Pendahuluan
Silungkang adalah sebuah desa di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat, Indonesia. Desa kecil yang luasnya sekitar 4800 hektar ini penduduknya sebagian besar bermatapencaharian dalam bidang pertanian (padi dan palawija). Dahulu, hasil pertaniannya tidak hanya dipasarkan di daerah sekitarnya saja, tetapi juga ke provinsi lain, malahan sampai ke Pahang (Malaysia). Konon, ketika memasarkan hasil-hasil pertanian ke daerah Pahang (sekitar abad ke-19), mereka tertarik pada tenun songket yang ada di sana. Oleh karena itu, ketika pulang ke daerahnya (Silungkang), mereka membawanya.
Terdorong untuk mencari penghasilan lain yang lebih besar dari pertanian, mereka tertarik juga untuk membuat tenun songket sendiri. Untuk itu, mereka mulai mempelajari proses pembuatannya mulai dari alat tenun, benang, konstruksi tenunan sampai proses pewarnaannya. Demikian, sehingga akhirnya mereka dapat membuat kain songket yang kemudian dikenal sebagai Songket Silungkang.
Dewasa ini pengrajin tenun Songket Silungkang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain saja. Akan tetapi, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey, baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja (“hemd”), tussor (bahan tenun diagonal), dan taplak meja polos.
Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Silungkang sama dengan tenun Pandai Sikek. Peralatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “panta”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), sisia (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat khusus untuk menenun songket), di depannya diberi dua buah tiang yang berfungsi sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk menggulung kain yang sudah ditenun. Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah alat bantu yang digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat tersebut adalah penggulung benang yang disebut ani dan alat penggulung kain hasil tenunan yang berbentuk kayu bulat dengan panjang sekitar 1 meter dan berdiameter 5 cm.
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu. Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau benang pakan. Benang tersebut satuan ukurannya disebut pak. Benang lusi dan makao itu pada dasarnya berbeda, baik warna, ukuran maupun bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias kain songket terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda dengan tenun latarnya. Di Silungkang dan Pandai Sikek tenunan dasar atau latar biasanya berwarna merah tua (merah vermillion), hijau tua, atau biru tua.
Motif ragam hias Songket Silungkang selain dibentuk dengan benang mas, juga dengan benang berwarna lainnya. Oleh sebab itu, terdapat dua macam kain songket yaitu: (1) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang mas; dan (2) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk bukan dari benang yang berwarna emas. Kain songket yang motifnya dibuat dengan benang mas pemasarannya relatif terbatas karena harganya mahal dan pemakaiannya hanya pada saat ada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagak gala (penobatan penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting. Sedangkan, kain songket jenis kedua yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas karena jenis ini tidak hanya untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak meja dan hiasan dinding.
Sebagai catatan, pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan secara tradisional. Caranya, sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna. Kemudian, benang diberi zat pemutih (soda abu). Zat itu dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia atau apotek. Setelah itu, benang itu dibagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan. Proses selanjutnya adalah mencelupkan benang tersebut ke air panas (mendidih) yang telah diberi zat pewarna tertentu (sesuai selera atau pesanan), kemudian dijemur. Saat ini proses pewarnaan dengan cara-cara tersebut sudah jarang dilakukan sebab penenun dapat langsung membeli benang-warna yang telah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil.
Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Tahap kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlay weaving system”. Pada tahap pertama benang-benang yang akan dijadikan kain dasar dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat Silungkang disebut “benang tagak”. Setelah itu, benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebut palapah.
Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang tagak direnggangkan lagi dengan palapah. Pemasukkan benang-benang yang arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih dibantu dengan alat yang disebut pancukia. Setelah itu, pengrajin menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang makao (benang mas atau benang yang berwarna lain). Ragam hias tenun diciptakan dengan teknik menenun yang dikenal dengan teknik pakan tambahan atau suplementary weft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan dengan alat yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang makao itu harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang makao itu dibuat dengan pancukie, maka ruang untuk meletakkan turak itu diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.
Sebenarnya lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter.
Sebagai catatan, kain songket tidak boleh dilipat, tetapi harus digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang mas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi.
Motif Ragam Hias Tenun Songket Silungkang
Kekayaan alam Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam hias biasanya diberi nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar.
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah: Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-Kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigo belah, Kain Balapak Gadang, Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, Sisiak dan lain-lain. Sedangkan untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain. Melihat bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut juga memiliki makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “pucuak rabuang”. Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil sudah berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebung masih kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia).
Nilai Budaya
Tenun Songket Silungkang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya digunakan pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara batagak gala (penobatan penghulu) dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus. (gufron)
Foto: http://iklanmax.co
Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.facebook.com
http://www.silungkang.com
Silungkang adalah sebuah desa di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat, Indonesia. Desa kecil yang luasnya sekitar 4800 hektar ini penduduknya sebagian besar bermatapencaharian dalam bidang pertanian (padi dan palawija). Dahulu, hasil pertaniannya tidak hanya dipasarkan di daerah sekitarnya saja, tetapi juga ke provinsi lain, malahan sampai ke Pahang (Malaysia). Konon, ketika memasarkan hasil-hasil pertanian ke daerah Pahang (sekitar abad ke-19), mereka tertarik pada tenun songket yang ada di sana. Oleh karena itu, ketika pulang ke daerahnya (Silungkang), mereka membawanya.
Terdorong untuk mencari penghasilan lain yang lebih besar dari pertanian, mereka tertarik juga untuk membuat tenun songket sendiri. Untuk itu, mereka mulai mempelajari proses pembuatannya mulai dari alat tenun, benang, konstruksi tenunan sampai proses pewarnaannya. Demikian, sehingga akhirnya mereka dapat membuat kain songket yang kemudian dikenal sebagai Songket Silungkang.
Dewasa ini pengrajin tenun Songket Silungkang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain saja. Akan tetapi, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey, baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja (“hemd”), tussor (bahan tenun diagonal), dan taplak meja polos.
Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Silungkang sama dengan tenun Pandai Sikek. Peralatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “panta”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), sisia (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat khusus untuk menenun songket), di depannya diberi dua buah tiang yang berfungsi sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk menggulung kain yang sudah ditenun. Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah alat bantu yang digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat tersebut adalah penggulung benang yang disebut ani dan alat penggulung kain hasil tenunan yang berbentuk kayu bulat dengan panjang sekitar 1 meter dan berdiameter 5 cm.
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu. Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau benang pakan. Benang tersebut satuan ukurannya disebut pak. Benang lusi dan makao itu pada dasarnya berbeda, baik warna, ukuran maupun bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias kain songket terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda dengan tenun latarnya. Di Silungkang dan Pandai Sikek tenunan dasar atau latar biasanya berwarna merah tua (merah vermillion), hijau tua, atau biru tua.
Motif ragam hias Songket Silungkang selain dibentuk dengan benang mas, juga dengan benang berwarna lainnya. Oleh sebab itu, terdapat dua macam kain songket yaitu: (1) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang mas; dan (2) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk bukan dari benang yang berwarna emas. Kain songket yang motifnya dibuat dengan benang mas pemasarannya relatif terbatas karena harganya mahal dan pemakaiannya hanya pada saat ada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagak gala (penobatan penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting. Sedangkan, kain songket jenis kedua yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas karena jenis ini tidak hanya untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak meja dan hiasan dinding.
Sebagai catatan, pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan secara tradisional. Caranya, sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna. Kemudian, benang diberi zat pemutih (soda abu). Zat itu dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia atau apotek. Setelah itu, benang itu dibagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan. Proses selanjutnya adalah mencelupkan benang tersebut ke air panas (mendidih) yang telah diberi zat pewarna tertentu (sesuai selera atau pesanan), kemudian dijemur. Saat ini proses pewarnaan dengan cara-cara tersebut sudah jarang dilakukan sebab penenun dapat langsung membeli benang-warna yang telah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil.
Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Tahap kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlay weaving system”. Pada tahap pertama benang-benang yang akan dijadikan kain dasar dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat Silungkang disebut “benang tagak”. Setelah itu, benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebut palapah.
Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang tagak direnggangkan lagi dengan palapah. Pemasukkan benang-benang yang arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih dibantu dengan alat yang disebut pancukia. Setelah itu, pengrajin menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang makao (benang mas atau benang yang berwarna lain). Ragam hias tenun diciptakan dengan teknik menenun yang dikenal dengan teknik pakan tambahan atau suplementary weft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan dengan alat yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang makao itu harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang makao itu dibuat dengan pancukie, maka ruang untuk meletakkan turak itu diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.
Sebenarnya lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter.
Sebagai catatan, kain songket tidak boleh dilipat, tetapi harus digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang mas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi.
Motif Ragam Hias Tenun Songket Silungkang
Kekayaan alam Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam hias biasanya diberi nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar.
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah: Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-Kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigo belah, Kain Balapak Gadang, Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, Sisiak dan lain-lain. Sedangkan untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain. Melihat bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut juga memiliki makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “pucuak rabuang”. Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil sudah berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebung masih kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia).
Nilai Budaya
Tenun Songket Silungkang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya digunakan pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara batagak gala (penobatan penghulu) dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus. (gufron)
Foto: http://iklanmax.co
Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.facebook.com
http://www.silungkang.com