Nelayan

Nelayan merupakan salah satu mata pencaharian yang tergolong tua. Pengertian dari nelayan itu sendiri ada banyak macamnya. Mulyadi (2005:7) misalnya, menyatakan bahwa nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung dari hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Imron yang dikutip Mulyadi (2005:7), mendefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan budidaya maupun penangkapan. Sementara Sastrawidjaya (2002), mendefinisikannya sebagai orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut.

Apabila merujuk pada konsep di atas, pekerjaan nelayan selalu ada pada setiap masyarakat yang tinggal di tepi pantai. Sebagai sebuah kesatuan sosial, mereka memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat dibedakan dengan masyarakat lain (bukan nelayan). Sastrawidjaya (2002: 42) membaginya menjadi tiga segi, yaitu: (1) segi mata pencaharian, nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian; (2) segi cara hidup, nelayan adalah komunitas gotong royong dan tolong-menolong untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga banyak seperti saat berlayar, membangun rumah atau tanah penahan gelombang; dan (3) dari segi keterampilan umumnya diturunkan dari orang tua, bukan dipelajari secara profesional.

Kelompok nelayan ini dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kategori. Monintja dan Yusfiandayani (2011) misalnya, mengkategorikan nelayan berdasarkan waktu operasional penangkapan, yaitu: (a) nelayan penuh (seluruh waktu kerjanya digunakan untuk menangkap ikan; (b) nelayan sambilan utama (sebagian besar waktunya digunakan untuk menangkap ikan), dan (c) nelayan sambilan tambahan (hanya sebagian kecil waktu kerjanya untuk menangkap ikan).

Ada lagi yang mengkategorikannya berdasarkan kepemilikan modal, yaitu: (a) nelayan juragan (dapat sebagai pemilik perahu dan alat tangkap ikan yang ikut melaut, pemilik perahu dan alat tangkap ikan namun tidak melaut, serta pemilik perahu, alat tangkap, dan modal tetapi bukan nelayan atau biasa disebut tauke), (b) nelayan pekerja/buruh (hanya memiliki tenaga tanpa alat produksi dan modal), dan (c) nelayan perorangan (nelayan yang hanya memiliki perahu kecil serta alat tangkap sederhana untuk keperluan sendiri) (Yuliriane, 2012 dan Mulyadi, 2005).

Selanjutnya, pengkategorian nelayan juga berdasarkan atas hasil tangkapan, yaitu: (a) nelayan subsisten (subsistence fishers) atau nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri; (b) nelasan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil; (c) nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk kesenangan atau olahraga; dan (d) nelayan komersial (commercials fishers), adalah mereka yang menangkap ikan untuk dipasarkan baik ke pasar domestik maupun mancanegara (ekspor) (Widodo dan Suadi: 2006: 29).

Kemudian, berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2015: 29) mengkategorikannya menjadi: (a) nelayan tradisional (peasant fisher) bersifat sub-sisten yang alokasi hasil tangkapannya dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari; (b) post-peasant fisher, nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor, beroperasi di wilayah pesisir, dan mulai berorientasi pasar serta ABK nya tidak bergantung pada tenaga kerja keluarga; (c) commercials fisher, nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, teknologi penangkapan modern yang membutuhkan keahlian khusus dalam mengoperasikannya; dan (d) industrial fisher, nelayang yang mengorganisasikan sistem agribisnis modern, relatif padat modal, dan memproduksi ikan kaleng serta ikan beku orientasi ekspor.

Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia adalah nelayan yang mempunyai ciri-ciri dari beberapa pengkategorian di atas, yaitu: cara hidup masih berbentuk komunitas gotong royong dan tolong-menolong dalam mengatasi suatu masalah (terutama pendanaan); keterampilan melaut diturunkan atau diwariskan dari orang tua; bekerja sebagai nelayan penuh atau seluruh waktu kerjanya digunakan untuk menangkap ikan; subsistance fishers, native fishers, peasant fishers, post-peasant fisher, commercials fisher; dan nelayan juragan, nelayan buruh, serta nelayan perorangan. Seluruh kategori di atas merupakan ciri-ciri dari nelayan tradisional.

Secara umum nelayan tradisional adalah mereka yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Mulyadi (2005: 173) menyatakan bahwa nelayan tradisional juga disebut sebagai orang yang bergerak di sektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor.

Ketergantungan nelayan terhadap musim sangat tinggi, sehingga tidak setiap saat bisa turun melaut, terutama pada musim ombak bahkan badai yang bisa berlangsung sampai lebih dari satu bulan. Akibatnya, selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki, pada musim tertentu tidak ada tangkapan yang bisa diperoleh. Kondisi ini merugikan nelayan karena secara riil rata-rata pendapatan perbulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat paceklik.

Rendahnya teknologi penangkapan yang dimiliki oleh nelayan tradisional, mengakibatkan minimnya hasil tangkapan. Kemampuan untuk meningkatkan peralatan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi nelayan. Kondisi ini mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan untuk dapat melepaskan diri dari kemiskinan karena sistem kerja mereka akan menjadi semacam lingkaran setan.

Produksi hasil laut yang diperoleh nelayan hanya akan memiliki nilai lebih apabila tidak hanya digunakan untuk makan, tetapi juga memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, masalah pemasaran merupakan aspek penting dalam kehidupan nelayan. Permasalahannya adalah akses terhadap pasar sering tidak dimiliki oleh para nelayan, terutama nelayan yang tinggal di pulau-pulau kecil. Sementara itu, kondisi ikan yang mudah membusuk, merupakan masalah besar yang dihadapi para nelayan tradisional. (Mulyadi, 2005:49).

Foto: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01330829/cerita-dedi-nelayan -natuna-yang-sering-diusir-kapal-keamanan-tiongkok-dan-vietnam-di-perairan-indonesia

Sumber:
Monintja, Daniel. Yusfiandayani, Roza. 2011. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Institut Pertanian Bogor.

Sastrawidjaya. 2002. Nelayan Nusantara. Pusat Riset Pengolahan Produk Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Satria, Arif, 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mulyadi, Subri . 2005. Ekonomi Kelautan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yuliriane, 2012. Tekanan kemiskinan struktural komunitas nelayan tradisional di perkotan. https://lppmunigresblog.file s.wordpress.com/2012/06/j urnal -tesis3.pdf, diakses pada tanggal 15 November 2020. Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.252 hlm.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive