Hikayat Raja Fakir Mahdi merupakan hasil transliterasi sebuah naskah kuna dalam hurub Arab berbahasa Melayu yang dilakukan oleh Putri Minerva Mutiara dan diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah 1991. Hikayat ini termasuk ke dalam kelompok cerita pelipur lara karena diceritakan oleh “kata yang empunya cerita”. Berdasarkan isinya hikayat ini dapat digolongkan ke dalam karya sastra zaman peralihan. Sebagai buktinya, dapat dikemukakan beberapa hal seperti: (1) adanya unsur sayembara; (2) adanya unsur mukjizat dan pertolongan terhadap tokoh utama; (3) adanya unsur pengembaraan yang dilakukan oleh tokoh utama; (4) adanya ciri-ciri Islam, seperti kata pembuka Wahibi santain ba Allah alaidin dan sedekah serta kadhi; (5) adanya ciri-ciri Hindu seperti penjemaan dewa menjadi manusia atau sebaliknya, serta unsur mimpi.
Pada intinya, Hikayat Raja Fakir Mahdi mengisahkan percintaan, perpisahan dan penderitaan Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti. Silsilah keturunan Raja Kadis, anak Raja Keindraan yang turun ke dunia demi cintanya kepada Putri Mangandara Kemaladewi. Raja Kadis dan Putri Nangandara Kemaladewi mempunyai seorang putra bernama Raja Kamdi memerintah di Negeri Ujan dan menikah dengan Dewi Sanurat. Dari hasil perkawinan tersebut Raja Kamdi dianugerahi putera yang diberi nama Raja Saat. Setelah dewasa Raja Saat menikah dengan Putri Sinar Bulan dan dianugerahi putera, Raja Fakir Mahdi.
Raja Fakir Mahdi menggantikan kedudukan ayahnya, Raja Saat, memerintah di Negeri Ujan. Ia menikah dengan seorang puteri raja Negeri Gangga Pura bernama Putri Cinta Bakti. Sebagai tanda hormat kepada kedua orangtuanya yang sudah tiada, Raja Fakir Mahdi membangun sebuah mahligai yang indah. Akan tetapi menurut Gagak Tambara, penunggu pintu keindraan mahligai Raja Fakir Mahdi masih kalah indah jika dibandingkan dengan mahligai yang ada di keindraan. Raja Fakir Mahdi penasaran dan pergi ke keindraan. Selama tujuh hari di keindraan, ia mendapat berbagai hadiah, diantaranya sebuah singgasana kesaktian.
Sepulangnya dari keindraan, Raja Fakir Mahdi membagikan derma dan sedekah kepada fakir miskin dan brahmana. Pada suatu hari Raja Fakir Mahdi dihadap oleh celaka dan bahagia yang minta hukuman yang tepat. Raja Fakir Mahdi memutuskan celaka sebagai pihak yang baik. Mulai saat itulah Raja Fakir Mahdi selalu didekati oleh celaka.
Selanjutnya Raja Fakir Mahdi memutuskan untuk meninggalkan kerajaan bersama isterinya. Di perjalanan mereka selalu menemui celaka sehingga keduanya berpisah. Kemudian Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti masing-masing mengembara. Dalam pengembaraan Raja Fakir Mahdi beralih nama menjadi Bikam dan menikah dengan putri Raja Badarsyah yang bernama Putri Bungsu.
Selanjutnya Raja Fakir Mahdi berhasil bertemu dengan Putri Cinta Bakti yang menyamar dengan nama Jirak dan menjadi hamba sahaya Ganjit, istri Adipati Saudagar, atas pertolongan Tala Betala. Akhirnya Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti hidup bahagia dan kembali memerintah Negeri Ujan.
Dari hikayat ini dapat dikemukakan suatu episode cerita yang memiliki makna didaktis, yaitu Raja Fakir Mahdi dihadap oleh celaka dan bahagia.
Bermula pada suatu hari Raja Fakir Mahdi pun duduk di atas singgasana kesaktian di adap oleh Mangkubumi dan segala hulubalang menteri sekalian. Maka celaka dan bahagia pun datang ke hadapan Raja Fakir Mahdi katanya, “Hai Raja Besar, hukumlah kami berdua ini. Katakanlah oleh raja, baiklah atau tidakkah bahagian atau baiklah celakakah” (1991: 105).
Sejenak Raja Fakir Mahdi termenung mendapat pertanyaan yang seperti itu, namun kemudian dengan tegas ia memilih dan memutuskan celaka sebagai pihak yang baik. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ia akan mengalami celaka dan bahagia dalam hidupnya. Jika memilih bahagia, Raja Fakir Mahdi akan memperoleh kebahagiaan selama 12 tahun kemudian memperoleh celaka. Sebaliknya jika memilih celaka Raja Fakir Mahdi akan memperoleh celaka selama 12 tahun kemudian memperoleh kebahagiaan.
Tampak dalam hal ini bahwa Raja Fakir Mahdi sangat bijaksana dan penuh perhitungan. Ia berkeyakinan bahwa lebih baik celaka selagi muda dan baru mendapat kebahagiaan di hari tua kelak, daripada mendapat kebahagiaan di waktu muda, tetapi menderita di kemudian hari. Tersirat dalam hal ini bahwa keputusan yang seperti ini memang diperlukan bagi seorang raja besar. Sebagai pemimpin ia harus dapat mengayomi rakyatnya dan harus dapat berbuat bijak dan adil demi bahwannya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu tanpa dipikir masak-masak, apalagi keputusan yang bertalian dengan nasib seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita pelipur lara seperti Hikayat Raja Fakir Mahdi, tidak sekedar berfungsi menghibur, tetapi juga mengandung pesan kehidupan yang dapat dipedomani oleh pembacanya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.