Hikayat Cindabaya merupakan hasil transliterasi dari sebuah naskah yang ditulis dalam huruf Arab (BR 206) oleh Jumsari Jusuf. Hikayat ini dapat digolongkan pada karya sastra masa peralihan, yaitu karya sastra yang ditulis pada masa antara agama Hindu dan masuknya agama Islam. Sebagai karya sastra masa peralihan, Hikayat Cindabaya memiliki ciri sebagai sebrikut: (1) dalam penyebutan nama Tuhan, tidak lagi digunakan kata dewata, melainkan menggunakan kata Allah Tuhan Yang Mahabesar dan Tuhan Robbul Alamin; (2) penggunaan kata brahmana dan pendeta masih dapat ditemukan, selain kata muslim; (3) tokoh utama mendapat kesaktian dari seorang pertama, sehingga ia dapat mengalahkan musuh-musuhnya; (4) jodoh putri raja ditemukan melalui sayembara dengan bantuan para ahli nujum.
Secara ringkas, dapat diceritakan bahwa hikayat ini mengisahkan pemuda miskin bernama Cindabaya. Ia berasal dari Negeri Bentuluk yang diperintah oleh Raja Ajrang. Berdasarkan ramal, Putri Mandusari akan mendapatkan jodoh pemuda kebanyakan. Karena tidak menghendaki putrinya bersuamikan orang kebanyakan, Raja Ajrang menyuruh burung garuda membawa Putri Mandusari ke dasar laut. Sementara itu Cindabaya yang mendengar tentang jodoh Putri Mandusari merasa ketakutan dan menerjunkan diri ke laut. Di dasar laut Cindabaya bertemu dengan Putri Mandusari. Kedua orang itu menjalin hubungan asmara. Dengan terpaksa Raja Ajrang menikahkan Cindabaya dengan Putri Mandusari dan membuang mereka ke suatu pulau. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, bernama Jayalengkara. Kemudian Putri Mandusari dan Jayalengkara melarikan diri dengan seorang saudagar yang terdampar di pulau itu. Cindabaya berhasil menemukan istri dan anaknya, tetapi ia meninggal dunia. Kemudian Cindabaya bersama Jayalengkara mengembara. Selanjutnya Jayalengkara berhasil menjadi raja besar di Negeri Bujangga Dewa.
Untuk membuktikan bahwa hikayat ini merupakan karya sastra masa peralihan, dapat dikutipkan hal sebagai berikut.
Maka sembah segala perdana menteri, “Hamba tiada berani melarikan orang punya jodo sebab itu jodo sudah ditentukan Tuhan Robbul Alamin (1991: 3).
Tampak pada kutipan itu sudah digunakan kata Tuhan. Kata brahmana dan pendeta yang merupakan ciri ke-Hindu-an juga dapat ditemukan dalam hikayat ini.
Maka dengan kuasa-Nya Tuhan bertemulah kepada pendeta bernama Brahmana. Lagi ia bertapa di dalam gua itu. Maka Raden Mukadam melihat kakek tua serta jenggotan (1991: 4).
Tokoh utama dalam hikayat ini, Jayalengkara, mendapat kesaktian dari seorang pendeta yang bernama Brahmana.
“Ya cucuku, tetapi dari itu cucuku punya kehendak kakek mengetahui dan tetapi cucuku di sini saja barang satu bulan dua bulan nanti kakek ajarkan buat menghadap perang kepada jin kafir itu bernama Jin Ifrik dan kapan cucuku sudah mengetahui suatu ayat ini niscaya jin tiada berani menghadap dengan cucuku.” (1991: 91).
Pengaruh ke-Hindu-an yang lain, yang dapat ditemukan pada hikayat ini ialah nama orang. Misalnya Putri Mandusari, Maharaja Bujangga Dewa, Ismaya Dewi, Naga Pertala, peri, mambang dan raksasa.
Dalam hikayat ini, dapat ditemukan unsur pendidikan. Unsur pendidikan itu tercermin dari perbuatan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh Jayalengkara sebagai seorang ksatria. Jayalengkara memegang teguh janji dan menghormati gurunya walaupun harus berpisah dengan istrinya.
Maka berkatalah Naga Pertala seraya katanya, “Hai cucuku Jayalengkara, tetapi eyang berpesan kepada cucuku, tetapi cucuku jangan ajarkan kepada orang yang lain. Kapan cucuku ajarkan (kepada) orang lain niscaya cucuku mati, sebab eyang ajarkan kepada cucuku karena eyang dapat malu, eyang mahu mati, tetapi eyang berpesan poma-poma kepada cucuku. (1991: 68)
Permintaan istrinya untuk diajari kesaktian yang dapat mengetahui bahasa segala binatang tidak dpenuhi oleh Jayalengkara. Akibatnya istri Jayalengkara melakukan pati obong (mati dengan membakar diri).
Ada kemungkinan bahwa salah satu episode dalam Hikayat Cindabaya merupakan versi lain dari cerita Prabu Anglingdarma. Tokoh Jayalengkara dan Prabu Anglingdarma memiliki kesaktian yang sama, yaitu dapat mengetahui bahasa segala binatang yang diperolehnya dari sumber yang sama, yaitu Naga Pertala. Istri Prabu Anglingdarma juga melakukan pati obong seperti yang dilakukan oleh istri Jayalengkara. Jika dirunut, cerita ini dapat dikaitkan dengan Nabi Sulaiman yang mendapat mujizat dapat mengetahui bahasa segala binatang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam memunculkan Jayalengkara dan Prabu Anglingdarma diilhami oleh kisah Nabi Sulaiman.
Sumber:
Jusuf, Jumsari. 1991. Hikayat Cindabaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.