(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di hulu Sungai Mahakam ada sebuah desa bernama Kembang Janggut. Penduduknya sebagian besar menggantungkan hidup dari malau atau mengumpulkan sejenis getah pohon. Salah satu dari mereka adalah adik beradik Pak Moga dan Pak Kunci. Suatu hari mereka ingin malau ke dalam hutan. Segala perbekalan dikumpulkan guna digunakan selama malau.
Malam hari sebelum berangkat Pak Moga mendapat mimpi yang dia anggap sebagai firasat atau pertanda buruk. Mimpi itu disampaikan pada Pak Kunci. Dia menyarankan agar malau ditunda keberangkatannya. Apalagi jika pergi membawa serta keluarga, kemungkinan terjadi hal tidak diinginkan menjadi bertambah besar karena fokus mencari malau akan menjadi terpecah bila sambil mengawasi anak-anak, istri, dan ipar.
Pak Kunci percaya dengan ucapan Pak Moga. Menurut nenek moyang terdahulu, bentuk mimpi yang dialami Pak Moga kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Namun, bagi ipar Pak Moga yang turut serta dalam pencarian malau, mimpi tadi hanyalah kembang tidur belaka dan tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Oleh karena itu, sambil bercanda dia pun menyindir mereka agar mengganti celana dengan sarung sebagai simbol “penakut”.
Tidak terima dengan sindiran itu, Pak Moga dan Pak Kunci mengurungkan niat untuk membatalkan malau. Mereka kemudian berangkat menggunakan perahu. Sampai di hulu pencarian getah pohon dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki hutan. Tengah hari mereka memilih tempat teduh untuk beristirahat melepas lelah sambil mengisi perut. Sebelum memasak Pak Kunci membuat tungku sederhana, sementara Pak Moga mencari kayu bakar.
Ketika Pak Moga sedang asyik membelah kayu, di antara pepohonan berkali-kali terdengar suara burung seset. Dia selalu berpindah dari satu pohon ke pohon lain di sekeliling Pak Moga sehingga membuatnya kesal dan melemparnya dengan mandau hingga mati.
Tidak berapa lama kemudian, lewatlah seekor kancil yang sedang mencari makan. Merasa ada makanan menghampiri, ditebasnya kancil itu hingga mati. Setelah itu, lewat pula seekor ular besar dan dipukul hingga mati pula oleh Pak Moga. Pikirnya, kedua daging binatang itu lumayan untuk dijadikan teman nasi.
Saat makan tiba Pak Moga berkata lagi bahwa selesai makan sebaiknya mereka kembali ke rumah. Rencana malau dibatalkan saja karena sudah seharian belum juga menemukan pohon untuk dimalau. Sang adik ipar yang sebelum berangkat memanasi Pak Moga dan Pak Kunci langsung menyela bahwa mereka sudah berjalan jauh. Jadi apabila tidak dilanjutkan akan sangat rugi karena telah membuang waktu dan tenaga. Dia mengusulkan agar mereka bermalam saja karena hari telah senja.
Esok harinya, sebelum matahari terbit dari ufuk timur mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang senja barulah menemukan pepohonan yang akan dimalau. Namun, karena matahari sudah mulai tenggelam Pak Moga memutuskan membangun pondok darurat untuk bermalam di tepi sungai tidak jauh dari lokasi malau. Sang istri disuruhnya memasak bekal makanan yang dibawa dari rumah.
Usai makan, Pak Moga dan Pak Kunci berdiskusi tentang pohon mana yang esok hari akan di malau. Sebab, banyak sekali pohon yang dapat dimalau sehingga harus dipilih mana di antaranya yang terbaik. Sementara sang isteri berada di bagian belakang pondok membersihkan perlengkapan makan dan merebus air sedangkan sang adik ipar di bagian depan menghangatkan badan di dekat api unggun.
Tatkala keduanya berdiskusi dari belakang pondok terdengar jeritan minta tolong. Ketika didatangi ternyata istri Pak Moga telah terkena tombak di bagian perut. Dia langsung digendong dan dibawa masuk. Namun, belum sempat mengobati luka sang istri, tiba-tiba terdengar pula jeritan dari depan pondok. Rupanya adik ipar Pak Moga juga terkena tombak hingga berlumuran darah. Dia juga dibawa masuk.
Melihat Sang istri dan adik ipar berlumuran darah Pak Moga menjadi murka. Sambil membawa mandau dia langsung keluar pondok dan berteriak menantang orang yang telah menombak keluarganya. Sejurus kemudian, dari kegelapan malam muncullah puluhan orang bersenjata tombak dan mandau. Tanpa basa basi Pak Moga langsung menyerang sehingga pertarungan tidak dapat dielakkan.
Walau tidak seimbang Pak Moga dapat menewaskan mereka satu demi satu. Dia memiliki ilmu kebal senjata mandau dan tombak sehingga tubuhnya tidak terluka sama sekali. Hal ini membuat para penyerang kewalahan dan sebagian melarikan diri. Beberapa di antaranya mencari bala bantuan pada orang-orang yang memiliki keahlian menggunakan senjata sumpitan. Harapannya, Pak Moga tidak kebal sumpitan sehingga dapat dilumpuhkan.
Selang beberapa waktu orang-orang yang melarikan diri tadi kembali menyerang tidak lama setelah Pak Moga dan Pak Kunci menguburkan jenazah istri dan ipar Pak Moga. Mereka dibantu oleh belasan ahli sumpit. Walhasil, walau kebal mandau dan tombak, Pak Moga akhirnya kewalahan juga. Matanya berhasil disumpit hingga menjadi buta. Sementara mandaunya terlempar ke dalam sungai.
Kebutaan Pak Moga tidak lantas membuat para penyerang menghentikan serangan. Mereka tetap menghujaninya dengan tebasan mandau dan tusukan tombak. Namun, Pak Moga tidak bergeming karena masih kebal terhadap kedua senjata tersebut. Tetapi dia sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Malahan dia menyarankan agar para penyerang mengambil mandaunya yang tercebur di sungai bila ingin membunuhnya. Hanya dengan mandau itulah Pak Moga dapat dikalahkan.
Singkat cerita, para penyerang beramai-ramai terjun ke sungai mencari mandau milik Pak Moga. Oleh karena badan penuh dengan luka tebasan mandau, maka sungai pun menjadi keruh dan berwarna merah darah. Mandau tidak berhasil ditemukan walau telah berjam-jam dicari hingga mereka bosan dan akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Pak Moga yang dianggap sudah tidak berdaya. Konon, sejak saat itu lokasi jatuhnya mandau Pak Moga tidak dapat ditumbuhi pepohonan besar. Kalaupun ada hanya berupa rerumputan yang tidak berwarna hijau melainkan kuning kemerahan.
Diceritakan kembali oleh Gufron