Alkisah, dahulu di daerah Minahasa ada sebuah gunung menjulang tinggi. Pada bagian utara dan selatan gunung dikuasai oleh dua orang tonaas. Tonaas wilayah utara memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Marimbaouw. Sementara tonaas wilayah selatan dikaruniai seorang putra bernama Maharimbouw.
Keduanya memiliki umur yang tidak terpaut jauh. Sayangnya mereka tidak saling kenal karena tempat tinggal yang dipisahkan oleh gunung. Jadi, Marimbaouw dan Maharimbouw hidup bersama klennya masing-masing hingga tumbuh dewasa dan siap meneruskan kepemimpinan orang tuanya.
Perbedaan keduanya hanyalah pada perspektif gender yang dianut klennya. Maharimbouw diposisikan sebagai seorang laki-laki patriark yang menjadi pusat kekuasaan. Dia dicitrakan sebagai pengambil keputusan, kuat, jantan, berani, bersifat pelindung, pantang menyerah dan rasional. Berdasar konstruksi sosial tadi Maharimbouw bebas melakukan aktivitas di luar rumah, baik siang maupun malam serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya sehingga memungkinkannya secara fisiologis, sosiologis, maupun pasikologis tumbuh sebagai pribadi kuat dan mandiri.
Sementara Marimbaouw awalnya diposisikan berkenaan dengan peran domestik perempuan dalam rumah tangga. Namun, karena dia adalah anak satu-satunya, maka mau tidak mau harus menjalankan pula peran sebagaimana layaknya laki-laki karena kelak harus menjadi tonaas menggantikan ayahandanya. Oleh karena itu, walau banyak laki-laki datang melamar, Marimbaouw menolak dengan halus sebelum dirinya siap menjadi tonaas.
Bahkan, saking seriusnya ingin menjadi tonaas Marimbaouw sampai mengubah penampilan secara total layaknya seorang laki-laki. Dengan demikian, dia pun bebas melakukan aktivitas layaknya laki-laki seperti mempelajari ilmu bela diri, berburu di hutan, dan lain sebagainya.
Suatu hari, ketika sedang mengasah ilmu berburunya di hutan dia ditangkap oleh Maharimbouw yang kebetulan tengah berjaga di daerah perbatasan. Dia pun diiterogasi karena dikira sebagai mata-mata yang dikirim dari daerah utara.
Merasa dirinya bukanlah seorang mata-mata Marimbaouw tentu saja menyangkal tuduhan Maharimbouw. Terjadilah adu mulut di antara keduanya yang berujung pada perkelahian. Marimbaouw dan Maharimbouw sama-sama mengeluarkan jurus andalan untuk mengalahkan satu sama lain.
Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika Maharimbouw menyerang ke arah wajah, tanpa disengaja mengenai bagian belakang kepala Marimbaouw sehingga rambut hitamnya yang panjang menjadi terurai dan menampakkan wajah aslinya.
Seketika Maharimbouw langsung menghentikan serangan. Dia berdiri kaku menyaksikan kecantikan Marimbaouw yang tengah sibuk merapikan rambutnya kembali. Dan, dengan hati masih berdegup kencang dia meminta maaf karena mengira Marimbaouw adalah orang yang sengaja diutus untuk memata-matai aktivitas tonaas wilayah selatan.
Selanjutnya, dia mempersilahkan Marimbaouw pulang kembali ke rumahnya. Namun, dia berharap agar Marimbaouw mau menemuinya kembali di tempat ini beberapa minggu ke depan. Maharimbouw telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Bak gayung bersambut, harapan Maharimbouw ternyata ditanggapi oleh Marimbaouw. Dan, semenjang itu mereka kerap berjumpa di perbatasan. Benih-benih cinta akhirnya mulai muncul di antara keduanya.
Beberapa bulan kemudian Maharimbouw memutuskan untuk melamar Marimbaouw. Sayangnya, lamaran itu ditolak dengan alasan Marimbaouw sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum menjadi tonaas menggantikan ayahnya.
Begitu seterusnya, setiap kali bertemu alasan itu yang dimunculkan. Maharimbouw selalu saja membujuknya untuk melanggar sumpah hingga suatu saat Marimbaouw luluh dan akhirnya menerima. Mereka menikah secara diam-diam tanpa dihadiri orang tua dari kedua belah pihak.
Walhasil, baru beberapa hari menikah dampaknya mulai terasa. Akibat Marimbaouw melanggar sumpah wilayah dua tonaas tiba-tiba dilanda gempa bumi dahsyat yang menyebabkan bebatuan besar dari puncak gunung berjatuhan. Sejurus kemudian puncak gunung yang memisahkan kedua tonaas tiba-tiba menyemburkan lahar panas.
Tidak lama setelahnya, entah dari mana, datanglah air bah yang menenggelamkan seluruh wilayah bagian utara dan selatan di sekitar gunung tinggi itu. Lama-kelamaan kedua daerah itu menjadi sebuah danau besar yang oleh masyarakat kemudian dinamakan sebagai Tondano.
Diceritakan kembali oleh ali gufron