Tugu Canang dan Tugu Gajah

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “tugu” sebagai tiang besar dan tinggi yang dibuat dari batu, bata, dan sebagainya. Tugu dibangun atau dibuat dengan berbagai macam tujuan, seperti: memperingati pahlawan yang gugur dalam medan perang, sebagai tanda untuk mengingat peristiwa penting, batas wilayah, identitas wilayah, dan lain-lain.

Tugu hampir ada di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini memiliki dua tugu baru yang dinamakan Tugu Canang dan Tugu Gajah. Tugu Canang yang rampung pada akhir Desember 2017 ini dibangun di Lapangan Merdeka Gunungsugih dengan anggaran sekitar Rp.4 miliar. Ia berada dalam ruang terbuka hijau berdampingan dengan fasilitas penunjang lain berupa taman bermain, rest area, food court, dan sebagainya. Tujuannya, selain sebagai ruang publik bagi penduduk Gunungsugih juga tempat persinggahan bagi orang-orang yang melintasi wilayah Lampung Tengah.
Tugu Canang sendiri dibuat sebagai simbol penyampai gerakan perubahan. Canang adalah sejenis gong kecil yang di daerah Lampung dahulu digunakan sebagai pemberi tanda pada masyarakat agar bekumpul guna mendengarkan informasi atau instruksi penguasa yang dapat berupa kedaruratan, kebijakan penyimbang adat, kedatangan tamu agung, atau penyampaian pelaksanaan upacara bagawi.

Selain Tugu Canang, ada pula Tugu Gajah yang dibangun bersebelahan dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional Lampung Tengah. Sesuai dengan namanya, tugu ini berbentuk patung gajah berjumlah sembilan buah menandakan Kesultanan Jurai Siwo Mego yang terdiri atas sembilan marga.

Salabadan

Salabadan adalah salah satu seni pertunjukkan yang ada di kalangan masyarakat Madura. Sebagai sebuah seni pertunjukkan, salabadan mempertunjukkan cerita-cerita atau lakon-lakon tentang kehidupan keseharian, khususnya yang berkenaan dengan kehidupan di zaman pemerintahan Kolonial Belanda. Satu lakon yang sering ditampilkan dalam berbagai pementasan adalah tentang orang-orang Madura yang pro kepada Belanda (menjadi antek-antek Belanda). Selain itu, juga lakon-lakon lainnya yang kontra terhadap Belanda. Tokoh-tokoh yang kontra terhadap Belanda ini antara lain: Bun Segundal, Bun Lopis, Semprong, dan Brudin. Mereka dengan gayanya yang khas (melalui lawakan) mengkritik kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Tokoh lainnya adalah seseorang yang berperan sebagai orang dungu, bodoh, dan misikin. Tokoh ini sebenarnya merupakan perwujudan kritik atas pemerintah Belanda yang sengaja membuat kebodohan dan kemiskinan masyarakat yang dijajahnya.

Sesuai dengan kehidupan keseharian masyarakat pedesaan, maka kostum (pakaian) yang digunakan oleh para pemainnya adalah pakaian sehari-hari. Pementasan salabadan diiringi oleh serangkat alat musik berupa sronen dan kennong tello. Sebagaimana seni pertunjukkan lainnya, pementasan salabadran juga dimulai menjelang malam sampai menjelang pagi. Dan, sebelum acara inti dilakukan biasanya pertunjukkan atau pergelaran salabadran diawali dengan kajuwan (tayub ala Madura). Dewasa ini seni pertunjukkan yang disebut sebagai salabadran telah tertelan zaman (tidak pernah tampil lagi alias punah). Padahal, di masa lalu seni pertunjukkan ini favorit, di seluruh Pulau Madura.

Montase

Montasi adalah seni menempel dan menggabungkan gambar-gambar atau foto-foto dari majalah, koran, buku, atau media cetak lain pada sebuah media menjadi sebuah karya seni baru. Adapun foto-foto atau gambar-gambar yang digabungkan bergantung pada tema yang dipilih. Misalnya, bila tema yang dipilih adalah lingkungan hidup, maka gambar yang diambil dapat berupa binatang, tumbuhan, manusia, rumah, dan lain sebagainya.

Adapun cara membuatnya diawali dengan menggunting objek-objek sesuai dengan tema yang dipilih. Selanjutnya, hasil guntingan diberi lem dan ditempelkan pada media kertas sesuai dengan tema. Terakhir, dapat ditambah dengan menggoreskan warna-warna tertentu agar tampak lebih serasi.

Kalanengan

Kalanengan atau tabbhuwan, kleningan, kalaningan, keleningan, ghamelan adalah salah satu kesenian khas yang ada di Kabupaten Sumenep, Madura. Awalnya kesenian ini berkembang di lingkungan istana (kalangan bangsawan). Namun, seiring waktu menjadi salah satu kesenian rakyat Madura. Kalanengan hampir selalu berdasarkan dasar-nada pentatonis salindru (salendro).

Kesenian kalanengan biasanya menggunakan waditra berupa gendang berkulit dua, suling bambu, siter, dan ghambhang. Jumlah pemainnya 9-14 orang. Dalam suatu pergelaran, mereka duduk bersila di depan waditra yang diletakkan di lantai dalam ruang yang biasanya sangat terbatas. Oleh karena itu, para pemain terpaksa mengatur waditra dan tempat duduk sedemikian rupa agar pergelaran dapat berjalan secara lancar. Dibandingkan dengan gamelan slendro dari Jawa Tengah atau Jawa Timur, jumlah gong yang dimiliki kalanengan tidak banyak. Selain itu, tidak ada rebab dan kennong.

Kanjeng Dalem Cikundul

Kanjeng Dalem Cikundul atau Raden Aria Wira Tanu Datar atau Pangeran Panji Natakusumah atau Pangeran Jayalalana atau Raden Ngabehi Jayasasana adalah bupati pertama yang juga seorang penyebar agama Islam di daerah Cianjur. Beliau lahir pada sekitar tahun 1603 Masehi di Cibodas, Desa Dayeuh Kolot, Kawadanaan Sagalaherang (sekarang Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) dari ayah yang bernama Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana.

Mengenai asal usul Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana sendiri terdapat dua versi yang berbeda. Versi pertama berasal dari Syah (2008) yang menyatakan bahwa Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna adalah anak seorang Senopati Kerajaan Talaga bernama Pangeran Setya Pati Aria Kikis putera sulung Pucuk Umum Telaga. Beliau pernah memimpin pasukan Talaga berperang melawan pasukan Cirebon dan Demak yang dianggap akan menyerobot wilayah kedaulatan Kerajaan Talaga. Dalam peperangan itu pasukan Pangeran Aria Kikis Sunan Wana Perih berhasil menghalau pasukan Cirebon dan Demak walau jumlah mereka lebih besar.

Namun, karena terjadinya perang tersebut dianggap sebagai suatu kesalahpahaman, maka Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon Sang Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah pun akhirnya datang ke Talaga untuk meluruskan permasalahan. Singkat cerita, terjadilah kemufakatan di Keraton Ciburang bahwa Talaga akan tunduk pada kekuasaan Kanjeng Sinuhun Cirebon Sang Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah.

Kanjeng Sinuhun Cirebon lalu menitahkan kepada Pangeran Setya Pati Aria Kikis untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat serta menyerahkan senjata pusaka bernama Tumbak Sicuntang Barang sebagai tanda tunduknya Kerajaan Talaga. Beliau kemudian juga menyuruh Pangeran Setya Pati Aria Kikis untuk bertafakur di kampung halamannya di Leuweung Wana (sekarang Kampung Wanaperih, Desa Kagok, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka) agar lebih mendalami ajaran agama Islam. Sedangkan kerajaannya tetap dibiarkan berdiri yang kepemimpinannya diayomi langsung oleh Kanjeng Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah.

Sekembalinya ke Leuweung Wana Pangeran Setya Aria Pakis segera bertafakur dan hidup di jalan Allah. Di sana beliau dianugerah enam orang putera dan puteri. Putera bungsunya diberi nama Raden Kanarun yang setelah besar mendapat gelar dari Keraton Kesultanan Cirebon menjadi Raden Kiyai Aria Wangsa Goparana (Wangsa = dinasti, Gopa = pemanggul/pemimpin, Rana = perang). Selain mendapat gelar kebangsawanan, Raden Kanarun juga mendapat julukan Eyang Nangkaberuit karena berdiam di daerah Nangkabeurit, Sagalaherang.

