Secara teoretis semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup dalam kelompok sosial, tidaklah demikian. Pembedaan-pembedaan atas lapisan-lapisan merupakan gejala universal yang menjadi bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Selama ada yang dihargai dalam suatu masyarakat, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat bersangkutan. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis (tanah), kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesamaan dalam agama, atau bisa juga keturunan dari keluarga yang terhormat (Sudiyo, dkk. 1991:29).
Berkenaan dengan sistem yang berlapis-lapis itu, seorang sosiolog terkemuka, Pitirim A Sorokin yang dikutip oleh Sudiyo dkk. (1991) pernah mengatakan bahwa sistem itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat.
Selanjutnya, Sudiyo dkk (1991:29) mengatakan bahwa lapisan-lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, maka semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan di dalamnya.
Dalam proses perkembangan suatu masyarakat, sistem berlapis ada yang terjadi dengan sendirinya, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Biasanya yang menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah: kepandaian, tingkat umur (senioritas), sifat keaslian, keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan harta dalam batas-batas tertentu. Mengingat masyarakat yang satu dengan lainnya masing-masing mengembangkan sistem sosial-budaya tersendiri, maka tidak tertutup kemungkinan alasan-alasan yang dipakai dalam pembentukan sistem berlapis-lapis satu dengan lainnya berbeda. Sedangkan, stratifikasi sosial yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti: pemerintahan, perusahaan, partai politik, Angkatan Bersenjata atau perkumpulan.
Kekuasaan dan wewenang merupakan suatu unsur yang khusus dalam sistem pelapisan di dalam masyarakat. Dan, karena kekhususannya itu, kekuasaan dan wewenang mempunyai sifat yang lain daripada: uang, tanah, benda-benda ekonomis, ilmu pengetahuan, dan kehormatan. Uang, tanah, dan sebagainya dapat terbagi secara bebas di antara para anggota suatu masyarakat tanpa merusak bentukan masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, apabila sesuatu masyarakat hendak hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan teratur pula, sehingga jelas kepemilikan kekuasaan dan wewenang bagi setiap orang dalam organisasi, baik secara vertikal maupun horisontal. Sebab jika kekuasaan dan wewenang tidak dibagi-bagi secara teratur, kemungkinan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Sifat sistem pelapisan sosial di dalam masyarakat dapat tertutup (closed social stratification) dan dapat pula yang terbuka (open social stratification). Sistem pelapisan yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Sebaliknya, dalam sistem yang sifatnya terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha ke pelapisan yang lebih tinggi dengan kecakapan sendiri. Sistem yang terbuka ini memberi perangsang bagi seseorang untuk menduduki lapisan yang lebih tinggi. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya seseorang tidak beruntung karena kurang cakap, sehingga menduduki lapisan yang lebih rendah (Sudiyo, dkk. 1991:30).
Hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam sistem pelapisan suatu masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan dan peranan kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem pelapisan, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat. Yang diartikan sebagai sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antarindividu dalam masyarakat, antara individu dan masyarakat, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti penting, karena langgengnya masyarakat bergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu-individu tersebut.
Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya, dia berarti menjalankan suatu peranan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena satu dengan lainnya saling bergantung. Tidak ada peranan tanpa kedudukan. Sebaliknya, tidak ada kedudukan tanpa peranan. Ibaratnya, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika Soerjono (1982) mengatakan bahwa di dalam pergaulan hidup seseorang senantiasa berhubungan dengan pihak lain. Biasanya setiap pihak mempunyai perangkat peranan tertentu (set of roles).
Stratifikasi merupakan hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain secara vertikal maupun mendatar dalam masyarakatnya. Dengan demikinan, peranan yang diambil oleh orang dalam masyarakatnya ditentukan oleh situasi kelompok.
Berkenaan dengan situasi individu dalam kelompok maupun dalam masyarakat luas, F. Znaniecki yang dikutip oleh Susanto (1999:65) berpendapat bahwa situasi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi subyektif maupun obyektif. Kenyataan bahwa manusia menurut F. Znaniecki mempunyai dua segi kehidupan, yaitu segi kehidupan publik maupun kehidupan pribadi, merupakan ciri yang membedakan manusia dari binatang. Justru dalam kehidupan bermasyarakatnya, manusia belajar untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan nilai dan keadaan yang sebenarnya yang sering tidak dinginkannya. Berbeda dengan manusia yang mempunyai kemampuan ini, binatang hanya bersifat pasif terhadap lingkungannya, yaitu dapat menerima keadaannya. Manusia dengan kemampuan untuk menerima dan menyesuaikan diri, mengambil tindakan yang lebih efektif dalam hidupnya.
Sementara itu, Susanto (1999:66) mengatakan bahwa stratifikasi terjadi dengan makin meluasnya masyarakat dan makin terjadinya pembagian pekerjaan. Jadi masyarakat modern akan memperlihatkan kecenderungan menuju stratifikasi yang lebih banyak lagi, karena dasar dari stratifikasi ialah pembagian pekerjaan, yaitu spesialisasi dan diversifikasi pekerjaan. Dasar pembentukan stratifikasi ialah bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk menilai suatu pekerjaan. Selain itu, juga biologik dan kebudayaan.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa stratifikasi sosial menghambat kemajuan masyarakat/individu. Sebenarnya stratifikasi sosial juga mempunyai beberapa keuntungan. Menurut kingsley Davis yang dikutip oleh Susanto (1999: 67), fungsi-fungsi dari stratifikasi sosial ialah sebagai: (a) stratifikasi sosial menjelaskan kepada seseorang “tempat”nya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan, menjelaskan kepadanya bagaimana harus menjalankannya dan sehubungan dengan tugasnya menjelaskan apa dan bagaimana efek serta sumbangannya kepada masyarakatnya; (b) karena peranan dari setiap tugas dalam setiap masyarakat berbeda-beda dengan seringkali adanya tugas yang kurang dianggap penting oleh masyarakat (karena beberapa pekerjaan meminta pendidikan dan keahlian terlebih dahulu) maka berdasarkan perbedaan persyaratan dan tuntutan atas prestasi kerja, masyarakat biasanya memberi imbalan kepada yang melaksanakan tugas dengan baik dan sebaliknya “menghukum” yang tidak atau kurang baik. Dengan sendirinya terjadilah distribusi penghargaan; dan (c) penghargaan yang diberikan biasanya bersifat ekonomis, berupa pemberian status sosial atau fasilitas-fasilitas yang karena distribusinya berbeda (sesuai dengan pemenuhan persyaratan dan penilaian terhadap pelaksanaan tugas) membentuk struktur sosial.
Sebagai sebuah kesatuan sosial, kaum nelayan mempunyai stratifikasi tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan penguasaan/pemilikan peralatan produksi melaut, keahliannya dan atau pendapatannya (hasil yang diperoleh). Berdasarkan ketentuan itu masyarakat nelayan, khususnya yang berada di Pulau Jawa, mengenal tiga kelas sosial, yaitu kelas: atas, tengah, dan bawah. Nelayan kelas atas diduduki oleh para pemilik peralatan produksi melaut, seperti: perahu, motor tempel, jaring, dan peralatan lainnya. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai “juragan”. Kelas menengah diduduki oleh nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau. Kelas bawah diduduki oleh para nelayan yang tidak memiliki peralatan produksi melaut dan keahlian tertentu yang berkenaan dengan pengoperasian perahu. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai “bidak”.
Hubungan antarkelas sosial yang terjadi di kalangan masyarakat nelayan adalah saling membutuhkan. Juragan membutuhkan nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak untuk mengoperasikan dan menangkap ikan di laut. Sementara, nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak membutuhkan juragan karena yang memiliki peralatan produksi penangkapan ikan adalah juragan. Hubungan yang saling membutuhkan itu berpola patron-klien. Dalam hal ini juragan sebagai patron dan nahkoda, juru mudi, juru mesin, dan juru pantau serta bidak sebagai klien. Sebagai patron, juragan tidak hanya membagi hasil tangkapan ikan berdasarkan aturan-aturan yang ada di kalangan masyarakat nelayan, tetapi membantu klien-nya manakala mengalami kesulitan keuangan.
Seseorang yang ada di kelas menengah dan bawah bisa saja menjadi juragan (kelas atas) jika memiliki peralatan produksi melaut atau dengan kata lain sistem pelapisannya bersifat terbuka. Caranya dengan meminta baku/toukel untuk membelikannya. Jika bakul/touke percaya, dia akan membelikan tanpa menggunakan secarik kertas apa pun sebagai bukti transaksi. Sistem ini dinamakan "hutang seumur hidup" karena bakul/touke tidak akan meminta perahu beserta jaring yang dibelikannya dibayar atau diangsur hingga lunas. Konsekuensi bagi nelayan yang berhutang harus menjual hasil tangkapannya kepada bakul/touke dengan harga lebih rendah dari harga pasaran. Hasil tangkapan diolah lagi oleh bakul/touke kemudian dijual dengan harga yang tinggi. Jadi, seorang nelayan yang telah terikat "hutang seumur hidup" tidak diperbolehkan menjual hasil tangkapan pada bakul/touke lain atau pada pengepul di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Dia baru bisa "terbebas" dari hutang bila perahunya tidak dapat digunakan melaut dan bakul tidak memberinya perahu baru, mengembalikan perahu pada bakul/touke dan membeli perahu baru dengan uang sendiri, atau ada bakul/touke lain yang mau memberi perahu baru serta melunasi hutang si nelayan pada bakul yang lama.