Kanjeng Dalem Cikundul atau Raden Aria Wira Tanu Datar atau Pangeran Panji Natakusumah atau Pangeran Jayalalana atau Raden Ngabehi Jayasasana adalah bupati pertama yang juga seorang penyebar agama Islam di daerah Cianjur. Beliau lahir pada sekitar tahun 1603 Masehi di Cibodas, Desa Dayeuh Kolot, Kawadanaan Sagalaherang (sekarang Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) dari ayah yang bernama Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana.
Mengenai asal usul Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana sendiri terdapat dua versi yang berbeda. Versi pertama berasal dari Syah (2008) yang menyatakan bahwa Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna adalah anak seorang Senopati Kerajaan Talaga bernama Pangeran Setya Pati Aria Kikis putera sulung Pucuk Umum Telaga. Beliau pernah memimpin pasukan Talaga berperang melawan pasukan Cirebon dan Demak yang dianggap akan menyerobot wilayah kedaulatan Kerajaan Talaga. Dalam peperangan itu pasukan Pangeran Aria Kikis Sunan Wana Perih berhasil menghalau pasukan Cirebon dan Demak walau jumlah mereka lebih besar.
Namun, karena terjadinya perang tersebut dianggap sebagai suatu kesalahpahaman, maka Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon Sang Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah pun akhirnya datang ke Talaga untuk meluruskan permasalahan. Singkat cerita, terjadilah kemufakatan di Keraton Ciburang bahwa Talaga akan tunduk pada kekuasaan Kanjeng Sinuhun Cirebon Sang Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah.
Kanjeng Sinuhun Cirebon lalu menitahkan kepada Pangeran Setya Pati Aria Kikis untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat serta menyerahkan senjata pusaka bernama Tumbak Sicuntang Barang sebagai tanda tunduknya Kerajaan Talaga. Beliau kemudian juga menyuruh Pangeran Setya Pati Aria Kikis untuk bertafakur di kampung halamannya di Leuweung Wana (sekarang Kampung Wanaperih, Desa Kagok, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka) agar lebih mendalami ajaran agama Islam. Sedangkan kerajaannya tetap dibiarkan berdiri yang kepemimpinannya diayomi langsung oleh Kanjeng Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah.
Sekembalinya ke Leuweung Wana Pangeran Setya Aria Pakis segera bertafakur dan hidup di jalan Allah. Di sana beliau dianugerah enam orang putera dan puteri. Putera bungsunya diberi nama Raden Kanarun yang setelah besar mendapat gelar dari Keraton Kesultanan Cirebon menjadi Raden Kiyai Aria Wangsa Goparana (Wangsa = dinasti, Gopa = pemanggul/pemimpin, Rana = perang). Selain mendapat gelar kebangsawanan, Raden Kanarun juga mendapat julukan Eyang Nangkaberuit karena berdiam di daerah Nangkabeurit, Sagalaherang.
Sedangkan versi lainnya berasal dari situs resmi pemerintah Kabupaten Cianjur (www.cianjurkab.go.id) menyatakan bahwa saat Kerajaan Talaga (Galuh) direbut oleh Cirebon pimpinan Kanjeng Waliyullah Pangeran Syarif Hidayatullah dari tangan Pajajaran dalam rangka penyebaran ajaran Islam sekitar tahun 1529, para petinggi kerajaan Talaga (termasuk Sunan Ciburang, ayahanda Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparana), tetap memilih untuk menganut agama lama (Hindu). Sementara sang anak, Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna, memilih untuk memeluk agama baru yang dibawa oleh prajurit Cirebon.
Oleh karena kepindahannya ke Islam tidak direstui oleh Sang ayah, Kanjeng Kiyai Aria Wangsa Goparna memilih untuk pergi dari Talaga menuju ke Sagalaherang (sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Subang). Di Sagalaherang beliau mendirikan sebuah pondok pesantren untuk menyebarkan ajaran Islam hingga wafat pada akhir abad ke-17 di Kampung Nangkabeurit. Beliau mempunyai beberapa orang putera, yaitu: Jayasasana, Candramanggala, Santaan Kumban, Yudanagar, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti.
Khusus untuk sang putera sulung, yaitu Jayasasana, konon memiliki keanehan-keanehan tersendiri yang ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai tanda bahwa ia akan menjadi “orang besar”. Misalnya, beberapa minggu sebelum kelahirannya, di langit sebelah Tenggara muncul sebuah bintang kemukus berwarna kuning keemasan dengan ekornya menunjuk ke arah qiblat. Kemudian, ketika lahir diketahui bahwa jari tengah dan telunjuk pada kedua tangannya sama besar dan tinggi, sehingga diramal oleh Aki dan Nini ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (sekarang Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) bakal menjadi Raja Sunda. Dan, sejak burey (sekitar usia 3 tahun) dianggap telah memiliki panca indera luar biasa dan dapat mendeteksi segala sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh orang kebanyakan.
Saat berusia 8 tahun Pangeran Jayasasana/Jayalalana disekolahkan ayahnya ke Pesantren Amparan Jati Cirebon di bawah Panembahan Ratu Sultan Cirebon selaku pucuk pimpinannya. Di sana beliau belajar ilmu keagamaan, keperwiraan, siasat dan ilmu kemasyarakatan sehingga setelah lulus mendapat gelar “Aria” sekaligus kedudukan Ngabehi selaku punggawa Keraton Cirebon dengan nama Raden Ngabehi Jayasasana.
Gelar kebangsawanan juga diperoleh lagi dari Keraton Cirebon saat usianya menginjak 23 tahun menjadi Aria Wira Tanu. Gelar tersebut diberikan karena Jayasasana diangkat menjadi Senapati di Kesultanan Cirebon. Selain itu, beliau juga diserahi tugas membawa sekitar 300 umpi (kepala keluarga) ke bekas wilayah Kerajaan Pajajaran di sekitar Sungai Cikundul Leutik (sekarang Desa Cijagang) untuk mencegah gangguan dari Belanda yang bermarkas di Tanjungpura, Karawang. Wilayah ini sebelumnya dikuasai oleh Pangeran Adipati Ewangga yang ditinggalkan karena diangkat menjadi Adipati Kuningan.
Ternyata kepemimpinan Kanjeng Aria Wira Tanu tidak hanya terbatas di daerah Cikundul Letuik saja, karena beliau juga dinobatkan menjadi Raja Gagang atau Raja Pegunungan oleh para penguasa di bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah. Penobatan ini bermula ketika Prabu Boros Ngora atau Pangeran Sanghiang Boros Ngora atau Prabu Jampang Manggung (Raja Panjalu) mengundang para penguasa bekas wilayah Pajajaran Girang dan Tengah (Sukabumi dan Cianjur) untuk bermusyawarah pada Rabiul Awal 1076 H atau 24 September 1665 M. Adapun tempat musyawarahnya adalah di Keramat Pasamoan Gunung Rompang (bagian Pegunungan Bangreng), Desa Loji, perbatasan antara Ciemas dan Pelabuhanratu. Tujuannyaa adalah untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman Belanda dengan berpegang pada falsafah “sapu lidi”.
Dalam pertemuan tersebut dicapai sebuah kesepakatan secara aklamasi untuk mengangkat Kanjeng Aria Wira Tanu (Dalem Cikundul) sebagai pemegang “gagang sapu lidi” dengan gelar Raga Gagang atau Raja Pegunungan. Para penguasa daerah yang hadir dan memutuskan kesepakatan itu, diantaranya adalah: Syekh Dalem Haji Sepuh Prabu Jampang Manggung atau Syekh Haji Mulia, atau Syeh Aulia Mantili atau Haji Soleh dari Negeri Singacala; Raden Sanghyang Panaitan, Adipati Sukawayana, Raden Widaya, Pangeran Rangga Sinom dari Negeri Sedang; Dalem Adipati Lumaju Gede Nyilih dari Negeri Cimapag; Dalem Nalamata dari Negeri Cipamingkis; Adipati Hyang Jayaloka dari Negeri Cidamar; Hyang Jatuna dari Negeri Kandangwesi Garut; Adipati Hyang Krutuwana dari Negeri Parakantilu; Kanjeng Kiyai Aria Wangsamerta dari Tarikolot Cikartanagara dan Hyang Manda Agung dari Negeri Sancang.
Agar mendapat perhatian dari pihak Belanda, Raja Gagang kemudian menyerahkan sebuah surat kepada Sersan Scipio, seorang serdadu Belanda yang tengah melakukan pengukuran terhadap bekas Kerajaan Pajajaran. Isi suratnya menyatakan bahwa Kerajaan Pegunungan tidak akan tunduk kepada siapa pun, kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan surat Raja Gagang ini ternyata memang mendapat perhatian Belanda dengan mencantumkannya dalam buku De Priangan jilid dua halaman 130 dari Degregister Belanda tanggal 14 September 1666 Masehi.
Ternyata eksistensi Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul sebagai penguasa Cianjur maupun sebagai Raja Gagang atau Raja Pegunungan diakui oleh Pihak Belanda. Hal ini terbukti dari diundangnya beliau oleh Guberbur Jenderal Johannus Camphuis untuk menghadiri resepsi serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Cornelis Speelman kepada Johannus Camphuis pada tahun 1684 di Batavia (Syah, 2008). Waktu itu, karena berhalangan hadir, Sembah Dalem Cikundul diwakili oleh puteranya yang bernama Natadimanggala atau Aria Kidul.
Kepemimpinan Raden Aria Wira Tanu Cikundul sebagai Bupati Cianjur berlangsung antara tahun 1640-1686. Beliau diperkirakan wafat pada usia sekitar 90 tahun (antara 1681-1706) dengan meninggalkan 10 orang anak, yaitu: Dalem Anom (Aria Natamanggala), Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), Dalem Aria Tirta, Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong), Nyai Mas Kaluntar, Nyai Mas Karangan, Nyai Mas Djenggot dan Nyai Mas Bogem.
Selain itu, beliau juga memiliki isteri dari bangsa jin bernama Nyi Tina Dewi Srina (perwujudan dari tiga jin perempuan bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari), puteri dari Kiyai Ubaedi Raja Jin Islam dari Negeri Batu Agung Tengger Agung Sagalaherang. Pernikahan ini terjadi ketika Dalem Cikundul masih berusia 22 tahun dan masih bergelar Raden Ngabehi Jayasasana atau Pangeran Jayalalana. Dari pernikahannya dengan Nyi Tina Dewi Srina, beliau dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Raden Eyang Suryakancana yang sekarang dipercaya hidup di alam jin dan bersemayam di Gunung Gede, Nyi Mas Endang Kancana alias Nyai Sukaesih Carangcangkancana alias Nyai Mas Kara yang bersemayam di Gunung Ciremai, dan terakhir ada yang mengatakan Raden Andaka Warusajagad (laki-laki) dan ada pula Nyai Mas Endang Radja Mantri (perempuan).
Setelah Kanjeng Dalem Cukundul Wafat, tampuk kepemimpinan Cianjur dilanjutkan oleh para keturunannya hingga bangsa Indonesia Merdeka dan jabatan bupati ditunjuk oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan sekarang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada). Adapun nama-nama Bupati dari awal berdirinya Cianjur hingga sekarang, adalah: (1) 1640-1692 Rd. Aria Wira Tanu Cikundul (Dalem Cikundul); (2) 1684-1707 Rd. Aria Wiramanggala (Rd. Aria Wira Tanu Tarikolot); (3) 1707-1726 Rd. Aria Astra Manggala (Rd. Aria Wira Tanu Dicondre); (4) 1726-1761 Rd. Aria Wira Tanu Datar Sabirudin; (5) 1761-1776 Rd. Aria Wira Tanu Datar Mukhidin; (6) 1776-1813 Rd. Aria Wira Tanu Datar Nokh; (7) 1813-1833 Rd. Aria Adipati Prawiradireja; (8) 1833-1834 Rd. Tumenggung Wiranagara; (9) 1834-1863 Rd. Aria Adipati Kusumah Ningrat (Dalem Pancaniti); (10) 1863-1910 Rd. Aria Adipati Sentot Alibasah; (11) 1910-1912 Rd. Demang Nata Kusumah; (12) 1912-1920 Rd Aria Adipati Wiranata Kusumah; (13) 1920-1932 Rd. Aria Suriadiningrat; (14) 1932-1934 Rd. Sunarya; (15) 1934-1943 Rd. Aria Surianata Atmadja; (16) 1943-1945 Rd. Adi Wikarta; (17) 1945-1945 Rd. Yasin Partadireja; (18) 1945-1946 Rd. Iyok Mohamad Sirodj; (19) 1946-1948 Rd. Abas Wilaga Somantri; (20) 1948-1950 Rd. Ateng Sanusi Nata Wiyogya; (21) 1950-1952 Rd. ahmad Suriadi Kusumah; (22) 1952-1956 R. Ahyad Penna; (23) 1956-1957 R. Holan Sukmadiningrat; (24) 1957-1959 Rd. Muryani Nata Atmadja; (25) 1959-1966 R. Apung Purawijaya; (26) 1966-1966 Letkol Rachmat; (27) 1966-1969 Letkol Sarmada; (28) 1969-1970 R. Godjali Gandawidura; (29) 1970-1978 Drs. H. Achmad Endang; (30) 1978-1983 Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja; (31) 1983-1988 Ir. H. Arifin Yoesoef; (32) Drs. H. Eddi Soekardi; (33) 1988-1996 Drs. H. Harkat Handiamihardja; (34) 1996-2001 Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi; dan (35) 2001-2006 Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (rivafauziah.wordpress.com).
Bertolak dari peranannya sebagai pendiri, pemimpin dan penyebar agama Islam di Cianjur itulah maka setelah meninggal dunia dianggap oleh sebagian warga masyarakat Cianjur sebagai leluhur mereka. Makamnya yang berada di Kampung Majalaya pun akhirnya diziarahi dengan berbagai macam tujuan. Oleh Pemda Cianjur, komplek makam itu kemudian dijadikan sebagai obyek wisata ziarah yang saat ini kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah di sektor pariwisata cukup besar dan menempati peringkat kedua setelah Kebun Raya Cibodas.
Sumber:
“Sejarah Cianjur”, diakses dari http://rivafauziah.wordpress.com/2007/06/14/se jarah-cianjur/, tanggal 10 Februari 2009.
Syah, Irwan, Cc. 2008. Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar. Cianjur