Pengantar
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut oleh mereka dinamakan “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan tujuan upacara ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan upacara adalah agar bayi, baik ketika masih dalam kandungan maupun ketika lahir tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa seorang perempuan yang berbadan dua (mengandung) berada di bawah pengaruh roh-roh jahat yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya maupun janin (jabang bayi) yang ada dalam kendungannya. Untuk melenyapkan pengaruh roh-roh jahat tersebut maka perlu dilakukan suatu upacara suu anaku. Sedangkan, versi yang kedua mengatakan bahwa upacara suu anaku bertujuan untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriah (sifat, watak dan lain sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang dimiliki oleh ama (ayah) dan ina (ibu).
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Ada empat tahap yang harus dilalui dalam upacara suu anaku, yaitu: (1) tahap pemandian bayi sesaat setelah dilahirkan yang pelaksanaannya dilakukan bergantung pada keluarnya jabang bayi dari rahim ibunya (bisa pagi, siang, sore ataupun malam hari karena waktu kelahiran bayi tidak dapat ditentukan); (2) tahap pemandian bayi pada saat berusia 8 hari (pelaksanaannya juga bisa pagi, siang atau sore hari); (3) tahap pesta adat (dilakukan pada malam hari); dan (4) tahap membawa bayi ke tengah hutan (dari pagi sampai menjelang terbenamnya matahari) karena jika sampai malam dikhawatirkan jabang bayi akan disusupi oleh roh-roh jahat yang bergentayangan. Sedangkan, tempat pelaksanaannya bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Untuk prosesi pemandian pada tahap pertama dan kedua dilakukan di dalam posuno (bangunan upacara) yang berada di tengah-tengah hutan. Untuk prosesi upacara tahap ketiga (pesta adat) dilakukan di rumah keluarga yang baru saja mempunyai bayi tersebut. Sedangkan, untuk upacara tahap yang keempat dilakukan di tengah hutan.
Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara suu anaku. Pada tahap pemandian setelah bayi dilahirkan dan ketika berusia 8 hari misalnya, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah irihitipue (dukun beranak). Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara pesta adat adalah momo kanate (kepala soa pihak suami dari perempuan yang melahirkan). Sedangkan, upacara yang diadakan di tengah-tengah hutan dipimpin oleh ama (ayah) dari bayi yang bersangkutan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara suu anaku juga bergantung pada kegiatan yang dilakukan. Pada tahap pemandian misalnya, tahap ini diikuti oleh para perempuan anggota kelompok kerabat dari perempuan yang baru saja melahirkan. Mereka berasal dari kelompok kerabat (soa) suami dan kelompok kerabatnya sendiri. Kemudian, upacara yang dilakukan di rumah keluarga laki-laki diikuti oleh orang-orang yang mengikuti upacara pemandian dan ditambah dengan kaum pria beserta para tokoh-tokoh adat dari soa (kelompok kerabat) suami-isteri tersebut. Sedangkan, pada tahap terakhir, yaitu membawa bayi ke tengah hutan, hanya diikuti oleh ayah, ibu dan bayinya. Dalam hal ini sang ayah berperan sebagai pemimpin upacara dan sang ibu sebagai saksinya.
Peralatan Upacara
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara suu anaku adalah: (1) posuno1); (2) kaitimana atau wane2); (3) ruas-ruas bambu3); (4) beberapa jenis makanan yang dibuat dari sagu seperti: tutupola (tepung sagu yang dimasukkan ke dalam ruas-ruas bambu, kemudian dibakar dan sesudah itu dipotong-potong menyerupai bentuk wajik), papeda (tepung sagu yang dilarutkan dengan sedikit air dingin, kemudian disiram dengan air panas) dan alu-alu (tutupola yang dihancurkan, kemudian dicampur dengan irisan kenari dan buah pisang); dan (5) daun-daun sagu yang dibentuk sedemikian rupa sebagai tempat untuk membaringkan bayi.
Jalannya Upacara
Ketika seorang perempuan yang tengah hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung peristiwa kelahiran.
Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir di dalam posuno untuk berdoa memohon kepada Upu Kuanahatana (Tuhan Pencipta Alam Semesta) agar kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan ibu beserta anaknya selamat. Setelah sang bayi dilahirkan, irihitipue mengambil kaitimana untuk tali pusar bayi tersebut. Pada saat pemotongan tali pusar tersebut, para hadirin yang berada di dalam posuno tetap memanjatkan doa agar pemotongan berjalan dengan lancar. Dan, setelah terpotong, pusar bayi kemudian diikat menggunakan rotan.
Kegiatan dilanjutkan dengan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah hulu Sungai Nua. Air tersebut dimasukkan ke dalam ruas-ruas bambu. Sama seperti pemotongan tali pusar, saat pemandian bayi pun diiringi dengan doa-doa dari yang hadir. Selesai dimandikan, sang bayi kemudian diserahkan kepada ibunya kembali.
Dengan berakhirnya pemandian bayi, maka berakhirlah upacara suu anaku tahap pertama. Para perempuan yang mengikuti upacara akan kembali lagi ke rumah masing-masing. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa pelayanan yang diberikan oleh anggota kelompok kerabat perempuan dan suaminya telah berakhir. Secara berkala anggota perempuan kelompok kerabat suami-isteri tersebut akan datang bersama irihitipue untuk melayani dan memenuhi kebutuhan perempuan dan bayinya selama berada di posuno. Sebagai catatan, keberadaan perempuan tersebut beserta bayinya di posuno adalah selama 40 hari.
Setelah bayi berumur 8 hari, maka upacara suu anaku tahap kedua diadakan. Upacara tahap kedua ini pada dasarnya sama dengan upacara suu anaku tahap pertama (setelah bayi dipotong tali pusarnya), yaitu memandikan bayi. Prosesi upacara pemandian tahap kedua ini dimulai dengan instruksi irihitipue kepada ukakie (saudara perempuan tertua dari sang ibu) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya. Kemudian, ukakie akan menyerahkan sang bayi pada irihitipue yang telah menyiapkan air keramat dalam ruas-ruas bambu. Selanjutnya, bayi dimandikan dan dikeringkan, kemudian diberi pakaian oleh irihitipue. Sebagai catatan, pakaian yang dikenakan pada sang bayi pada zaman dahulu terbuat dari sejenis kulit pohon cidaku, namun seiring dengan perkembangan zaman, pakaian kulit pohon cidaku lambat laun diganti dengan pakaian tekstil yang banyak dijual di toko-toko pakaian.
Acara selanjutnya, setelah pemberian pakaian, adalah penyerahan sang bayi dari irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi di tanah. Makna yang terkandung dari hentakan kaki bayi ke tanah adalah sebagai suatu pernyataan bahwa tanah merupakan sumber penghidupan. Dengan menghentakkan kaki ke tanah maka diharapkan si anak di kemudian hari tidak hanya dapat menggunakan tanah sebagai tempat untuk menanam tumbuh-tumbuhan, tetapi juga untuk menangkap hewan-hewan buruan. Ini sangat erat kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat Nuaulu (berburu, meramu dan bercocok tanam di ladang). Selesai acara penghentakan, sang bayi kemudian digendong kembali oleh ukakie untuk diajak (bersama seluruh rombongan kaum kerabat) ke rumah keluarga. Dengan dibawanya sang bayi ke rumah orangtuanya, maka berakhir sudah upacara suu anaku tahap kedua.
Sesampainya di rumah, sang bayi beserta ibunya telah ditunggu oleh suaminya di depan pintu. Setelah sampai di dekat suaminya, ukakie menyerahkan kembali sang bayi pada ibunya. Kemudian, sang ibu berjalan ke arah suaminya dan selanjutnya menyerahkan bayinya kepada sang suami. Oleh sang suami (ayah) bayi tersebut selanjutnya dibawa masuk ke dalam rumah untuk diperkenalkan kepada semua hadirin (yang telah diundang sebelumnya). Makna penyerahan sang bayi oleh isteri kepada suaminya adalah sebagai suatu pernyataan dari rasa kegembiraan sang isteri karena ia telah dapat memberikan keturunan kepada suaminya, khususnya kepada kelompok soa suaminya. Ini sangat erat kaitannya dengan garis keturunan masyarakat Nuaulu yang menganut patrilineal, sehingga kemampuan melahirkan bagi seorang perempuan sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat Nuaulu.
Setelah selesai diperkenalkan, mereka semua dipersilahkan menuju ke meja upacara untuk makan bersama. Makan bersama ini merupakan pesta adat. Jenis-jenis makanan yang disajikan dalam acara pesta adat ini diantaranya adalah: papeda, tutupola dan alu-alu. Seluruh makanan dalam pesta tersebut harus disediakan oleh kelompok kerabat (soa) isteri. Makanan tersebut disajikan bukan hanya untuk melengkapi pesta, melainkan juga mempunyai tujuan khusus yang menyangkut gengsi (prestise) suatu soa. Makanan yang dipersiapkan itu merupakan suatu pernyataan bahwa kelompok kerabat isteri telah menunjukkan prestise sosialnya, karena kelompok kerabat mereka dianggap telah membuktikan mampu melanjutkan garis keturunan bagi kelompok kerabat sang suami.
Sebagai imbalan atas disediakannya seluruh makanan oleh kerabat sang isteri, pihak kerabat suami harus menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan Tiongkok. Jumlah piring atau mangkuk yang harus diserahkan haruslah sesuai dengan jumlah jenis sajian yang dihidangkan. Sebagai catatan, mangkuk dan piring yang harus diberikan adalah mangkuk-mangkuk atau piring-piring tua yang berasal dari zaman dinasti-dinasti kerajaan Tiongkok.
Selesai makan bersama acara masih dilanjutkan dengan pertunjukan tari-tarian dimana semua peserta upacara turut terlibat didalamnya. Tarian yang diselenggarakan pada umumnya adalah tari mako. Pesta tersebut berlangsung sampai saat matahari terbenam.
Sementara pesta berlangsung, irihitipue memberi isyarat kepada ibu beserta bayinya untuk kembali menuju ke posuno yang akan diiringi oleh kelompok kerabatnya yang perempuan. Setelah tiba di posuno, rombongan pengiring kemudian meninggalkan perempuan tersebut bersama banyinya di posuno dan menuju ke perkampungan untuk melanjutkan acara pesta adat. Sebagai catatan lagi, seorang perempuan yang baru melahirkan harus berdiam di posuno selama 40 hari. Adalah sangat pantang pagi seorang ibu yang baru melahirkan untuk berdiam bersama keluarganya sebelum 40 hari. Ini adalah merupakan suatu norma yang bagi orang Nuaulu apabila dilanggar dipercaya akan mendatangkan malapetaka bagi seisi rumah, dan bahkan bagi seluruh warga masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Setelah berakhirnya acara pesta adat, maka antara satu sampai tiga hari sang ayah diharuskan (ama) untuk membawa bayi bersama ibunya menuju ke tengah-tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara suu anaku. Untuk itu, sang ibu bersama bayinya dikeluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh kelompok kerabat perempuan dibawa kepada sang suami yang telah menunggu di rumah. Sang suami kemudian menjemput isteri bersama bayinya untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka diletakkan di atas tempat tersebut dengan ditunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi tersebut kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana, yang telah berkenan mengabulkan doa-doa yang mereka panjatkan sehingga kelahiran dapat berlangsung dengan selamat.
Menjelang matahari terbenam berakhirlah upacara ini. Mereka (bertiga) pun pulang. Kedatangan mereka telah ditunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantar ibu tersebut bersama bayinya ke posuno hingga 40 hari setelah melahirkan. Setelah 40 hari, barulah ia bersama anaknya diperbolehkan pulang ke rumahnya.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara suu anaku. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius.
Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, menghadiri pesta adat, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Suu anaku merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, pada acara pemandian dan pemotongan tali pusar yang merupakan tahap dari serentetan tahapan dalam upacara suu anaku. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur. (Pepeng)
Sumber:
Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
www.kongresbud.budpar.go.id
www.bakti.org
www.ensiklopedia.net
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut oleh mereka dinamakan “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan tujuan upacara ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan upacara adalah agar bayi, baik ketika masih dalam kandungan maupun ketika lahir tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa seorang perempuan yang berbadan dua (mengandung) berada di bawah pengaruh roh-roh jahat yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya maupun janin (jabang bayi) yang ada dalam kendungannya. Untuk melenyapkan pengaruh roh-roh jahat tersebut maka perlu dilakukan suatu upacara suu anaku. Sedangkan, versi yang kedua mengatakan bahwa upacara suu anaku bertujuan untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriah (sifat, watak dan lain sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang dimiliki oleh ama (ayah) dan ina (ibu).
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Ada empat tahap yang harus dilalui dalam upacara suu anaku, yaitu: (1) tahap pemandian bayi sesaat setelah dilahirkan yang pelaksanaannya dilakukan bergantung pada keluarnya jabang bayi dari rahim ibunya (bisa pagi, siang, sore ataupun malam hari karena waktu kelahiran bayi tidak dapat ditentukan); (2) tahap pemandian bayi pada saat berusia 8 hari (pelaksanaannya juga bisa pagi, siang atau sore hari); (3) tahap pesta adat (dilakukan pada malam hari); dan (4) tahap membawa bayi ke tengah hutan (dari pagi sampai menjelang terbenamnya matahari) karena jika sampai malam dikhawatirkan jabang bayi akan disusupi oleh roh-roh jahat yang bergentayangan. Sedangkan, tempat pelaksanaannya bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Untuk prosesi pemandian pada tahap pertama dan kedua dilakukan di dalam posuno (bangunan upacara) yang berada di tengah-tengah hutan. Untuk prosesi upacara tahap ketiga (pesta adat) dilakukan di rumah keluarga yang baru saja mempunyai bayi tersebut. Sedangkan, untuk upacara tahap yang keempat dilakukan di tengah hutan.
Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara suu anaku. Pada tahap pemandian setelah bayi dilahirkan dan ketika berusia 8 hari misalnya, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah irihitipue (dukun beranak). Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara pesta adat adalah momo kanate (kepala soa pihak suami dari perempuan yang melahirkan). Sedangkan, upacara yang diadakan di tengah-tengah hutan dipimpin oleh ama (ayah) dari bayi yang bersangkutan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara suu anaku juga bergantung pada kegiatan yang dilakukan. Pada tahap pemandian misalnya, tahap ini diikuti oleh para perempuan anggota kelompok kerabat dari perempuan yang baru saja melahirkan. Mereka berasal dari kelompok kerabat (soa) suami dan kelompok kerabatnya sendiri. Kemudian, upacara yang dilakukan di rumah keluarga laki-laki diikuti oleh orang-orang yang mengikuti upacara pemandian dan ditambah dengan kaum pria beserta para tokoh-tokoh adat dari soa (kelompok kerabat) suami-isteri tersebut. Sedangkan, pada tahap terakhir, yaitu membawa bayi ke tengah hutan, hanya diikuti oleh ayah, ibu dan bayinya. Dalam hal ini sang ayah berperan sebagai pemimpin upacara dan sang ibu sebagai saksinya.
Peralatan Upacara
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara suu anaku adalah: (1) posuno1); (2) kaitimana atau wane2); (3) ruas-ruas bambu3); (4) beberapa jenis makanan yang dibuat dari sagu seperti: tutupola (tepung sagu yang dimasukkan ke dalam ruas-ruas bambu, kemudian dibakar dan sesudah itu dipotong-potong menyerupai bentuk wajik), papeda (tepung sagu yang dilarutkan dengan sedikit air dingin, kemudian disiram dengan air panas) dan alu-alu (tutupola yang dihancurkan, kemudian dicampur dengan irisan kenari dan buah pisang); dan (5) daun-daun sagu yang dibentuk sedemikian rupa sebagai tempat untuk membaringkan bayi.
Jalannya Upacara
Ketika seorang perempuan yang tengah hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung peristiwa kelahiran.
Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir di dalam posuno untuk berdoa memohon kepada Upu Kuanahatana (Tuhan Pencipta Alam Semesta) agar kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan ibu beserta anaknya selamat. Setelah sang bayi dilahirkan, irihitipue mengambil kaitimana untuk tali pusar bayi tersebut. Pada saat pemotongan tali pusar tersebut, para hadirin yang berada di dalam posuno tetap memanjatkan doa agar pemotongan berjalan dengan lancar. Dan, setelah terpotong, pusar bayi kemudian diikat menggunakan rotan.
Kegiatan dilanjutkan dengan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah hulu Sungai Nua. Air tersebut dimasukkan ke dalam ruas-ruas bambu. Sama seperti pemotongan tali pusar, saat pemandian bayi pun diiringi dengan doa-doa dari yang hadir. Selesai dimandikan, sang bayi kemudian diserahkan kepada ibunya kembali.
Dengan berakhirnya pemandian bayi, maka berakhirlah upacara suu anaku tahap pertama. Para perempuan yang mengikuti upacara akan kembali lagi ke rumah masing-masing. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa pelayanan yang diberikan oleh anggota kelompok kerabat perempuan dan suaminya telah berakhir. Secara berkala anggota perempuan kelompok kerabat suami-isteri tersebut akan datang bersama irihitipue untuk melayani dan memenuhi kebutuhan perempuan dan bayinya selama berada di posuno. Sebagai catatan, keberadaan perempuan tersebut beserta bayinya di posuno adalah selama 40 hari.
Setelah bayi berumur 8 hari, maka upacara suu anaku tahap kedua diadakan. Upacara tahap kedua ini pada dasarnya sama dengan upacara suu anaku tahap pertama (setelah bayi dipotong tali pusarnya), yaitu memandikan bayi. Prosesi upacara pemandian tahap kedua ini dimulai dengan instruksi irihitipue kepada ukakie (saudara perempuan tertua dari sang ibu) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya. Kemudian, ukakie akan menyerahkan sang bayi pada irihitipue yang telah menyiapkan air keramat dalam ruas-ruas bambu. Selanjutnya, bayi dimandikan dan dikeringkan, kemudian diberi pakaian oleh irihitipue. Sebagai catatan, pakaian yang dikenakan pada sang bayi pada zaman dahulu terbuat dari sejenis kulit pohon cidaku, namun seiring dengan perkembangan zaman, pakaian kulit pohon cidaku lambat laun diganti dengan pakaian tekstil yang banyak dijual di toko-toko pakaian.
Acara selanjutnya, setelah pemberian pakaian, adalah penyerahan sang bayi dari irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi di tanah. Makna yang terkandung dari hentakan kaki bayi ke tanah adalah sebagai suatu pernyataan bahwa tanah merupakan sumber penghidupan. Dengan menghentakkan kaki ke tanah maka diharapkan si anak di kemudian hari tidak hanya dapat menggunakan tanah sebagai tempat untuk menanam tumbuh-tumbuhan, tetapi juga untuk menangkap hewan-hewan buruan. Ini sangat erat kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat Nuaulu (berburu, meramu dan bercocok tanam di ladang). Selesai acara penghentakan, sang bayi kemudian digendong kembali oleh ukakie untuk diajak (bersama seluruh rombongan kaum kerabat) ke rumah keluarga. Dengan dibawanya sang bayi ke rumah orangtuanya, maka berakhir sudah upacara suu anaku tahap kedua.
Sesampainya di rumah, sang bayi beserta ibunya telah ditunggu oleh suaminya di depan pintu. Setelah sampai di dekat suaminya, ukakie menyerahkan kembali sang bayi pada ibunya. Kemudian, sang ibu berjalan ke arah suaminya dan selanjutnya menyerahkan bayinya kepada sang suami. Oleh sang suami (ayah) bayi tersebut selanjutnya dibawa masuk ke dalam rumah untuk diperkenalkan kepada semua hadirin (yang telah diundang sebelumnya). Makna penyerahan sang bayi oleh isteri kepada suaminya adalah sebagai suatu pernyataan dari rasa kegembiraan sang isteri karena ia telah dapat memberikan keturunan kepada suaminya, khususnya kepada kelompok soa suaminya. Ini sangat erat kaitannya dengan garis keturunan masyarakat Nuaulu yang menganut patrilineal, sehingga kemampuan melahirkan bagi seorang perempuan sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat Nuaulu.
Setelah selesai diperkenalkan, mereka semua dipersilahkan menuju ke meja upacara untuk makan bersama. Makan bersama ini merupakan pesta adat. Jenis-jenis makanan yang disajikan dalam acara pesta adat ini diantaranya adalah: papeda, tutupola dan alu-alu. Seluruh makanan dalam pesta tersebut harus disediakan oleh kelompok kerabat (soa) isteri. Makanan tersebut disajikan bukan hanya untuk melengkapi pesta, melainkan juga mempunyai tujuan khusus yang menyangkut gengsi (prestise) suatu soa. Makanan yang dipersiapkan itu merupakan suatu pernyataan bahwa kelompok kerabat isteri telah menunjukkan prestise sosialnya, karena kelompok kerabat mereka dianggap telah membuktikan mampu melanjutkan garis keturunan bagi kelompok kerabat sang suami.
Sebagai imbalan atas disediakannya seluruh makanan oleh kerabat sang isteri, pihak kerabat suami harus menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan Tiongkok. Jumlah piring atau mangkuk yang harus diserahkan haruslah sesuai dengan jumlah jenis sajian yang dihidangkan. Sebagai catatan, mangkuk dan piring yang harus diberikan adalah mangkuk-mangkuk atau piring-piring tua yang berasal dari zaman dinasti-dinasti kerajaan Tiongkok.
Selesai makan bersama acara masih dilanjutkan dengan pertunjukan tari-tarian dimana semua peserta upacara turut terlibat didalamnya. Tarian yang diselenggarakan pada umumnya adalah tari mako. Pesta tersebut berlangsung sampai saat matahari terbenam.
Sementara pesta berlangsung, irihitipue memberi isyarat kepada ibu beserta bayinya untuk kembali menuju ke posuno yang akan diiringi oleh kelompok kerabatnya yang perempuan. Setelah tiba di posuno, rombongan pengiring kemudian meninggalkan perempuan tersebut bersama banyinya di posuno dan menuju ke perkampungan untuk melanjutkan acara pesta adat. Sebagai catatan lagi, seorang perempuan yang baru melahirkan harus berdiam di posuno selama 40 hari. Adalah sangat pantang pagi seorang ibu yang baru melahirkan untuk berdiam bersama keluarganya sebelum 40 hari. Ini adalah merupakan suatu norma yang bagi orang Nuaulu apabila dilanggar dipercaya akan mendatangkan malapetaka bagi seisi rumah, dan bahkan bagi seluruh warga masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Setelah berakhirnya acara pesta adat, maka antara satu sampai tiga hari sang ayah diharuskan (ama) untuk membawa bayi bersama ibunya menuju ke tengah-tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara suu anaku. Untuk itu, sang ibu bersama bayinya dikeluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh kelompok kerabat perempuan dibawa kepada sang suami yang telah menunggu di rumah. Sang suami kemudian menjemput isteri bersama bayinya untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka diletakkan di atas tempat tersebut dengan ditunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi tersebut kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana, yang telah berkenan mengabulkan doa-doa yang mereka panjatkan sehingga kelahiran dapat berlangsung dengan selamat.
Menjelang matahari terbenam berakhirlah upacara ini. Mereka (bertiga) pun pulang. Kedatangan mereka telah ditunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantar ibu tersebut bersama bayinya ke posuno hingga 40 hari setelah melahirkan. Setelah 40 hari, barulah ia bersama anaknya diperbolehkan pulang ke rumahnya.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara suu anaku. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius.
Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, menghadiri pesta adat, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Suu anaku merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, pada acara pemandian dan pemotongan tali pusar yang merupakan tahap dari serentetan tahapan dalam upacara suu anaku. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur. (Pepeng)
Sumber:
Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
www.kongresbud.budpar.go.id
www.bakti.org
www.ensiklopedia.net