Kondisi Lingkungan Alam
Kepulauan Riau, sebagai nama sebuah provinsi yang tergabung dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan namanya, provinsi ini terdiri atas ribuan pulau (1.062 buah), baik besar maupun kecil, berpenghuni maupun belum. Pulau-pulau yang termasuk besar antara lain: Bintan, Karimun, Singkep, Lingga, dan Natuna. Luas wilayahnya mencapai 250.162 kilometer persegi. Sijori Pos (Ahad, 23 Juni 2002) malah menyebutkan lebih dari itu, yaitu 251.810,71 kilometer persegi. Sangkin banyaknya, maka masyarakat setempat mengibaratkannya sebagai segantang lada, sehingga muncullah istilah “bumi segantang lada” untuk menyebut daerah Kepulauan Riau.
Wilayahnya yang relatif luas itu sebagian besar (95,79%) terdiri atas perairan. Sedangkan, selebihnya berupa dataran yang berbukit-bukit tetapi pantainya landai. Di sana-sini dihiasi oleh bebatuan pra-tersier yang berupa metamor dengan sedimen yang terbatas. Jenis tanahnya pada umumnya terdiri atas: organosol dan clay, humik, podsol, podsolik, lotosol, dan latosol yang mengandung granit (Pemda TK. II Kepulaun Riau, 1997: 4). Iklim yang menyelimutinya adalah tropis dengan temperatur terendah 23 derajat Celcius dan tertinggi 30 derajat Celcius. Kelembaban udaranya sekitar 88 derajat, sedangkan curah hujannya rata-rata 2.000 milimeter per tahun.
Dengan jenis tanah yang dimilikinya, memang Kepulauan Riau kurang cocok untuk budidaya tanaman pangan. Demikian juga tanaman komoditas lainnya, seperti: karet dan kelapa sawit, kecuali menggunakan teknologi modern atau canggih yang tentunya membutuhkan modal yang besar. Keadaan yang demikian, setidaknya sampai saat ini, pada gilirannya membuat kebutuhan akan sayur-mayur dan malahan beras harus didatangkan dari luar. Hampir sebagian besar kebutuhan hidup masayarakat Kepulauan Riau didatangkan dari luar, baik dalam negeri (Sumatera dan Jawa) maupun luar negeri, terutama negeri jiran (tetangga). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika barang-barang kebutuhan sehari-hari relatif lebih tinggi (mahal) dibandingkan dengan daerah lainnya, kecuali Batam yang lebih tinggi. Namun demikian, Huzrin Hood (Mantan bupati Kepulauan Riau) mengatakan bahwa potensi yang terkandung dalam buminya sangat menjanjikan (Sijori Pos, Ahad, 23 Juni 2002, hal 9). Apa yang dikatakan oleh Huzrin Hood, adalah tidak mengada-ada (lihat juga Be Julianery, Kompas, Selasa, 20 Agustus 2002, hal. 8, kol. 1--4). Di daerah Karimun misalnya, di sana tersimpan kekayaan alam yang berupa timah dan granit; di Bintan tersimpan kekayaan alam yang berupa pasir dan bauksit; dan di Natuna tersimpan kekayaan alam yang berupa gas alam yang konon terbesar di dunia. Ini masih ditambah dengan kekayaan laut (ikan) yang melimpah, walaupun belum dikelola secara professional dan pengamanan yang intensif, sehingga di sana-sini seringkali diambil oleh penangkap ikan asing. Selain itu, itu dewasa ini di Bintan, tepatnya di Lagoi, ada kawasan pariwisata yang hotel-hotelnya bertaraf internasional. Konon, lapangan golfnya terbesar di Asia Tenggara. Dan, masih ada lagi kawasan industri berada di Lobam.
Sebagaimana masyarakat tropis lainnya, masyarakat Kepulauan Riau juga mengenal musim kemarau dan penghujan. Selain musim yang umumnya dikenal oleh masyarakat tropis itu, mereka juga mengenal adanya musim yang didasarkan pada arah angin. Pada saat-saat angin bertiup dari arah utara, maka pada saat-saat itu disebut sebagai musim utara. Ketika angin bertiup dari arah selatan, maka pada saat-saat itu disebut sebagai musim selatan. Kemudian, pada saat-saat angin bertiup dari arah timur, maka pada saat-saat itu disebut sebagai musim timur. Dan, pada saat-saat angin bertiup dari arah barat, maka pada saat-saat itu disebut sebagai musim barat. Dengan demikian, mereka mengenal adanya musim utara, selatan, timur, dan barat. Musim utara yang terjadi pada bulan November sampai dengan Februari (4 bulan) ditandai oleh angin yang sangat kencang. Kecepatannya dapat mencapai 15 sampai dengan 30 knots. Musim selatan yang berlangsung selama 2 bulan (Juli sampai dengan Agustus) ditandai oleh udara yang panas, karena angin yang berhembus pada bulan-bulan tersebut hanya berkisar 8 sampai dengan 20 knots. Musim timur yang terjadi pada bulan Maret sampai dengan Juni (4 bulan) juga ditandai oleh udara yang panas, karena angin yang berhembus rata-rata 12 knots. Dan, musim barat yang terjadi pada bulan September sampai dengan Oktober (2 bulan) ditandai oleh udara yang lembab (teduh) dan laut yang tenang. Sebagai catatan, setiap pergantian musim ada saat-saat peralihan yang disebut sebagai musim pancaroba.
Latar Belakang Sejarah
Di masa lampau daerah Kepulauan Riau tidak hanya strategis, tetapi juga sarat dengan Sumber Daya Alam (SDA) ini pernah menjadi salah satu pusat kerajaan Melayu, yakni Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Peninggalan-peninggalannya sampai hari ini masih dapat dijumpai di Penyengat dan Daik-Lingga. Adanya peninggalan-peninggalan kesejarahan itulah yang kemudian menjadikan nama Penyengat dan Daik-Lingga tidak lepas dari pembicaraan orang. Apalagi, di pulau yang relatif kecil itu (Penyengat) terlahir seorang pujangga kerajaan yang salah satu karyanya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, bahkan mancanegara. Pujangga itu adalah Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya.
Di awal kemerdekaan, Kepulauan Riau juga tidak lepas dari pembicaraan orang, terutama karena mata uang yang dipergunakan sebagai alat tukar bukan rupiah sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Dengan alat tukar yang menggunakan mata uang asing (Malaysia dan Singapura) membuat kehidupan masyarakatnya relatif lebih baik ketimbang masyarakat yang berada di daerah sekitarnya, malahan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mata uang yang dipergunakan memiluku nilai tukar yang lebih tinggi ketimbang rupiah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kepulauan Riau pada waktu itu dapat diibaratkan bagaikan “gula”, sehingga banyak para pendatang yang ingin “kecipratan” rezeki di sana. Mubyarto (1985) menyebutkan bahwa ketika itu seorang pegawai negeri yang dipindahtugaskan ke sana merasa sangat beruntung. Ibaratnya bagaikan “mendapat durian yang runtuh” atau ketiban “rezeki nomplok”. Zaman yang sangat indah dan menyenangkan itu sering disebut sebagai “zaman dollar”. Zaman itu berakhir ketika Indonesia bersitegang dengan Malaysia (Konfrontasi Malaysia tahun 1963). Pada tahun yang bersamaan pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moneter yang intinya tidak memberlakukan lagi mata uang asing (Malaysia dan Singapura) sebagai alat tukar resmi masyarakat Kepulauan Riau. Sejak itulah, untuk sementara, seakan-akan Kepulauan Riau “tenggelam” dan tidak begitu banyak dibicarakan orang lagi.
Di tahun 80-an, Batam yang pada mulanya masih berupa hutan dan karenanya jarang disebut-sebut orang, menjadi kekuatan dahsyat yang digerakkan oleh otorita. Pembangunan fisik secara besar-besaran dilakukan di sana, sehingga nama Kepulauan Riau (baca Tanjungpinang) semakin tenggelam. Orang lebih tahu Batam ketimbang Tanjungpinang. Padahal di masa lalu, orang lebih mengenal Tanjungpinang ketimbang Batam. Namun dewasa ini, khususnya sejak dicanangkannya Batam-Bintan dan sekitarnya dijadikan sebagai kawasan industri dan pariwisata, nama Kepulauan Riau, sedikit demi sedikit, mencuat kembali. Lobam menjadi kawasan industri, sementara Lagoi menjadi kawasan pariwisata terbesar di Asia Tenggara. Dan, masyarakat dari berbagai daerah pun kembali berdatangan guna mengadu nasib, mengejar kehidupan yang lebih baik ketimbang di daerahnya sendiri.
Kepulauan Riau semakin menarik dan dibicarakan orang ketika tahun 1999 masyarakatnya menyelenggarakan musyawarah besar (Mubes) guna meningkatkan kesejahteraannya. Musyawarah yang diselenggarakan di kilometer 10 (batu 10), tepatnya di Hotel Royal Palace, tanggal 15 Mei 1999, membuahkan tekad (keputusan) bahwa Kabupaten Kepulauan Riau mesti dimekarkan, baik horizontal maupun vertikal. Satu dari sejumlah alasannya adalah kondisi geografis Kepulauan Riau, yang jika masih bergabung dengan Provinsi Riau, maka rentang kendali pemerintahannya tidak efektif dan efisien. Dan, jika ini dipertahankan, Kepulauan Riau akan semakin ketinggalan dibanding dengan daerah lain yang tergabung dalam Propinsi Riau.
Buah dari Mubes itu adalah terwujudnya beberapa kecamatan bergabung dan menjadi Kabupaten Karimun. Kemudian, beberapa kecamatan yang berada di kawasan Pulau Tujuh bergabung dan menjadi Kabupaten Natuna. Sementara itu, Tanjungpinang yang pada mulanya hanya sebuah kota administratif, kini telah berubah status menjadi kota otonom. Dengan perkataan lain, pemekaran secara horizontal hampir seluruhnya terwujud. Sedangkan, pemekaran secara vertikal (provinsi) adalah terwujudnya wilayah Kepulauan Rian menjadi sebuah provinsi sendiri (lepas dari Provinsi Riau).
Kondisi Sosial-budaya
Kondisi sosial-budaya suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan faktor geografis, kependudukan, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, ada baiknya jika kita lihat sekilas tentang sejarah atau persebaran orang yang kemudian kita sebut sebagai “Melayu”. Berkenaan dengan ini Melalatoa menyebutkan bahwa sesudah zaman es terakhir datanglah sekelompok orang yang bercirikan ras weddoid ke Nusantara, termasuk ke daerah Riau. Sampai sekarang sisa-sisa mereka masih ada, yakni orang: Sakai, Hutan, dan Kubu yang kemudian disebut sebagai “orang asli”. Dalam kurun waktu 2.500 sampai dengan 1.500 Sebelum Masehi datanglah orang-orang yang kemudian disebut sebagai Proto Melayu. Melalui Semenanjung Melayu mereka menyebar ke Sumatera. Sisa-sisa mereka yang kemudian dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut juga masih dapat ditemukan di daerah Riau. Gelombang berikutnya (masih menurut Melalatoa) adalah yang terjadi sesudah tahun 1.500 Sebelum Masehi. Mereka kemudian disebut sebagai Deutro Melayu (Melalatoa, 1986:190).
Sementara itu, Suparlan, berdasarkan catatan ahli kepurbakalaan (Van Heakeren dan Soekmono), menambahkan bahwa sebelum orang Melayu datang ke Nusantara (ke daerah Riau), sebenarnya di sana telah ada penduduknya. Bahkan, menurutnya bukan hanya ras Weddoid semata, tetapi juga Austroloid. Berdasarkan catatan itu, Suparlan menduga bahwa penduduk yang tergolong sebagai ras Weddoid dan Austroloid itu masuk ke pedalaman karena terdesak oleh orang-orang Proto Melayu. Sementara itu, orang-orang Deutro Melayu (yang datang pada gelombang migrasi berikutnya) juga mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman, sehingga terdapat percampuran antara orang-orang Weddoid, Austroloid, dan Proto Melayu. Selain itu, ada orang-orang Proto Melayu yang melarikan diri ke pedalaman, dan ada juga yang hidup berdampingan, bercampur-baur dengan orang-orang dari Deutro Melayu (Suparlan, 1995: 39--40). Dari berbagai pendapat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Orang Melayu bukan merupakan orang-orang yang berasal dari satu ras tertentu, melainkan merupakan percampuran dari berbagai ras, baik yang berkulit hitam maupun kuning.
Mengingat bahwa tumbuh dan berkembangnya Orang Melayu tidak lepas dari kesejarahannya, Suparlan (1995), berdasarkan Suwardi MS, mengkronologiskan sejarah Riau ke dalam 7 masa. Pertama, masa pengaruh Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai dengan akhir abad ke-13. Kerajaan di Muara Takus diduga merupakan kerajaan yang mewakili dalam menguasai kerajaan-kerajaan kecil di Riau waktu itu. Kerajaan-kerajaan kecil itu kemudian bebas dan berdiri sendiri setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya. Kedua, masa kemerdekaan kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu suatu masa dimana kerajaan-kerajaan Melayu Riau tidak dikuasai oleh suatu kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Bintan-Temasik (Kepulauan Riau), Malaka (Semenanjung Melayu), Kandis-Kuantan, Gasib-Siak, Kritang-Indragiri, Rokan, Segati, Pekan Tua, dan Andiko Nan 44 Kampar. Ketiga, masa prosesnya kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu suatu masa dimana kerajaan-kerajaan kecil Melayu tersebut berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Keempat, masa kepunahan kerajaan-kerajaan Melayu, yaitu suatu masa dimana sebagian besar kerajaan-kerjaan Melayu tersebut mengalami kepunahan yang sampai saat ini belum diketahui sebab-sebabnya, dan karenanya perlu penelitian yang mendalam. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Kandis, Segati, Pekan Tua, dan Gasib. Kelima, masa munculnya kerajaan-kerajaan besar, yaitu suatu masa bermunculaannya kerajaan-kerajaan besar. Kerajaan-kerajaan itu adalah: Siak Sri Indrapura, Indragiri, dan Pelalawan. Keenam, masa kerajaan Riau-Lingga, yaitu suatu masa munculnya Kerajaan Riau-Lingga yang kemudian jaya menggantikan Johor, namun kemudian menghilang dan runtuh kekuasaannya dengan kekuasaan Belanda di Indonesia. Dan, ketujuh, menjelang kemerdekaan Indonesia, yaitu suatu masa dimana terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti: Siak Sri Indrapura, Indragiri, Pelalawan, Rokan, Sengingi, Kampar Kiri, dan Kuantan.
Faktor kesejarahan ditambah dengan letak geografisnya yang langsung berbatasan dengan negara jiran (Malaysia dan Singapura), dan masih ditambah lagi dengan berada di sekitar jalur perdagangan dan atau pelayaran internasional (Selat Malaka), maka pada gilirannya membuat orang Melayu terbiasa mengadakan kontak dengan unsur dan atau pendukung kebudayaan asing. Kontak-kontak itulah yang kemudian mempengaruhi corak kebudayaan1) orang Melayu itu sendiri.
Di Indonesia pemusatan orang Melayu yang terbesar adalah di wilayah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Sedangkan, di Asia Tenggara berpusat di Semenanjung Malaka. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengacu pada pusat-pusat kerajaan setempat di masa lampau atau dengan nama lokalitas yang secara tradisional dikenal dalam kaitannya dengan pusat-pusat Kerajaan Melayu. Acuan tersebut pada gilirannya membuahkan orang Melayu menyebut dirinya berasal dari tempat atau kerajaan dimana orang tersebut berada. Di Malaysia misalnya, mereka mengenal adanya Melayu-Malaka, Melayu-Johor dan seterusnya. Sedangkan di Indonesia (baca di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau), sebutan yang tidak jauh berbeda, adalah: Melayu-Siak, Melayu-Indragiri Hulu, Melayu-Daik, Melayu-Penyengat, dan lain sebagainya. Di masa kini, disadari atau tidak, ada kecenderungan, terutama sesama Melayu, menyebut dirinya sebagai seseorang yang menempati daerah administrasi tertentu. Dengan demikian, ada Melayu-Kampar, Melayu-Siak, dan lain sebagainya, termasuk Melayu-Kepulauan Riau. Berkenaan dengan penyebutan itu, maka yang dimaksud dengan masyarakat Melayu-Kepulauan Riau adalah pendukung kebudayaan Melayu yang secara administratif berada di Provinsi Kepulauan Riau.
Salah satu yang membedakan antara Orang Melayu dan non-Melayu, terutama di masa lampau, adalah pola kehidupannya yang berorientasi pada kelautan2). Pola tersebut pada gilirannya membuat kebanyakan komuniti (pemukiman) mereka tumbuh dan berkembang di tepian pantai atau sungai-sungai besar (Sungai Siak misalnya) yang dapat dilalui oleh kapal-kapal yang relatif besar. Komuniti-komuniti itu kemudian menjadi pusat-pusat perdagangan dan pelayaran, serta satuan pengamanan jalur-jalur pelayaran internasional di kawasan Asia Tenggara.
Konon, orang Melayu pada dasarnya mempunyai jiwa pedagang dan kemaritiman yang tidak berbeda dengan orang Bugis-Makassar. Hal itu tercermin dari bahasanya yang dipergunakan sebagai lingua franca dalam perdagangan dan atau pergaulan di hampir semua kawasan Nusantara. Ini artinya, orang Melayu juga mengenal teknologi pembuatan kapal yang dapat menjelajahi laut lepas. Sebab jika tidak, bagaimana bahasanya bisa tersebar begitu luas? Sementara, alat transportasi yang memungkinkan pada waktu itu adalah kapal-kapal yang relatif besar. Akan tetapi, karena faktor politik, yaitu ketika Kerajaan Melayu dikuasai oleh bangsa asing (Belanda), orang Melayu dilarang membuat kapal yang besar. Namun Belanda membolehkan mereka untuk membuat kapal-kapal yang kecil hingga sedang yang ditujukan bukan untuk mengarungi lautan lepas, tetapi untuk berlayar antarpulau di wilayah Kepulauan Riau. Dan, inilah yang kemudian menjadi berbeda dengan orang Bugis-Makassar yang sampai sekarang orientasinya adalah laut lepas, sehingga teknologi perkapalan yang ditumbuhkembangkan adalah untuk kapal-kapal yang dapat mengarungi lautan lepas (Pinisi).
Pemusatan-pemusatan komuniti orang Melayu yang kebanyakan berada di tepian pantai dan atau sungai-sungai besar itu, apalagi berada di sekitar jalur pelayaran internasional, mau tidak mau, suka atau tidak, mereka sering kontak dengan orang-orang non-Melayu (baca pendukung kebudayaan lain). Oleh karena itu, sangat beralasan jika S. Boedhisantoso dan Parsudi Suparlan (1985) mengatakan bahwa komuniti Orang Melayu merupakan daerah terdepan dalam kaitannya dengan kontak-kontak kebudayaan asing. Dan, sangat beralasan pula jika kedua antropolog itu mengatakan bahwa Orang Melayu sebenarnya yang paling awal mengenal agama Islam.
Respon suatu masyarakat terhadap kebersinggungan (kontak-kontak) dengan budaya asing dapat berupa asimilasi dan akulturasi. Asimilasi dapat terjadi apabila dalam kontak-kotak budaya itu membuahkan budaya baru yang sama sekali berlainan dengan kedua atau lebih budaya yang bersinggungan tadi. Sedangkan, akulturasi dapat terjadi apabila satu dengan lainnya saling menyerap unsur-unsur kebudayaan yang berbeda. Dalam kenyataannya, asimilasi jarang terjadi (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah terjadi); yang sering terjadi adalah akulturasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan kontaknya orang Melayu dengan non-Melayu, apalagi orang Melayu paling awal bersinggungan dengan agama Islam, kalau ajaran-ajaran Islam meresap dalam tradisi yang berlaku dan menyelimuti berbagai upacara dan tindakan-tindakan simbolik orang Melayu. Inilah yang kemudian membuahkan label bahwa orang Melayu identik dengan Islam. Artinya, orang Melayu yang tidak menganut agama Islam adalah bukan orang Melayu lagi. Dengan perkataan lain, orang tersebut telah “keluar dari Melayu”. Demikian membuminya label itu, sehingga orang Tionghoa yang menganut agama Islam, yang bersangkutan disebut atau menyebut dirinya sebagai “masuk” atau “menjadi Melayu”. Bahkan, masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing pun akan mengatakan demikian jika masuk Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh orang Sakai (Suparlan, 1995), keculai orang Luat yang tampaknya semakin bangga dengan budayanya. Hal ini tercermin, walaupun mereka masuk Islam, tetapi mereka tetap menamakan diri sebagai orang Laut. “Kami orang Laut tetapi kami beragama Islam…” demikian pengakuannya (Galba, 1997).
Terbiasanya kontak dengan dunia luar (baca budaya asing) juga pada gilirannya membuat struktur masyarakatnya longgar dan budaya terbuka. Ini, paling tidak, tercermin dari diterimanya orang Arab dan Bugis ke dalam struktur masyarakatnya, dengan gelar wan dan raja. Bahkan, orang Bugis yang telah menjadi Melayu dapat menjadi sultan (Kerajaan Riau-Lingga yang berpusat di Daik-Lingga dan Penyengat). Sementara itu, keterbukaan pada gilirannya juga membuat orang Melayu mengakomodasikan dan sekaligus menyerap unsur-unsur budaya lain, sepanjang unsur-unsur tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, adat-istiadat, dan sopan-santun Melayu. Mengapa? Karena sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa roh budaya Melayu adalah Islam. Sehubungan dengan itu, orang Melayu sering mengungkapkan dirinya sebagai orang yang beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, dan berbahasa Melayu.
Sumber:
Ahmad, A. Samad. 1985. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
Junus, Hasan. 1988. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX.Pekanbaru: UIR Pres.
Mubyato, dkk.1993. Riau Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Aditya Media.
Marden, William. 1999. Sejarah Sumatera. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparlan, Parsudi dan S. Boedhisantoso. 1986. Masyarakat Melayu dan Kebudayaan. Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Riau.
1) Masyarakat dan kebudayaan dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya, dan sebaliknya. Oleh karena itu, betapa pun sederhananya suatu masyarakat pasti akan menumbuhkembangkan kebudayaan yang pada gilirannya dijadikan acuan dalam menanggapi lingkungannya dalam arti luas (alam, sosial, dan binaan). Ini bermakna apa yang disebut sebagai kebudayaan ruang lingkupnya sangat luas, seluas aspek kehidupan manusia itu sendiri, sehingga definisi yang berkenaan dengan kebudayaan juga sangat banyak, bergantung dari sisi mana seseorang melihatnya. Salah satu diantaranya dan yang dijadikan acuan dalam penulisan ini adalah yang didefinisikan oleh Parsudi Suparlan. Kebudayaan, menurut Beliau, didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh masyarakat yang digunakan sebagai pedoman atau blueprint bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai pedoman kehidupan, maka kebudayaan digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menghasilkan terwujudnya tindakan-tindakan yang bermakna dalam menghadapi lingkungan tersebut untuk dapat memanfaatkannya. Setiap kebudayaan terdiri atas sistem-sistem kategorisasi, yaitu untuk mengkategorisasikan dirinya dan lingkungan-lingkungan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang sistem-sistem pengkategorisasiannya menghasilkan konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan. Konsep-konsep tersebut bukan hanya pengetahuan tetapi juga teori-teori dan metode-metode untuk mengkategoriasasikan dan untuk merangkai konsep-konsep yang terseleksi. Konsep-konsep terseleksi yang dirangkai akan menjadi sebuah konsep baru dan atau teori serta metode baru yang relevan kegunaannya dengan permasalahan yang ada dalam lingkungan yang dihadapi. Operasionalisasi dari suatu kebuadayaan di dalam kehidupan masayarakat adalah melalui pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pranata yang merupakan sebuah sistem antarhubungan norma-norma dan pranata itu terwujud karena digunakan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat tersebut.
2) Pengertian kelautan (laut) di sini adalah laut yang di sana-sini terdapat ratusan, bahkan ribuan pulau, baik yang besar maupun kecil, berpenghuni atau belum, sesuai dengan geografis Propinsi Riau, khususnya Kabupaten Kepulauan Riau.