Sinen Urai Lingot dan Sinen Urai Luang

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, ada dua orang janda bernama Sinen (ibu) Urai Lingot dan Sinen Urai Luang yang rumah dan ladangnya saling berdekatan. Masing-masing dikaruniai seorang putri yang namanya sama seperti mereka. Setiap hari mereka pergi dan pulang dari ladang bersama-sama. Terkadang, ketika sedang berada di ladang mereka juga menyelingi menangguk ikan.

Suatu hari Sinen Urai Luang menyuruh anaknya (Urai Luang) ke rumah Sinen Urai Lingot mengajak ke ladang sekaligus menangguk ikan. Ajakan ini diiyakan oleh Sinen Urai Lingot yang kemudian menyuruh Urai Lingot menyiapkan arit dan tangguk. Mereka lalu pergi ke rumah Sinen Urai Luang untuk selanjutnya bersama-sama menuju ladang.

Sampai di persimpangan jalan mereka berpisah menuju ladang masing-masing. Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sibuk mencabuti rerumputan yang tumbuh di sela-sela padi huma di ladang mereka. Rerumputan yang telah dicabut dibuang di sungai kecil agar air menjadi keruh sehingga ikan mudah ditangguk. Tengah hari setelah pekerjaan merumput sebagian besar telah selesai dilanjutkan dengan menangguk ikan.

Namun, tidak demikian halnya dengan Sinen Urai Luang dan Urai Luang. Oleh karena rerumputan di ladang mereka sangatlah banyak, hingga tengah hari pencabutan belum selesai. Sementara dari arah hulu air sungai telah keruh yang menandakan Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang menangguk ikan. Melihat hal itu timbullah rasa iri pada Sinen Urai Luang dan berusaha agar dapat mengimbangi pekerjaan anak-beranak Urai Lingot. Dia lalu menyuruh anaknya yang sedang merumput mengambil tangguk. Mereka akan menangguk dari bagian hilir ke hulu sungai menuju ladang Sinen Urai Lingot.

Sampai di sana mereka melihat Sinen Urai Lingot dan Urai Lingot sedang asyik mencabuti rerumputan. Rupanya mereka telah selesai menangguk dan kembali merumput sambil menanti matahari terbenam. Merasa aneh, Sinen Urai Luang mendatangi Sinen Urai Lingot dan menanyakan mengapa dia masih merumput padahal air sungai keruh pertanda ada aktivias menangguk.

Sinen Urai Lingot yang tidak merasa kalau Sinen Urai Luang agak iri menjawab singkat bahwa sebelum tengah hari ladang mereka sudah hampir seluruhnya bersih dari rerumputan liar sehingga dia dan anaknya melanjutkan menangguk ikan. Dan, karena jumlah ikan dirasa sudah cukup untuk makan malam, mereka kembali merumput.

Sinen Urai Luang yang sudah diselimuti rasa iri pura-pura tidak melihat ladang Sinen Urai Lingot bersih dari rerumputan. Dia malah mengajak menangguk ikan lagi dengan asalan hasil tanggukannya masih sedikit. Sinen Urai Lingot pun menyangupi ajakan tersebut. Mereka berdua turun ke sungai sementara anak-anak dibiarkan bermain di sekitar ladang.

Ketika tengah asyik bermain, tiba-tiba jatuh sebuah ubai (sejenis rambutan tidak berbulu) di dekat Urai Lingot. Urai Luang yang juga melihat buah itu berusaha mendahului sehingga terjadilah perebutan di antara mereka. Masing-masing menjerit sehingga menimbulkan kegaduhan.

Tidak lama berselang, datanglah Sinen Urai Lingot. Dia menasihati Urai Lingot agar buah ubai tadi dimakan bersama Urai Luang. Alasannya, tidak baik apabila sesama kawan saling berebut benda yang tidak begitu berarti. Nanti apabila sudah musim, mereka dapat nikmati sampai puas karena dalam satu pohon saja jumlahnya tidak terhitung.

Urai Lingot turut nasihat Sang ibu. Dia menghisap buah ubai sebentar lalu diserahkan pada Urai Luang. Begitu seterusnya, silih berganti menghisap sampai tiba pada giliran Urai Lingot yang karena telalu bernafsu tertelanlah buah ubai itu. Urai Luang menjadi marah dan berteriak memanggil ibunya. Sambil mengumpat mengeluarkan kata-kata kotor dia mengadu pada Sang ibu bahwa Urai Lingot telah berbuat curang dan ingin menguasai buah ubai untuk dirinya sendiri.

