(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di negeri Berau ada seorang raja arif dan bijaksana. Dia bercita-cita ingin membuat negeri aman serta seluruh rakyatnya hidup sejahtera. Untuk itu, diangkatlah sebagian rakyatnya yang dianggap pintar guna ditempatkan pada posisi menteri dan pegawai kerajaan. Pada hari-hari tertentu setiap bulannya Sang Raja memanggil mereka dalam sebuah rapat untuk mengetahui sejauh mana kebijakan-kebijakan yang diterapkan dapat meningkatkan keamanan serta kesejahteraan rakyat.
Anehnya, seluruh pejabat yang diundang rapat melaporkan bahwa kerajaan dalam keadaan baik. Rakyat dalam keadaan aman. Tidak ada satu pun kejahatan sepanjang Raja memerintah. Dalam dunia perdagangan, setiap hari kapal-kapal dagang datang dan pergi dari pelabuhan, baik itu menurunkan maupun menaikkan komoditi, sehingga rakyat tidak pernah kekurangan sandang dan pangan. Sementara dalam bidang kesehatan, rakyat dikabarkan dalam keadaan baik. Tidak ada penyakit berbahaya yang menjadi pandemi dan memakan banyak korban jiwa. Yang ada hanyalah penyakit-penyakit ringan dan dapat diatasi secara cepat oleh para tabib.
Begitu seterusnya, setiap kali rapat laporan para pembesar selalu menyampaikan hal-hal baik pada Raja. Padahal, kadi kerajaan hampir kerap kali melaporkan adanya pencurian, perampokan, dan bahkan pemunuhan sehingga penjara menjadi penuh. Oleh karena itu, agar dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya, dia berniat terjun langsung ke lapangan. Dengan demikian, dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat di kerajaannya.
Agar tidak diketahui, Raja mulai beraksi tepat tengah malam ketika sebagian besar penghuni istana tertidur lelap. Berbekal pakaian seadanya yang umum dikenakan orang kebanyakan, dia menyelinap keluar istana. Sepanjang pagi dikunjunginya kampung-kampung sekitar kerajaan. Dan, yang tampak adalah pemandangan rumah-rumah panggung kumuh berdinding papan serta beratap daun rumbia yang bagian bawahnya sebagian besar tergenang air.
Pada salah satu rumah yang sudah reot dan tampak hampir roboh terdengar suara anak kecil menangis. Sang kakak yang tadinya berada di kolong rumah bergegas menghampiri dan berusaha menghibur agar berhenti menangis dengan berkata pada ibunya bahwa sang adik lapar. Sementara dari dalam rumah Sang ibu menjawab kalau air tanakan beras sudah mendidih. Begitu seterusnya, setiap sang adik menangis kakaknya akan berkata seperti itu dan ibunya menjawab seperti itu tanpa ada nasi yang dihidangkan.
Heran melihat “pertunjukan” mereka, Sang Raja mendatangi rumah itu. Sampai di depan pintu dia disambut oleh seorang perempuan setengah baya pemilik rumah. Dia adalah seorang janda beranak dua yang telah lama ditinggal mati sang suami. Setelah dipersilahkan masuk, tanpa banyak basa-basi Sang Raja langsung menanyakan percakapan yang terjadi antara anak dan ibu tadi agar si bungsu tidak menangis, padahal nasi yang diminta tidak kunjung datang.
Melihat si penanya sangat berwibawa, walau berpakaian layaknya orang kebanyakan, Sang janda terdiam. Dia tidak berkata apa pun, hanya pandangannya diarahkan ke tungku tempat menjerang sebuah periuk tua yang airnya sudah mendidih. Di dekat tungku berserakan potongan-potongan kayu bakar. Sementara di sampingnya bergeletakan peralatan masak sederhana yang tampak jarang terpakai.
Penasaran melihat periuk mengepulkan asap, Sarang Raja meminta izin pada si janda untuk melihat isinya. Setelah dipersilahkan, Raja tertegun melihat isi periuk berupa batu kerikil dalam air yang sudah mendidih. Sebelum Raja sempat berkomentar, Si Janda sudah menyela dan mengatakan bahwa sejatinya selama beberapa minggu ini tidak pernah ada beras yang ditanak. Selama musim hujan sedang berlangsung, pekerjaannya sebagai buruh cuci dan atau penumbuk tepung menjadi sepi. Dia tidak dapat meminjam atau berhutang pada tetangga karena sebagian besar dari mereka juga berada dalam situasi serba kekurangan.
Mendengar penjelasan itu, kini giliran Sang Raja yang terdiam. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam pikiran yang intinya selama ini dia belum dapat mensejahterakan rakyat. Para pembesar yang diangkat ternyata hanya bermanis muka di depannya. Sementara dia sendiri terlanjur percaya laporan mereka tanpa melakukan cross check kembali atas laporan-laporan tersebut.
Atas kesalahan ini, raja kemudian mengubah kebijakannya. Hampir setiap minggu dia keluar istana bersama para pembesar yang tadinya menyatakan keadaan rakyat baik-baik saja. Mereka diperintah memperbaiki apa yang salah sesuai dengan jabatannya masing-masing. Sementara bagi sang janda yang telah memberikan kesaksian, diberikan pekerjaan tetap sebagai tukang cuci istana. Dan mulai sejak saat itu, dia dan kedua anaknya dapat hidup secara layak.
Diceritakan kembali oleh Gufron