Sedangkan versi lainnya berasal dari situs resmi pemerintah Kabupaten Cianjur (www.cianjurkab.go.id) menyatakan bahwa saat Kerajaan Talaga (Galuh) direbut oleh Cirebon pimpinan Kanjeng Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah dari tangan Pajajaran dalam rangka penyebaran ajaran Islam sekitar tahun 1529, para petinggi kerajaan Talaga (termasuk Sunan Ciburang, ayahanda Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana), tetap memilih untuk menganut agama lama (Hindu). Sementara sang anak, Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna, memilih untuk memeluk agama baru yang dibawa oleh prajurit Cirebon.

Oleh karena kepindahannya ke Islam tidak direstui oleh Sang ayah, Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna memilih untuk pergi dari Talaga menuju ke Sagalaherang (sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Subang). Di Sagalaherang beliau mendirikan sebuah pondok pesantren untuk menyebarkan ajaran Islam hingga wafat pada akhir abad ke-17 di Kampung Nangkabeurit. Beliau mempunyai beberapa orang putera, yaitu: Jayasasana, Candramanggala, Santaan Kumban, Yudanagar, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti.

Khusus untuk sang putera sulung, yaitu Jayasasana, konon memiliki keanehan-keanehan tersendiri yang ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai tanda bahwa ia akan menjadi “orang besar”. Misalnya, beberapa minggu sebelum kelahirannya, di langit sebelah Tenggara muncul sebuah bintang kemukus berwarna kuning keemasan dengan ekornya menunjuk ke arah qiblat. Kemudian, ketika lahir diketahui bahwa jari tengah dan telunjuk pada kedua tangannya sama besar dan tinggi, sehingga diramal oleh Aki dan Nini ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (sekarang Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) bakal menjadi Raja Sunda. Dan, sejak burey (sekitar usia 3 tahun) dianggap telah memiliki panca indera luar biasa dan dapat mendeteksi segala sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh orang kebanyakan.

Saat berusia 8 tahun Pangeran Jayasasana/Jayalalana disekolahkan ayahnya ke Pesantren Amparan Jati Cirebon di bawah Panembahan Ratu Sultan Cirebon selaku pucuk pimpinannya. Di sana beliau belajar ilmu keagamaan, keperwiraan, siasat dan ilmu kemasyarakatan sehingga setelah lulus mendapat gelar “Aria” sekaligus kedudukan Ngabehi selaku punggawa Keraton Cirebon dengan nama Raden Ngabehi Jayasasana.

Gelar kebangsawanan juga diperoleh lagi dari Keraton Cirebon saat usianya menginjak 23 tahun menjadi Aria Wira Tanu. Gelar tersebut diberikan karena Jayasasana diangkat menjadi Senapati di Kesultanan Cirebon. Selain itu, beliau juga diserahi tugas membawa sekitar 300 umpi (kepala keluarga) ke bekas wilayah Kerajaan Pajajaran di sekitar Sungai Cikundul Leutik (sekarang Desa Cijagang) untuk mencegah gangguan dari Belanda yang bermarkas di Tanjungpura, Karawang. Wilayah ini sebelumnya dikuasai oleh Pangeran Adipati Ewangga yang ditinggalkan karena diangkat menjadi Adipati Kuningan.

Ternyata kepemimpinan Kanjeng Aria Wira Tanu tidak hanya terbatas di daerah Cikundul Letuik saja, karena beliau juga dinobatkan menjadi Raja Gagang atau Raja Pegunungan oleh para penguasa di bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah. Penobatan ini bermula ketika Prabu Boros Ngora atau Pangeran Sanghiang Boros Ngora atau Prabu Jampang Manggung (Raja Panjalu) mengundang para penguasa bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah (Sukabumi dan Cianjur) untuk bermusyawarah pada Rabiul Awal 1076 H atau 24 September 1665 M. Adapun tempat musyawarahnya adalah di Keramat Pasamoan Gunung Rompang (bagian Pegunungan Bangreng), Desa Loji, perbatasan antara Ciemas dan Pelabuhanratu. Tujuannyaa adalah untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman Belanda dengan berpegang pada falsafah “sapu lidi”.

