Regent Boncel

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, ada sebuah kampung kecil berada di kaki Gunung Giriawas bernama Kandangwesi. Di dalamnya hanya terdiri atas beberapa rumah panggung dengan halaman luas dan bersih. Dari segelintir rumah panggung itu ada sebuah rumah yang bentuknya berbeda. Pemiliknya bukanlah penduduk asli melainkan seorang pengembara yang akhirnya menetap. Dia memiliki hobi memelihara burung dan kuda. Untuk merawatnya, dia mempekerjakan beberapa orang penduduk setempat.

Salah seorang perawat hewan peliharaan Si pengembara adalah anak muda bernama Boncel. Walau masih muda, tampilannya bagaikan seorang tua dengan tubuh teramat kurus. Selama menjadi perawat kuda hubungan dengan Sang majikan terlihat cukup baik hingga suatu saat dia terpaksa berhutang guna keperluan yang sangat mendesak.

Hutang piutang inilah yang membuat hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Oleh karena Boncel tidak juga membayar hutang, perlahan terjadi perubahan sikap pada Sang majikan. Dia berubah dari seorang ramah menjadi bengis dan kejam. Seluruh tindakan Boncel dalam memelihara kuda dianggap salah.

Tidak tahan dengan perlakuan Sang majikan Boncel akhirnya melarikan diri. Selama berjam-jam dia berlari memasuki hutan belantara hingga tiba di sebuah pondok reot. Boncel bermaksud melepas lelah di pondok itu. Namun, rupanya dia tidak dapat tidur. Sepanjang malam dia hanya memikirkan apa yang harus dilakukan guna menyambung hidup. Selan itu, dia juga memikirkan nasib kedua orang tua yang mengandalkannya sebagai tulang punggung keluarga. Bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Apakah mereka akan diganggu oleh Sang majikan karena dirinya pergi begitu saja?

Pikiran-pikiran tadi membuatnya terjaga sepanjang malam hingga terdengar suara ayam berkokok. Ketika matahari terbit dia memulai lagi pelariannya ke arah timur dan bertemu dengan sekelompok orang yang pulang berburu. Melihat Boncel seperti orang kebingungan, mereka lalu mengajaknya pulang ke Pamijahan.

Di Pamijahan Boncel hanya tinggal selama beberapa minggu. Oleh karena teramat rindu pada orang tua, dia pamit pulang ke Kandangwesi. Sepanjang perjalanan rupanya dia tidak ingat lagi arah pulang dan hanya berputar-putar di dalam hutan hingga akhirnya singgah di sebuah kampung. Kebetulan di sana ada sebuah pedati yang hendak menuju Garut. Dia lalu menumpang pedati itu.

Sampai di Garut, ada sebuah perhelatan besar. Sang Regent atau Bupati sedang menikahkan anaknya. Di antara tamu undangan terlihat pula Regent Cianjur bersama dengan pengiringnya. Salah seorang di antaranya adalah Juragan Kepala yang bertugas sebagai koordinator transportasi dan akomodiasi bagi Regent Cianjur. Boncel mendekatinya dan menawarkan diri menjadi kuli angkut. Seusai perhelatan dia ikut Juragan Kepala mengangkuti barang-barang bawaan Regent Cianjur.

Di Cianjur Boncel tinggal di rumah Juragan Kepala. Pekerjaannya sehari-hari adalah mengurus kuda dan (tanpa diminta) membantu di dapur. Dia sangat rajin dan pandai menitipkan diri sehingga Juragan Kepala dan keluarga menyayanginya. Bahkan, karena kelakuan baiknya, dia juga dipercaya untuk antar-jemput anak mereka yang belajar di Sekolah Kabupaten. Dan, dari antar-jemput inilah Boncel kemudian belajar membaca dan menulis. Dia selalu memperhatikan ketika para guru mengajar anak-anak di kelas.

Suatu hari Juragan Kepala melakukan inspeksi mendadak ke kandang kuda. Dia mendapati beberapa tulisan beraksara Sunda seperti “Kandang Si Raden” dan “Kandang Si Pelor” di beberapa bagian kandang. Tanpa basa-basi dipanggilnya Boncel lalu didiktenya agar menulis sesuatu. Hasil dikte ternyata tertulis dengan benar. Boncel pun diperintahkan meninggalkan kandang kuda untuk selanjutnya bekerja sebagai penyalin surat yang datang ke meja Juragan Kepala.

Ketika Juragan Kepala naik jabatan menjadi Patih, Boncel juga naik menjadi juru tulis. Sejak itu, perlahan namun pasti karir Boncel semakin bersinar. Tidak lama jadi juru tulis dia diangkat sebagai asessor lalu jaksa di Bogor. Belum sampai dua tahun menjadi jaksa, karena memiliki prestasi kerja baik serta kedekatannya dengan para petinggi Belanda, dia ditunjuk menjabat sebagai Regent di Caringin.

Di lain tempat, ada seorang pedagang dari Caringin datang ke Kandangwesi dan menginap di rumah Pak Boncel. Malam hari sebelum tidur, Sang pedagang bercerita bahwa di Caringin ada regent baru yang bukan berasal dari kalangan priyayi. Namanya pun lucu dan khas orang kebanyakan, yaitu Boncel.

Mendengar penuturan tadi, Pak dan Mak Boncel tentu terkejut. Setelah menanyakan bagaimana ciri-ciri fisiknya, mereka merasa kalau bupati itu adalah anak sematang wayang yang telah lama menghilang bak di telan bumi. Agar lebih yakin, keduanya sepakat menemuinya di Caringin. Semoga saja Sang regent memanglah Si Boncel, anak yang selama ini mereka cari.

Menjelang matahari terbit, mereka telah berada di serambi rumah sambil membawa perbekalan. Sebelum pergi mereka berpamitan pada para tetangga sembari menitipkan rumah dan hewan peliharaan. Namun, rupanya Caringin adalah sebuah tempat yang sangat jauh. Lebih dari dua bulan perjalanan barulah Pak dan Mak Boncel sampai di kediaman Regent Caringin..

Sampai di gerbang dihentikan oleh penjaga yang menanyakan tujuan kedatangan mereka. Pak dan Mak Boncel menjelaskan ingin menemui Boncel, anak mereka yang telah lama tidak kembali. Penjelasan Mak Boncel tentu saja membuat penjaga tertawa terbahak. Pikirnya, mana mungkin kakek-nenek yang tampak lusuh seperti pengemis memiliki hubungan darah dengan Regent Caringin.

Agar lebih lucu, Si penjaga kemudian menanyakan ciri-ciri fisik Boncel. Dugaannya, kedua kakek-nenek itu tidak akan bisa menjawab. Kalaupun dijawab, kemungkinan akan ngawur alias sekenanya. Dugaannya ternyata salah, Pak dan Mak Boncel menjawab dengan sangat detail bagaimana ciri-ciri fisik Boncel. Bahkan, tanda hitam di pipi Sang Regent pun mereka tahu.

Si penjaga tidak jadi tertawa. Dia mempersilahkan mereka menunggu sementara dirinya menemui Regent Boncel. Namun, dia tidak menjamin apakah Regent mau menemui mereka atau tidak. Dia khawatir Regent malah marah karena didatangi oleh kakek-nenek lusuh yang menyerupai pengemis.

Kekhawatiran Si penjaga ternyata benar. Regent Boncel tiba-tiba marah ketika dilapori ada kakek-nenek lusuh yang mengaku sebagai orang tua dan ingin bertemu dengannya. Dia langsung berdiri dan berjalan menuju gerbang menghampiri kedua orang tua itu. Ketika berhadapan, tanpa basa-basi dia langsung menendang Mak Boncel yang berlari hendak memeluknya. Mak Boncel langsung jatuh terlentang sambil menjerit kesakitan.

Tanpa memperdulikan erangan Mak Boncel, dia malah menghardik keduanya dan berkata bahwa orang tuanya telah lama meninggal dunia. Dia lalu memerintahkan para pengawal mengusir mereka. Regent Boncel malu pada orang-orang yang kebetulan melihat kejadian itu, padahal tahu dan sadar bahwa yang dihadapi adalah orang tua kandungnya sendiri. Rasa malu mengakui kedua orang tua di hadapan banyak orang membuatnya gelap mata. Status sebagai seorang regent dia anggap tidak layak memiliki orang tua yang tampak seperti orang miskin.

Sejak kejadian itu Regent Boncel sering termenung. Pikirannya selalu dihantui perasaan bersalah telah menendang dan mengusir orang tuanya sendiri. Padahal, di dalam hati ingin sekali bersujud dan memeluk mereka. Ego akan statuslah yang membuatnya tidak mau mengakui. Begitu seterusnya, hari-hari hanya diisi dengan lamunan hingga suatu saat, entah dari mana, dia terkena penyakit kulit yang tidak lazim.

Regent Boncel menderita gatal di sekujur tubuh. Dia tidak bisa lagi berkonsentrasi pada segala hal. Sepanjang waktunya hanya menggaruk, menggaruk, dan menggaruk hingga badan menjadi kurus kering dan lecet di mana-mana. Segala macam ramuan obat yang diberikan oleh puluhan tabib tidak mampu menyembuhkan. Bahkan, gatal di sekujur tubuh malah semakin hebat. Regent Boncel akhirnya sadar bahwa penyakit yang diderita mungkin adalah sebuah hukuman karena telah berbuat semena-mena terhadap orang tua. Dan, untuk menebus dosanya Regent Boncel akan kembali ke Kandangwesi guna bersujud dan memohon ampun.

Singkat cerita, Regent Boncel pulang kampung. Namun dia tidak dapat bertemu dengan Pak dan Mak Boncel karena keduanya telah meninggal dunia. Menurut cerita para tetangga, sepulang dari Caringin mereka sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Regent Boncel hanya bisa pasrah. Dia tidak dapat memohon ampun pada orang tua dan harus menanggung penyakit kulit yang tiada sembuh hingga akhir hayatnya.

Diceritakan kembali oleh gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive