesrak PKK Kesehatan di Kabupaten Way Kanan; (2) juara tiga lomba PTKSS tingkat Provinsi Lampung; (3) juara harapan satu lomba GSI (Gerakan Sayang Ibu) tingkat Provinsi Lampung; dan (4) menghantarkan Bupati Way Kanan Raden Adipati memperoleh penghargaan Manggala Karya Kencana dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah pusat melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ini diberikan kepada Raden Adipati karena dinilai mempunyai dedikasi tinggi terhadap program pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga sejahtera.

Saat ini, di sela-sela kesibukannya sebagai Kepala Dinas P3AP2KB Usman telah merancang masa pensiunnya yang tinggal tiga tahun lagi. Setelah pensiun dia berencana istirahat total dan menghabiskan waktu hanya untuk berkumpul bersama keluarga dan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Keputusannya ini dapat dimaklumi karena sejak bertugas di Blambangan Umpu (Ibukota Kabupaten Way Kanan) Usman tidak tinggal bersama keluarganya. Untuk dapat berkumpul dan bercengkerama dengan buah hati, setiap Jumat sore dia pulang ke Negeri Besar yang jaraknya sekitar 120 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam.

Awang Garang

(Cerita Rakyat Daerah Kepulauan Riau)

Alkisah, pada zaman dahulu di perairan Kepulauan Riau ada seorang pemuda miskin bernama Awang Garang. Oleh karena tinggal di daerah pesisir, maka orientasi hidupnya selalu berkaitan dengan laut. Sewaktu kecil dia menyambung hidup dengan bekerja sebagai tukang masak pada sebuah kapal. Walau bayarannya hanya dapat makan enak setiap hari, dia tetap rajin dalam bekerja. Sifat inilah yang membuat Datuk pemilik kapal mengangkatnya menjadi pembantu pembuat kapal di galangan miliknya.

Suatu saat, Sultan Riau ingin membuat sebuah kapal perang atau penjajap yang besar, kuat, dan tahan terhadap serangan lawan. Untuk mengerjakannya dia memerintahkan tujuh orang datuk di daerah Temiang, Moro Sulit, Bulang, Sugi, Pekaka, Mepar, dan Sekanan. Adapun lokasi pembuatannya dipusatkan pada sebuah pulau kecil tidak bernama yang terletak di antara Bulang Rempang dan Bintan.

Permintaan Sultan sangatlah sulit hingga membuat para datuk harus berpikir keras. Hampir dua bulan lamanya mereka berkutat dengan masalah pemilihan kayu sebagai bahan baku pembuat kapal. Berbagai jenis kayu sudah dipasang-copot, mulai dari medang tembaga hingga medang tanduk tetapi tidak ada satu pun yang cocok. Walhasil, mereka menjadi cemas bila sewaktu-waktu Sultan melakukan sidak dan melihat kapal yang dipesan belum terbentuk sempurna.

Di tengah kecemasan itu, Awang Garang muncul dan mengatakan bahwa harus ada tiga jenis kayu agar penjajap kokoh sempurna. Perkataan Awang tadi rupanya menyinggung para datuk yang telah malang melintang di dunia perkapalan. Awang Garang masih dianggap anak kemaren sore yang belum tahu apa-apa. Perkataannya yang mendadak muncul merupakan sebuah bentuk kelancangan yang harus diberikan hukuman. Namun, sebelum dihukum Awang Garang melakukan upaya negosiasi untuk membuktikan perkataannya.

Setelah disetujui, keesokan harinya para tukang sibuk mempersiapkan tiga jenis kayu yang diusulkan Awang Garang, yaitu medang sirai, penaga, dan keledang. Kayu medang sirai digunakan untuk membuat papan kapal, kayu penaga untuk membuat bagian kerangka, dan kayu keledang sebagai lunasnya. Kayu-kayu tersebut ternyata sangat cocok sehingga dalam waktu relatif singkat proses pengerjaan kapal hampir selesai.

Sayangnya, di tengah proses finishing kapal ada sebuah kejadian tragis menimpa Awang Garang. Pada saat dia sedang membantu salah seorang tukang kayu, tanpa disengaja tatal yang digunakan terlempar dan mengenai salah satu bola matanya hingga pecah. Tak ayal, Awang pun berteriak kesakitan dan tanpa disadari mengumpat (atau menyumpah??) supaya kapal tidak bisa diturunkan ke laut.

Semenjak kejadian itu, Awang Garang resign ^_^ dari pekerjaannya sebagai pembantu tukang pembuat kapal. Dia kembali ke kampung halaman dan menjalani kehidupan sebagai penangkap ikan di tepi pantai. Setiap hari dia selalu menggunakan tali kulit berwarna hitam guna menutup salah satu mata yang telah cacat dan tidak dapat bergungsi lagi.

Di lain tempat, walau ditinggalkan Awang Garang proses pembuatan penjajap tetap saja selesai tepat sesuai jadwal. Namun ketika hendak diturunkan ke laut, kapal sama sekali tidak dapat digeser. Bahkan, dengan bantuan dari penduduk setempat pun kapal tetap tidak bergeming. Dia berdiri tegak laksana sebuah monumen terbuat dari beton yang tak dapat dipindah-tempatkan lagi.

Melihat kejadian itu, tukang yang tatalnya mengenai mata Awang Gading segera menghadap para datuk dan menceritakan umpatan Awang ketika matanya tertancap tatal. Berdasarkan laporan tadi para datuk bersepakat mengutus salah seorang di antara mereka yaitu mantan majikan Awang mendatangi dan meminta Awang kembali. Mungkin dengan cara demikian kapal “terbebas” dari kutukan dan dapat diturunkan ke laut.

Sampai di rumah Awang, tanpa berbasa-basi Sang mantan majikan meminta kembali bekerja di galangan untuk “membebaskan” kapal dari kutukan yang telah dilontarkannya. Apabila tidak bersedia, dia khawatir para datuk akan memberi hukuman sangat berat, sebab Sultan telah mendesak agar kapal secepatnya diturunkan guna membasmi para lalun yang merajalela.

Awang Garang sebenarnya bingung bercampur tidak percaya kalau ucapannya waktu itu berubah menjadi kenyataan. Untuk dapat “menganulir” kata-kata yang telah terucap tersebut dia harus melakukan suatu ritual tertentu yang cukup panjang dan rumit. Oleh karena itu, dia mengajukan tiga buah syarat agar kapal dapat dilepas ke laut. Ketiga syarat tersebut adalah: (1) mengerahkan tiga puluh orang pembuat perahu yang masih berusia muda lengkap dengan perkakasnya; (2) mencarikan tujuh orang perempuan yang sedang mengandung anak pertama. Para perempuan tersebut harus berasal dari kerabat para datuk pembuat penjajap pesanan Sultan; dan (3) para datuk harus menutup mata ketika proses penurunan kapal sedang belangsung.

Ketiga syarat yang diajukan Awang Garang relatif berat dan tidak mungkin dapat diputuskan seorang diri oleh Sang mantan majikan. Oleh karena itu, dia pun harus kembali menemui para datuk lain untuk berunding. Dalam perundingan yang berlangsung sangat singkat para datuk memutuskan akan memenuhi syarat Awang Garang, sebab Sultan sudah menentukan tenggat waktu peluncuran penjajap.

Setelah seluruh syarat dipenuhi Awang Garang segera memberi instruksi rahasia pada ketiga puluh orang pembuat kapal yang dimintanya. Selanjutnya, bersama para datuk dan tujuh perempuan yang sedang mengandung (berbusana warna-warni) berjalan menuju galangan. Sesampai di galangan mata para datuk lantas ditutup menggunakan kain hitam agar tidak dapat melihat proses peluncuran kapal.

Tidak lama kemudian, terdengarlah suara gaduh dari peralatan yang dibunyikan para pembuat kapal yang disusul oleh suara jerit dan tangis ketujuh perempuan hamil tadi. Di tengah suasana yang seakan kacau balau tiba-tiba Awang Garang berteriak lantang memerintahkan para pembuat kapal mendorong bagian lambung hingga akhirnya tercebur ke laut. Bersamaan dengan terapungnya kapal terdengar pulalah tangis para bayi yang baru keluar dari rahim.

Mendengar tangisan bayi, para datuk menjadi khawatir. Mereka berpikir kalau para ibu hamil tadi telah digunakan sebagai landasan agar kapal dapat meluncur ke laut. Namun ketika mereka memaksa membuka penutup mata, yang dilihat adalah para perempuan yang tengah menggendong bayi masing-masing. Rupanya Awang tidak menggunakan mereka sebagai landasan kapal. Dia hanya memakai galang atau pohon yang dikupas kulitnya untuk membuat jalur peluncuran menjadi licin.

Singkat cerita, berkat keberhasilan meluncurkan penjajap, Awang Garang digelari sebagai Panglima Hitam Elang di Laut Bermata Satu. Oleh sultan dia dipercaya menjadi panglima yang bertugas menumpas kawanan lanun yang berkeliaran di sekitar Kepulauan Riau. Di antara puluhan anak buahnya adalah para bayi (setelah mereka dewasa tentunya) yang ibunya digunakan sebagai prasyarat peluncuran penjajap. Mereka dinamai sesuai dengan warna baju yang dikenakan ibu mereka, yaitu: Awang Merah, Awang Jingga, Awang Ungu, Awang Hijau, Awang Biru, Awang Nila, dan Awang Kuning. Sementara pulau “bersejarah” tempat pembuatan dan peluncuran penjajap kemudian dinamakan sebagai Galang. Pulau ini berada dalam gugusan kepulauan “barelang” atau Batam-Rempang-Galang di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron

Babalang

Babalang adalah sebutan orang Lampung Pepadun bagi sebuah wadah atau peralatan untuk menyimpan hasil pertanian, seperti: padi, lada, jagung, kopi, cengkeh, dan lain sebagainya. Wadah ini berbentuk keranjang yang cara membawanya dapat diangkat maupun didukung. Adapun bahan pembuatnya dapat berupa bambu yang dianyam dan atau rotan. Babalang umumnya hanya digunakan sebagai wadah penyimpanan sementara ketika sedang mengadakan pengolahan hasil ladang.

Renet

Renet adalah istilah orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur bagi sebuah wadah yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai keranjang atau bakul. Di Indonesia sendiri keranjang umumnya dibuat dari anyaman bambu. Adapun fungsinya dapat bermacam-macam bergantung ukuran serta bentuknya. Jadi, ada keranjang yang dibuat khusus untuk mengangkut satu atau beberapa jenis barang saja dan ada pula yang multifungsi. Renet merupakan salah satu wadah yang hanya berfungsi sebagai penampung satu jenis barang saja, yaitu bulir padi. Wadah ini berbentuk keranjang besar terbuat dari anyaman bambu pada bagian penampungnya dengan tinggi antara 1 sampai 1,5 meter dan bilah-bilah bambu tipis sebagai penyangganya. Untuk satu kali angkut renet dapat membawa sekitar 50 kilogram bulir padi.

Nasi Kemunak Batang Hari

Bahan
½ kg keladi kemunak
200 gram jagung kuning
Air secukupnya

Cara Membuat
Keladi kemunak dibersihkan (dicuci) lalu dikukus sampai matang. Setelah matang biarkan dingin lalu dikukus sampai matang. Setelah matang biarkan dingin lalu parut kasar. Jagung direbus sampai lunak. Kalau akan dihidangkan kukus kembali sebentar saja dan dicampur dengan jagung yang sudah direbus tadi.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive