Asal-usul
Di Kampung Pasir Kuda, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur ada sebuah kesenian tradisinonal yang bernama reak, yaitu sebuah kesenian yang merupakan perpaduan antara: reog, angklung, kendang pencak, dan topeng. Konon, kesenian ini lahir sekitar abad ke-12. Ketika itu Prabu Kiansantang (putra Prabu Siliwangi) menginginkan agar penduduk pulau Jawa, khususnya Jawa Barat menganut agama Islam. Dalam agama Islam ada kewajiban bahwa seorang anak laki-laki mesti dikhitan. Mengingat bahwa khitanan berarti memotong bagian ujung penis, maka dalam pelaksanaanya seringkali membuat anak menjadi ketakutan. Untuk itu, para sesepuh Sumedang menciptakan suatu kesenian dengan tujuan agar yang disunat terhibur, sehingga mengurangi rasa takut. Dan, kesenian itu disebut sebagai “reak” karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian, sehingga mewujudkan kehiruk-pikukan dan kesorak-soraian baik dari pemain maupun penonton. Sekitar tahun 50-an kesenian ini dibawa oleh para pedagang Sumedang ke daerah Cianjur. Oleh karena itu, para senimannya adalah keturunan orang Sumedang yang telah menjadi warga Cianjur, antara lain: H. Munandar, Sumria, Kahdi, Dana, dan Sumardi.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam kesenian tradisional reak ini adalah: dogdog yang terbuat dari kayu dan kulit, angklung yang terbuat dari bambu, kendang yang terbuat dari kayu dan kulit, goong yang terbuat dari perunggu, terompet yang terbuat dari kayu dan tempurung, topeng yang terbuat dari karton (kertas) dan kulit, dan kecrek yang terbuat dari besi.
Pemain dan Busana
Ciri khas kesenian yang disebut sebagai reak ini adalah “susurakan” atau “eak-eakan” (sorak-sorai). Oleh karena itu, jumlah pemainnya minimal 20 orang. Lebih banyak lebih baik (misalnya 30 orang). Mereka terdiri atas: 4 orang pemegang alat reog, 4 orang penggendang pencak, 10 orang pengangklung, 2 orang penari topeng, 6 orang penari, dan 4 orang pengecrek. Adapun busana yang dikenakan adalah pakain sehari-hari (apa adanya). Dengan perkataan lain, tidak seragam.
Pementasan
Pementasan diawali dengan penabuhan dogdog. Bersamaan dengan tetabuhan ini para pemain berjalan mengelilingi arena, termasuk para penggendang, pengangklung, dan pengegoong. Ini adalah suatu pengenalan agar para penonton mengetahui orang-orang yang akan memainkan kesenian ini. Setelah semuanya sudah diperkenalkan, maka pemimpinnya memberi sambutan yang isinya permohonan maaf jika dalam pementasan ada kekhilafan. Selain itu, juga ucapan terma kasih baik kepada yang punya khajat maupun penonton. Setelah itu, barulah semua peralatan dibunyikan sesuai dengan lagu-lagu yang diminta oleh si empunya khajat. Dan, bersamaan dengan itu para pemain masing-masing menunjukkan kehebatannya. Dalam hal ini mereka tidak hanya menunjukkan kelincahan dalam menggerakkan tubuh dan memainkan peralatan, tetapi juga menunjukkan gerakan-gerakan sedemikian rupa, sehingga menarik penonton. Pendek kata, semuanya berusaha agar para penonton bersorak-sorai dan tertawa terpingkal-pingkal. Demikian, seterusnya sampai lagu-lagu yang diminta oleh yang punya khajat terpenuhi. Dan, dengan terpenuhinya lagu-lagu itu, maka Sang pemimpin kembali memberi sambutan penutup yang isinya kurang lebih sama dengan sambutan pembukaan. Dan, dengan selesainya sambutan, maka pementasan reak pun berakhir.
Lagu-lagu
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam sebuah pementasan reak pada umumnya lagu-lagu yang berjenis pupuh atau wawacan. Adakalanya, juga jenis-jenis lagu Sunda lainnya.
Fungsi
Kesenian yang disebut sebagai reak ini pada mulanya memang sangat erat kaitannya dengan Islam karena khitan adalah salah satu syarat bagi seseorang (laki-laki) yang masuk Islam. Namun, bukan berarti bahwa reak bermakna religius karena kesenian ini pada dasarnya hanya untuk menghibur anak yang akan dikhitan. Dalam perkembangannya fungsinya juga tidak berubah, yaitu sebagai hiburan. Lepas dari berbagai fungsi itu, sebagaimana jenis kesenian lainnya yang ada di daerah Cianjur, kesenian reak juga sekaligus berfungsi sebagai identitas masyarakat pendukungnya. Ini bermakna bahwa kesenian tradisional reak merupakan salah satu unsur jatidiri masyarakat Kampung Pasir Kuda, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur.
Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional reak yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Kampung Pasir Kuda, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam reak tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerjasama, kekompakan, ketertiban, ketekunan, kreativitas, kesadaran. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan dan teknik pemukulan perangkat reak. Nilai kreativitas tercermin dari adanya usaha untuk menampilkan gerak yang bisa membuat penonton terpingkal-pingkal. Dan, nilai kesadaran tercermin dari pengakuan bahwa manusia tidak lepas dari kekhilafan sebagaimana yang disamping ketua reak dalam sambutan pembukaan dan penutupan. (ali gufron)
Galba, Sindu. 2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.
Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.