(Cerita Rakyat Yogyakarta)
Pada zaman dahulu, di tanah Jawa ada sebuah kerajaan besar yang bernama Majapahit. Salah seorang diantara raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Majapahit itu bernama Prabu Brawijaya V. Sang Prabu Brawijaya V atau Brawijaya Pungkasan (terakhir), mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir. Salah seorang diantara para selir sang Prabu ialah Ratu Mayangsari. Suatu hari, pada saat Ratu Mayangsari mulai menampakkan gejala-gejala mengandung, sang Prabu Brawijaya menitipkannya kepada salah seorang saudaranya yang tinggal di desa dan hidup sebagai petani. Nama saudara sang Prabu yang diserahi tugas untuk menjaga Ratu Mayangsari itu ialah Ki Juru Sawah. Beberapa bulan kemudian, tibalah saatnya Ratu Mayangsari melahirkan seorang putera yang diberinya nama Raden Patah.
Suatu ketika, saat Raden Patah sudah mulai beranjak remaja, ia melihat Ki Juru Sawah akan pergi ke kerajaan untuk posok glondong pangareng-areng atau mempersembahkan upeti berupa sebagian dari hasil sawahnya kepada Raja. Saat Ki Juru Sawah berangkat ke kerajaan, Raden Patah mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.
Sesampai di istana, Ki Juru Sawah langsung menghadap raja untuk menghaturkan upeti. Sementara Raden Patah yang mengikutinya dari belakang, mulai berkeliling untuk melihat istana raja. Ia yang sekali pun belum pernah ke istana, merasa kagum melihat barang-barang serba indah yang ada di sana. Dan, tanpa menghiraukan tata-krama yang berlaku di istana, Raden Patah langsung masuk ke sebuah gedung tempat menyimpan pusaka keraton. Setelah masuk ke dalam gedung, dengan tanpa ragu-ragu, Raden Patah memukul sebuah gong pusaka hingga menimbulkan suara yang menggelegar.
Mendengar suara gong pusaka yang menggelegar itu, Sang Prabu Brawijaya terkejut. Ia lalu memerintahkan Mahapatihnya, untuk melihat siapa orang yang telah berani memukul pusaka itu tanpa seizinnya.
Setelah mendapat perintah tersebut, sang Mahapatih lalu bergegas menuju gedung pusaka. Di sana ia melihat seorang anak muda yang di tangannya masih menggenggam alat pemukul gong. Setelah melihat siapa pelakunya, sang Mahapatih segera kembali ke istana untuk melaporkannya pada raja.
Ketika mendapat laporan dari Mahapatihnya itu, sang Prabu agak terkejut, sebab selain dirinya sendiri, di seluruh kerajaan hanya ada beberapa orang saja yang mempunyai kekuatan luar biasa yang mampu memukul gong pusaka itu hingga berbunyi. Sang Prabu kemudian berkata, “Anak siapa dia? Lekas panggil kemari!”
Sang Mahapatih kemudian kembali lagi ke gedung pusaka untuk membawa Raden Patah menghadap raja. Setelah Raden Patah dibawa menghadap baginda raja, Ki Juru Sawah yang juga masih di tempat itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak menyangka kalau Raden Patah telah mengikutinya ke kota. Dan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ki Juru Sawah segera berkata, “Ampun Baginda Prabu, hamba sama sekali tidak menyangka kalau dia ikut ke kota. Sudah berkali-kali hamba melarang dia ikut, tetapi rupanya secara sembunyi-sembunyi dia mengikuti perjalanan hamba.”
“Kau kenal anak muda ini, Ki Juru?” tanya Sang Prabu.
“Ya. Hamba mengenalnya,” jawab Ki Juru Sawah.
“Siapakah dia?” tanya baginda.
“Ia adalah anak asuhan hamba,” jawab Ki Juru Sawah.
“Lalu, anak siapa dia?” tanya baginda lagi.
“Dia adalah anak yang dilahirkan oleh Ratu Mayangsari.”
“Wah, kalau begitu dia adalah anakku,” kata baginda.
“Benar, Baginda Prabu,” sembah Ki Juru Sawah.
“Kalau begitu, biarlah dia tinggal di keraton ini,” kata baginda dengan nada gembira, sebab anak dari salah seorang selirnya itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Singkat cerita, sejak saat itu Raden Patah tidak lagi tinggal di rumah Ki Juru Sawah, melainkan tinggal di Keraton Majapahit. Selama tinggal di keraton, Raden Patah dengan tekun mempelajari berbagai macam ilmu, sehingga pada saat usianya menginjak dewasa ia telah menjadi seorang yang tidak hanya pandai dalam ilmu olah kanuragan, tetapi juga ilmu-ilmu tentang kenegaraan. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya lalu mengutusnya untuk mengepalai wilayah jajahan Majapahit di Palembang.
Setelah beberapa tahun menjadi kepala wilayah jajahan di Palembang, pada suatu malam Raden Patah bermimpin didatangi dan di-Islamkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Di dalam mimpinya itu Kanjeng Sunan Kalijaga juga berkata, “Jebeng1, sekarang sudah tiba saatnya kau kembali ke tanah Jawa. Tengoklah ayahmu yang kini telah lanjut usianya. Bawalah prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Tetapi ingat, kau jangan langsung menuju Majapahit, tetapi tinggallah di daerah Glagahwangi2 dan dirikanlah sebuah masjid di tempat itu.”
Setelah mendapat wisik3 dari Kanjeng Sunan Kalijaga, beberapa hari kemudian berangkatlah Raden Patah ke tanah Jawa, dengan membawa prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah rombongan itu di daerah Glagahwangi yang masih berupa hutan. Di hutan itu, Raden Patah beserta rombongannya mulai membangun sebuah masjid.
Oleh karena daerah Glagahwangi masih termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, maka Raden Patah merasa perlu menjumpai ayahnya, untuk meminta izin membuka hutan dan mendirikan masjid. Dengan dasar itulah, maka Raden Patah beserta para pengiringnya berangkat ke Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya.
Namun, karena mendapat laporan dari para telik sandi-nya yang menginformasikan bahwa Raden Patah sedang menuju ke kerajaan dengan membawa ratusan pengawal, entah mengapa Sang Prabu Brawijaya mengira bahwa anaknya itu akan menyerang Kerajaan Majapahit. Dan, entah mengapa pula sang Prabu lalu mengajak permaisuri beserta pengawalnya untuk melarikan diri dari Majapahit. Dalam pelarian ini sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya.
Pelarian sang Prabu Brawijaya, permaisuri beserta para pengiringnya itu dari Kerajaan Majapahit menuju ke arah barat hingga sampai di wilayah Gunung Kidul. Sesampainya di tempat itu, sang Prabu menyuruh para pengiringnya membuka hutan dan mendirikan sebuah pedukuhan. Pedukuhan ini sekarang telah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Gagang, termasuk dalam wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat Raden Patah beserta pengiringnya telah tiba di Majapahit, ia menjadi kecewa karena kerajaan telah kosong. Rupanya antara ayah dan anak tersebut telah terjadi suatu kesalah-paham. Raden Patah datang ke kerajaan dengan maksud ingin meminta izin untuk mendirikan masjid di Glagahwangi, sedangkan Prabu Brawijaya mengira kedatangan puteranya itu bertujuan hendak menyerang Majapahit. Oleh karena itu, Raden Patah beserta pengiringnya berusaha menyusul ayahandanya ke Gunung Kidul.
Setelah beberapa saat lamanya bermukim di Gunung Kudul, Prabu Brawijaya mendengar berita lagi bahwa rombongan Raden Patah sedang menyusulnya. Prabu Brawijaya yang semakin yakin bahwa puteranya itu ingin menyerangnya, kemudian pindah lagi ke sebuah bukit yang masih berada di kawasan Gunung Kidul. Di tempat yang baru itu ia mendirikan sebuah padepokan yang saat ini telah menjadi sebuah desa yang bernama Manggung4. Tujuan dari pendirian pedukuhan di atas bukit adalah agar apabila Raden Patah beserta para pengiringnya datang, dapat segera mengetahuinya.
Namun, setelah tinggal di bukit itu, sang Prabu beserta para pengawalnya menghadapi kesulitan. Di puncak bukit tidak ada sumber air, sehingga setiap ia dan permaisurinya memerlukan air, terpaksa pengawalnya harus pergi ke sumber air yang terletak di kaki bukit.
Sementara itu, Raden Patah yang berusaha menyusul telah sampai di Gunung Nglompong. Di daerah Gunung Nglompong ini ia mendapat keterangan dari penduduk bahwa Prabu Brawijaya bersembunyi di puncak bukit Manggung. Raden Patah juga mengetahui, bahwa di tempat persembunyiannya Prabu Brawijaya sering mengalami kesulitan karena tidak ada air. Oleh sebab itu, dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki, Raden Patah lalu melemparkan sebuah genthong atau padasan yang penuh berisi air ke puncak Bukit Manggung.
Sewaktu sang Prabu secara tiba-tiba mendapati sebuah padasan yang telah berisi air di depan pondoknya, ia yakin bahwa itu adalah “ulah” anaknya. Ia menyangka Raden Patah sedang mengejeknya dengan memberikan genthong yang penuh berisi air yang memang sangat dibutuhkannya. Oleh karena itu, sang Prabu beserta permaisuri dan para pengawalnya meninggalkan bukit Manggung untuk mencari tempat persembunyian yang lain. Dan sejak saat itu, bukit tempat Prabu Brawijaya yang dilempari sebuah genthong oleh Raden Patah dinamakan sebagai Gunung Genthong. Dan, sampai saat ini genthong “pemberian” Raden Patah itu masih ada namun dindingnya sudah retak-retak, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk menampung air.
Begitulah, terus-menerus Sang Prabu Brawijaya senantiasa melarikan diri dan bersembunyi. Sedangkan Raden Patah pun juga terus saja mencari dan berusaha ingin menjumpai. Sampai suatu saat sang Prabu dapat tersusul oleh Raden Patah.
Singkat cerita, setelah mendengar penjelasan dari Raden Patah, maka seluruh kesalah-pahaman diantara mereka pun dapat diselesaikan. Dan, kepada puteranya itu sang Prabu berkata, “Baiklah, Patah. Ayahanda ingin berbicara. Kalau ayahanda harus menuruti kehendakmu untuk menganut agamamu, ayahanda tidak bersedia. Kalau kau memang memilih agamamu itu, tekunilah dengan sungguh-sungguh. Soal niatmu akan membangun masjid, laksanakan sebaik-baiknya. Bahkan ayahanda mengizinkan engkau membangun keratonmu di Glagahwangi. Setelah jadi, namakanlah Demak Bintara, agar negerimu kelak ramai dan berwibawa. Pindahkanlah seluruh isi Keraton Majapahit ke Demak Bintara.”
Setelah mendapat nasihat dari ayahandanya, Raden Patah lalu melanjutkan rencananya membangun masjid di Glagahwangi. Bahkan, sesuai dengan nasihat yang diterimanya, ia pun mulai mendirikan keraton. Saat keraton selesai di buat, barang-barang dari Keraton Majapahit lalu dipindahkan ke keratonnya yang dinamakan Demak Bintara.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada zaman dahulu, di tanah Jawa ada sebuah kerajaan besar yang bernama Majapahit. Salah seorang diantara raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Majapahit itu bernama Prabu Brawijaya V. Sang Prabu Brawijaya V atau Brawijaya Pungkasan (terakhir), mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir. Salah seorang diantara para selir sang Prabu ialah Ratu Mayangsari. Suatu hari, pada saat Ratu Mayangsari mulai menampakkan gejala-gejala mengandung, sang Prabu Brawijaya menitipkannya kepada salah seorang saudaranya yang tinggal di desa dan hidup sebagai petani. Nama saudara sang Prabu yang diserahi tugas untuk menjaga Ratu Mayangsari itu ialah Ki Juru Sawah. Beberapa bulan kemudian, tibalah saatnya Ratu Mayangsari melahirkan seorang putera yang diberinya nama Raden Patah.
Suatu ketika, saat Raden Patah sudah mulai beranjak remaja, ia melihat Ki Juru Sawah akan pergi ke kerajaan untuk posok glondong pangareng-areng atau mempersembahkan upeti berupa sebagian dari hasil sawahnya kepada Raja. Saat Ki Juru Sawah berangkat ke kerajaan, Raden Patah mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.
Sesampai di istana, Ki Juru Sawah langsung menghadap raja untuk menghaturkan upeti. Sementara Raden Patah yang mengikutinya dari belakang, mulai berkeliling untuk melihat istana raja. Ia yang sekali pun belum pernah ke istana, merasa kagum melihat barang-barang serba indah yang ada di sana. Dan, tanpa menghiraukan tata-krama yang berlaku di istana, Raden Patah langsung masuk ke sebuah gedung tempat menyimpan pusaka keraton. Setelah masuk ke dalam gedung, dengan tanpa ragu-ragu, Raden Patah memukul sebuah gong pusaka hingga menimbulkan suara yang menggelegar.
Mendengar suara gong pusaka yang menggelegar itu, Sang Prabu Brawijaya terkejut. Ia lalu memerintahkan Mahapatihnya, untuk melihat siapa orang yang telah berani memukul pusaka itu tanpa seizinnya.
Setelah mendapat perintah tersebut, sang Mahapatih lalu bergegas menuju gedung pusaka. Di sana ia melihat seorang anak muda yang di tangannya masih menggenggam alat pemukul gong. Setelah melihat siapa pelakunya, sang Mahapatih segera kembali ke istana untuk melaporkannya pada raja.
Ketika mendapat laporan dari Mahapatihnya itu, sang Prabu agak terkejut, sebab selain dirinya sendiri, di seluruh kerajaan hanya ada beberapa orang saja yang mempunyai kekuatan luar biasa yang mampu memukul gong pusaka itu hingga berbunyi. Sang Prabu kemudian berkata, “Anak siapa dia? Lekas panggil kemari!”
Sang Mahapatih kemudian kembali lagi ke gedung pusaka untuk membawa Raden Patah menghadap raja. Setelah Raden Patah dibawa menghadap baginda raja, Ki Juru Sawah yang juga masih di tempat itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak menyangka kalau Raden Patah telah mengikutinya ke kota. Dan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ki Juru Sawah segera berkata, “Ampun Baginda Prabu, hamba sama sekali tidak menyangka kalau dia ikut ke kota. Sudah berkali-kali hamba melarang dia ikut, tetapi rupanya secara sembunyi-sembunyi dia mengikuti perjalanan hamba.”
“Kau kenal anak muda ini, Ki Juru?” tanya Sang Prabu.
“Ya. Hamba mengenalnya,” jawab Ki Juru Sawah.
“Siapakah dia?” tanya baginda.
“Ia adalah anak asuhan hamba,” jawab Ki Juru Sawah.
“Lalu, anak siapa dia?” tanya baginda lagi.
“Dia adalah anak yang dilahirkan oleh Ratu Mayangsari.”
“Wah, kalau begitu dia adalah anakku,” kata baginda.
“Benar, Baginda Prabu,” sembah Ki Juru Sawah.
“Kalau begitu, biarlah dia tinggal di keraton ini,” kata baginda dengan nada gembira, sebab anak dari salah seorang selirnya itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Singkat cerita, sejak saat itu Raden Patah tidak lagi tinggal di rumah Ki Juru Sawah, melainkan tinggal di Keraton Majapahit. Selama tinggal di keraton, Raden Patah dengan tekun mempelajari berbagai macam ilmu, sehingga pada saat usianya menginjak dewasa ia telah menjadi seorang yang tidak hanya pandai dalam ilmu olah kanuragan, tetapi juga ilmu-ilmu tentang kenegaraan. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya lalu mengutusnya untuk mengepalai wilayah jajahan Majapahit di Palembang.
Setelah beberapa tahun menjadi kepala wilayah jajahan di Palembang, pada suatu malam Raden Patah bermimpin didatangi dan di-Islamkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Di dalam mimpinya itu Kanjeng Sunan Kalijaga juga berkata, “Jebeng1, sekarang sudah tiba saatnya kau kembali ke tanah Jawa. Tengoklah ayahmu yang kini telah lanjut usianya. Bawalah prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Tetapi ingat, kau jangan langsung menuju Majapahit, tetapi tinggallah di daerah Glagahwangi2 dan dirikanlah sebuah masjid di tempat itu.”
Setelah mendapat wisik3 dari Kanjeng Sunan Kalijaga, beberapa hari kemudian berangkatlah Raden Patah ke tanah Jawa, dengan membawa prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah rombongan itu di daerah Glagahwangi yang masih berupa hutan. Di hutan itu, Raden Patah beserta rombongannya mulai membangun sebuah masjid.
Oleh karena daerah Glagahwangi masih termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, maka Raden Patah merasa perlu menjumpai ayahnya, untuk meminta izin membuka hutan dan mendirikan masjid. Dengan dasar itulah, maka Raden Patah beserta para pengiringnya berangkat ke Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya.
Namun, karena mendapat laporan dari para telik sandi-nya yang menginformasikan bahwa Raden Patah sedang menuju ke kerajaan dengan membawa ratusan pengawal, entah mengapa Sang Prabu Brawijaya mengira bahwa anaknya itu akan menyerang Kerajaan Majapahit. Dan, entah mengapa pula sang Prabu lalu mengajak permaisuri beserta pengawalnya untuk melarikan diri dari Majapahit. Dalam pelarian ini sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya.
Pelarian sang Prabu Brawijaya, permaisuri beserta para pengiringnya itu dari Kerajaan Majapahit menuju ke arah barat hingga sampai di wilayah Gunung Kidul. Sesampainya di tempat itu, sang Prabu menyuruh para pengiringnya membuka hutan dan mendirikan sebuah pedukuhan. Pedukuhan ini sekarang telah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Gagang, termasuk dalam wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat Raden Patah beserta pengiringnya telah tiba di Majapahit, ia menjadi kecewa karena kerajaan telah kosong. Rupanya antara ayah dan anak tersebut telah terjadi suatu kesalah-paham. Raden Patah datang ke kerajaan dengan maksud ingin meminta izin untuk mendirikan masjid di Glagahwangi, sedangkan Prabu Brawijaya mengira kedatangan puteranya itu bertujuan hendak menyerang Majapahit. Oleh karena itu, Raden Patah beserta pengiringnya berusaha menyusul ayahandanya ke Gunung Kidul.
Setelah beberapa saat lamanya bermukim di Gunung Kudul, Prabu Brawijaya mendengar berita lagi bahwa rombongan Raden Patah sedang menyusulnya. Prabu Brawijaya yang semakin yakin bahwa puteranya itu ingin menyerangnya, kemudian pindah lagi ke sebuah bukit yang masih berada di kawasan Gunung Kidul. Di tempat yang baru itu ia mendirikan sebuah padepokan yang saat ini telah menjadi sebuah desa yang bernama Manggung4. Tujuan dari pendirian pedukuhan di atas bukit adalah agar apabila Raden Patah beserta para pengiringnya datang, dapat segera mengetahuinya.
Namun, setelah tinggal di bukit itu, sang Prabu beserta para pengawalnya menghadapi kesulitan. Di puncak bukit tidak ada sumber air, sehingga setiap ia dan permaisurinya memerlukan air, terpaksa pengawalnya harus pergi ke sumber air yang terletak di kaki bukit.
Sementara itu, Raden Patah yang berusaha menyusul telah sampai di Gunung Nglompong. Di daerah Gunung Nglompong ini ia mendapat keterangan dari penduduk bahwa Prabu Brawijaya bersembunyi di puncak bukit Manggung. Raden Patah juga mengetahui, bahwa di tempat persembunyiannya Prabu Brawijaya sering mengalami kesulitan karena tidak ada air. Oleh sebab itu, dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki, Raden Patah lalu melemparkan sebuah genthong atau padasan yang penuh berisi air ke puncak Bukit Manggung.
Sewaktu sang Prabu secara tiba-tiba mendapati sebuah padasan yang telah berisi air di depan pondoknya, ia yakin bahwa itu adalah “ulah” anaknya. Ia menyangka Raden Patah sedang mengejeknya dengan memberikan genthong yang penuh berisi air yang memang sangat dibutuhkannya. Oleh karena itu, sang Prabu beserta permaisuri dan para pengawalnya meninggalkan bukit Manggung untuk mencari tempat persembunyian yang lain. Dan sejak saat itu, bukit tempat Prabu Brawijaya yang dilempari sebuah genthong oleh Raden Patah dinamakan sebagai Gunung Genthong. Dan, sampai saat ini genthong “pemberian” Raden Patah itu masih ada namun dindingnya sudah retak-retak, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk menampung air.
Begitulah, terus-menerus Sang Prabu Brawijaya senantiasa melarikan diri dan bersembunyi. Sedangkan Raden Patah pun juga terus saja mencari dan berusaha ingin menjumpai. Sampai suatu saat sang Prabu dapat tersusul oleh Raden Patah.
Singkat cerita, setelah mendengar penjelasan dari Raden Patah, maka seluruh kesalah-pahaman diantara mereka pun dapat diselesaikan. Dan, kepada puteranya itu sang Prabu berkata, “Baiklah, Patah. Ayahanda ingin berbicara. Kalau ayahanda harus menuruti kehendakmu untuk menganut agamamu, ayahanda tidak bersedia. Kalau kau memang memilih agamamu itu, tekunilah dengan sungguh-sungguh. Soal niatmu akan membangun masjid, laksanakan sebaik-baiknya. Bahkan ayahanda mengizinkan engkau membangun keratonmu di Glagahwangi. Setelah jadi, namakanlah Demak Bintara, agar negerimu kelak ramai dan berwibawa. Pindahkanlah seluruh isi Keraton Majapahit ke Demak Bintara.”
Setelah mendapat nasihat dari ayahandanya, Raden Patah lalu melanjutkan rencananya membangun masjid di Glagahwangi. Bahkan, sesuai dengan nasihat yang diterimanya, ia pun mulai mendirikan keraton. Saat keraton selesai di buat, barang-barang dari Keraton Majapahit lalu dipindahkan ke keratonnya yang dinamakan Demak Bintara.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.