(Cerita Rakyat Daerah Banten)
Panongan merupakan salah satu desa yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang. Menurut cerita yang berkembang pada masyarakat setempat, nama desa ini berasal dari kata “panoongan” (bahasa Sunda) yang berarti “sesuatu untuk dilihat”. Konon, sebelum menjadi sebuah desa, dahulu hidup seorang perempuan cantik bernama Nyai Menong. Sang Nyai hidup seorang diri di sebuah kawasan yang menjadi tempat perlintasan orang-orang dari berbagai kampung.
Oleh karena memiliki paras cantik jelita, Nyai Menong banyak dilirik para lelaki yang kebetulan melintasi depan rumahnya. Lama kelamaan, kawasan di sekitar rumah Nyai Menong dinamakan sebagai “Hulu Panoongan” karena hampir setiap laki-laki akan menyempatkan diri untuk noong (melihat) Sang Nyai. Tunjuannya bermacam-macam, mulai dari hanya sekedar mengagumi paras cantiknya, kemolekan lekuk tubuhnya atau aktivitas kesehariannya.
Aktivitas noong itulah yang kemudian menjadi sebuah arena bagi para jawara mengadu ilmu kanuragan guna merebut hati Sang Nyai. Di antara mereka ada dua orang jawara kelas kakap, yaitu Ki Banteng dan Ki Banjir. Saking kakapnya tempat petilasan mereka saat ini menjadi makom keramat yang ramai dikunjungi para peziarah. Mereka tidak hanya datang ngalap berkah di kedua makom tersebut, melainkan juga ke dua tempat lain di sekitar makom yang dinamakan sebagai Sumur Tujuh dan Telapak Sujud.
Seiring waktu nama panoongan oleh masyarakat setempat dilafalkan menjadi panongan dan menjadi sebuah desa dengan pemimpin pertamanya bernama Ki Angko. Pemimpin selanjutnya adalah Ki Janaan (1941-1949), Hasyim (1949-1957), Amat (1957-1965), H. Ahmad (1965-1981), Dadang Hermawan (1981-1989), Rais (1989), Suhendi (1999-2007), Suadi (2007-2013), dan Suhendi (2013-2020). (gufron)