(Cerita Rakyat Daerah Banten)
Alkisah, di daerah Banten Selatan ada seorang pangeran bernama Maulana Mansyuruddin atau dikenal juga dengan nama Sultan Haji. Beliau adalah putra Raja Banten Sultan Agung Abdul Fatah. Setelah Sang ayahanda lengser keprabon, Maulana Mansyuruddin didapuk menggantikannya menjadi Sultan Banten.
Namun, baru menjabat selama sekitar dua tahun beliau berencana ke jazirah Arab guna mendirikan negara Banten di Bagdad. Selama beliau pergi urusan pemerintahan Banten diserahkan pada putranya yang bernama Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Sang putra akan didampingi oleh para bangsawan istana sebagai penasihatnya.
Sebelum bertolak ke Bagdad beliau diamanati oleh Sultan Agung Abdul Fatah agar jangan memakai seragam kerajaan bila tidak ingin mendapat malu. Selain itu, selama perjalanan tidak boleh menyimpang arah alias harus langsung ke tempat tujuan. Satu-satunya tempat yang boleh disinggahi untuk beberapa lama hanyalah Mekkah. Itu pun apabila kebetulan melewatinya ketika pulang ke Banten.
Sampai di Bagdad ternyata berbeda dengan apa yang diharapkan. Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup mendirikan Negara Banten di sana. Dia pun kembali ke Banten. Dalam perjalanan pulang Beliau lupa akan wasiat Sang Ayahanda dan singgah di Pulau Menjeli, sebuah wilayah di negeri Cina. Di tempat itu beliau malah menikah dengan Ratu Jin. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang putra.
Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di Pulau Menjeli, Sang anak rupanya terbujuk oleh rayuan Belanda yang berusaha menjadikannya sebagai Sultan Banten secara resmi. Sang kakek tentu saja tidak menyetujui. Baginya Sultan Maulana Mansyuruddin belumlah pulang dari negeri Bagdad dan tidak ada kabar berita yang menyatakan beliau telah wafat. Oleh karena itu, tidak sepantasnya Pangeran Adipati Ishaq, dengan bantuan Belanda, mengangkat dirinya sebagai Raja Banten secara permanen.
Sebelum pengangkatan Pangeran Adipati Ishaq menjadi Sultan Banten, tiba-tiba ada seorang yang singgah di pelabuhan dan mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin. Berperawakan menyerupai Sultan Maulana, dia datang dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah sehingga banyak orang percaya. Padahal, sebenarnya dia adalah Raja Pendeta keturunan Raja Jin penguasa Pulau Menjeli.
Sang Sultan Maulana palsu kemudian mengambil alih pemerintahan Banten dengan gayanya yang arogan sehingga rakyat menjadi tidak simpatik. Sultan Agung Abdul Fatah yang merasa ada ketidakberesan berusaha menghentikannya. Beliau meminta bantuan seorang Auliya Alloh keturunan Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke-2) bernama Pangeran Bu’ang atau Tubagus Bu’ang. Bersama rakyat mereka berusaha menumpas Sang Sultan gadungan agar keadaan Banten kembali seperti semula.
Namun, karena yang dilawan adalah keturunan Raja Jin, mereka kalah. Sang Sultan Gadungan lalu menghukum Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang atas dasar makar. Adapun hukumannya adalah mengasingkan mereka ke daerah Tirtayasa. Rakyat Banten yang menjadi saksi atas pengasingan tersebut memberi gelar pada Sultan Agung Abdul Fatah sebagai Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa kekalahan dan diasingkannya Sultan Agung Abdul Fatah rupanya terdengar pula hingga ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin yang asli. Beliau sadar bahwa hal ini akibat kelalaiannya yang telah lupa akan wejangan Sultan Abdul Fatah agar jangan singgah ke mana-mana selama perjalanan pulang-pergi Bagdad. Untuk menebus dosa, beliau kembali lagi ke Baitulloh Mekkah memohon ampun kepada Allah SWT serta meminta petunjuk agar dapat langsung sampai ke Banten untuk membereskan kemelut di Kesultanan Banten.
Setelah berdoa sekian lama akhirnya beliau mendapatkan pengampunan sekaligus petunjuk dari Allah SWT. Sultan yang kemudian mendapat gelar Syekh ini lalu terjun ke dalam sumur zam-zam dan tiba-tiba muncul di daerah Cibulakan Cimanuk, tepat di sebuah mata air dengan batu besar di bagian tengahnya. Sebagai penanda, batu itu dipahatnya menggunakan jari telunjuk yang di kemudian hari dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Quran.
Tiba di istana Syekh Maulana Mansyuruddin langsung membereskan kekacauan politik yang terjadi dan mengembalikan Sang Ayahanda dari tempat pengasingannya. Selanjutnya, beliau kembali memimpin Kesultanan banten seperti sedia kala. Pada masa kepemimpinannya, tidak hanya pemerintahan saja yang menjadi fokusnya, melainkan juga penyebaran Islam ke seluruh Banten.
Dalam usaha mensyiarkan Islam, suatu hari beliau singgah di daerah Cikoromoy dan menikahi gadis setempat bernama Nyai Sarinten atau Nyi Mas Ratu Sarinten. Sang Nyai merupakan seorang gadis berambut sangat panjang melebihi tinggi tubuhnya. Pernikahan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan Nyai Sarinten menghasilkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Sholih (setelah dewasa berjuluk Kyai Abu Sholih).
Pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Di kala hendak mandi di sungai, Nyai Sarinten terjerat rambutnya sendiri hingga jatuh dan meninggal akibat kepalanya terbentur batu kali. Sepeninggal Nyai Sarinten, Syekh Maulana melarang kaum perempuan keturunannya memelihara rambut hingga melebihi tinggi tubuh mereka.
Kepergian Nyai Sarinten membuat Syekh Maulana pindah ke daerah Cikadeun. Tidak lama kemudian beliau menikah lagi dengan seorang perempuan dari daerah Caringin Labuan bernama Nyai Mas Ratu Jamilah. Selanjutnya, Beliau mulai menyebarkan lagi syariah Islam di bagian selatan pesisir Banten.
Saat menyusur hutan Pakuwon Mantiung di selatan pesisir Banten Beliau merasa kelelahan dan beristirahat di bawah sebuah pohon waru yang rindang. Oleh karena mengantongi khodam Ki Jemah, secara ajaib pohon waru yang menaunginya merunduk seperti sedang menghormat. Konon, sejak kejadian itu setiap pohon waru yang baru tumbuh batangnya tidak akan pernah lurus lagi.
Tidak jauh dari tempatnya beristirahat, sayup-sayup terdengar suara harimau. Ketika didekati kaki harimau itu ternyata telah terjepit kima. Sang harimau pasrah dan hanya sesekali mengaum pada Syekh Maulana Mansyuruddin. Oleh karena beliau adalah seorang Auliya dan Waliyulloh, maksud auman tadi dapat dapat dipahaminya. Sang harimau dilepaskan dari kima yang menjepit kakinya.
Setelah bebas, Sang harimau yang dinamainya sebagai Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam diminta agar jangan mengganggu anak-cucu serta seluruh keturunannya. Sang harimau menyanggupi. Dia bukanlah harimau biasa, melainkan raja dari lima siluman harimau yang ada di Pakuwon, yaitu: Ki Maha Dewa di Ujung Kulon; Ki Bima Laksana di Gunung Inten; Raden Singa Baruang di Pakuwon Lumajang; Ki Bolegbag Jaya di Gunung Pangajaran; dan Raden Putri di daerah Manjau.
Singkat cerita, peristiwa itu merupakan satu dari sekian banyak hal yang dialami Syekh Maulana Mansyuruddin selama beliau menyiarkan Islam ke berbagai daerah di Banten. Beliau akhirnya wafat pada tahun 1672 Masehi dan dimakamkan di Cikadeun Pandeglang Banten.
Diceritakan kembali oleh Gufron