Wayang cecak merupakan sebuah kesenian yang tumbuh dan berkembang di daerah Kepulauan Riau. Konon, kesenian ini bermula dari kalangan orang Tionghoa yang bermukim di Tanjungpinang dan Daik-Lingga. Namun dalam perkembangannya orang-orang Tionghoa itu sendiri hampir tidak mengenalnya lagi. Justru kalangan orang Melayulah yang menyerap dan menumbuhkembangkannya.
Henri Chamber-Loir, yang dikutip oleh Raja Hamzah Yunus (1994) mengatakan bahwa Wayang Cecak merupakan bentuk drama yang dimainkan oleh perempuan dewasa. Berdasarkan apa dipertunjukkan, kesenian ini dapat dikatakan sebagai teater boneka yang dimainkan dengan dua jari telunjuk. Wayangnya, yang notabene adalah bonekanya itu sendiri, dibuat dari kain perca dengan tinggi kira-kira sejengkal (tidak lebih besar dari cecak). Oleh karena itu, permainan ini disebut sebagai Wayang Cecak. Adapun cerita yang sering dipentaskan berkisar tentang cinta yang berakhir dengan duka (tokohnya selalu menemui ajal). Judul ceritanya antara lain Siti Zubaidah dan Selendang Delima.
Di masa kini, dapat dikatakan, hanya seorang bernama Khadijah Terung yang mengetahui banyak (menguasai) tentang wayang cecak. Dia tinggal di sebuah desa di Pulau Penyengat, sebuah pulau yang tidak lepas dari kesejarahan Melayu, karena pernah menjadi salah satu pusat Kerajaan Melayu Riau-Lingga dengan peninggalan-peninggalannyanya yang masih dapat dijumpai sampai hari ini, seperti masjid sultan yang kemudian disebut sebagai Masjid Penyengat dan Makam Engku Puteri.