Raden Tjetje Somantri

Di daerah Wanayasa tidak hanya ada Ayi Kurnia Iskandar dan sejumlah seniman lain yang mengharumkan nama Purwakarta di tingkat Jawa Barat maupun Nasional. Jauh sebelum generasi Ayi dan kawan-kawannya ada seorang pelopor seni tari kreasi Sunda bernama Raden Tjetje Somantri. Pria bernama asli Raden Rusdi Somantri ini lahir pada tahun 1892 dari pasangan Raden Somantri dan Nyi Raden Siti Munigar.

Bakat seni Tjetje mulai muncul setelah lulus MULO dan masuk Voor Work OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtemaren) sebuah sekolah Pamong Praja bagi kalangan menak di Bandung (id.wikipedia.org). Selama bersekolah di OSVIA Tjetje gemar menari tayub. Bahkan saking gemarnya, dia sering bolos hingga akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikannya.

Walau tidak tamat sekolah, Sang paman, R Karta Kusumah (orang yang mengasuh Tjetje karena Raden Somantri meninggal dunia) memasukkannya sebagai pegawai kecamatan di Wanayasa. Namun, karena sering mangkir untuk berlatih tari, dia diberhentikan. Begitu juga ketika Sang paman memasukkannya menjadi Mantri Polisi Kehutanan, Tjetje tetap melakukan hal yang sama. Bahkan, ketika bekerja sebagai pegawai Bank Denis (De Earste Nederlandsche Indische Spaarkas en Hipotheek Bank) tahun 1918, Tjetje juga tidak betah dan keluar untuk memfokuskan diri mempelajari seni tari (clikberita.com).

Adapun seni tari yang paling awal didalami Tjetje adalah Tayub. Tari ini dipelajarinya dari Aom Doyot (R Gandakusumah) pada sekitar tahun 1911. Menurut 18news.id/, selain Aom Doyot ada beberapa maestro tari lagi yang dijadikan guru oleh Tjetje, di antaranya adalah: Aom Menin (Camat Buahbatu yang ahli Wayang Wong), Wentar dan Koncer (Tari Topeng Cirebon), Sudiani dan Sujojo (pelatih tari Perkumpulan Tirtayasa dan Sekar Pakuan yang ahli tari Jawa), serta Elang Oto Denda Kusumah (tari topeng Cirebon). Jenis tarian lain yang juga dipelajari Tjetje adalah Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Menak Koncar, Panji, Topeng Pamindo, Topeng Kelana, serta Kendit Birayung.

Jalan hidup Tjetje mulai beralih dari hanya sekadar menari menjadi seorang koreografer ketika bertemu dengan pegawai Jawatan Kebudayaan Jawa Barat, yaitu RM Suyignya dan Tb Umay Martakusumah yang menjadikannya sebagai salah satu pengajar tari di BKI (Badan Kebudayaan Indonesia). Selama di BKI inilah satu demi satu tari kreasi Sunda mulai dibuatnya, di antaranya adalah: Dewi (1946), Anjasmara I dan II (1946), Kendit Birayung (1947), Puragabaya (1947), Dewi Serang dan Sulintang (1948), Komala Gilang Kusumah (1949), Ratu Graeni (1949), Topeng Koncaran (1949), Srigati (1949), Golek Purwokertoan (1950), Rineka Sari (1951), Kukupu (1952), Sekar Putri (1952-1954), Merak (1955), Golek Rineka (1957), Nusantara (1958), Anjasmara III (1958), Renggarini (1958), dan lain sebagainya (budaya-indo.com).

Tari ciptaan Tjetje tadi dianggap sebagai pembaharu tarian Sunda yang telah ada. Berkat kreasi barunya yang sebagian besar diperuntukkan bagi kaum perempuan, Tjetje berhasil merubah imej penari perempuan (ronggeng) menjadi lebih terhormat. Oleh karena itu, dia pun mendapat penghargaan berupa Piagam Wijaya Kusumah dari pemerintah. Dan, untuk tetap melestarikannya, hingga sekarang sejumlah tari kreasinya masih dipentaskan di berbagai event dalam maupun luar negeri. Bahkan, ada juga yang menjadikan sebagai bahan ajar di sekolah seni dan perguruan tinggi (SMKI Bandung, ISBI Bandung, dan UPI Bandung).
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive