Letak dan Keadaan Alam
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Daerah yang letaknya diantara Bogor dan Bandung ini dilalui oleh jalur lintas selatan yang menghubungkan antara ibukota negara (Jakarta) dan ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Secara astronomis letaknya antara 106°,42¢--107°,25¢ Bujur Timur dan 06°,21¢--07°,32¢ Lintang Selatan.
Daerahnya sebagian merupakan dataran tinggi dan sebagian lainnya dataran rendah. Dataran tingginya merupakan kaki Gunung Gede yang berketinggian kurang lebih 2.962 meter dari permukaan air laut. Sedangkan, dataran rendahnya berada di daerah selatan yang didominasi oleh persawahan. Ini pertanda bahwa sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani, baik itu buruh tani, petani penggarap maupun petani penggarap dan sekaligus pemilik. Sebagai catatan, sawah yang mereka garap tidak semuanya menggunakan sistem irigasi karena ada juga yang bergantung pada turunnya hujan (sawah tadah hujan). Sebelum musim penghujan biasanya sawah ini ditanami dengan tanaman palawija seperti: bawang merah, kacang tanah, dan kedelai. Jenis tanahnya yang sedemikian rupa dan cocok untuk jenis padi tertentu, khususnya pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, pada gilirannya menghasilkan beras yang khas, yaitu beras cianjur.
Pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, biasanya setelah padinya dituai, sawah tersebut segera dicangkul dan atau dibajak. Sebelum sawah ditanami dengan benih padi, ada juga yang memanfaatkan untuk memelihara ikan. Dan, ikan tersebut segera dipindahkan ke balong (kolam) ketika benih padi sudah siap untuk ditanam. Seminggu sebelum padi dituai, pemiliknya biasanya mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Pengundangan tersebut bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah akan melakukan penuaian padi. Dalam konteks ini sang candoli bertugas menentukan waktu yang tepat untuk menuai padi berdasarkan hari pasaran seperti: kliwon, manis, pon, dan wage. Setelah waktu yang ditetapkan tiba dan persyaratan penuaian telah tersedia, (sesajian) seperti: sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos (kukus yang berkaki), nasi tumpeng beserta lauk pauknya, maka sang candoli pun mengucapkan mantra, kemudian menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin. Setelah itu, ia pun memotong padi sebagai simbol bahwa penuaian sudah dapat dilaksanakan.
Cianjur tampaknya tidak hanya dikenal karena sebagian wilayahnya termasuk dalam “kawasan puncak” (bahkan “puncak pas” ada di wilayahnya) dan berasnya yang khas, tetapi juga bahasa Sundanya yang “murni” dan “halus” dan kesenian kecapi-suling-nya. “Kemurnian” dan “kehalusan” karena daerahnya termasuk dalam wilayah Priangan (Harsojo, 1999:307). Sedangkan, kecapi-suling-nya yang khas pada gilirannya membuat kesenian tersebut disebut sebagai kecapi-suling-cianjuran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999:308) mengatakan bahwa kecapi-suling-cianjuran, sesuai dengan namanya, berasal dari daerah Cianjur. Selain itu, ada satu hal lagi yang mengingatkan nama daerah ini, yaitu asinan-nya. Asinan yang cukup tersohor di daerah ini adalah yang berada di dekat persimpangan yang jika lurus akan menuju ke Sukabumi (dari Bandung) dan jika belok kanan menuju Bogor dan atau Jakarta.
Sosial-Budaya
Bahasa
Masyarakat Cianjur adalah pendukung kebudayaan Sunda. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan.bahasa Sunda-Priangan yang menurut Harjoso lebih “murni” dan “halus” dibandingkan dengan bahasa Sunda-non-Priangan, seperti orang: Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon. Sayangnya Harsojo tidak menjelaskan secara rinci mengapa bisa demikian. Ia hanya menjelaskan bahwa adanya perbedaan “kemurnian” dan “kekurang-murnian” serta “kehalusan” dan “kekurangan-halusan” bahasa di kalangan orang Sunda barangkali sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah. Di masa lalu misalnya, budaya Mataram-Islam pernah berpengaruh di daerah Priangan. Bahkan, pada abad ke-19 ada jalinan hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan Sunda (khususnya di daerah Sumedang) dan kaum bangsawan di Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, ada kemungkinan bahwa iklim-iklim dan lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa (Harsojo,1999:308). Ini artinya geografis merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi adanya perbedaan unsur-unsur budaya suatu masyarakat, walaupun masyarakat tersebut masih merupakan bagian dari masyarakat suatu sukubangsa.(Sunda). Kedua faktor itu (bahasa dan kebudayaan) yang kemudian menjadi jatidiri orang Sunda. Untuk itu, tidak berlebihan jika Ajip Rosidi dalam Ekadjati (1984) yang dikutip oleh Sucipto, dkk (2000) mengatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda. Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Sunda itu sendiri, termasuk budaya masyarakat Cianjur, tidak lepas dari adanya kontak-kontak dengan kebudayaan lain. Ini bermakna bahwa masyarakat Sunda terbuka. Dalam konteks ini masyarakat Sunda mudah sekali menerima (menyerap) unsur-unsur budaya lain, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari budayanya.
Sistem Kekerabatan
Masyarakat Cianjur, sebagaimana masyarakat Sunda lainnya, dalam menentukan siapa-siapa yang termasuk dalam kerabatnya mengacu pada garis keturunan garis ayah dan ibu. Dengan perkataan lain, prinsip keturunan yang mereka anut adalah bilateral (kerabat tidak hanya didasarkan pada garis keturunan ayah seperti halnya masyarakat Batak dan atau ibu saja seperti halnya masyarakat Minangkabau, tetapi keduanya). Bentuk keluarga terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga ini terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi. Hubungan antaranggota keluarga-batih sangat erat karena merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu juga sering terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan (anak adik suami dan atau isteri). Selain keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya yang disebut sebagai golongan yang dalam ilmu antropologi disebut kindred (Harsojo, 1999:320). Masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Cianjur, juga mengenal kelompok yang berupa ambilineal karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang ego yang diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot (lihat Harsojo, 1999).
Sejalan dengan prinsip keturunannya yang bilateral maka istilah kekerabatannya juga mengarah ke sana. Dilihat dari sudut ego mereka mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan ke bawah. Ketujuh generasi ke atas adalah: kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Sedangkan, ketujuh generasi ke bawah adalah: anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Meskipun mereka mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah, namun dewasa ini pada umumnya hanya dua generasi ke atas dan ke bawah yang dalam kehidupan sehari-hari masih berfungsi dalam hubungan kekerabatan. Sedangkan, generasi ketiga, baik ke atas maupun ke bawah hanya mempunyai tradisional dalam hubungan kekerabatan. Selain istilah-istilah yang ada kaitannya dengan generasi ada juga istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut seorang ego dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, seperti: ayah dengan sebutan: apa, bapa, pa; ibu dengan sebutan: ema, ma; kakak laki-laki dengan sebutan: kakang, kaka, akang atau kang; kakak perempuan dengan sebutan: ceuceu, euceu, ceu; kakak laki-laki ayah atau ibu sebutan: uwa atau wa; adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan: mamang, emang atau mang; dan adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan: bibi, ibi,embi atau bi.
Perkawinan
Keluarga dalam suatu masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai kesatauan ekonomi, tetapi juga sosialisasi (pendidikan) dan meneruskan keturunan. Mengingat fungsinya yang demikian kompleks itu, maka pembentukan sebuah kelaurga mesti mengikuti adat-istiadat dan atau agama yang diacu oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, sistem perkawinan nasyarakat sukubangsa yang satu dengan lainnya berbeda. Bahkan, dalam satu sukubangsa pun tidak sama persis karena faktor geografis (variasi geeografis). Ini bukan berarti bahwa sistem pekawinan yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur secara keseluruhan berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya. Dalam konteks ini proses perkawinan .yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur hampir semua menunjukkan kesamaan dengan masyarakat Sunda lainnya, yaitu sebelum menentukan seseorang menjadi menantu, ada kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh kedua belah pihak (calon mertua). Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan menantu yang baik. Calon menantu yang baik adalah yang sesuai dengan ungkapan “Lampu nyiar jodo kudu kakapuna”. Artinya, kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Ungkapan lain yang ada kaitannya dengan pencarian seorang menantu adalah “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”. Artinya, mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal (Harsojo, 1999: 319). Jika dalam penyelidikan itu calon menantu sesuai dengan yang diinginkan, maka pihak orang tua pemuda melakukan neundeun omong (mengutarakan semacam keinginan untuk menjadikan yang bersangkutan sebagai calon menantu). Meskipun demikian, pengamatan dan atau penyelidikan tetap berjalan ke tahap nyeureuhan (pelamaran). Tahap selanjutnya adalah masing-masing pihak mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara pernikahan. Setelah itu, orang tua laki-laki mengirim kabar kepada orang tua gadis mengenai seserahan. Seserahan itu sendiri biasanya dilakukan tiga hari sebelum upacara pernikahan. Setelah calon pengantin laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Satu hal yang mendapat perhatian orang banyak upacara pernikahan adalah ketika nyawer dan buka pintu karena disertai dengan dialog melalui bahasa puisi dan lagu. Dengan dilaluinya tahap demi tahap dalam proses perkawinan, maka terbentuklah sebuah keluarga.
Sistem Religi
Agama-agama besar yang ada di Indonesia, seperti: Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu, semuanya ada di daerah Cianjur. Namun demikian, agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Cianjur adalah agama Islam. Dan, mereka pada umumnya dapat dikategorikan sebagai santri (orang-orang yang patuh terhadap ajaran-ajaran Islam). Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, bukan berarti bahwa mereka tidak lepas dari unsur-unsur non-Islam. Hal itu tercermin adanya kunjungan-kunjungan ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran individu, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam masih sering dilakukan. Semua itu terjadi karena batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapinya dengan emosi yang sama.
Aktivitas sistem religi (agama dan kepercayaan) yang paling nampak dalam kehidupan sehari-hari adalah pelaksanaan upacara. Dan, salah satu upacara yang menonjol adalah apa yang disebut sebagai slamatan. Untuk itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting bagi masyarakat Sunda pada umumnya dan khususnya masyarakat Cianjur, terutama yang ada di pedesaan. Slamatan itu sendiri biasanya dilakukan pada hari Kamis malam (malam Jumat). Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin seorang guru ngaji. Upacara yang diikuti oleh para tetangga ini diawali dengan mengucapkan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat yang sama. Isinya bergantung pada maksud pengadaannya. (pepeng)
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Daerah yang letaknya diantara Bogor dan Bandung ini dilalui oleh jalur lintas selatan yang menghubungkan antara ibukota negara (Jakarta) dan ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Secara astronomis letaknya antara 106°,42¢--107°,25¢ Bujur Timur dan 06°,21¢--07°,32¢ Lintang Selatan.
Daerahnya sebagian merupakan dataran tinggi dan sebagian lainnya dataran rendah. Dataran tingginya merupakan kaki Gunung Gede yang berketinggian kurang lebih 2.962 meter dari permukaan air laut. Sedangkan, dataran rendahnya berada di daerah selatan yang didominasi oleh persawahan. Ini pertanda bahwa sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani, baik itu buruh tani, petani penggarap maupun petani penggarap dan sekaligus pemilik. Sebagai catatan, sawah yang mereka garap tidak semuanya menggunakan sistem irigasi karena ada juga yang bergantung pada turunnya hujan (sawah tadah hujan). Sebelum musim penghujan biasanya sawah ini ditanami dengan tanaman palawija seperti: bawang merah, kacang tanah, dan kedelai. Jenis tanahnya yang sedemikian rupa dan cocok untuk jenis padi tertentu, khususnya pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, pada gilirannya menghasilkan beras yang khas, yaitu beras cianjur.
Pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, biasanya setelah padinya dituai, sawah tersebut segera dicangkul dan atau dibajak. Sebelum sawah ditanami dengan benih padi, ada juga yang memanfaatkan untuk memelihara ikan. Dan, ikan tersebut segera dipindahkan ke balong (kolam) ketika benih padi sudah siap untuk ditanam. Seminggu sebelum padi dituai, pemiliknya biasanya mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Pengundangan tersebut bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah akan melakukan penuaian padi. Dalam konteks ini sang candoli bertugas menentukan waktu yang tepat untuk menuai padi berdasarkan hari pasaran seperti: kliwon, manis, pon, dan wage. Setelah waktu yang ditetapkan tiba dan persyaratan penuaian telah tersedia, (sesajian) seperti: sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos (kukus yang berkaki), nasi tumpeng beserta lauk pauknya, maka sang candoli pun mengucapkan mantra, kemudian menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin. Setelah itu, ia pun memotong padi sebagai simbol bahwa penuaian sudah dapat dilaksanakan.
Cianjur tampaknya tidak hanya dikenal karena sebagian wilayahnya termasuk dalam “kawasan puncak” (bahkan “puncak pas” ada di wilayahnya) dan berasnya yang khas, tetapi juga bahasa Sundanya yang “murni” dan “halus” dan kesenian kecapi-suling-nya. “Kemurnian” dan “kehalusan” karena daerahnya termasuk dalam wilayah Priangan (Harsojo, 1999:307). Sedangkan, kecapi-suling-nya yang khas pada gilirannya membuat kesenian tersebut disebut sebagai kecapi-suling-cianjuran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999:308) mengatakan bahwa kecapi-suling-cianjuran, sesuai dengan namanya, berasal dari daerah Cianjur. Selain itu, ada satu hal lagi yang mengingatkan nama daerah ini, yaitu asinan-nya. Asinan yang cukup tersohor di daerah ini adalah yang berada di dekat persimpangan yang jika lurus akan menuju ke Sukabumi (dari Bandung) dan jika belok kanan menuju Bogor dan atau Jakarta.
Sosial-Budaya
Bahasa
Masyarakat Cianjur adalah pendukung kebudayaan Sunda. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan.bahasa Sunda-Priangan yang menurut Harjoso lebih “murni” dan “halus” dibandingkan dengan bahasa Sunda-non-Priangan, seperti orang: Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon. Sayangnya Harsojo tidak menjelaskan secara rinci mengapa bisa demikian. Ia hanya menjelaskan bahwa adanya perbedaan “kemurnian” dan “kekurang-murnian” serta “kehalusan” dan “kekurangan-halusan” bahasa di kalangan orang Sunda barangkali sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah. Di masa lalu misalnya, budaya Mataram-Islam pernah berpengaruh di daerah Priangan. Bahkan, pada abad ke-19 ada jalinan hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan Sunda (khususnya di daerah Sumedang) dan kaum bangsawan di Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, ada kemungkinan bahwa iklim-iklim dan lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa (Harsojo,1999:308). Ini artinya geografis merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi adanya perbedaan unsur-unsur budaya suatu masyarakat, walaupun masyarakat tersebut masih merupakan bagian dari masyarakat suatu sukubangsa.(Sunda). Kedua faktor itu (bahasa dan kebudayaan) yang kemudian menjadi jatidiri orang Sunda. Untuk itu, tidak berlebihan jika Ajip Rosidi dalam Ekadjati (1984) yang dikutip oleh Sucipto, dkk (2000) mengatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda. Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Sunda itu sendiri, termasuk budaya masyarakat Cianjur, tidak lepas dari adanya kontak-kontak dengan kebudayaan lain. Ini bermakna bahwa masyarakat Sunda terbuka. Dalam konteks ini masyarakat Sunda mudah sekali menerima (menyerap) unsur-unsur budaya lain, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari budayanya.
Sistem Kekerabatan
Masyarakat Cianjur, sebagaimana masyarakat Sunda lainnya, dalam menentukan siapa-siapa yang termasuk dalam kerabatnya mengacu pada garis keturunan garis ayah dan ibu. Dengan perkataan lain, prinsip keturunan yang mereka anut adalah bilateral (kerabat tidak hanya didasarkan pada garis keturunan ayah seperti halnya masyarakat Batak dan atau ibu saja seperti halnya masyarakat Minangkabau, tetapi keduanya). Bentuk keluarga terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga ini terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi. Hubungan antaranggota keluarga-batih sangat erat karena merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu juga sering terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan (anak adik suami dan atau isteri). Selain keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya yang disebut sebagai golongan yang dalam ilmu antropologi disebut kindred (Harsojo, 1999:320). Masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Cianjur, juga mengenal kelompok yang berupa ambilineal karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang ego yang diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot (lihat Harsojo, 1999).
Sejalan dengan prinsip keturunannya yang bilateral maka istilah kekerabatannya juga mengarah ke sana. Dilihat dari sudut ego mereka mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan ke bawah. Ketujuh generasi ke atas adalah: kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Sedangkan, ketujuh generasi ke bawah adalah: anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Meskipun mereka mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah, namun dewasa ini pada umumnya hanya dua generasi ke atas dan ke bawah yang dalam kehidupan sehari-hari masih berfungsi dalam hubungan kekerabatan. Sedangkan, generasi ketiga, baik ke atas maupun ke bawah hanya mempunyai tradisional dalam hubungan kekerabatan. Selain istilah-istilah yang ada kaitannya dengan generasi ada juga istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut seorang ego dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, seperti: ayah dengan sebutan: apa, bapa, pa; ibu dengan sebutan: ema, ma; kakak laki-laki dengan sebutan: kakang, kaka, akang atau kang; kakak perempuan dengan sebutan: ceuceu, euceu, ceu; kakak laki-laki ayah atau ibu sebutan: uwa atau wa; adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan: mamang, emang atau mang; dan adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan: bibi, ibi,embi atau bi.
Perkawinan
Keluarga dalam suatu masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai kesatauan ekonomi, tetapi juga sosialisasi (pendidikan) dan meneruskan keturunan. Mengingat fungsinya yang demikian kompleks itu, maka pembentukan sebuah kelaurga mesti mengikuti adat-istiadat dan atau agama yang diacu oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, sistem perkawinan nasyarakat sukubangsa yang satu dengan lainnya berbeda. Bahkan, dalam satu sukubangsa pun tidak sama persis karena faktor geografis (variasi geeografis). Ini bukan berarti bahwa sistem pekawinan yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur secara keseluruhan berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya. Dalam konteks ini proses perkawinan .yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur hampir semua menunjukkan kesamaan dengan masyarakat Sunda lainnya, yaitu sebelum menentukan seseorang menjadi menantu, ada kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh kedua belah pihak (calon mertua). Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan menantu yang baik. Calon menantu yang baik adalah yang sesuai dengan ungkapan “Lampu nyiar jodo kudu kakapuna”. Artinya, kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Ungkapan lain yang ada kaitannya dengan pencarian seorang menantu adalah “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”. Artinya, mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal (Harsojo, 1999: 319). Jika dalam penyelidikan itu calon menantu sesuai dengan yang diinginkan, maka pihak orang tua pemuda melakukan neundeun omong (mengutarakan semacam keinginan untuk menjadikan yang bersangkutan sebagai calon menantu). Meskipun demikian, pengamatan dan atau penyelidikan tetap berjalan ke tahap nyeureuhan (pelamaran). Tahap selanjutnya adalah masing-masing pihak mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara pernikahan. Setelah itu, orang tua laki-laki mengirim kabar kepada orang tua gadis mengenai seserahan. Seserahan itu sendiri biasanya dilakukan tiga hari sebelum upacara pernikahan. Setelah calon pengantin laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Satu hal yang mendapat perhatian orang banyak upacara pernikahan adalah ketika nyawer dan buka pintu karena disertai dengan dialog melalui bahasa puisi dan lagu. Dengan dilaluinya tahap demi tahap dalam proses perkawinan, maka terbentuklah sebuah keluarga.
Sistem Religi
Agama-agama besar yang ada di Indonesia, seperti: Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu, semuanya ada di daerah Cianjur. Namun demikian, agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Cianjur adalah agama Islam. Dan, mereka pada umumnya dapat dikategorikan sebagai santri (orang-orang yang patuh terhadap ajaran-ajaran Islam). Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, bukan berarti bahwa mereka tidak lepas dari unsur-unsur non-Islam. Hal itu tercermin adanya kunjungan-kunjungan ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran individu, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam masih sering dilakukan. Semua itu terjadi karena batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapinya dengan emosi yang sama.
Aktivitas sistem religi (agama dan kepercayaan) yang paling nampak dalam kehidupan sehari-hari adalah pelaksanaan upacara. Dan, salah satu upacara yang menonjol adalah apa yang disebut sebagai slamatan. Untuk itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting bagi masyarakat Sunda pada umumnya dan khususnya masyarakat Cianjur, terutama yang ada di pedesaan. Slamatan itu sendiri biasanya dilakukan pada hari Kamis malam (malam Jumat). Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin seorang guru ngaji. Upacara yang diikuti oleh para tetangga ini diawali dengan mengucapkan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat yang sama. Isinya bergantung pada maksud pengadaannya. (pepeng)