Dalam pertemuan tersebut dicapai sebuah kesepakatan secara aklamasi untuk mengangkat Kanjeng Aria Wira Tanu (Dalem Cikundul) sebagai pemegang “gagang sapu lidi” dengan gelar Raga Gagang atau Raja Pegunungan. Para penguasa daerah yang hadir dan memutuskan kesepakatan itu, diantaranya adalah: Syekh Dalem Haji Sepuh Prabu Jampang Manggung atau Syekh Haji Mulia, atau Syeh Aulia Mantili atau Haji Soleh dari Negeri Singacala; Raden Sanghyang Panaitan, Adipati Sukawayana, Raden Widaya, Pangeran Rangga Sinom dari Negeri Sedang; Dalem Adipati Lumaju Gede Nyilih dari Negeri Cimapag; Dalem Nalamata dari Negeri Cipamingkis; Adipati Hyang Jayaloka dari Negeri Cidamar; Hyang Jatuna dari Negeri Kandangwesi Garut; Adipati Hyang Krutuwana dari Negeri Parakantilu; Kanjeng Kiyai Aria Wangsamerta dari Tarikolot Cikartanagara dan Hyang Manda Agung dari Negeri Sancang.

Agar mendapat perhatian dari pihak Belanda, Raja Gagang kemudian menyerahkan sebuah surat kepada Sersan Scipio, seorang serdadu Belanda yang tengah melakukan pengukuran terhadap bekas Kerajaan Pajajaran. Isi suratnya menyatakan bahwa Kerajaan Pegunungan tidak akan tunduk kepada siapa pun, kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan surat Raja Gagang ini ternyata memang mendapat perhatian Belanda dengan mencantumkannya dalam buku De Priangan jilid dua halaman 130 dari Degregister Belanda tanggal 14 September 1666 Masehi.

Ternyata eksistensi Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul sebagai penguasa Cianjur maupun sebagai Raja Gagang atau Raja Pegunungan diakui oleh Pihak Belanda. Hal ini terbukti dari diundangnya beliau oleh Guberbur Jenderal Johannus Camphuis untuk menghadiri resepsi serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Cornelis Speelman kepada Johannus Camphuis pada tahun 1684 di Batavia (Syah, 2008). Waktu itu, karena berhalangan hadir, Sembah Dalem Cikundul diwakili oleh puteranya yang bernama Natadimanggala atau Aria Kidul.

Kepemimpinan Raden Aria Wira Tanu Cikundul sebagai Bupati Cianjur berlangsung antara tahun 1640-1686. Beliau diperkirakan wafat pada usia sekitar 90 tahun (antara 1681-1706) dengan meninggalkan 10 orang anak, yaitu: Dalem Anom (Aria Natamanggala), Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), Dalem Aria Tirta, Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong), Nyai Mas Kaluntar, Nyai Mas Karangan, Nyai Mas Djenggot dan Nyai Mas Bogem.

Selain itu, beliau juga memiliki isteri dari bangsa jin bernama Nyi Tina Dewi Srina (perwujudan dari tiga jin perempuan bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari), puteri dari Kiyai Ubaedi Raja Jin Islam dari Negeri Batu Agung Tengger Agung Sagalaherang. Pernikahan ini terjadi ketika Dalem Cikundul masih berusia 22 tahun dan masih bergelar Raden Ngabehi Jayasasana atau Pangeran Jayalalana. Dari pernikahannya dengan Nyi Tina Dewi Srina, beliau dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Raden Eyang Suryakancana yang sekarang dipercaya hidup di alam jin dan bersemayam di Gunung Gede, Nyi Mas Endang Kancana alias Nyai Sukaesih Carangcangkancana alias Nyai Mas Kara yang bersemayam di Gunung Ciremai, dan terakhir ada yang mengatakan Raden Andaka Warusajagad (laki-laki) dan ada pula Nyai Mas Endang Radja Mantri (perempuan).

Setelah Kanjeng Dalem Cukundul Wafat, tampuk kepemimpinan Cianjur dilanjutkan oleh para keturunannya hingga bangsa Indonesia Merdeka dan jabatan bupati ditunjuk oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan sekarang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada). Adapun nama-nama Bupati dari awal berdirinya Cianjur hingga sekarang, adalah: (1) 1640-1692 Rd. Aria Wira Tanu Cikundul (Dalem Cikundul); (2) 1684-1707 Rd. Aria Wiramanggala (Rd. Aria Wira Tanu Tarikolot); (3) 1707-1726 Rd. Aria Astra Manggala (Rd. Aria Wira Tanu Dicondre); (4) 1726-1761 Rd. Aria Wira Tanu Datar Sabirudin; (5) 1761-1776 Rd. Aria Wira Tanu Datar Mukhidin; (6) 1776-1813 Rd. Aria Wira Tanu Datar Nokh; (7) 1813-1833 Rd. Aria Adipati Prawiradireja; (8) 1833-1834 Rd. Tumenggung Wiranagara; (9) 1834-1863 Rd. Aria Adipati Kusumah Ningrat (Dalem Pancaniti); (10) 1863-1910 Rd. Aria Adipati Sentot Alibasah; (11) 1910-1912 Rd. Demang Nata Kusumah; (12) 1912-1920 Rd Aria Adipati Wiranata Kusumah; (13) 1920-1932 Rd. Aria Suriadiningrat; (14) 1932-1934 Rd. Sunarya; (15) 1934-1943 Rd. Aria Surianata Atmadja; (16) 1943-1945 Rd. Adi Wikarta; (17) 1945-1945 Rd. Yasin Partadireja; (18) 1945-1946 Rd. Iyok Mohamad Sirodj; (19) 1946-1948 Rd. Abas Wilaga Somantri; (20) 1948-1950 Rd. Ateng Sanusi Nata Wiyogya; (21) 1950-1952 Rd. ahmad Suriadi Kusumah; (22) 1952-1956 R. Ahyad Penna; (23) 1956-1957 R. Holan Sukmadiningrat; (24) 1957-1959 Rd. Muryani Nata Atmadja; (25) 1959-1966 R. Apung Purawijaya; (26) 1966-1966 Letkol Rachmat; (27) 1966-1969 Letkol Sarmada; (28) 1969-1970 R. Godjali Gandawidura; (29) 1970-1978 Drs. H. Achmad Endang; (30) 1978-1983 Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja; (31) 1983-1988 Ir. H. Arifin Yoesoef; (32) Drs. H. Eddi Soekardi; (33) 1988-1996 Drs. H. Harkat Handiamihardja; (34) 1996-2001 Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi; dan (35) 2001-2006 Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (rivafauziah.wordpress.com).

Bertolak dari peranannya sebagai pendiri, pemimpin dan penyebar agama Islam di Cianjur itulah maka setelah meninggal dunia dianggap oleh sebagian warga masyarakat Cianjur sebagai leluhur mereka. Makamnya yang berada di Kampung Majalaya pun akhirnya diziarahi dengan berbagai macam tujuan. Oleh Pemda Cianjur, komplek makam itu kemudian dijadikan sebagai obyek wisata ziarah yang saat ini kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah di sektor pariwisata cukup besar dan menempati peringkat kedua setelah Kebun Raya Cibodas.

Sumber:
“Sejarah Cianjur”, diakses dari http://rivafauziah.wordpress.com/2007/06/14/se jarah-cianjur/, tanggal 10 Februari 2009.

Syah, Irwan, Cc. 2008. Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar. Cianjur

Kecamatan Blanakan

Letak dan Keadaan Alam
Blanakan merupakan satu dari 20 buah kecamatan yang secara administratif termasuk dalam Kabupaten Subang[1] dengan batas geografis sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Kecamatan Ciasem, sebelah timur dengan Kecamatan Sukasar, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cimalaya Wetan serta Kabupaten Karawang.

Kecamatan yang luas wilayahnya sekitar 97,15 kilometer persegi ini terdiri atas 9 desa, 49 Rukun Warga, dan 174 Rukun Tetangga dengan jumlah penduduk 64.235 jiwa. Ke-9 desa itu adalah: Cilamaya Hilir seluas 4,03 kilometer persegi, Cilamaya Girang seluas 10,43 kilometer persegi, Rawamekar seluas 7,24 kilometer persegi, Rawameneng seluas 11,44 kilometer persegi, Jayamukti seluas 13,43 kilometer persegi, Blanakan seluas 12,88 kilometer persegi, Langensari seluas 8,25 kilometer persegi, Muara seluas 11,38 kilometer persegi, dan Tanjungtiga dengan luas 18,07 kilometer persegi.

Topografi Kecamatan Blanakan berada pada dataran rendah dengan ketinggian antara 0-8 meter di atas permukaan air laut. Adapun iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lainnya di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada Oktober-Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April-September.

Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: kelapa, bambu, tanaman buah (rambutan, manggis, durian, dan lain sebagainya), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, mentimun, kacang panjang, dan lain sebagainya). Fauna yang ada di sana juga pada umumnya sama dengan daerah lain di Indonesia, yaitu: sapi, kerbau, kambing, dan ayam.

Organisasi Pemerintahan
Struktur organisasi pemerintahan tertinggi di Kecamatan Blanakan yang bermoto “Kesehatan Anda Kebanggaan Kami” dipegang oleh seorang Camat. Dalam menjalankan tugasnya Camat dibantu oleh Wakil Camat, Sekretaris Kecamatan, Kelompok Jabatan Fungsional, Seksi Pemerintahan dan Trantib, Seksi Perekonomian, Seksi Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Seksi Kesejahteraan Masyarakat, Seksi Pelayanan Umum, dan para kepala desa.

Para aparatur kecamatan tersebut bekerja dalam satu kerangka visi dan misi yang sama untuk kemajuan Kecamatan Blanakan. Visi tersebut adalah "Mewujudkan Masyarakat Blanakan yang Berbudaya Sehat Mandiri". visi itu dijadikan sebuah misi yang harus dilaksanakan atau diemban agar seluruh anggota organisasi dan pihak yang berwenang dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran Kecamatan Blanakan dalam menyelenggarakan Pemerintahan. Adapun misi dari Kecamatan Blanakan adalah: (a) Meningkatkan keterampilan dan profesionalisme sumber daya manusia untuk pelayanan yang tercapai; (b) Memantapkan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien, akuntabel, dan transparan; (c) Meningkatkan pelayanan promotif, dan preventif, serta memperdayakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan; dan (d) Meningkatkan kerja sama yang harmonis dengan lintas program dan lintas sektor (id.scribd.com).

Kependudukan
Penduduk Kecamatan Blanakan berjumlah 64.235 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 75.148. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 33.724 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 30.507 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 9 desa, yaitu: Cilamaya Hilir dihuni oleh 3.218 jiwa dengan jumlah laki-laki 1.800 jiwa dan perempuan 1.418 jiwa; Cilamaya Girang dihuni oleh 8.517 jiwa dengan jumlah laki-laki 4.440 jiwa dan perempuan 4.077 jiwa, Rawa Mekar dihuni oleh 4.920 jiwa dengan jumlah laki-laki 2.623 jiwa dan perempuan 2.297 jiwa; Rawameneng dihuni oleh 9.230 jiwa dengan jumlah laki-laki 4.786 jiwa dan perempuan 4.444 jiwa; Jayamukti dihuni oleh 7.328 jiwa dengan jumlah laki-laki 3.804 jiwa dan perempuan 3.524 jiwa; Blanakan dihuni oleh 12.303 jiwa dengan jumlah laki-laki 6.482 jiwa dan perempuan 5.821 jiwa; Langensari dihuni oleh 3.199 jiwa dengan jumlah laki-laki 1.694 jiwa dan perempuan 1.505 jiwa, Muara dihuni oleh 7.746 jiwa dengan jumlah laki-laki 3.654 jiwa dan perempuan 4.092 jiwa; dan Tanjungtiga dihuni oleh 8.537 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki sebanyak 4.445 jiwa dan perempuannya 4.092 jiwa.

Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk yang berusia 0-4 tahun ada 6.481 jiwa, kemudian yang berusia 5-9 tahun ada 5.631 jiwa, berusia 10-14 tahun ada 5.479 jiwa, berusia 15-19 tahun ada 5.018 jiwa, berusia 20-24 tahun ada 4.519 jiwa, berusia 25-29 tahun ada 4.726 jiwa, berusia 30-34 tahun ada 4.861 jiwa, berusia 35-39 tahun ada 5.341, berusia 40-44 tahun ada 4.986 jiwa, berusia 45-49 tahun ada 4.690 jiwa, berusia 50-54 tahun ada 4.026 jiwa, berusia 55-59 tahun ada 2.862 jiwa, berusia 60-64 tahun ada 2.691 jiwa, berusia 65-69 ada 1.602 jiwa, berusia 70-74 ada 1.302 jiwa, dan yang berusia 75 tahun ke atas ada 1.021 jiwa. Ini menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Blanakan sebagian besar berusia produktif.

Mata Pencaharian
Letak Kecamatan Blanakan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa membuat mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah sebagai nelayan. Sedangkan sisanya terdiri atas: buruh tani dan petani pemilik sawah/ladang, pedagang, tukang ojeg, karyawan swasta, buruh swasta, peternak, Aparatur Sipil Negara, TNI/Polri, perajin, montir, dan tukang kayu.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Blanakan meliputi: 1 buah taman kanak-kanak; 29 buah Sekolah Dasar dengan jumlah siswa sebanyak 5.788 orang dan 295 orang tenaga pengajar; 5 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa sebanyak 1.627 orang dan 259 tenaga pengajar; 3 buah sekolah menengah atas; 6 buah Madrasah Ibtidaiyah; dan sebuah Madrasah Tsanawiyah.

Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh penduduk Cijagang sebagian besar adalah tidak/belum sekolah (10.391 orang), tidak tamat SD/sederajat (13.148 orang), tamat SD/sederajat (21.533 orang), tamat SLTP/sederajat (12.922 orang) dan tamat SLTA/sederajat (5.503 orang), tamat Akademi (454 orang), dan tamatan Perguruan Tinggi sejumlah 173 orang.

Sementara untuk sarana kesehatan Kecamatan Cipayung memiliki 1 buah rumah sakit, 2 buah puskesmas, 64 buah posyandu, 9 buah pos KB, dan 5 buah balai pengobatan dengan tenaga medis sebanyak 23 orang yang terdiri atas: tiga orang dokter umum, dua orang dokter gigi, dan 18 orang bidan. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di kecamatan, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada 36 orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji (BPS Kabupaten Subang 2019).

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Kecamatan Blanakan hanyalah Islam, Kristen, Budha, dan Konghucu. Berdasarkan data yang tertera dalam Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Tahun 208, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya yaitu 63.196 orang. Sedangkan sisanya Kristen sebanyak 41 orang, Budha 1 orang, dan Konghucu 1 orang. Para penganut agama Kristen, Budha, dan Konghucu ini bukanlah penduduk asli Blanakan, melainkan pendatang yang menetap dan bermatapencaharian sebagai pedagang kelontong.

Ada korelasi yang positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (masjid dan musholla atau langgar). Berdasarkan data yang tertera dalam BPS Kabupaten Subang, jumlah masjid yang ada di sana mencapai 46 buah, sedangkan langgar yang ada mencapai 150 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen, Budha, dan Konghucu belum terdapat di kecamatan ini.

Sumber:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2018. Kecamatan Blanakan dalam Angka 2018. Subang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2019. Kecamatan Blanakan dalam Angka 2019. Subang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang.

“Kabupaten Subang”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Subang#:~:text=Berdasarkan%20Peraturan%20Daerah%20Kabupaten%20Subang,245%20desa%20dan%208%20kelurahan., tanggal 20 Desember 2020.

“Visi Misi Baru”, diakses dari https://id.scribd.com/document/392136468/Visi-Misi-Baru, tanggal 21 Desember 2020.

[1] Ke-20 buah kecamatan tersebut adalah: Binong, Ciasem, Ciater, Cibogo, Cijambe, Cikaum, Cipendeuy, Cipunagara, Cisalak, Compreng, Dawuan, Jalan Cagak, Kalijati, Kasomalang, Legon Kulon, Pabuaran, Pagaden, Pgaden Barat, Pamanukan, Patok Beusi, Purwadadi, Pusakajaya, Pusakanagara, Sagalaherang, Serangpanjang, Subang, Sukasari, Tambakdahan, Tanjung Siang, dan Blanakan (id.wikipedia.org)

Makam Kanjeng Dalem Cikundul

Makam Kanjeng Dalem Cikundul berada di Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Kanjeng Dalem Cikundul atau Raden Aria Wira Tanu Datar atau Pangeran Panji Natakusumah atau Pangeran Jayalalana atau Raden Ngabehi Jayasasana adalah bupati pertama yang juga seorang penyebar agama Islam di daerah Cianjur. Beliau lahir pada sekitar tahun 1603 Masehi di Cibodas, Desa Dayeuh Kolot, Kawadanaan Sagalaherang (sekarang Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) dari ayah yang bernama Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana.

Areal makam Dalem Cikundul dahulu memiliki luas sekitar 300 meter persegi, terletak di atas sebuah bukit dengan luas total mencapai 4 ha ini bentuknya sangat sederhana. Namun pada tahun 1985, berkat bantuan Hj. Yuyun Moeslim Taher (isteri mendiang Prof. Dr. Muslim Taher, Rektor Universitas Jayabaya Jakarta), komplek makam dapat diperbaiki sehingga terlihat lebih asri, bersih dan indah. Waktu itu, Hj. Yuyun Moeslim Taher yang masih termasuk keturunan Dalem Cikundul menyumbang sebesar Rp.125 juta untuk merenovasi komplek makam.

Hasilnya, saat ini banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah dengan berbagai macam profesi dan tingkatan usia untuk berziarah yang jumlahnya dapat mencapat 30.000 orang per bulan. Mereka umumnya datang pada malam Jumat (terlebih lagi Jumat Kliwon) dan hari Minggu. Menurut salah seorang kuncen di sana, pada momen-momen tertentu seperti menyambut tibanya bulan Ramadhan, Maulid Nabi Muhammad SAW (Rabiulawal), dan Hari Jadi Kabupaten Cianjur, jumlah peziarah dapat mencapai ribuan orang karena dihadiri juga oleh para petinggi di kabupaten tersebut. Adapun tujuan ziarahnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: ziarah kepada orang tua, ziarah kepada para ulama, dan ziarah kepada syuhada salihin.

Untuk mencapai komplek makam keramat Kanjeng Dalem Cikundul dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat berukuran kecil, sedang, hingga besar. Namun, sekitar 500 meter sebelum memasuki areal makam peziarah akan dikenai biaya masuk sebesar Rp.2000,00 per orang. Sedangkan untuk biaya parkir kendaraan roda dua sebesar Rp.1000,00 kendaraan roda empat ukuran kecil (mobil) sebesar Rp.5000,00 dan kendaraan besar (bus) sebesar Rp.20.000,00. Uang hasil dari “karcis masuk” para peziarah ini dikelola oleh Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Cianjur bekerja sama dengan Desa Cijagang dengan sistem bagi hasil 80:20.

Bila telah sampai di pelataran parkir kendaraan, peziarah akan melewati kios-kios pedagang yang menyediakan berbagai macam makanan dan barang-barang cinderamata untuk dijadikan buah tangan. Setelah itu, barulah tiba di halaman depan kompleks pemakaman, tepatnya di kaki bukit tempat makam berada. Di sana, terdapat sebuah mesjid yang cukup nyaman untuk melepas lelah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju bangunan utama di bagian atas bukit melalui anak tangga menanjak terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat.

Sebelum mulai menapaki anak tangga, peziarah dapat menitipkan alas kaki atau barang bawaan di tempat yang sudah disediakan. Selanjutnya dua lajur anak tanggia siap ditapaki. Lajur kanan untuk masuk dan lajur kiri untuk keluar. Adapun jumlah anak tangganya dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama terdapat sekitar 170 buah anak tangga, sesuai dengan bilangan Ayat Kursi yang sering dilafalkan peziarah di makam Dalem Cikundul. Sementara bagian kedua hanya terdiri dari 34 buah anak tangga. Konon, apabila peziarah mencoba menghitungnya, maka hasilnya tidak akan terjadi ketidaksamaan jumlah anak tangga, sehingga ada anggapan bila dapat menghitung anak tangga sama dengan jumlah yang sebenarnya, bakal terkabul segala maksud dan keinginannya.

Setelah melewati anak tangga, barulah sampai di areal halaman bangunan utama yang cukup luas. Di sana terdapat sebuah ruangan berbentuk huruf U yang dapat menampung ratusan peziarah. Sementara di dalam bangunan utamanya sendiri terdapat beberapa ruangan yang ditengahnya terdapat makam Dalem Cikundul. Selain itu, terdapat sebuah ruangan khusus yang hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu.

Sebagai catatan, di komplek Makam Dalem Cikundul terdapat juga makam Raden Djaja Perbata atau Raden Haji Ibrahim yang lahir tahun 1816 dan wafat 1906. Tokoh yang masih termasuk kerabat dari Dalem Cikundul ini dikenal sebagai pencipta maen po, pencak silat Cikalong, sekaligus juga pendiri Paguron Pusaka Cikalong (PPC).

Foto: https://dpmptsp.cianjurkab.go.id/post/read/153/potensi-investasi-pariwisata-makam-cikundul.html
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive