PMJ, Pelestari Bajidoran Karawang

Bajidoran merupakan salah satu jenis kesenian yang hingga saat ini masih tetap eksis di kalangan masyarakat pedesaan Jawa Barat. Ada beberapa versi mengenai asal usul kesenian ini. Menurut karawangtoday.com, bajidoran (diperkirakan akronim banjet/tarian, tanji/alat musik, dan bodor/lawakan) adalah transformasi dari tari ketuk tilu. Di daerah Priangan, bajidoran sering juga disebut sebagai kliningan-bajidoran atau kliningan-jaipongan. Sedangkan versi lainnya dari Aprilianti (2013), menyatakan bahwa bajidoran adalah istilah orang Karawang bagi jaipongan tanpa pola. Dalam artian, para penari tidak memiliki skill khusus dalam menari dan hanya mengikuti iringan musik sambil mengharapkan saweran.

Ada banyak grup bajidoran yang ada di Jawa Barat. Salah satunya adalah Gurp PMJ asal Desa Ciranggon, Kabupaten Karawang. PMJ merupakan akronim dari Putra Mandiri Jaya yang didirikan oleh Ujang Lanay pada sekitar tahun 1995. Anggotanya terdiri dari 3 orang sinden (salah satunya isteri Ujang Lanay bernama Hj. Euis Megawati), 13-17 orang nayaga, seorang Master Ceremony, 14 orang penari, serta beberapa orang pengatur peralatan dan perlengkapan panggung. Asal pemain tidak hanya dari Karawang saja, melainkan dari daerah-daerah lain di sekitar Pantai Utara Jawa Barat yang memiliki tradisi bajidoran, seperti Bekasi dan Subang.

Komposisi jumlah pemain dalam grup PMJ dari awal pendirian hingga saat ini relatif tidak berubah. Apabila ada yang keluar karena alasan tertentu, maka posisinya akan segera digantikan oleh pemain baru. Oleh karena nama grup ini cukup terkenal, para pemain tidak ada yang bermain pada grup lain untuk mencari nafkah. Sebab, jadwal manggung sangat padat. Sebelum pandemi Covid-19, untuk satu bulan paling tidak ada sekitar 24 kali jadwal manggung di wilayah Banten, Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Karawang sendiri.

Sekali panggilan manggung, PMJ mematok "harga normal" antara Rp.15-20 juta rupiah. Namun, apabila yang nanggap juga berprofesi sebagai seniman tradisi Sunda, dapat dinego menjadi "harga batur" dengan nominal setengah dari "harga normal". Oleh pemimpin grup, uang tersebut dibagikan pada para pemain sesuai dengan tingkat jabatannya dengan urutan: tukang kendang vokal, tukang rebab, tukang kendang dobel, tukang rincing, tukang saron, tukang bonang, tukang kecrek, dan pemegang peralatan saweran. Para penari dan sinden mendapat bagian sama yang rata-rata hanya sebesar Rp.100 ribu. Sinden dan penari dapat memperoleh tambahan penghasilan dari saweran para bajidor yang hasilnya juga dibagikan dengan komposisi 6 untuk sinden-penari dan 4 untuk para nayaga.

Menurut penuturan salah seorang pemainnya, Charlie (tukang goong), setiap pentas grup PMJ selalu membawa waditra tradisional dan modern. Waditra tradisional berupa goong besar dan kecil, dua set kendang, dua buah kentrung, dua buah saron, penerus, gambang, bonang, kecrek, dan rebab. Sedangkan waditra modern berupa jimbe dan keyboard. Jimbe merupakan alat musik pukul asal Afrika bermembran kulit atau mika. Menurut artculture567.blogspot.co.id, Jimbe tergolong alat musik ritmis karena tidak bernada dan hanya bisa menghasilkan ketukan saja. Pada kesenian bajidoran jimbe dan keyboard hanya dimainkan untuk lagu-lagu tertentu saja yang bersifat instrumentalia.

Seluruh waditra diangkut menggunakan truck berukuran 3/4 bersama dengan genset, sound system, dan peralatan pendukung lainnya. Genset berfungsi sebagai penyedia daya bagi sound system pengeras suara waditra. Jadi, dalam setiap penampilannya, Grup Putra Mandiri Jaya tidak harus menggunakan sumber listrik PLN. Mereka dapat bermain di mana saja karena memiliki sumber listrik sendiri. Selain truck, grup PMJ juga menggunakan sebuah elf serta empat buah minibus untuk mengangkut para penari dan nayaga.

Pertunjukan Bajidoran Grup PMJ
Pertunjukan Bajidoran PMJ dimulai dengan membuat panggung berukuran panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Tinggi bagian depan panggung sekitar 1,5 meter, tinggi bagian belakang 2 meter, dan tinggi atap sekitar 5 meter. Pada panggung pementasan dipasang banner di bagian depan bertuliskan "Ujang Lanay Karawang", lampu di bagian atap, sound system (8 buah di kiri, 8 buah di kanan, dan 4 buah di belakang waditra. Susunan waditra dibagi menjadi 3 saft. Saft pertama diisi oleh kendang dobel di sebelah kiri dan kendang vokal di sebelah kanan. Saft kedua diisi oleh jejeran saron, gambang, bonang, dan kecrek. Saft terakhir diisi oleh pemain rebab dan goong.

Tahap selanjutnya penyelarasan waditra (nyetem) serta pensinkronan suara waditra dengan sound system. Tahap ini dilakukan lebih dari setengah jam. Di sela-sela penyeteman, salah seorang pemain yang memiliki keahlian khusus menyiapkan sesajen demi kelancaran pertunjukan. Isi sesajen (bergantung ketersediaan bahan) diantaranya adalah: kemenyan, deugan, kopi manis dan pahit, rurujakan tujuh rupa, kembang tujuh rupa, pisang sesisir, beras, rokok Djarum Super sebatang, Minak Djinggo sebatang, Gudang Garam Merah Sebatang, Dji Sam Soe sebatang, dan cerutu sebatang. Setelah didoakan, sesajen diletakkan di bawah panggung.

Usai nyetem, para nayaga yang mengenakan seragam berwarna putih mulai memperdengarkan lagu-lagu instrumental sebagai pembukaan. Sambil menunggu penonton memenuhi arena, MC mulai membuka acara dengan memperkenalkan grup PMJ, orang yang punya hajat, meminta izin pada aparat desa setempat, dan mempersilakan para aparat memberikan sambutan. Pada segmen ini tetabuhan terus dibunyikan tanpa henti sambil menunggu para sinden dan penari muncul sekitar pukul sembilan malam.

Saat muncul, secara berbaris mereka berjalan menaiki panggung lalu duduk bersimpuh di depan nayaga dengan posisi membentuk setengah lingkaran atau huruf U. Para sinden (berjumlah 3 orang) berada di bagian tengah mengenakan baju berwarna merah, sementara penari mengenakan juga mengenakan baju merah plus karembong hijau berada di samping kiri dan kanan mereka. Seluruhnya mengenakan sanggul/konde besar, kain kebaya, serta tata rias tebal alias menor agar terlihat cantik. Tujuannya adalah untuk memikat para penonton agar menyaksikan acara sampai selesai serta memberikan saweran sebanyak mungkin. Sebagai catatan, dahulu para penari dan sinden grup PMJ mengenakan kostum milik sendiri sehingga penampilan mereka tidak seragam. Namun saat ini kostum disediakan oleh pimpinan grup. Agar penonton tidak bosan, setiap bulan mereka berganti kostum.

Ketika mereka duduk itulah irama musik berubah untuk mengiringi lagu wajib Kembang Gadung. Tidak lama kemudian salah seorang di antaranya maju dan mulai menari. Gerakan tarinya khas jaipongan gaya kaleran yang memperlihatkan spontanitas, kesederhanaan, semangat, keceriaan, genit, erotis dan sensual. Penari memperlihatkan kemolekan tubuhnya, mulai dari lirikan mata, leher, dada, pinggul, hingga bokong yang membangkitkan rangsangan bagi lawan jenis. Khusus untuk bagian pinggul penari melakukan gerakan geol (pinggul berputar), gitek (gerakan pinggul ke kanan dan kekiri diiringi hentakan), dan goyang (gerakan gitek tanpa hentakan). Oleh karena itu, tidak heran ketika penari kedua dan ketiga ikut tampil para penonton laki-laki mulai "menggila" dan merangsek hingga ke depan panggung.

Seakan menyihir para penonton, sinden kemudian menyanyikan lagu ibingan Karawang Tandang serta lagu bajidoran (juragan empang, naik percuma, baju loreng, dan lain sebagainya). Seorang penonton pun mulai muncug (menari) ditengah kerumunan sambil memberikan saweran. Khusus untuk saweran pihak PMJ menyediakan uang pecahan Rp.2-5 ribu sebanyak Rp.5-10 juta guna dipertukarkan. Apabila ada orang yang memberikan saweran sebesar Rp.50-100 ribu, uang tersebut tidak lantas diambil melainkan dikembalikan lagi oleh tukang nyoder dalam bentuk pecahan Rp.2-5 ribu untuk digunakan nyawer. Begitu seterusnya hingga acara berakhir sekitar pukul 02.00 WIB yang ditutup dengan lagu Mitra Sunda.

Wujud Kebudayaan dalam Bajidoran
Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga yaitu gagasan atau ide yang menciptakan nilai-nilai; perilaku; dan artefak. Namun dalam hal ini wujud ide agak digeser sedikit oleh nilai budaya. Nilai budaya digunakan sebagai pembentuk ide atau gagasan bagi terciptanya suatu bentuk kebudayaan. Dalam analisis tentang bajidoran, nilai budaya yang diketengahkan adalah syukuran. Syukuran merupakan ungkapan seseorang atau kelompok orang atas keberhasilan mencapai sesuatu.

Kegembiraan atas keberhasilan itu oleh seniman diwujudkan dalam bentuk gabungan seni tari, suara, dan musik yang disebut sebagai bajidoran. Setiap gerakan tari dan iringan musik bajidoran menjadi bentuk perilaku pemuas rasa syukur atas keberhasilan yang menyiratkan kegembiraan. Sedangkan wujud fisiknya berupa artefak yang dipergunakan seperti gambang, saron, rebab, goong, tata lampu, dan lain sebagainya.

Tetapi apabila melihat dari tata lampu yang berkedap-kedip, mendengarkan iringan musiknya yang menyerupai dugem, dan gerakan para bajidor yang seperti orang sedang dugem, maka nilai budayanya adalah akulturasi. Oleh karena kondisi kesenian tradisional yang seakan hidup segan mati tak mau, seniman jaipongan yang imajinatif dan kreatif ingin mengembangkan tarian yang bisa diterima oleh kalangan muda. Dugem dari Barat sebagai alternatifnya. Dengan menggabungkan kedua jenis kesenian tersebut, maka terciptalah bajidoran yang fungsinya lebih sebagai hiburan pelepas rutinitas keseharian. Seperti dikatakan di atas, pola perilaku yang tercipta adalah gabungan dari dua budaya (Sunda dan Barat), sementara artefaknya juga gabungan dari yang tradisional (kendang, saron, gambang) dan modern (jimbe, keyboard, tata lampu). (Gufron)

Sumber:
"Bajidoran Kesenian Khas Karawang Makin Terkikis", diakses dari http://karawangtoday.com/wp/?p=1596, tanggal 24 Desember 2016.

"Jimbe", diakses dari http://artculture567.blogspot.co.id/2016/03/jimbe.html, tanggal 24 Desember 2016.

Aprilianti, Victoriana Aire. 2013. Perkembangan Kesenian Bajidoran di Kabupaten Karawang Tahun 1980-1990. Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive