Asal Mula Ikan Pesut

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada sekelompok keluarga yang tinggal di daerah perbatasan Kotabangun dan Muara Muntai. Di antara mereka ada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang suami (bernama Ipung), istri, dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga Ipung bekerja sebagai nelayan dan juga berladang dengan menanam sayuran, padi, serta tanaman lahan kering lainnya.

Suatu hari Sang istri tidak pergi ke ladang. Hal ini oleh Ipung dianggap lumrah. Biasanya ketika Sang istri terlalu lelah bekerja akan menjadi tidak enak badan selama satu hingga tiga hari. Setelah itu dia akan sehat kembali seperti sedia kala. Menjelang pagi berangkat ke ladang dan sore harinya pulang sambil membawa sayur-mayur.

Namun kali ini berbeda. Sudah lebih dari tiga hari Sang istri hanya terbaring lemah di ranjang. Badannya mulai kurus karena tidak mau makan, muka pucat, lemah, dan diselingi dengan batuk-batuk. Ipung menjadi bingung. Pekerjaan di ladang terbengkalai sementara dia harus mengurus kedua anaknya sebelum berangkat mencari ikan.

Agar Sang istri lekas sembuh Ipung mendatangkan beberapa orang dukun guna mengobatinya. Tetapi bukannya sembuh, penyakit sang istri malah bertambah parah. Tubuhnya semakin hari semakin melemah dan akhirnya meninggal dunia. Hingga wafatnya, tidak ada seorang dukun pun mengetahui penyakit apa yang diderita oleh istri Ipung.

Semenjak ditinggal Sang istri Ipung terpaksa mengurusi kedua adaknya secara penuh. Selain itu,. dia tidak hanya bekerja mencari ikan tetapi juga mengerjakan ladang yang selama ini diusahakan oleh Sang istri. Begitu seterusnya hingga suatu hari desa mengadakan upacara adat erau sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.

Dalam upacara itu tidak hanya diisi oleh pemanjatan doa dan makan bersama, melainkan juga sebagai ajang berkenalan antara muda-mudi dalam bentuk menari dan menyanyi bersama. Ipung yang telah menduda tidak ketinggalan mengikutinya. Dia berpasangan dengan seorang pemudi cantik jelita.

Selesai menari bersama, Ipung berusaha mendekati si pemudi. Bak gayung bersambut, pendekatannya berhasil dengan baik. Si pemudi bersedia menjalin hubungan asmara. Selang beberapa bulan kemudian mereka menikah. Awalnya istri baru Ipung sangat rajin dan baik terhadap anak-anak tirinya. Tiap hari sebelum membantu Ipung di kenohan (danau) dan ladang dia selalu menyediakan makan bagi mereka.

Tetapi baru beberapa bulan menjadi istri Ipung watak aslinya mulai muncul. Dia kesal melihat anak-anak tirinya hanya diam di rumah saja. Sementara dia harus selalu menyiapkan makanan sebelum bekerja membantu Ipung. Oleh karena itu, jatah makan mereka dikurangi. Selain itu, mereka juga diharuskan mencari kayu bakar di hutan. Apabila jumlahnya kurang akan diberi hukuman.

Suatu hari hingga menjelang malam mereka hanya mendapatkan kayu bakar dalam jumlah yang sedikit. Takut bila mendapat hukuman dari Sang ibu tiri mereka memutuskan bermalam di hutan. Pagi harinya, sebelum mencari kayu bakar lagi mereka mencari pohon buah-buahan sebagai pengganjal perut.

Selagi mencari pepohonan yang buahnya dapat dimakan mereka bertemu dengan seorang lelaki tua. Sang lelaki tua heran mengapa ada anak kecil yang berani berada di dalam hutan belantara. Dia pun bertanya mengapa kedua anak itu berada di tempat yang jauh dari manusia. Apakah ayah dan ibu tidak mencari keberadaan mereka.

Ketika ditanya demikian, keduanya tidak mengatakan tujuan sebenarnya yaitu mencari kayu bakar. Mereka hanya mengatakan bahwa dari kemarin belum makan dan sedang mencari buah-buahan guna mengganjal perut. Namun, dari tadi tidak menemukannya karena hanya ada pohon-pohon besar dengan buah yang tidak dapat dimakan.

Merasa kasihan, Sang lelaki tua menyarankan agar pergi menuju arah utara. Di daerah itu banyak sekali pohon yang buahnya amat lebat. Tetapi mereka hanya boleh mengambilnya sekali saja dan langsung pergi dari sana. Sang lelaki tua tidak menjelaskan apa yang akan terjadi bila mereka mengambil buah sejumlah lebih dari dua kali. Padahal, apabila dilanggar maka keduanya tidak akan pernah bertemu dengan Ipung dan istri barunya.

Akibatnya, namanya juga anak kecil, ketika menuju arah utara dan menemukan pepohonan dengan buah yang sangat lebat mereka lupa akan pesan Sang lelaki tua. Keduanya makan begitu lahap sejumlah lebih dari satu buah. Bahkan, mereka juga memetik beberapa buah guna dijadikan sebagai bekal dalam perjalanan.

Selama perjalanan mencari kayu bakar, bila lapar mereka mengupas buah-buahan yang tadi dijadikan bekal. Begitu perbekalan habis barulah mereka memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah ternyata kedua orang tua tidak ada. Bahkan, seluruh peralatan di dalam rumah juga tidak ada. Tetangga yang kebetulan melihat adik-beradik itu sedang kebingungan lantas mendatangi dan mengatakan bahwa Ipunga dan istrinya telah pindah entah kemana.

Walau tidak tahu harus kemana mereka memutuskan mencari ayah dan ibu tirinya. Perjalanan yang ditempuh hampir mirip seperti ketika mencari kayu bakar. Berhari-hari berjalan namun tidak menemukan keberadaan Ipung dan istri barunya. Petunjuk baru ditemukan ketika berjumpa seorang kakek yang mengatakan bahwa di seberang sungai ada sebuah pondok yang baru didirikan oleh seseorang yang bernama Ipung. Sang kakek menambahkan, apabila hendak ke sana ada sebuah pohon roboh yang dapat digunakan sebagai “perahu” untuk menyeberang.

Singkat cerita, saran Sang kakek diindahkan sehingga dapat menyeberangi sungai dengan selamat. Sampai di seberang mereka langsung menuju pondok baru milik Ipung dan istrinya. Dan, sama seperti di pondok lama, Ipung dan istrinya tidak ada di rumah. Bedanya, di pondok yang baru tercium bau nasi pulut sedang ditanak.

Bau nasi pulut yang harum tentu membuat mereka menjadi sangat lapar karena telah berhari-hari lamanya hanya memakan bebuahan yang dijumpai di hutan. Oleh karena itu, tanpa menunggu si empunya rumah mereka langsung masuk pondok menuju dapur. Di dapur keduanya bergantian memakan nasi pulut yang masih sangat panas hingga tinggal keraknya saja.

Akibat lancang memakan pulut tanpa seizin pemiliknya, tubuh keduanya menjadi panas. Saking panasnya mereka berlari menuju sungai lalu menenggelamkan diri agar menjadi dingin. Apabila napas habis adik-beradik itu menyembulkan kelapa lalu menyelam lagi. Begitu seterusnya hingga secara ajaib, entah akibat apa, tubuh mereka secara perlahan berubah menjadi ikan yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai pesut.

Diceritakan kembali oleh gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive