(Cerita Rakyat Daerah Riau)
Alkisah, ada dua ekor burung bersahabat. Mereka adalah Puyuh dan Tempua atau Manyar. Walau berlainan jenis, setiap hari Tempua dan Puyuh selalu mencari makan bersama dari satu tempat ke tempat lain. Menjelang matahari terbenam keduanya baru berpisah menuju sarang masing-masing. Begitu seterusnya hingga suatu hari mereka berselisih paham tentang bentuk, ukuran, dan fungsi sarang yang ideal.
Menurut Tempua, sarangnyalah yang terbaik karena terbuat dari ribuan helai alang-alang dan rumput kering. Kedua benda tersebut dijalin sedemikian rupa selama berminggu-minggu hingga membentuk sebuah sarang yang indah sekaligus fungsional. Apabila hujan sarang tidak akan menjadi basah dan bila panas menyengat tetap terasa sejuk.
Penjelasan Tempua tadi rupanya membuat Puyuh terpancing. Sang Puyuh menjelaskan juga bahwa sarangnya jauh lebih praktis. Tanpa perlu menjalin alang-alang atau rumput kering, sarang tetap sangat kuat dan anti air. Dia hanya tinggal mencari pohon tumbang lalu berlindung di bawahnya. Apabila sarang dirasa sudah tidak aman, dia akan mencari pohon tumbang baru.
Pernyataan balik Puyuh ternyata juga membuat Tempua panas hati. Dan, sejak saat itu, setiap ada kesempatan mereka selalu memperdebatkan bentuk serta fungsi sarang. Masing-masing berpendapat bahwa sarangnyalah yang terbaik. Tidak ada yang mau mengalah hingga akhirnya muncullah ide untuk saling bertukar sarang selama jangka waktu tertentu agar dapat menilai mana yang lebih baik.
Burung Puyuh mendapat giliran pertama mencoba sarang Tempua. Oleh karena sarang berada pada tangkai pohon bagian atas, maka Puyuh yang tidak dapat terbang harus bersusah payah mencapainya. Sesampai di sarang, Puyuh kagum melihat bentuk sarang yang sangat indah, rapi, bersih, dan nyaman. Namun, kekaguman Puyuh hanya bersifat sementara. Malam hari dia sulit tidur karena merasa haus tetapi tidak dapat turun dalam keadaan gelap gulita.
Saat tengah malam, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga menggoyangkan pohon tempat Tempua bersarang. Walhasil, sarang pun terombang-ambing seakan hendak diterbangkan angin. Puyuh yang berada di dalam tentu saja merasa ketakutan. Dia berteriak-teriak memanggil Tempua yang berada di bawah agar datang menolong. Tetapi dengan santai (sekaligus menyombongkan diri) Tempua menjawab bahwa angin besar seperti itu sudah biasa dan tidak akan menghempaskan sarang. Tidak lama kemudian hembusan angin mereda dan kondisi sarang kembali seperti semula.
Menjelang matahari terbit, Puyuh keluar dan langsung menemui Tempua. Saat bertemu dia menyatakan tidak sanggup lagi tinggal di sarang Tempua dengan alasan takut ketinggian serta sulit mencari air bila malam telah tiba. Alasan ini tidak ditanggapi oleh Tempua. Dia seolah melupakan persaingan masalah sarang dan malah mengajak Puyuh mencari daerah baru untuk mencari makan.
Pencarian daerah baru tersebut tanpa disangka membawa jauh dari sarang. Ketika matahari akan tenggelam barulah mereka sadar. Puyuh yang tidak dapat terbang mengusulkan agar mencari pohon tumbang guna dijadikan sarang tempat bermalam sementara. Kebetulan di sekitar ada pohon tumbang dekat sebuah parit yang airnya mengalir cukup deras. Tempua sebenarnya tidak terlalu suka berlindung di bawah pohon tumbang, tetapi karena hari semakin gelap dia pun menyetujui usulan Puyuh.
Tidak berapa lama kemudian Puyuh telah tertidur pulas, sementara Tempua tetap terjaga. Seperti orang yang sedang mengalami “kegoncangan budaya ^_^”, dia tidak dapat langsung tidur dan hanya berjalan mondar-mandir di sisi Puyuh. Di saat bingung memikirkan bagaimana cara agar bisa tidur, tiba-tiba turun hujan lebat disertai petir menyambar-nyambar. Takut akan terkena air hujan yang dingin, Tempua mencoba merapatkan diri pada Puyuh yang tengah pulas.
Keesokan hari, Tempua mengeluh tidak dapat tidur di atas tanah beratap pohon tumbang. Oleh karena itu, Tempua menyatakan tidak akan mencoba sarang milik Puyuh yang dia yakini tidak akan berbeda jauh dari sarang sementara yang mereka diami tadi malam. Tempua telah merasakan bagaimana tidak nikmatnya sarang itu untuk ditinggali. Dan, sejak saat itu perbedaan antara sarang keduanya tidak lagi dipersoalkan. Tempua dan Puyuh sama-sama menyadari bahwa setiap makhluk hidup memiliki keunikannya sendiri-sendiri dan tidak dapat dibanding-bandingkan.
Diceritakan kembali oleh Ali Gufron