Benjang (Provinsi Jawa Barat)

Asal Usul
Di Kabupaten Bandung, khusunya di Kecamatan Ujungberung, Cibolerang, Cibiru, Cinunuk, Cileunyi dan Rancaekek, ada sebuah seni bela diri yang disebut “Benjang”. Konon, seni bela diri benjang berawal dari kesenian terbangan yang sering dimainkan oleh para santri yang ada di pondok pesantren. Dari pondok pesantren, kesenian terbangan ini menyebar ke masyarakat sekitarnya melalui upacara tradisional, seperti: selamatan kelahiran bayi, panen padi, maulid nabi, khitanan, dan perkawinan.

Ketika sedang bermain terbangan itu, sambil bernyanyi, terkadang mereka melakukan gerakan-gerakan saling mendorong. Gerakan mendorong yang diiringi musik terbangan itu kemudian menjelma menjadi suatu kesenian baru yang dinamakan “Dogong”. Pada kesenian dogong ini, para pemainnya akan saling mendorong dengan mempergunakan alu (alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu).

Permainan dogong berkembang lagi menjadi suatu permainan saling mendesak tanpa menggunakan alat. Permainan baru ini disebut “Seredan”. Kemudian, permainan seredan berkembang lagi menjadi suatu permainan saling mendesak dengan pundak tanpa menggunakan alat maupun tangan. Permainan mendesak lawan hingga keluar arena ini disebut dengan “Adu Mundur”. Namun, karena dalam permainan ini sering terjadi pelanggaran, maka adu mundur diganti menjadi “Adu Munding”. Dalam permainan adu munding, pemain tidak lagi mendorong dengan menggunakan pundak, melainkan mendorong dengan cara membungkuk (merangkak) dan mendesak lawan dengan kepala, seperti seekor munding (kerbau) yang sedang bertarung.

Lama-kelamaan, seiring dengan makin banyaknya gerakan-gerakan atau teknik untuk menjatuhkan lawan, maka adu munding pun berkembang lagi menjadi suatu permainan yang saat ini disebut sebagai benjang. Dalam permainan benjang, semua unsur dari permainan sebelumnya (terbangan, dogong, seredan, adu mundur, dan adu munding) diramu menjadi satu. Namun, tidak semua gerakan dalam permainan sebelumnya juga dipakai dalam permainan benjang. Misalnya, gerakan atau teknik mendesak lawan dengan kepala yang dianggap cukup berbahanya, sudah jarang sekali digunakan oleh seorang pemain benjang (tukang benjang).

Pemain
Permainan benjang umumnya dilakukan oleh laki-laki remaja dan dewasa. Walaupun demikian, orang yang telah berusia lanjut pun diperbolehkan, asalkan atas kemauannya sendiri. Para pemain benjang biasanya tergabung dalam sebuah kelompok yang berasal dari satu perguruan. Setiap kelompok benjang jumlah anggotanya antara 20--25 orang, yang terdiri atas: satu orang pemimpin, 9 orang penabuh dan sisanya pemain. Selain pemain, dalam permainan benjang juga ada wasit yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan dan menetapkan pemenang.

Sebagai catatan, untuk menjadi pemain benjang (tukang benjang) dituntut keberanian. Dalam permainan benjang tidak ada penimbangan badan terlebih dahulu dan tidak ada batas waktu permainan. Jadi, seseorang yang berbadan kecil dan kurus, apabila ia berani, dapat saja bertanding dengan orang yang bertubuh besar dan tinggi. Dan, apabila fisiknya masih kuat, para pemain akan tetap bermain hingga ada salah satu yang kalah.

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan benjang biasa dilakukan di tempat terbuka seperti halaman rumah atau lapangan pada pagi atau malam hari. Apabila permainan dilakukan pada pagi hari, umumnya dimulai sekitar pukul 07.00 sampai dengan pukul 09.00. Sedangkan, apabila dilakukan pada malam hari biasanya dimulai dari pukul 20.00 hingga pukul 24.00.

Peralatan yang digunakan dalam permainan benjang adalah: (1) seperangkat waditra yang terdiri dari: sebuah gendang besar, sebuah kulanter, empat buah terbang, kecrek, terompet, sebuah bedug, pingprung, kempring, kempul; (2) busana pemain yang terdiri dari: celana kolor dan kaus kutang (untuk pemain), pakaian silat (untuk pemimpin), baju kampret, celana pangsi, dan ikat kepala dari kain batik (untuk penabuh); dan (3) sesajen yang terdiri dari: kelapa muda, telur ayam, beras, minyak kelapa, cerutu, air kopi, rujak (pisang, kelapa, asem, gula merah), arang, dan kemenyan yang ditaruh di dalam pakuruyan1.

Aturan Permainan
Aturan permainan benjang tergolong sederhana, yaitu apabila seorang pemain berada dalam posisi terlentang dan ditindih oleh lawan mainnya, maka ia dinyatakan kalah. Sedangkan, orang yang menindihnya dinyatakan menang.

Selain aturan kalah-menang, ada aturan-aturan lain yang harus ditaati oleh setiap pemain, yaitu: tidak boleh mencolok mata, mencekik, menggigit, “mengambil” kaki lawan dan lain sebagainya yang dianggap dapat membahayakan lawan.

Jalannya Permainan
Permainan benjang diawali dengan pembacaan doa atau mantra yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Sambil bersila dan membaca doa, di depan pemimpin tersebut disediakan sesajen dan dibakarkan kemenyan. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar selama pertunjukan berlangsung para pemain maupun penonton terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Selesai membacakan doa atau mantra barulah alat pengiring ditabuh sebagai tanda dimulainya permainan benjang. Selanjutnya, para pemain akan masuk ke dalam arena sambil ngibing (menari) dengan mengenakan kain sarung. Setelah selesai menari dan telah saling berhadapan, mereka akan membuka kain sarungnya masing-masing hingga tinggal mengenakan celana pendek saja.

Selanjutnya, penabuh akan mulai memainkan waditranya dengan irama bamplang, yaitu semacam irama padungdung dalam pencak silat. Irama bamplang ini merupakan tanda bagi para pemain untuk segera memulai permainan. Para pemain kemudian akan mulai menyerang lawannya dengan menggunakan seluruh teknik yang dikuasainya, seperti: (1) nyentok (menghentakkan kepala); (2) ngabeulit gigir, hareup dan bakun; (3) dobelson; (4) engkel mati; (5) angkat; (6) dengkekan; (7) hapsay (ngagebot) dan lain sebagainya.

Apabila dalam permainan tersebut seseorang dapat mengunci hingga lawannya berada di bawah dengan posisi terlentang, maka wasit akan segera menghentikan pertandingan, dan si pengunci dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Benjang, sebagai suatu seni bela diri yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat, jika dicermati mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain: kesehatan, kerja keras, kedisiplinan, kepercayaan diri, dan sportivitas.

Nilai kesehatan tercermin dari gerakan atau teknik-teknik yang dilakukan, baik ketika sedang berlatih maupun bertanding. Dalam hal ini, gerakan-gerakan dalam bermain benjang harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga otot-otot tubuh akan menjadi kuat dan aliran darah pun menjadi lancar. Ini akan membuat tubuh menjadi kuat dan sehat.

Nilai kerja keras tercermin dari usaha untuk menguasai teknik-teknik yang ada dalam seni bela diri benjang. Tanpa kerja keras mustahil teknik-teknik tersebut dapat dikuasai secara sempurna.

Mempelajari seni bela diri benjang juga memerlukan kedisiplinan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap aturan-aturan perguruan. Tanpa kedisiplinan diri dan taat serta patuh kepada aturan-aturan perguran, akan sulit bagi seseorang untuk menguasai seni bela diri ini secara sempurna.

Mempelajari seni bela diri benjang, sebagaimana seni bela diri lainnya, berarti mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, baik demi keselamatan dirinya maupun orang lain yang memerlukan pertolongannya. Dengan menguasai benjang seseorang akan menjadi percaya diri dan karenanya tidak takut gangguan dan atau ancaman dari pihak lain.

Untuk “mengasah” ilmu benjang setiap muridnya, sebuah perguruan seni bela diri pada umumnya mengadakan latih-tanding dan pertandingan. Dalam latih-tanding atau pertandingan tersebut tentu diperlukan adanya sikap dan perilaku yang sportif dari para pelakunya, sebab akan ada yang kalah dan menang. Nilai sportivitas tercermin dari pemain yang kalah akan mengakui keunggulan lawan dan menerimanya dengan lapang dada. (pepeng)

Foto: http://kipsaint.com
Sumber:
Sariyun, Yugo, dkk,. 1992. Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Bandung: Depdikbud.
http://silat.blogsome.com
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive