Perahu adalah satu dari sejumlah peralatan produksi melaut. Sebelum manusia pantai mengenalnya, mereka hanya menangkap ikan di pantai dengan menggunakan panah atau tangan kosong, terutama untuk menangkap kerang. Dalam perkembangannya, ketika pengetahuan dan pengalaman bertambah, mereka membuat peralatan agar dapat menangkap ikan yang lebih banyak di perairan yang lebih dalam dengan menggunakan alat tertentu yang kemudian kita kenal sebagai perahu. Hasil penelitian Horidge yang dikutip oleh Tri Sulistiyono (2010:15) menyebutkan ada dua jenis perahu yang digunakan oleh nelayan, yaitu jukung dan mayang.
Jukung adalah perahu kecil terbuat dari sebatang kayu yang dikeruk pada bagian tertentu, sehingga dapat difungsikan sebagai alat transportasi di perairan. Perahu jukung memiliki variasi ukuran yang berbeda dan nama yang berbeda. Jadi, antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Di daerah Brebes, Tegal, dan Pemalang misalnya, perahu jenis tersebut dikenal dengan nama jukung klitik; di Semarang dikenal dengan nama cemplon; di Surabaya dikenal dengan nama jaten; dan di daerah Subang dikenal dengan nama jukung lawak atau compreng. Oleh karena ukurannya kecil dan kemampuan navigasinya sangat sederhana, maka jukung biasanya hanya digunakan di perairan pantai yang dangkal dan teluk yang relatif tenang. Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman, jukung lawak mulai hilang dari peredaran karena kurang memiliki nilai ekonomis.
Sementara mayang adalah jenis perahu yang terbuat dari papan dengan ukuran panjang 12-30 meter dan lebar 4-8 meter. Oleh karena ukurannya besar, maka perahu ini digunakan untuk menangkap ikan di lepas pantai. Jumlah awak perahu yang mengopersikannya antara 5 hingga 50 orang. Sebagaimana jukung, mayang dalam perkembangannya juga memiliki variasi dalam ukurannya.
Di daerah Jawa Tengah perahu yang disebut sebagai jukung tidak ada lagi; yang ada adalah perahu yang termasuk dalam tipe atau kategori mayang. Kategori ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis, bergantung dari ukurannya serta peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan, yaitu: (1) mayangan, (2) permajangan, (3) bese, (4) konting, (6) menting, (7) kolek, (8) kolekan, (9) potik, (10) soppek; dan (11) bingkung.
Berdasarkan bentuknya mayang dibedakan menjadi dua, yaitu mayang yang bagian haluan serta buritannya dibuat melengkung dan mayang yang haluan dan buritannya tidak melengkung. Mayang dalam bentuk yang pertama disebut “mayang/mayangan/permajangan”, sedangkan mayang dalam bentuk yang kedua disebut “bingkung”. Di masa lalu kedua bentuk mayang tersebut terbuat dari kayu sengon atau loban atau barsiah karena seratnya kuat (tidak mudah pecah) dan ringan. Akan tetapi, dewasa ini pada umumnya menggunakan kayu jati karena dipandang lebih tahan air, kuat, serta memiliki “ruh”.
Pembuatan sebuah perahu mayang biasanya dikerjakan oleh empat atau lima orang tukang perahu dalam waktu sekitar satu sampai empat bulan. Seorang tukang dibayar Rp100.000,00/hari. Selain itu, tukang masih diberi makan, minum, dan rokok (biasanya rokok Gudang Garam Internasional atau Djarum Coklat). Sebelum pembuatan perahu, diadakan sebuah upacara "slametan" dengan sesajen berupa: tangkai tebu, untaian padi, telur wajar/endog bebek (telur bebek), air bunga, dan bambu kuning. Upacara ini bertujuan agar pembuatan perahu berjalan dengan lancar (selamet) dan agar “ruh” di dalam kayu jati tidak terganggu. Setelah pembuatan perahu selesai, pemilik mengadakan "syukuran" sekaligus menentukan jenis kelamin, pemberian nama, serta menurunkannya ke air atau jog. Adapun peralatan dan perlengkapan upacaranya berupa: cerutu, janganan, oncom, kembang tujuh rupa, daun kaling, nasi tumpeng, daun kelor, bantal, uang receh, buah-buahan (jeruk, salak, apel), dan ikan laut berukuran kecil. Perlengkapan dan peralatan upacara tersebut ada yang digunakan sebagai sesajen kepada penguasa laut. Sesajen diletakkan pada bagian haluan dan dibiarkan hingga mengering. Selain itu, ada yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin perahu, dan ada pula yang dibagikan kepada peserta upacara sebagai bancakan.
Jenis kelamin perahu ditentukan dengan cara menggelindingkan belahan batok kelapa dari bagian haluan menuju lambung. Apabila batok berhenti dalam keadaan tertelungkup, perahu dinyatakan berjenis kelamin laki-laki. Sebaliknya, bila tertengadah, jenis kelaminnya adalah perempuan. Penentuan jenis kelamin berhubungan erat dengan "ikatan jodoh" antara pemilik dengan perahunya. Pemilik yang sebelumnya telah mempunyai perahu berjenis kelamin laki-laki, maka perahu kedua harus perempuan. Namun, bila jenis kelamin antara perahu pertama dan kedua sama, salah satunya akan diserahkan kepada anak, saudara atau bahkan dijual ke nelayan lain. Nama perahu bergantung pemiliknya. Namun demikian, di balik nama ada sesuatu yang diharapkan. Nama “Jati Mulya” misalnya, di samping untuk menunjukkan bahwa perahu terbuat dari kayu jati, juga agar pemiliknya dapat hidup mulya (sejahtera). "Samudera Jaya" diharapkan agar perahu dapat berjaya menangkap ikan di laut. "Kumbang Sejati" diharapkan agar perahu tetap berlayar seperti angin yang selalu berhembus. Kemudian, “Untung Jaya” diharapkan dengan pemiliknya akan selalu beruntung. Dan, nama “Sinar Laut” dimaksud agar perahu selalu bersinar (mendapat tangkapan ikan yang banyak). Saat ini, nama-nama perahu yang mengandung unsur laut, angin, tanah, dan air umumnya ditulis di bagian lambung kapal, sementara di haluan atau buritan ditulis nama si pemilik atau bahkan nama seorang artis ndangdut.
Berbagai jenis perahu mayang di atas berukuran relatif kecil dengan daerah operasional kurang lebih 10 mil laut, sehingga waktu yang digunakan untuk menangkap ikan relatif singkat. Pada umumnya para nelayan berangkat subuh dan pulang sekitar pukul 15.00 WIB. Hasil yang diperoleh, sebelum dibagi, diambil untuk mengganti biaya perbekalan, seperti: solar, beras, es balok, bumbu dapur, indomie, gula, kopi, dan rokok. Sisanya baru dibagi dengan ketentuan 40 persen untuk juragan dan 60 persen untuk Anak Buah Kapal (ABK), dengan rincian juru mudi mendapat 2 bagian, juru mesin mendapat 1 1/4 bagian, juru pantau mendapat 1 1/4 bagian, dan anak buah (penarik dan penebar jaring, penyinar lampu) mendapat 1 bagian. Khusus untuk juru mudi, apabila juragan tidak ikut berlayar, akan mendapat 3 bagian. Akan tetapi, bila juragan ikut berlayar, juru mudi tetap mendapat 2 bagian, sementara juragan mendapat 1 bagian ditambah dengan 40 persen biaya operasional.
Bagi anak buah kapal (ABK) atau bidak, pembedaan pembagian hasil didasarkan atas kemampuan dalam mengoperasikan alat tangkap (perahu dan mesin) maupun mendeteksi keberadaan ikan. Juru pantau misalnya, berdasarkan indera pendengaran dan penglihatannya harus dapat mengetahui keberadaan ikan target tangkapan. Adapun caranya dapat dengan numbeng (mencelupkan bambu ke dalam air untuk mendengarkan pergerakan kawanan ikan), mengikuti kawanan burung yang sedang berburu ikan permukaan, menentukan lokasi keberadaan ikan berdasarkan pantulan cahaya plankton di malam hari, mengarahkan juru mudi ke lokasi penaburan jaring, dan lain sebagainya.
Sedangkan, yang hanya mendapat satu bagian adalah bidak yang bertugas sebagai penarik-turun jaring dan pensortir hasil tangkapan. Bidak kategori ini bersifat lepas, dalam artian dapat berpindah perahu. Jadi, apabila juragan satu tidak sedang melaut dapat pindah ke juragan lainnya yang akan melaut. Mereka ada yang memang berprofesi sebagai nelayan dan ada pula petani yang ingin mencari nafkah tambahan sambil menunggu sawah panen.