Walau telah dijelaskan bahwa tertelannya biji ubai bukanlah kesengajaan, Sinen Urai Luang dan Urai Luang tetap saja menuduh yang bukan-bukan. Ketika Sinen Urai Lingot berusaha meredakan suasana, kedua anak-beranak itu tetap ngotot sehingga pertengkaran malah menjadi bertambah besar. Bahkan terus berlanjut sampai mereka beranjak pulang.

Di perjalanan timbul niat jahat dari Sinen Urai Luang. Dia berencana mengenyahkan Sinen Urai Lingot dari muka bumi. Rencana itu dijalankan ketika mereka memasuki hutan yang di kanan-kiri ditumbuhi pepohonan besar. Tiba-tiba tangan Sinen Urai Lingot ditarik dan kepalanya dipukul dengan kayu hingga tidak sadarkan diri.

Selanjutnya, tubuh Sinen Urai Lingot diseret menuju rerimbunan pohon lalu ditimbun bebatuan. Terakhir, badannya ditindih sebuah batu besar sebagai tanda pelampiasan kekesalan. Kemudian, dia menarik tangan Urai Lingot untuk diajak pulang tanpa menghiraukan tangisannya yang mengira Sang Ibu telah tewas.

Tiba di rumah Sinen Urai Lingot, Urai Lingot dibiarkan begitu saja. Mereka langsung pulang ke rumah sendiri tanpa menghiraukan Urai Lingot yang terus menangis tanpa henti. Sebelum meninggalkan Urai Lingot, Sinen Urai Luang dan anaknya malah sempat mengejek dengan mengatakan agar Urai Lingot tidak usah menangis sebab sang ibu tidak akan kembali lagi.

Pagi harinya Sinen Urai Lingot siuman. Tetapi dia tidak dapat menggerakkan tubuh yang ditindih oleh batu besar. Dia hanya dapat menggerakkan tangan guna mengusap wajah yang penuh tanah. Usai mengusap wajah, tiba-tiba datang burung murai. Burung yang oleh masyarakat Dayak Kenyah dianggap sakti itu dimintai tolong agar memindahkan batu besar yang ada di atas tubuhnya.

Setelah batu berhasil disingkirkan, Sinen Urai Lingot berterima kasih pada Sang Murai. Dia kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan perut terasa lapar sehingga dia berhenti sejenak mencari sesuatu yang dapat dimakan. Kebetulan, tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah pohon cempedak berbuah lebat. Dipanjatnya pohon itu dan dimakan buahnya satu per satu hingga perut terasa kenyang.

Saat tengah asyik menyantap buah cempedak, muncul seekor babi hutan berjalan di bawah pohon mencari sisa-sisa cempedak yang jatuh di tanah. Tanpa pikir panjang, babi tadi dilempar dengan sebuah cempedak besar tepat mengenai bagian telinga (bagian vital) hingga mati seketika. Selanjutnya, kedua kaki babi diikat lalu dipanggul menuju rumah.

Sampai di depan rumah Sinen Urai Lingot disambut gembira oleh Urai Lingot. Dia tidak menyangka Sang Ibu ternyata masih hidup. Padahal, dia melihat dengan kepala sendiri kalau Sang ibu telah dipukul oleh Sinen Urai Luang dan tubuhnya ditimbun batu. Kegembiraannya juga bertambah ketika melihat Sinen Urai Lingot datang membawa seekor babi hutan besar.

Singkat cerita, setelah anak-beranak tadi bekumpul kembali, Sinen Urai Lingot melanjutkan dengan memotong daging babi hutan menjadi beberapa bagian. Oleh karena sifatnya yang baik hati, daging tidak dikonsumsi sendiri, melainkan dibagikan pada para tetangga, tanpa terkecuali Sinen Urai Luang. Sore hari Sinen Urai Luang dan Urai Luang datang dan meminta maaf atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi. Mereka pun akhirnya berdamai dan persahabatan kembali seperti sedia kala.

Diceritakan kembali oleh Gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive