Pengantar
Cibiru Wetan adalah salah satu desa yang tergabung dalam Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Pada mulanya Desa Cibiru Wetan merupakan bagian dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung. Namun, pemekaran atas desa itu yang dilakukan pada tahun 1982 pada gilirannya membuat Cibiru Wetan, Cibiru Kulon, dan Cibiru Hlir menjadi desa tersendiri. Dengan perkataan lain, Desa Cibiru dipecah menjadi tiga. Sementara itu, Ujungberung itu sendiri termasuk dalam wilayah Kota Bandung. Sedangkan, Desa Cibiru menjadi kecamatan yang termasuk dalam Kota Bandung. Secara geografis desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Gunung Manglayang itu sendiri; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibiru Kulon; sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibiru Wetan dan Desa Desa Cilengkrang; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cimekar. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi (berbukit-bukit) yang mendominasinya.
Secara keseluruhan, luas desa ini mencapai 295 Ha, dengan rincian: perumahan penduduk (71,5 Ha atau 24,24%), sawah (2 Ha atau 0,67%), tegalan/ladang (153,5 Ha atau 45,93%), empang/kolam (1,5 Ha atau 0,5%), kas desa (12,5 Ha atau 4,24%), lapangan (3 Ha atau 1,01%), perkantoran pemerintah (2,05 Ha atau 0,69%), dan lain-lain4) (48,95 Ha atau 16,59%) (Potensi Desa Cibiru Wetan, Tahun 2005). Ini bermakna bahwa luas wilayah Desa Cibiru Wetan sebagian besar (45,93%) berupa tegalan/ladang yang terbentang di sekitar puncak Gunung Manglayang, tepatnya di wilayah Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan. Wilayah perkampungan tersebut memang cocok untuk areal perladangan karena disamping persediaan air terbatas, tanahnya berbukit-bukit. Oleh karena itu, areal persawahan luasnya hanya 2 Ha (0,67%). Itu pun hanya ada di wilayah desa bagian bawah (kaki Gunung Manglayang). Dewasa ini areal persawahan itu telah berubah fungsi menjadi tempat pemeliharaan atau pembenihan ikan (empang/kolam) dan kolam pemancingan (1,5 Ha). Selebihnya, telah menjadi perumahan penduduk (0,5 Ha). Dengan demikian, warga masyarakat Desa Cibiru Wetan hanya dapat melihat persawahan yang ada di desa-desa tetangga (Desa Cibiru Kulon dan Desa Cimekar). Luas desa secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TABEL 1
LAHAN DESA CIBIRU WETAN BERDASARKAN
PENGGUNAANNYA
No
Jenis Lahan
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Sawah
Perumahan
Tegalan/ladang
Empang/kolam
Kas Desa
Lapangan
Perkantoran Pemerintah
Lain-lain
2
71,5
153,5
1,5
12,5
3
2,05
48,95
0,67
24,24
45,93
0,5
4,24
1,01
0.69
16.59
295
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Sebagaimana daerah Jawa Barat pada umumnya, bahkan daerah Indonesia pada umumnya; Desa Cibiru Wetan beriklim tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April sampai September. Sedangkan, musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober sampai dengan Maret. Curah hujannya rata-rata 3.060 milimeter per tahun. Sementara itu, suhu udaranya berkisar dari 18° Celcius sampai dengan 30° Celcius.
Jarak desa ini dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 15 Km. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung (Soreang) kurang lebih 20 Km. Meskipun desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, bukan berarti bahwa desa tersebut terisolir, karena di salah satu wilayahnya dilalui jalan raya (Jalan Raya Cibiru) yang menghubungkan daerah atau kota-kota lain di Pulau Jawa.
Flora dan Fauna
Desa Cibiru Wetan, sebagimana telah disinggung pada bagian depan, diselimuti oleh iklim tropis. Oleh karena itu, berbagai jenis tanaman yang tumbuh di sana adalah tanaman tropis, seperti: jambu biji, mangga, pisang, jeruk bali, jagung, kol, tomat, pecai, dan singkong. Selain itu, ada pohon cemara atau pinus, jati, albasiah, baringtonia, dan lain sebagainya. Jenis pohon itu mendominasi hutan lindung yang luasnya mencapai 30 Ha. Sementara itu, pepohonan seperti: nangka, alpukat, kopi, aren, limus, tumbuh di pinggiran hutan lindung sebagai pembatas antara hutan lindung dan pemukiman penduduk. Dan, adanya pepohonan itu adalah berkat kerjasama antara Dinas Perhutani dan warga masyarakat setempat.
Ada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Dinas Perhutani berkenaan dengan kelestarian hutan lindung yang ada di wilayah Desa Cibiru Wetan. Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Tidak boleh menebang pepohonan yang ada di hutan lindung; (2) Warga diperkenankan mengambil atau memanen buah-buahan yang ada di hutan lindung dengan catatan hasilnya dibagi dua dengan Dinas Perhutani; (3) Pepohonan yang ada di “daerah perbatasan” (antara pemukiman penduduk dan hutan lindung) tidak boleh ditebang, tetapi buahnya sepenuhnya menjadi milik warga masyarakat setempat.
Desa Cibiru Wetan memang sebagian wilayahnya berupa hutan. Di masa lalu mungkin banyak binatang buasnya (harimau). Namun, dewasa ini tidak ada; yang ada adalah berbagai binatang yang tergolong serangga, unggas, binatang melata (ular), dan babi hutan yang hidup lepas di hutan. Selain berbagai binatang yang hidup secara lepas di hutan, ada juga berbagai binatang yang dipelihara atau diternakkan, seperti: ayam, kambing, domba, kerbau, sapi-perah, dan anjing.
Kependudukan
Penduduk Desa Cibiru Wetan berjumlah 11.336 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.115. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 7.721 jiwa (50,5%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 5.615 jiwa (49,5%) (Potensi Desa Cibiru Wetan, 2005).
Untuk ukuran sebuah desa, jumlah penduduk Desa Cibiru Wetan tergolong besar. Salah satu faktor penyebabnya adalah desa tersebut relatif dekat dengan pusat-pusat keramaian (kota). Malahan, berbatasan dengan wilayah kota Bandung. Keberadaan desa yang relatif tidak jauh dari pusat-pusat keramaian ini pada gilirannya membuat jumlah penduduknya berkembang pesat, khususnya di sekitar Jalan Raya Cibiru, sehingga penduduk yang bermukim di wilayah tersebut lebih padat ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Dengan perkataan lain, wilayah desa bagian bawah relatif padat ketimbang wilayah bagian tengah dan bagian atas (lereng Gunung Manglayang), karena disamping bagian tengah dan atas relatif jauh dari pusat keramaian, kedua wilayah ini merupakan areal perladangan dan kawasan hutan lindung.
Jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0—14 tahun ada 3.236 jiwa (28,54%), kemudian yang berusia 15—54 tahuan ada 7.360 (64,93%), dan yang berusia 54 tahun ke atas 740 jiwa (6,52%). Ini menunjukkan bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar berusia produktif. Golongan umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TABEL 2
PENDUDUK DESA CIBIRU WETAN BERDASARKAN
GOLONGAN UMUR
No
Golongan Umur
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0—4
5—9
10—14
15—19
20—24
25—29
30—34
35—39
40—44
45—49
50—54
54—ke atas
1.049
978
1.209
1.315
1.362
1.292
770
716
626
602
677
740
9,25
9,62
10,66
11,60
12,01
11,39
6,79
6,31
5,52
5,31
5,97
6,52
11.336
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Pola Pemukiman
Dari segi luas, pemukiman menempati urutan yang kedua setelah ladang, yaitu 71,5 Ha (24,24%). Pemukiman yang tentunya berada di luar hutan lindung dan perladangan ini semakin mendekati Jalan Raya Cibiru (perkotaan) semakin padat. Umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan provinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan.
Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 2.752 rumah. Tidak semua rumah berdinding tembok, berlantai semen dan atau keramik. Akan tetapi, ada juga rumah panggung yang berdinding kayu atau bambu dan berlantai kayu. Rumah seperti ini jumlahnya sekitar 200-an buah (kurang dari 10%) dan berada di bagian desa yang letaknya dekat dengan lereng Gunung Manglayang. Jarak antar rumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah “bawah” umumnya jarak antar rumah berdekatan, malahan, banyak yang berhimpitan. Namun, semakin ke “atas” jarak antar rumah itu semakin renggang atau jauh. Pada daerah “tengah” dan “atas” jarak antar rumah yang berupa pekarangan itu umumnya ditanami tanaman buah dan tanaman hias.
Selain rumah-rumah yang dibangun warga secara perorangan yang cenderung kurang beraturan, di wilayah Desa Cibiru Wetan juga terdapat perumahan yang dibangun oleh pengembang perumahan swasta. Perumahan yang bentuk dan ukurannya sama itu terdapat di kampung-kampung yang langsung berbatasan dengan Jalan Cibiru, seperti: Kampung Cibiru (Indah), Warung Gede, dan Kampung Lio-Warung Gede.
Perumahan yang ada di Desa Cibiru Wetan ini, baik yang berada di daerah “bawah” (kaki Gunung Manglayang), “tengah” maupun “atas” (kawasan puncak Gunung Manglayang), telah tersentuh oleh jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jaringan telepon rumah juga telah ada di desa ini, khususnya di wilayah desa bagian bawah dan tengah. Sedangkan, wilayah bagian atas (Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan) belum terjangkau. Namun demikian, sinyal berbagai telepon seluler (handphone) ada di daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di desa tersebut terdapat warung telepon (wartel) dan atau kios telepon (kiospon). Siaran-siaran media elektronik (televisi), baik nasional (TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, Lativi, Trans TV, dan Metro TV) maupun daerah (TVRI Bandung dan Bandung TV), serta radio baik pemerintah maupun swasta juga dapat diterima dengan jelas di desa ini. Media cetak seperti: Kompas, Tempo, dan Pikaran Rakyat juga dapat diperoleh dengan mudah, khususnya di wilayah desa bagian bawah.
Sementara itu, Perusahaan Air Minum (PAM) belum ada di desa ini. Sehubungan dengan itu, air bersih untuk keperluan mandi, cuci, dan minum diperoleh dari sumur gali, sumur pompa, dan mata air. Berdasarkan data dari Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, terdapat 305 unit sumur gali yang dimanfaatkan oleh 428 KK, 593 sumur pompa yang dimanfaatkan oleh 830 KK, dan 4 buah mata air yang dimanfaatkan oleh 300 KK. Ini artinya, kebutuhan air bersih pada warga masyarakat Desa Cibiru Wetan diperoleh melalui berbagai cara, bergantung letak geografisnya. Para warga yang berada di daerah “bawah” (kaki Gunung Manglayang) misalnya, mereka dapat membuat sumur gali atau pompa karena kedalaman air tanah hanya sekitar 10—30 meter. Akan tetapi, bagi para warga yang berada di daerah “tengah”, lebih-lebih bagian “atas” (kawasan lereng Gunung Manglayang), seperti Kampung Cikoneng I, II, dan III, hal itu sulit dilakukan karena kedalaman air tanahnya bisa mencapai ratusan meter. Untuk itu, mereka menggantungkan sepenuhnya kepada kemurahan alam, yaitu sumber-sumber mata air yang berada di sekitar kawasan puncak Gunung Manglayang, seperti: Lembah Neunduet, Seke Saladah, Gadog, dan Pangguyangan Badak5). Caranya adalah dengan membuat bak tampungan, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan ladang melalui pipa/selang plastik yang diameternya sekitar 2 Cm.
Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan sangat beragam. Mereka tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Akan tetapi, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Kemudian, ada juga yang berjualan di Pasar Ujungberung, Cileunyi, dan di rumah sebagai pedagang kelontong. Dan, ada juga yang membuat keranjang bambu atas pesanan perusahaan kecap dan para petani sayur yang ada di Lembang. Selain itu, masih banyak jenis matapencaharian lainnya, seperti: penjahit, montir, peternak, peladang, dan lain sebagainya.
TABEL 3
JENIS-JENIS MATA PENCAHARIAN PENDUDUK
DESA CIBIRU WETAN
No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pegawai Negeri
Petani
Buruh Tani
Buruh/swasta6)
Pengrajin
Pedagang/warung
Penjahit
Peternak
Dokter
Montir
346
204
532
472
68
196
5
861
2
34
12,72
7,50
19,55
17,53
2,50
7,23
0,18
31,65
0,07
1,25
Jumlah
2720
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar warga masyarakat Desa Cibiru Wetan adalah bertenak (31,65%). Urutan kedua adalah buruh tani (19,55%), disusul oleh buruh/swasta (17,35%) dan pagawai negeri (12,72%). Selebihnya, adalah: pedagang, penjahit, dokter dan montir. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan cukup bervariasi. Bervariasinya jenis mata pencaharian itu sangat erat kaitannya dengan letak desa yang langsung berbatasan dengan wilayah kota, yaitu Kota Bandung yang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat-pusat yang lain, termasuk ekonomi/perdagangan. Selain itu, tidak jauh desa ini (kurang lebih 4—10 Km), tepatnya di daerah Cilengkarang, Rancaekek, dan Ujungberung sendiri, bermunculan berbagai macam industri, antara lain tekstil.
Peranan Kota Bandung sebagai pusat berbagai kegiatan, ditambah dengan relatif tidak jauhnya dengan “kawasan industri”, tentunya akan berimbas pada usaha yang dilakukan oleh warga masyarakat desa-desa yang ada di sekitarnya, termasuk Desa Cibiru Wetan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan cukup beragam, sebagaimana yang terlihat pada tabel di atas. Walaupun demikian, mata pencaharian di sektor pertanian (petani, buruh tani, dan peternak) merupakan yang terbesar. Jumlah keseluruhannya mencapai 1.597 jiwa (58,80%).
Berladang
Koentjaraningrat (1985) membagi kegiatan bercocok tanam dalam dua kategori, yaitu bercocok tanam di ladang dan bercocok tanam menetap. Kedua kategori itu termasuk usaha dalam bidang pertanian. Dan, orang yang berusaha di bidang itu, termasuk berternak, di daerah pedesaan oleh Wolf (1985) disebut sebagai petani. Jadi, bukan di ruangan-ruangan tertutup (greenhouse) di tengah kota atau dalam kotak-kotak aspidistra yang diletakkan di ambang jendela seperti yang banyak dilakukan oleh orang Jepang. Wolf (1985) juga menyebutkan bahwa petani pedesaan (peasant) di luar Eropa dan Amerika adalah petani subsisten. Artinya, orientasinya bukan ekonomi pasar atau sebuah perusahaan bisnis tetapi ekonomi keluarga (mengelola sebuah rumah tangga). Oleh karena itu, Tohir mengatakan bahwa berladang merupakan salah satu bentuk pertanian dalam arti luas karena mempunyai syarat-syarat: (1) dalam proses produksi hanya terbentuk bahan-bahan organis yang berasalkan dari zat-zat anorganis dengan bantuan tumbuh-tumbuhan atau hewan seperti: ternak, ikan, ulat sutera, laba-laba, dan sebagainya; (2) adanya usaha untuk memperbaharui proses produksi yang bersifat “reproduktif” dan atau “usaha pelestarian” (Tohir; 1991: 2).
Pada masa lalu masyarakat Jawa Barat yang penduduk aslinya adalah sukubangsa Sunda pada umumnya bermatapencaharian sebagai peladang. Bukti-bukti yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah peladang, antara lain terdapat pada naskah kuno Carita Parahyangan. Dalam naskah tersebut hanya dijumpai satu perkataan “sawah” dalam rangkaian nama “sawah tampaian dalun”. Naskah tersebut juga menyebutkan bahwa titisan Pancakusika yang berjumlah lima orang, tiga di antaranya menjadi pehuma (peladang), penggerek (pemburu), dan penyadap. Herayati, dkk. (1990:20) menyebutkan bahwa ketiga jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan di ladang.
Pertanian sawah yang menggunakan sistem irigasi baru dikenal oleh masyarakat Jawa Barat sekitar abad ke-18 Masehi (Ekajati, Edi S, 1980:180). Berita pertama mengenai perluasan sawah ke tanah pegunungan di Jawa Barat adalah sekitar tahun 1750 di kawasan Sumedang dan Tasikmalaya. Setengah abad kemudian di lembah dataran tinggi Bandung dan Bogor. Dewasa ini pertanian sawah dengan sistem irigasi telah hampir menyeluruh, sehingga dikenal beberapa nama tempat lumbung padi, seperti: Cianjur, Sumedang, Karawang, dan Indramayu. Malahan, beras Cianjur sangat populer sehingga tidak hanya dikenal oleh warga masyarakat Jawa Barat semata, tetapi warga masyarakat daerah lainnya di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti bahwa seluruh wilayah daerah Jawa Barat lepas dari perladangan karena di dataran tinggi Jawa Barat bagian tengah dan di kawasan pantai selatan masih ditemui areal perladangan. Di kawasan puncak Gunung Manglayang misalnya, di sana banyak dijumpai areal perladangan, termasuk di sebagian wilayah Desa Cibiru Wetan, tepatnya di Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan. Keempat kampung tersebut memang letaknya di kawasan puncak Gunung Manglayang. Kemiringan tanahnya yang cukup tajam ditambah dengan keterbatasan sumber airnya pada gilirannya membuat warga setempat sulit untuk mengusahakan pertanian dengan sistem irigasi (sawah). Oleh karena itu, mereka melakukan perladangan karena tanaman ladang tidak membutuhkan air yang begitu banyak dibanding sawah. Sedangkan, jenis tanaman yang dibudidayakan oleh mereka adalah: padi ladang (2 Ha), cabe (5 Ha), kacang tanah (35 Ha), jagung (80 Ha), tomat, kubis, pecai, dan kentang yang luasnya mencapai 25,5 Ha.
Ladang atau huma yang ada di Desa Cibiru Wetan pada umumnya bukan ladang yang baru (ladang lanjutan). Artinya, para peladang di sana hanya meneruskan ladang yang sudah ada. Jadi, mereka tidak perlu berpindah-pindah tempat seperti pada masa lalu. Konon, di masa lalu ladang yang tidak subur lagi akan ditinggalkan dengan membuka ladang baru di lain tempat. Akan tetapi, kini hal itu tidak dilakukan lagi. Tanah yang tidak subur dibiarkan begitu saja untuk beberapa musim. Setelah itu, digarap kembali dengan cara membersihkan semak-semaknya. Ladang yang ditumbuhi oleh semak-semak disebut sebagai reuma. Sedangkan, pembersihannya disebut ngareuma. Namun demikian, jika mereka ingin membuka ladang yang baru, maka mesti menebang pohon-pohon yang besar. Penebangan pohon-pohon ini disebut sebagai nyacar.
Kampung Cikoneng I, II, dan III adalah pemekaran dari sebuah kampung yang bernama “Cikoneng” pada tahun 1985. Asal mula nama kampung ini sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Konon, ketika para karuhun (pendiri kampung) mengadakan selamatan atas keberhasilannya membuka hutan dan mendirikan perumahan, maka gula yang dipakai untuk minuman adalah gula aren, yaitu gula yang terbuat dari pohon aren. Ternyata warna minuman berubah menjadi kuning. Oleh karena warna air minum berubah menjadi kuning maka kampung tersebut dinamai “Cikoneng”. “Ci” berasal dari kata “cai” (bahasa Sunda) yang artinya “air” (bahasa Indonesia), sedangkan “koneng” (bahasa Sunda) yang artinya “kuning” (bahasa Indonesia). Jadi, artinya “air yang berwarna kuning”.
Lokasi perladangan di keempat kampung itu sekitar 2 kilometer dari kantor Desa Cibiru Wetan atau 3 kilometer dari jalan raya Cibiru. Lokasi itu dapat dicapai melalui jalan-jalan yang relatif kecil sepanjang Cinunuk sampai dengan Ujungberung. Namun, jalan mana saja yang ditempuh, semakin mendekati perkampungan itu semakin menanjak. Bukan itu saja, kondisi jalannya cukup parah. Lubang ada di mana-mana. Bahkan, bebatuan yang dahulunya sebagai alas aspal, kini banyak tertebaran karena aspalnya telah mengelupas. Pada tahun 80-an memang pernah dilakukan pengaspalan jalan (dari Kampung Sindang Reret sampai dengan Cikoneng I). Namun, sampai saat ini pengaspalan tidak pernah dilakukan lagi, sehingga kondisi jalan semakin hari semakin parah. Meskipun demikian, angkutan umum yang berupa kol buntung dan ojeg sampai juga ke sana.
Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, penduduk yang bekerja di sektor pertanian (perladangan) tercatat 1.597 orang. Dari jumlah itu sebagian besar (1.051 orang atau 65,81%) mempunyai tanah perladangan. Sedangkan, selebihnya (546 orang atau 34,19%) tidak memilikinya. Dari jumlah yang memiliki tanah perladangan itu sendiri hanya sebagian kecil yang ladangnya mencapai 1 Ha lebih (20 orang atau 1,25%). Selebihnya (1.031 orang atau 64,56%) adalah peladang yang pemilikannya kurang dari 1 Ha. Meskipun demikian, yang sama sekali tidak memiliki tanah perladangan dapat saja menggarap perladangan melalui berbagai cara. Misalnya, sistem sewa dan atau maro (nengah). Jika cara yang diambil adalah sistem sewa, maka untuk 100 tumbak (satu tumbak sama dengan 14 meter persegi) penyewa harus membayar sejumlah Rp50.000,00 per sekali penanaman. Namun, jika yang diambil dalam maro atau nengah adalah sistem bagi hasil, maka modal penggarapan dibagi dua, tetapi yang menggarap adalah penengah. Hasilnya dibagi dua antara pemilik dan penengah.
Proses Perladangan
Bercocok tanam adalah teknologi untuk menggarap tanah sampai menghasilkan panen tanaman untuk keperluan hidup (Koentjaraningrat, dkk, 2003:25). Secara umum proses bercocok tanam di ladang pada prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Tahap pengolahan tanah terdiri atas: ngaresik atau pembersihan tanah dari pepohonan kecil dan rerumputan, nguyab atau pembakaran pepohonan kecil atau rerumputan yang telah ditebang dan dicabut dalam proses ngaresik, ngeprek atau penggemburan tanah, ngagaritan atau pemetakan tanah, Ngalobang atau membuat lubang untuk memasukkan pupuk, dan ngaseuk atau membuat lubang untuk memasukkan benih. Tahap berikutnya adalah tahap penanaman yang biasanya dilakukan bersamaan dengan ngaseuk.
Tahap ketiga adalah pemeliharaan tanaman meliputi Ngabaladah yaitu pembersihan rerumputan liar di sekitar tanaman dan ngarabas yang sebenarnya sama dengan ngabaladah namun cara pengerjaannya yang berbeda. Ngabaladah dimulai dari bagian lebar ke arah panjang ladang, sedangkan ngarabas dimulai dari bagian panjang ke arah lebar ladang. Pemeliharaan tanaman tidak hanya berkaitan dengan kegiatan membersihakan rerumputan liar saja, tetapi juga menjaga kesuburan tanaman dan menjaga tanaman dari hama dan serangan binatang lain yang merusak tanaman.
Tahap terakhir adalah pemungutan dan pengolahan hasil. Tanaman ladang, apakah itu berupa padi-ladang, kunyit, gandum, kedelai, kacang tanah, maupun jagung, setelah dipungut kemudian dijemur. Padi-ladang misalnya, setelah dipungut kemudian dijemur dan disimpan. Padi yang dihasilkan oleh para peladang di Desa Cibiru Wetan bukan ditujukan untuk pasar (dijual ke pasaran), tetapi untuk kebutuhan rumah tangga. Kunyit setelah dijemur lalu dirontokkan dan ditampi agar kotorannya tersisih, sehingga bersih. Demikian juga untuk gandum, wijen, dan kedelai. Kemudian, kacang yang telah kering langsung disimpan dalam karung. Kacang sengaja tidak dikupas kulitnya agar bisa tahan lama. Sementara itu, jagung ada yang langsung dijual dan ada yang dijemur sampai kering. Setelah kering lalu dikupas kulitnya dan dirontokkan butir-butirnya dengan tangan.
Penjualan berbagai hasil panen perladangan umumnya melalui tengkulak yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai bandar. Bandar dapat dikategorikan berdasarkan apa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, ada bandar: jagung, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Mereka keluar-masuk kampung sehingga tahu persis masa-masa panen. Malahan, tidak hanya itu saja, mereka juga mengetahui peladang yang langsung menjual hasil panennya dan peladang yang menjualnya dikemudian hari.
Hasil panen yang telah dibeli oleh para bandar, seperti: kacang tanah, kedelai, cabe, dan jagung, dikumpulkan pada suatu tempat kemudian dibawa ke pasar Ujungberung, Gedebage, dan pasar Caringin dengan kol buntung. Sementara, ubi kayu (singkong) disetor ke pabrik-pabrik aci (tapioka) yang berada di Tasikmalaya dan Ciamis.
Beternak
Warga Kampung Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan yang tergabung dalam Desa Cibiru Wetan tidak hanya berladang, tetapi juga berternak. Ternak yang diusahakan oleh mereka adalah: sapi-perah, ayam, domba, dan kerbau. Usaha yang pada mulanya hanya merupakan sampingan ini lama-kelamaan menjadi penting, sejak kawasan puncak Gunung Manglayang dilanda longsor. Kelongsoran yang terjadi tahun 1977 ini membuat sebagian besar areal perladangan menjadi rusak. Pihak pemerintah menganggap bahwa longsornya kawasan itu disebabkan oleh gundulnya hutan karena banyaknya areal perladangan, sehingga ketika hujan lebat tidak ada pepohonan yang menahannya, lalu terjadilah kelongsoran. Untuk itu, agar tidak terjadi longsor lagi, setahun kemudian (1978) pemerintah menjadikan wilayah sekitar puncak Gunung Manglayang sebagai kawasan hutan lindung. Hutan lindung itu, 30 Ha diantaranya, berada di wilayah Desa Cibiru Wetan, tepatnya di Kampung Cikoneng I. Kemudian, agar warga kampung yang bersangkutan secara bertahap meninggalkan usahanya sebagai peladang, maka pemerintah menyediakan kredit pemilikan sapi-perah melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang pelaksanaannya diserahkan Koperasi Unit Desa (KUD) yang bernama “Sinar Jaya” yang berada di Cilengkrang yang ketika itu masih termasuk dalam wilayah Desa Cibiru.
Tahun demi tahun usaha di bidang peternakan ini, khususnya sapi-perah, menunjukkan keberhasilan, sehingga sedikit demi sedikit banyak warga yang mulai meninggalkan usahanya sebagai peladang, karena hasilnya lebih menjanjikan ketimbang berladang. Pada saat penelitian ini dilakukan jumlah sapi-perah yang berada di desa Cikoneng I mencapai 1.424 ekor, dengan produksi sekitar 4.500 liter per hari.
Dewasa ini sapi-perah tidak hanya dilirik oleh warga setempat, tetapi orang-orang berduit dari kota Bandung dan Jakarta. Mereka sengaja membeli sapi-perah, kemudian diserahkan atau diurus oleh warga setempat dengan sistem bagi hasil (hasilnya dibagi dua antara pemilik dan pemaro atau pemelihara). Agar sapi-perah dapat memproduksi susu sesuai yang diharapkan, maka kesehatan sapi menjadi penting. Untuk itu, perlu dibuatkan bangunan tempat tinggal binatang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) (1990: 385) disebut sebagai kandang. Letak kandang ada yang di sekitar rumah tinggal, tetapi ada juga yang dari jauh rumah, khususnya yang sapinya lebih dari 5 ekor. Kandang yang bentuknya persegi empat dan tidak berdinding, beratap genting. Lantainya disemen agar mudah dibersihkan.
Selain itu, sapi-perah perlu diberi makanan yang cukup. Makanan dan minuman itu berupa: dedek, bekatul, onggok, ampas tahu, bungkil kelapa, dan rumput gajah dan air minum yang dicampur dengan konsentrat. Dalam sehari sapi-perah perlu diberi makan sejumlah empat kali (pukul: 06.00, 10.00, 12.00, dan 15.00 WIB). Mengingat bahwa rerumputan merupakan makanan pokok sapi-perah, maka pihak KUD Sinar Jaya menyarankan agar areal perladangan perlu ditanami dengan rumput gajah. Dengan demikian, persediaan makanan sapi-perah akan lebih terjamin. Meskipun demikian, di musim kemarau, terkadang rerumputan yang ada di perladangan di Kampung Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan menjadi berkurang karena kekurangan air. Jika ini terjadi, maka peternak mencari rerumputan di daerah lain, seperti: Rancakalong, Sumedang, dan Buah Batu.
Selanjutnya, agar sapi-perah selalu sehat, maka kandang dan sapi-perah itu sendiri selalu dijaga kebersihannya. Setiap dua kali sehari sapi-perah dimandikan. Bagian putingnya betul-betul dibersihkan, sehingga ketika diperah, pemerahan susu bebas dari kotoran. Sementara itu, perawatan yang berkenaan dengan medis, KUD Sinar Jaya menyediakan dokter hewan, yang jika diperlukan, akan memberi pelayanan tentang pencegahan dan pengobatan ternak (sapi-perah). Obat-obatan yang digunakan untuk menjaga kesehatan atau untuk mengobati penyakit sapi yang dapat dilakukan sendiri oleh peternak diantaranya adalah: mineral, vitamin, dan vaksin. Mineral adalah tepung yang terbuat dari tulang yang berguna untuk menjaga kondisi sapi agar tidak lemah dan produksi susunya tetap stabil. Pemberian mineral biasanya dicampur dengan dedek dan dilakukan secara rutin setiap hari. Mineral dapat di beli di koperasi Sinar Jaya dengan harga Rp15.000.00 per kilogram. Satu kilogram mineral dapat digunakan untuk empat ekor sapi selama satu bulan. Selain mineral, peternak juga memberikan vitamin B Kompleks kepada sapinya agar daya tahannya terjamin.
Setiap sapi yang dipelihara harus mempunyai kartu recording dengan tujuan dapat mengetahui: umur, bangsa, jenis kelamin, waktu birahi, dewasa kelamin, dewasa, tubuh, kesehatan (penyakit sapi). Recording adalah kartu yang berfungsi sebagai identitas yang biasanya ditempelkan di kandang. Setiap sapi harus mempunyai kartu recording untuk mempermudah pemeriksaan sapi.
Pada saat sapi-perah telah berumur 2 tahun atau sudah memasuki masa birahi yang siklusnya berlangsung selama 18-21 hari sekali, dengan lama birahi antara satu sampai dua hari, maka dalam masa itu sapi harus dikawinkan agar dapat bunting, baik dengan cara alami maupun dengan inseminasi buatan. Mengingat bahwa mengawinkan sapi-perah secara alami agak sulit karena membutuhkan pejantan yang birahi, maka inseminasi buatan banyak dipilih oleh para peternak di Kampung Cikoneng I, II, III. Beberapa kelebihan cara ini adalah: (1) murah, (2) dapat menghemat sperma, (3) tingkat keberhasilan lebih besar ketimbang perkawinan alamiah, dan (4) dapat memperoleh keturunan yang lebih bagus karena bisa memilih sperma jenis sapi yang diinginkan. Untuk melakukan inseminasi buatan ini peternak mesti mendatangkan dokter hewan yang disediakan oleh KUD Sinar Jaya, dengan biaya Rp15.000,00.
Dalam satu hari peternak dapat melakukan pemerahan sejumlah dua kali, yaitu pukul 05.30 dan 15.30 WIB. Seekor sapi dapat menghasilkan 10 sampai dengan 18 liter susu. Susu tersebut dibeli oleh KUD Sinar Jaya dengan harga per liter Rp1.500,00. Meskipun ada harga yang tinggi dibanding harga yang dipatok oleh KUD Sinar Jaya, tetapi para peternak tidak leluasa menjual kepada pihak lain, seperti KUD Pasir Angin dan para bandar kecil; sebab jika diketahui maka peternak yang bersangkutan dapat dikeluarkan dari keanggotaan KUD Sinar Jaya. Oleh karena itu, peternak mengharapkan agar pihak KUD dapat menaikkan harga yang lebih pantas, misalnya Rp1.750,00.
Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cibiru Wetan meliputi: Taman Kanak-kanak (TK) sejumlah 4 buah), Sekolah Dasar (SD) sejumlah 6 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 1 buah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sejumlah 2 buah. Keempat TK tersebut yang jumlah gurunya ada 16 orang dapat menampung 172 siswa. Kemudian, keenam SD yang ada dapat menampung 1.461 siswa, dengan jumlah guru 45 orang. Sedangkan, kedua SLTA yang memiliki guru sejumlah 75 orang dapat menampung 1.700 siswa. Sementara itu, jumlah guru dan siswa yang dapat ditampung oleh sebuah SLTP yang ada belum diketahui karena pihak desa belum mendatanya.
Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Cibiru Wetan hanya sampai SLTA. Ini artinya, jika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, maka mesti keluar dari desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kota Bandung, karena tidak jauh dari desa tersebut ada perguruan tinggi, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Jati yang berada di Cibiru dan Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor. Selain itu, di Kota Bandung sendiri juga banyak perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh warga tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
TABEL 4
PENDUDUK DESA CIBIRU WETAN
BERDASARKAN PENDIDIKAN
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Belum sekolah
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat Akademi
Tamat Perguruan Tinggi
1.419
63
227
2.823
2.667
2.200
1.246
691
12,51
0,55
2,00
24,90
23,52
19,44
10,99
6,09
Jumlah
11.336
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai oleh penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar SD/sederajat (24,90%). Sebagian lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (23,53%) dan tamatan SLTA/sederajat (19,44%). Sedangkan, yang menamatkan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 17,08%.
Sementara itu, sarana kesehatan yang ada di Desa Cibiru Wetan adalah sebuah Puskesmas Pembantu dan 15 unit Posyandu dengan tenaga medis 6 orang yang terdiri atas: seorang dokter umum, seorang dokter gigi, dan 4 orang bidan. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di desanya, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada dua orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji. Jika ada yang sakit parah maka yang bersangkutan akan dirujuk ke rumah sakit-rumah sakit terdekat di Kota Bandung, seperti Rumah Sakit Santo Yosef dan Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin.
Transportasi
Desa Cibiru Wetan, sebagaimana telah disinggung pada bagian depan, adalah desa yang wilayahnya langsung berbatasan dengan wilayah kota Bandung, sehingga desa ini dapat dicapai dengan relatif mudah. Apalagi, sebagian wilayahnya dilintasi oleh Jalan Raya Cibiru yang tidak hanya menghubungkan kabupaten: Sumedang, Majalengka, Cirebon, Majalaya, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar, tetapi juga kota-kota yang ada di Jawa Tengah bagian utara dan selatan. Oleh karena itu, jalan ini seringkali padat7), sehingga kemacetan seringkali tidak bisa dihindari, khususnya di pertigaan Sindang Reret, karena di sekitar pertigaan ini seringkali angkutan kota ngetem (menunggu penumpang) dan atau menurunkan penumpang. Malahan, seringkali berhentinya secara tiba-tiba dan posisinya menyulitkan bagi kendaraan lain yang akan mendahuluinya. Jalan yang sering mengalami kemacetan ini, selain seakan-akan membelah desa Cibiru Wetan menjadi dua bagian, tetapi juga sekaligus menjadi pembatas antara Kampung Lio dan Kampung Sindang Reret.
Selain itu, di dalam desa itu sendiri juga ada jalan yang diaspal sepajang kurang lebih 10,5 Km dengan lebar 3 meter. Saat penelitian ini dilakukan kondisinya parah. Sebagian besar (75%) berlubang. Hanya 25% yang kondisinya baik. Lumayan kalau hanya sekedar lubang, batu-batu kerikil yang tajam juga ada di mana-mana. Keadaan yang demikian membuat cukup sulit untuk dilewati dengan kendaraan bermotor, terutama roda 4 atau lebih. Apalagi, jika musim hujan. Lubang-lubang seringkali tidak kelihatan sehingga kalau tidak hati-hati bisa bermasalah.
Warga Desa Cibiru Wetan itu sendiri jika ingin bepergian dari satu tempat ke tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah desa, dapat menggunakan jasa tukang ojeg yang berpangkalan di pertigaan Sindang Reret. Jumlah mereka cukup banyak (96 orang) dan terorganisir, sehingga tidak semua orang dapat ngojeg di wilayah desa ini, kecuali orang-orang yang sudah terdaftar sebagai pengojeg. Dengan perkataan lain, mempunyai kartu ojeg yang dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan bekerja sama dengan pihak kepolisian setempat. Jumlah uang yang mesti dikeluarkan untuk memperoleh kartu itu lumayan besar, yaitu kurang lebih Rp3.500.000,00. Dengan diterimanya kartu itu bukan berarti bahwa sang pemilik bebas dari berbagai kewajiban, akan tetapi, ada kewajiban untuk membayar iuran sejumlah Rp1.000,00 per hari manakala ngojeg. Uang yang terkumpul dari iuran ini digunakan untuk keperluan pengojeg itu sendiri, seperti sumbangan untuk yang mengalami musibah dan perbaikan pangkalan ojeg dan sebagainya.
Tarif yang dikenakan kepada penumpang bergantung jarak dari pangkalan ke tempat tujuan dan ketinggian jalan. Jika keadaan jalan datar, maka untuk jarak 1 sampai dengan 3 Km dikenakan tarif Rp1.000,00; lebih dari 3 sampai dengan 5 Km dikenakan tarif Rp1.500,00 sampai dengan Rp5.000,00. Akan tetapi, jika jalan yang harus dilalui mendaki (naik), maka tidak menggunakan ukuran Km. Misalnya, jika seseorang ingin pergi ke Kampung Cikoneng; walaupun jaraknya kurang dari 5 Km, tetapi karena jalan yang akan dilewati mendaki (ke arah puncak Gunung Manglayang), maka orang tersebut harus mengeluarkan uang sejumlah Rp5.000,00. Namun, sebaliknya jika dari Cikoneng ke pangkalan ojeg (Sindang Reret), maka cukup hanya mengeluarkan sejumlah Rp3.000,00 karena tidak membutuhkan bensin yang begitu banyak; sebab jalan yang dilewatinya bukan mendaki tetapi menurun.
Tarif selain berdasarkan jarak dan datar-tingginya jalan yang dilalui, juga bergantung waktu, terutama untuk jarak yang relatif jauh. Pergi ke Kampung Cikoneng pada waktu pagi sampai dengan menjelang pukul 18.00 WIB lebih murah biayanya ketimbang pukul 18.00 sampai dengan 23.00 WIB. Jadi, jika seseorang pergi ke Cikoneng pada malam hari (lebih dari pukul 18.00 WIB), maka berkisar antara Rp7.500,00 dan Rp10.000,00. Alasannya adalah, disamping suasana semakin sunyi dan sepi, juga semakin gelap. Suasana seperti itu cukup menakutkan bagi pengojeg; bukan takut dirampok atau sepeda motornya dirampas orang, tetapi di kalangan para pengojeg sering mengembangkan isu bahwa di sekitar jalan yang menuju ke Cikoneng banyak penunggunya (makhluk-makhluk halusnya). Apalagi, harus melewati perladangan yang luasnya puluhan hektar.
Selain jasa angkutan ojeg, warga desa Cibiru Wetan juga dapat memanfaatkan jasa angkutan umum lainnya yang beroda empat tetapi bagian belakangnya terbuka (bak terbuka). Kendaraan buatan Jepang yang bermerek Mitsubishi (Colt) dan Suzuki Carry ini jumlah mencapai 12 buah. Oleh karena bentuknya yang tidak utuh, tetapi bagian belakangnya berupa bak yang terbuka, maka masyarakat setempat menyebutnya sebagai kol buntung atau dolak. Pada mulanya angkutan ini khusus untuk mengangkut hasil tanaman ladang yang diproduksi oleh peladang setempat ke pasar-pasar tradisional yang berada di kota dan sekitar Kabupaten Bandung, seperti Pasar: Ujungberung, Cileunyi, Caringin, dan Gede Bage. Selain itu, pada saat-saat tertentu, terutama pada musim kemarau, kendaraan ini juga digunakan mengangkut pakan ternak (sapi dan domba) yang berupa rumput dari daerah Buah Batu atau Sumedang; sebab di musim itu seringkali peternak mengalami kekurangan pakan ternaknya. Namun, karena seringkali ada orang yang menumpang, maka lama kelamaan menjadi angkutan penumpang juga, walaupun keberdaannya tidak tentu. Artinya, tidak setiap saat ada sebagaimana angkutan kota atau ojeg. Angkutan ini relatif lebih murah ketimbang ojeg karena dengan jarak yang sama (Cikoneng-Sindang Reret) hanya Rp1.000,00.
Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan beragam, yaitu: Islam, Kristen Protestan, dan Katholik. Namun demikian, berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (11.196 orang atau 98,76%). Sebagian lainnya adalah mereka yang menganut agama Kristen Protestan (57 orang atau 0,5%) dan Katholik (83 orang atau 0,73%).
Ada korelasi yang positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid dan musholla atau langgar). Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cibiru Wetan, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 15 buah, sedangkan, langgar yang ada mencapai 33 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen Protestan dan Katholik belum terdapat di desa ini. Oleh karena itu, jika para penganut nasrani ingin melakukan kebaktian, maka mereka mesti ke luar desa. Sedangkan, bagi para muslim yang akan melaksanakan salah satu kewajibannya (sholat) cukup dengan mendatangi mesjid atau langgar yang terdekat (tidak perlu harus keluar desa).
Sulit untuk mengetahui secara persis tingkat aktivitas keagamaan pada warga masyarakat Cibiru Wetan. Namun demikian, berdasarkan kerajinan dalam beribadat, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni rajin dan kurang rajin. Kelompok pertama adalah orang-orang yang tinggal di sekitar mesjid dan langgar yang bertebaran di perkampungan di sekitar Jalan Cibiru, seperti: Kampung Sindang Reret, Warung Gede, Lio-Warung Gede, Babakan Biru, Jadaria, dan Cibiru Indah. Mereka dapat dikatakan rajin melaksanakan sholat lima waktu, khususnya magrib dan isya, serta Jumatan (sholat Jumat) yang dilakukan seminggu sekali. Selain itu, setiap Kamis malam, selepas sholat isya, hampir setiap Rukun Warga (RW) mengadakan ceramah agama dengan mengundang seorang ustadz atau imam mesjid yang berada di RW yang bersangkutan.
Kelompok kedua adalah sebagian besar orang-orang yang tinggal di sekitar puncak Gunung Manglayang, tepatnya orang-orang yang tinggal di Kampung: Cikoneng I, Cikoneng II, Cikoneng II dan sebagian di Kampung Pamubusan yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai peladang dan peternak. Kehidupan beragama di keempat kampung tersebut tidak begitu tampak. Ada berbagai faktor yang menyebabkannya, antara lain: jarak dan jumlah tempat peribadatan itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian depan bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan terkonsentrasi di wilayah desa bagian “bawah” (di kaki Gunung Manglayang atau di sekitar Jalan Cibiru). Semakin ke atas, penduduknya semakin sedikit. Oleh karena itu, jumlah tempat peribadatannya (mesjid dan langgar) semakin sedikit. Kesedikitan jumlah sarana peribadatan sesungguhnya tidak menjadi masalah karena jumlah penduduknya juga sedikit; yang menjadi masalah adalah jarak antara rumah penduduk dan tempat peribadatan yang relatif jauh. Apalagi, untuk menuju tempat peribadatan harus melewati pekarangan orang dan areal ladang yang cukup luas. Oleh karena itu, tempat peribadatan yang ada seringkali tampak sunyi.
Selain itu, tampaknya ada faktor lain yang pada gilirannya membuat tempat-tempat peribadatan yang di kawasan lereng Gunung Manglayang tidak seramai tempat-tempat peribadatan yang ada di wilayah kaki gunung tersebut. Faktor itu adalah masa lalu (kesejarahan) sebagaimana yang dituturkan oleh Kepala Kampung Cikoneng I. Konon, di masa lalu, Cikoneng adalah sebuah daerah yang penduduknya dianggap sebagai “pemberontak” oleh masyarakat sekitarnya. Disebut demikian, karena orang-orangnya seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, seperti mencuri dan merampok. Oleh karena itu, daerah Cikoneng dianggap daerah yang tidak aman bagi siapa saja yang akan melewatinya. Anehnya, perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama itu, oleh mereka, dianggap sebagai “pekerjaan sambilan”.
“Pekerjaan sambilan” itu tidak dilakukan lagi oleh warga Cikoneng begitu bangsa Indonesia merdeka. Namun demikian, kehidupan keagamaan, khususnya pelaksanaan sholat lima waktu, belum tampak. Kehidupan keagamaan mereka mulai terlihat tahun 60-an, yaitu ketika seorang lulusan salah satu pondok pesantren di Jawa Barat menetap di sana. Lulusan dari pesantren inilah yang kemudian membimbing mereka untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama yang mereka anut (Islam). Untuk itu, Sang Lulusan dari pesantren ini mendirikan sebuah rumah kayu yang sekaligus berfungsi sebagai langgar. Berkat kegigihannya, maka sedikit demi sedikit warga Cikoneng mulai melakukan sholat lima waktu, sehingga lama kelamaan rumah-langgar yang didirikan itu banyak yang mendatanginya. Dengan banyaknya warga Cikoneng yang melakukan sholat bersama, baik lima waktu, jumatan, idul fitri, maupun idul adha, berarti tinggalnya Sang Santri di kampung tersebut tidak sia-sia. Untuk itu, Sang Santri memutuskan tidak perlu berlama-lama lagi tinggal di sana. Demikian, akhirnya Sang Santri meninggalkan kampung itu untuk menyiarkan ajaran-ajaran Islam di kampung-kampung lainnya.
“Malang tak dapat diraih dan mujur tak dapat ditolak”, demikian kata suatu ungkapan; di tahun 70-an sekitar lereng Gunung Manglayang mengalami longsor. Banyak bangunan yang runtuh dan terimbun tanah, salah satu diantarnya adalah langgar mereka. Hal ini membuat suasana keagamaan kembali tidak terlihat lagi. Kedaan seperti itu berjalan sekitar 10 tahun, karena baru sekitar tahun 80-an langgar didirikan kembali dengan dana swadaya masyarakat setempat. Akan tetapi, karena sudah cukup lama tidak melaksanakan sholat, maka langgar tidak seramai dulu lagi karena hanya penduduk yang berdekatan saja yang mendatanginya. Walaupun denikian, saat-saat menjelang hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha tampak meriah. Malahan, tidak sedikit handai taulan warga Cikoneng yang berada di rantau sengaja datang menjelang bulan puasa (munggahan) dan berlebaran di kampung halaman.
Masyarakat Desa Cibiru Wetan adalah masyarakat yang beragama. Namun demikian, kepercayaan yang berbau animisme, dinamisme, dan kekuatan gaib masih mewarnai kehidupan sehari-hari mereka. Hal itu tercermin dari berbagai upacara yang berkenaan dengan roh nenek moyang (para leluhur atau karuhun), upacara di lingkaran hidup individu, “penunggu” tempat-tempat tertentu, dan perilaku tertentu memperoleh sesuatu yang diinginkan (kaya). Semua itu dipercayai dapat mendatangkan kesejahteraan dan atau sebaliknya jika tidak diperlukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Suhamihardja, dalam Ekadjati (1984:282) mengatakan bahwa kehidupan beragama sering dipengaruhi oleh kepercayaan kepada kekuatan makhluk halus dan magis.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang tercermin dalam perilaku jaroh dan nyekar ke makam yang dianggap berkeramat dengan memberikan sesajen (sesaji) yang berupa: kemenyan, kembang tujuh rupa, dan kopi pahit. Tujuannya adalah agar roh yang ada di balik makam tersebut memberkati pekerjaan-pekerjaan penting yang akan dilakukan oleh seseorang, sehingga terhindar dari berbagai bencana. Dengan perkataan lain, agar apa yang akan dilakukan oleh seseorang dapat dilalui dengan selamat atau agar apa yang diharapkan atau dicita-citakan dapat tercapai.
Perilaku nyekar ke makam yang dianggap keramat yang ada Desa Cibiru Wetan terletak di sekitar hutan lindung yang juga merupakan sebuah obyek wisata yang bernama “Batu Kuda”. Pemberian nama itu ada kaitannya dengan batu yang bentuknya menyerupai seekor kuda. Kuncen yang bertugas di tempat itu mengatakan bahwa batu yang menyerupai kuda itu adalah kuda yang ditunggangi oleh Prabu Layang Kusuma beserta permaisurinya (Prabu Layang Sari). Menurut penuturannya, konon di zaman dahulu ada seorang raja dari salah satu kerajaan di Jawa Barat. Namanya Prabu Layang Kusuma. Suatu hari Sang Prabu bersama permaisurinya (Prabu Layang Sari), dengan berkuda, lewat Gunung Manglayang. Namun, ketika sampai di puncak tiba-tiba kuda yang ditungganginya terperosok ke dalam lumpur. Begitu dalamnya kuda itu terperosok hingga hanya separuh badannya yang kelihatan. Secara tiba-tiba pula kuda itu berubah menjadi batu. Oleh karena kuda yang ditunggangi menjadi batu, mau tidak mau Sang Prabu beserta Sang Permaisuri dan para pengawalnya menghentikan perjalanannya. Kemudian, Sang Prabu melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Hasilnya adalah bahwa tempat itu sangat cocok untuk bertapa. Sehubungan dengan itu, Sang Prabu memutuskan untuk mendirikan tempat peristirahatan yang letaknya tidak jauh dari tempat perpelosoknya kuda. Di tempat peristirahatan itulah Sang Prabu bertapa dan tidak meneruskan perjalanannya hingga akhir hayatnya. Demikian juga Sang Permaisuri dan para pengawalnya.
Keadaan alam yang indah, nyaman, dan berhawa sejuk ditambah legenda yang ada, pada gilirannya membuat Batu Kuda (sesungguhnya tidak hanya semata karena ada Batu Kuda melainkan juga ada batu berbentuk gunung yang diberi nama Batu Gunung yang tingginya mencapai 15 meter) dan makam Sang Raja banyak dikunjungi orang dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar menikmati keindahan alamnya yang penuh dengan pohon cemara; ada yang hanya berziarah; dan ada pula yang berziarah sambil menikmati keindahan alam. Para pengunjung yang tujuannya hanya sekedar rekreasi (menikmati keindahan alamnya) biasanya datang pada hari-hari libur (Sabtu dan Minggu). Sementara, para pengunjung yang tujuannya berziarah dan atau berziarah sambil menikmati keindahan alamnya tidak terbatas pada hari-hari libur. Para peziarah meyakini bahwa Batu Kuda dan Batu Gunung yang mencengangkan serta makam Sang Raja berkeramat, sehingga mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, dibalik berziarah punya keinginan-keinginan tertentu, seperti ingin cepat memperoleh jodoh, usaha lancar, dan naik pangkat (memperoleh jabatan). Untuk itu, sebelumnya mereka mesti berhubungan dengan Sang Kuncen karena ada pantangan-pantangan yang harus diperhatikan. Malahan, seringkali para peziarah minta bantuan atau memanfaatkan jasa Sang Kuncen untuk mencapai apa yang diinginkan karena Sang Kuncen sangat menguasai prosesi upacara perziarahan beserta perlengkapannya. Jadi, para peziarah mesti menyediakan sesaji yang berupa: telor, gula, kopi, rujak asem, rujak kelapa, cerutu, kelapa muda, sirih, gambir, dan kapur pinangan. Selain itu, uang (bergantung kemampuan dan keihklasan peziarah) sebagai tanda terima kasih. Berkenaan dengan ziarah ini ada pantangan-pantangan yang mesti dipatuhi, yakni: (1) Dilarang berziarah pada Senin dan Kamis; (2) Tidak boleh berbuat sembarangan seperti: menaiki, mencoret-coret, dan memotret Batu Kuda, Batu Gunung, pemakaman; dan (3) Tidak boleh berbicara sembarangan di sekitar areal Batu Kuda. Pantangan-pantangan itu jika dilanggar dapat menyebabkan si pelanggar mengalami sesuatu yang tidak diinginkan (musibah).
Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu tercermin dari adanya apa yang disebut sebagai: dedemit, jurig, ririwa, kuntilanak, kelong, budak hideung, dan lain sebagainya (Suhamihardja, A. Suhandi: 1984: 282). Dedemit ialah makhluk halus yang menempati mata air, batu besar, dan pohon-pohon besar. Jurig adalah makhluk halus yang suka mengganggu anak-anak. Ririwa ialah makhluk halus yang berasal dari roh orang yang baru meninggal secara tidak wajar. Kuntilanak ialah makhluk halus yang berasal dari seorang perempuan yang meninggal dunia dalam keadaan hamil. Kelong ialah makhluk halus yang berbuah dada panjang dan Budak hideung ialah makhluk halus yang menyerupai anak-anak yang berkulit hitam. Usaha yang perlu dilakukan agar makhluk tersebut tidak mengganggu orang adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dengan maksud agar arwah yang bersangkutan di terima disisi-Nya.
Selain itu, juga ada kepercayaan tentang seseorang yang dengan cara-cara tertentu (berhubungan dengan setan) dapat mendadak menjadi kaya. Suhamihardja (1984:286), menyebut kepercayaan ini sebagai munjung. Seseorang dapat munjung dengan cara menjadi seekor bagong, ular, kera, atau anjing, dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Misalnya, jika berhasil (kaya raya) yang bersangkutan, jika meninggal, akan menjadi bagong, kera, ular, dan atau anjing (bergantung yang dipuja). Jika Si Pemuja tidak mau mengambil resiko itu, maka ia bisa mengambil persyaratan lainnya, yaitu setiap tahun anaknya akan meninggal. Jika anaknya sudah meninggal semua akan digantikan oleh kerabatnya atau pelayannya. Persyaratan seperti ini disebut sebagai ngawadalken (kurban persembahan). Jika sudah tidak ada lagi yang dipersembahkan sebagai kurban, maka dirinya sendiri yang akan menjadi kurban. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh Si pemuja adalah jika membangun rumah jangan diselesaikan (bagian belakangnya dibiarkan); sebab jika diselesaikan maka Si Pemuja akan langsung menjadi wadal.
Konon, orang yang munjung setiap malam Selasa dan Jumat menjelma menjadi binatang yang dipujanya. Orang yang nyegik (munjung bagong) misalnya, pada malam-malam tersebut ia menjelma menjadi bagong untuk mencari kekayaan (uang). Bagong jelmaan itu senantiasa menghindari orang karena jika terlihat akan diburunya, dan segala sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Untuk menghindari hal itu, maka Sang Isteri dengan tekun menunggui sebaskom air dan sebatang lilin atau lampu tempel yang menyala di rumahnya. Apabila airnya bergoyang dan nyala lampu berkelok-kelok bagaikan tertiup angin, maka itu pertanda bahwa suaminya dalam bahaya. Untuk itu, Sang Isteri segera memadamkannya sehingga Si pemburu kehilangan jejak. Misalnya, jika bagong jelmaan tadi kena bacok atau tombak kakinya, maka ketika sampai di rumah kaki suaminya akan luka (berdarah-darah).
Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer, yaitu bahwa desa, termasuk Desa Cibiru Wetan, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu (Palmer, 1984: 326), yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324)
Secara administratif dan teritorial, Desa Cibiru Wetan terbagi ke dalam 15 kampung atau dusun dan 69 Rukun Tetangga (RT). Ke-15 kampung itu adalah: Cikoneng I, Cikoneng II, Cikoneng III, Pamubusan, Cibangkonol, Jadaria, Cibiru Tonggoh, Babakan Biru, Kudang, Sindang Reret, Warung Gede, Lio-Warung Gede, Ciendog/SPG, Cibiru Indah, dan Cibiru Raya. Wilayah kampung sekaligus merupakan wilayah Rukun Warga (RW). Oleh karena itu, jumlah kampung dan RW sama (15 buah). Setiap kampung diketuai oleh seorang yang disebut sebagai Ketua Kampung, kecuali Kampung: Cikoneng I, II, dan III. Ketiga kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung. Struktur organisasi pemerintahan desa Cibiru Wetan dapat dilihat pada bagan berikut ini.
STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN
DESA CIBIRU WETAN
Sekretaris Desa
Dadang SF
Badan Perwakilan Desa
Kaur Pemerintahan
Oyo Didi
Kaur Kesra
H. Ating
Kepada Desa
Dade Sujana, Sm. Hk
Kaur Ekbang
Asep Rahmat
Kaur Pembangunan
Ade Permana
K Dusun IV
Sarji
K Dusun VI
Mulya
K Dusun I, II, III
Misla
K Dusun VII
Aziz Salim
K Dusun VII
Dadi Kusnayadi
K Dusun IX
Ayi Husein
K Dusun X
Saefullah S.sos
K Dusun XI
Bahrul Hayat
K Dusun XII
Dr. Purnomo
K Dusun XIII
Drs. Asep K
K Dusun XIV
Sobur
K Dusun XV
Bambang Surono
Dari struktur itu dapat diketahui bahwa tampuk pimpinan tertinggi desa dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Pengangkatannya dipilih oleh masyarakat untuk periode delapan tahun. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian, dan pembangunan. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Perekonomian, dan Kepala Urusan Pembangunan. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Cibiru Wetan, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 23 orang.
Selain perangkat desa yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai “pamong desa”, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para ketua kampung yang ada di dalam desa. Jumlahnya ada 13 orang, dengan rincian: 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 11 orang anggota. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Selain itu, melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri. Namun demikian, yang terjadi seakan-akan antara perangkat desa dan BPD berjalan sendiri-sendiri (tidak ada koordinasi). Ini tercermin dari rapat atau musyawarah tentang rencana dan pelaksanaan program pembangunan, baik yang menyangkut fisik maupun non-fisik (kesejahteraan) yang seharusnya dilaksanakan secara periodik (minggon atau mingguan dan triwulan) jarang dilakukan (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah dilakukan). Malahan, jika ada kebijakan dari atas (Pemerintah Pusat dan atau Daerah) melalui kecamatan, biasanya kepala desa hanya menginstruksikan kepada perangkat desanya tanpa bermusyawarah dengan BPD.
Sementara itu, organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Desa Cibiru Wetan adalah organisasi kepemudaan yang bernama “Karang Taruna” dan organisasi para ibu rumah tangga yang bernama “Pendidikan Kesejahteraan Keluarga” (PKK). Sebagaimana BPD, kedua organisasi ini juga kurang aktif. Karang Taruna misalnya, organisasi yang beranggotakan 50 orang ini baru tampak jika desa menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu (memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia). Hal yang sama juga terjadi pada PKK. Organisasi ini seakan-akan hanya melaksanakan kesehatan ibu hamil dan balita. Itupun hanya dilakukan dua minggu sekali di Posyandu, dan hanya diikuti oleh beberapa anggotanya saja.
Banyak faktor yang pada gilirannya membuat organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Cibiru Wetan kurang aktif. Salah satu diantaranya adalah kekurangpedulian perangkat desa terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di desanya. Hal itu tercermin dari kurang rutinnya pembinaan terhadap organisasi yang ada di desanya. Organisasi-organisasi tersebut diperlukan jika dibutuhkan. Perangkat desa itu sendiri juga seringkali tidak ada di tempat (kantor desa seringkali kosong). Adapun yang menonjol di desa ini adalah hubungan kekerabatan. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan mendirikan rumah yang berdekatan. Tujuannya adalah agar antarkerabat dapat dengan mudah saling tolong-menolong. Selain itu, keamanan lebih terjamin karena satu dengan lainnya masih ada pertalian darah. Hampir setiap kampung ada kelompok-kelompok sosial seperti itu, terutama di wilayah desa bagian atas. Sedangkan, di wilayah desa bagian bawah semakin jarang. Malahan, di Kampung Cibiru Indah hal itu tidak tampak karena kebanyakan warganya adalah para pendatang.
Oleh:
Pepeng
Cibiru Wetan adalah salah satu desa yang tergabung dalam Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Pada mulanya Desa Cibiru Wetan merupakan bagian dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung. Namun, pemekaran atas desa itu yang dilakukan pada tahun 1982 pada gilirannya membuat Cibiru Wetan, Cibiru Kulon, dan Cibiru Hlir menjadi desa tersendiri. Dengan perkataan lain, Desa Cibiru dipecah menjadi tiga. Sementara itu, Ujungberung itu sendiri termasuk dalam wilayah Kota Bandung. Sedangkan, Desa Cibiru menjadi kecamatan yang termasuk dalam Kota Bandung. Secara geografis desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Gunung Manglayang itu sendiri; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibiru Kulon; sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibiru Wetan dan Desa Desa Cilengkrang; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cimekar. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi (berbukit-bukit) yang mendominasinya.
Secara keseluruhan, luas desa ini mencapai 295 Ha, dengan rincian: perumahan penduduk (71,5 Ha atau 24,24%), sawah (2 Ha atau 0,67%), tegalan/ladang (153,5 Ha atau 45,93%), empang/kolam (1,5 Ha atau 0,5%), kas desa (12,5 Ha atau 4,24%), lapangan (3 Ha atau 1,01%), perkantoran pemerintah (2,05 Ha atau 0,69%), dan lain-lain4) (48,95 Ha atau 16,59%) (Potensi Desa Cibiru Wetan, Tahun 2005). Ini bermakna bahwa luas wilayah Desa Cibiru Wetan sebagian besar (45,93%) berupa tegalan/ladang yang terbentang di sekitar puncak Gunung Manglayang, tepatnya di wilayah Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan. Wilayah perkampungan tersebut memang cocok untuk areal perladangan karena disamping persediaan air terbatas, tanahnya berbukit-bukit. Oleh karena itu, areal persawahan luasnya hanya 2 Ha (0,67%). Itu pun hanya ada di wilayah desa bagian bawah (kaki Gunung Manglayang). Dewasa ini areal persawahan itu telah berubah fungsi menjadi tempat pemeliharaan atau pembenihan ikan (empang/kolam) dan kolam pemancingan (1,5 Ha). Selebihnya, telah menjadi perumahan penduduk (0,5 Ha). Dengan demikian, warga masyarakat Desa Cibiru Wetan hanya dapat melihat persawahan yang ada di desa-desa tetangga (Desa Cibiru Kulon dan Desa Cimekar). Luas desa secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TABEL 1
LAHAN DESA CIBIRU WETAN BERDASARKAN
PENGGUNAANNYA
No
Jenis Lahan
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Sawah
Perumahan
Tegalan/ladang
Empang/kolam
Kas Desa
Lapangan
Perkantoran Pemerintah
Lain-lain
2
71,5
153,5
1,5
12,5
3
2,05
48,95
0,67
24,24
45,93
0,5
4,24
1,01
0.69
16.59
295
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Sebagaimana daerah Jawa Barat pada umumnya, bahkan daerah Indonesia pada umumnya; Desa Cibiru Wetan beriklim tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April sampai September. Sedangkan, musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober sampai dengan Maret. Curah hujannya rata-rata 3.060 milimeter per tahun. Sementara itu, suhu udaranya berkisar dari 18° Celcius sampai dengan 30° Celcius.
Jarak desa ini dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 15 Km. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung (Soreang) kurang lebih 20 Km. Meskipun desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, bukan berarti bahwa desa tersebut terisolir, karena di salah satu wilayahnya dilalui jalan raya (Jalan Raya Cibiru) yang menghubungkan daerah atau kota-kota lain di Pulau Jawa.
Flora dan Fauna
Desa Cibiru Wetan, sebagimana telah disinggung pada bagian depan, diselimuti oleh iklim tropis. Oleh karena itu, berbagai jenis tanaman yang tumbuh di sana adalah tanaman tropis, seperti: jambu biji, mangga, pisang, jeruk bali, jagung, kol, tomat, pecai, dan singkong. Selain itu, ada pohon cemara atau pinus, jati, albasiah, baringtonia, dan lain sebagainya. Jenis pohon itu mendominasi hutan lindung yang luasnya mencapai 30 Ha. Sementara itu, pepohonan seperti: nangka, alpukat, kopi, aren, limus, tumbuh di pinggiran hutan lindung sebagai pembatas antara hutan lindung dan pemukiman penduduk. Dan, adanya pepohonan itu adalah berkat kerjasama antara Dinas Perhutani dan warga masyarakat setempat.
Ada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Dinas Perhutani berkenaan dengan kelestarian hutan lindung yang ada di wilayah Desa Cibiru Wetan. Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Tidak boleh menebang pepohonan yang ada di hutan lindung; (2) Warga diperkenankan mengambil atau memanen buah-buahan yang ada di hutan lindung dengan catatan hasilnya dibagi dua dengan Dinas Perhutani; (3) Pepohonan yang ada di “daerah perbatasan” (antara pemukiman penduduk dan hutan lindung) tidak boleh ditebang, tetapi buahnya sepenuhnya menjadi milik warga masyarakat setempat.
Desa Cibiru Wetan memang sebagian wilayahnya berupa hutan. Di masa lalu mungkin banyak binatang buasnya (harimau). Namun, dewasa ini tidak ada; yang ada adalah berbagai binatang yang tergolong serangga, unggas, binatang melata (ular), dan babi hutan yang hidup lepas di hutan. Selain berbagai binatang yang hidup secara lepas di hutan, ada juga berbagai binatang yang dipelihara atau diternakkan, seperti: ayam, kambing, domba, kerbau, sapi-perah, dan anjing.
Kependudukan
Penduduk Desa Cibiru Wetan berjumlah 11.336 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.115. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 7.721 jiwa (50,5%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 5.615 jiwa (49,5%) (Potensi Desa Cibiru Wetan, 2005).
Untuk ukuran sebuah desa, jumlah penduduk Desa Cibiru Wetan tergolong besar. Salah satu faktor penyebabnya adalah desa tersebut relatif dekat dengan pusat-pusat keramaian (kota). Malahan, berbatasan dengan wilayah kota Bandung. Keberadaan desa yang relatif tidak jauh dari pusat-pusat keramaian ini pada gilirannya membuat jumlah penduduknya berkembang pesat, khususnya di sekitar Jalan Raya Cibiru, sehingga penduduk yang bermukim di wilayah tersebut lebih padat ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Dengan perkataan lain, wilayah desa bagian bawah relatif padat ketimbang wilayah bagian tengah dan bagian atas (lereng Gunung Manglayang), karena disamping bagian tengah dan atas relatif jauh dari pusat keramaian, kedua wilayah ini merupakan areal perladangan dan kawasan hutan lindung.
Jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0—14 tahun ada 3.236 jiwa (28,54%), kemudian yang berusia 15—54 tahuan ada 7.360 (64,93%), dan yang berusia 54 tahun ke atas 740 jiwa (6,52%). Ini menunjukkan bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar berusia produktif. Golongan umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TABEL 2
PENDUDUK DESA CIBIRU WETAN BERDASARKAN
GOLONGAN UMUR
No
Golongan Umur
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0—4
5—9
10—14
15—19
20—24
25—29
30—34
35—39
40—44
45—49
50—54
54—ke atas
1.049
978
1.209
1.315
1.362
1.292
770
716
626
602
677
740
9,25
9,62
10,66
11,60
12,01
11,39
6,79
6,31
5,52
5,31
5,97
6,52
11.336
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Pola Pemukiman
Dari segi luas, pemukiman menempati urutan yang kedua setelah ladang, yaitu 71,5 Ha (24,24%). Pemukiman yang tentunya berada di luar hutan lindung dan perladangan ini semakin mendekati Jalan Raya Cibiru (perkotaan) semakin padat. Umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu jalan provinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan.
Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 2.752 rumah. Tidak semua rumah berdinding tembok, berlantai semen dan atau keramik. Akan tetapi, ada juga rumah panggung yang berdinding kayu atau bambu dan berlantai kayu. Rumah seperti ini jumlahnya sekitar 200-an buah (kurang dari 10%) dan berada di bagian desa yang letaknya dekat dengan lereng Gunung Manglayang. Jarak antar rumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah “bawah” umumnya jarak antar rumah berdekatan, malahan, banyak yang berhimpitan. Namun, semakin ke “atas” jarak antar rumah itu semakin renggang atau jauh. Pada daerah “tengah” dan “atas” jarak antar rumah yang berupa pekarangan itu umumnya ditanami tanaman buah dan tanaman hias.
Selain rumah-rumah yang dibangun warga secara perorangan yang cenderung kurang beraturan, di wilayah Desa Cibiru Wetan juga terdapat perumahan yang dibangun oleh pengembang perumahan swasta. Perumahan yang bentuk dan ukurannya sama itu terdapat di kampung-kampung yang langsung berbatasan dengan Jalan Cibiru, seperti: Kampung Cibiru (Indah), Warung Gede, dan Kampung Lio-Warung Gede.
Perumahan yang ada di Desa Cibiru Wetan ini, baik yang berada di daerah “bawah” (kaki Gunung Manglayang), “tengah” maupun “atas” (kawasan puncak Gunung Manglayang), telah tersentuh oleh jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jaringan telepon rumah juga telah ada di desa ini, khususnya di wilayah desa bagian bawah dan tengah. Sedangkan, wilayah bagian atas (Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan) belum terjangkau. Namun demikian, sinyal berbagai telepon seluler (handphone) ada di daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di desa tersebut terdapat warung telepon (wartel) dan atau kios telepon (kiospon). Siaran-siaran media elektronik (televisi), baik nasional (TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, Lativi, Trans TV, dan Metro TV) maupun daerah (TVRI Bandung dan Bandung TV), serta radio baik pemerintah maupun swasta juga dapat diterima dengan jelas di desa ini. Media cetak seperti: Kompas, Tempo, dan Pikaran Rakyat juga dapat diperoleh dengan mudah, khususnya di wilayah desa bagian bawah.
Sementara itu, Perusahaan Air Minum (PAM) belum ada di desa ini. Sehubungan dengan itu, air bersih untuk keperluan mandi, cuci, dan minum diperoleh dari sumur gali, sumur pompa, dan mata air. Berdasarkan data dari Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, terdapat 305 unit sumur gali yang dimanfaatkan oleh 428 KK, 593 sumur pompa yang dimanfaatkan oleh 830 KK, dan 4 buah mata air yang dimanfaatkan oleh 300 KK. Ini artinya, kebutuhan air bersih pada warga masyarakat Desa Cibiru Wetan diperoleh melalui berbagai cara, bergantung letak geografisnya. Para warga yang berada di daerah “bawah” (kaki Gunung Manglayang) misalnya, mereka dapat membuat sumur gali atau pompa karena kedalaman air tanah hanya sekitar 10—30 meter. Akan tetapi, bagi para warga yang berada di daerah “tengah”, lebih-lebih bagian “atas” (kawasan lereng Gunung Manglayang), seperti Kampung Cikoneng I, II, dan III, hal itu sulit dilakukan karena kedalaman air tanahnya bisa mencapai ratusan meter. Untuk itu, mereka menggantungkan sepenuhnya kepada kemurahan alam, yaitu sumber-sumber mata air yang berada di sekitar kawasan puncak Gunung Manglayang, seperti: Lembah Neunduet, Seke Saladah, Gadog, dan Pangguyangan Badak5). Caranya adalah dengan membuat bak tampungan, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan ladang melalui pipa/selang plastik yang diameternya sekitar 2 Cm.
Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan sangat beragam. Mereka tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Akan tetapi, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Kemudian, ada juga yang berjualan di Pasar Ujungberung, Cileunyi, dan di rumah sebagai pedagang kelontong. Dan, ada juga yang membuat keranjang bambu atas pesanan perusahaan kecap dan para petani sayur yang ada di Lembang. Selain itu, masih banyak jenis matapencaharian lainnya, seperti: penjahit, montir, peternak, peladang, dan lain sebagainya.
TABEL 3
JENIS-JENIS MATA PENCAHARIAN PENDUDUK
DESA CIBIRU WETAN
No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pegawai Negeri
Petani
Buruh Tani
Buruh/swasta6)
Pengrajin
Pedagang/warung
Penjahit
Peternak
Dokter
Montir
346
204
532
472
68
196
5
861
2
34
12,72
7,50
19,55
17,53
2,50
7,23
0,18
31,65
0,07
1,25
Jumlah
2720
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar warga masyarakat Desa Cibiru Wetan adalah bertenak (31,65%). Urutan kedua adalah buruh tani (19,55%), disusul oleh buruh/swasta (17,35%) dan pagawai negeri (12,72%). Selebihnya, adalah: pedagang, penjahit, dokter dan montir. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan cukup bervariasi. Bervariasinya jenis mata pencaharian itu sangat erat kaitannya dengan letak desa yang langsung berbatasan dengan wilayah kota, yaitu Kota Bandung yang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat-pusat yang lain, termasuk ekonomi/perdagangan. Selain itu, tidak jauh desa ini (kurang lebih 4—10 Km), tepatnya di daerah Cilengkarang, Rancaekek, dan Ujungberung sendiri, bermunculan berbagai macam industri, antara lain tekstil.
Peranan Kota Bandung sebagai pusat berbagai kegiatan, ditambah dengan relatif tidak jauhnya dengan “kawasan industri”, tentunya akan berimbas pada usaha yang dilakukan oleh warga masyarakat desa-desa yang ada di sekitarnya, termasuk Desa Cibiru Wetan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan cukup beragam, sebagaimana yang terlihat pada tabel di atas. Walaupun demikian, mata pencaharian di sektor pertanian (petani, buruh tani, dan peternak) merupakan yang terbesar. Jumlah keseluruhannya mencapai 1.597 jiwa (58,80%).
Berladang
Koentjaraningrat (1985) membagi kegiatan bercocok tanam dalam dua kategori, yaitu bercocok tanam di ladang dan bercocok tanam menetap. Kedua kategori itu termasuk usaha dalam bidang pertanian. Dan, orang yang berusaha di bidang itu, termasuk berternak, di daerah pedesaan oleh Wolf (1985) disebut sebagai petani. Jadi, bukan di ruangan-ruangan tertutup (greenhouse) di tengah kota atau dalam kotak-kotak aspidistra yang diletakkan di ambang jendela seperti yang banyak dilakukan oleh orang Jepang. Wolf (1985) juga menyebutkan bahwa petani pedesaan (peasant) di luar Eropa dan Amerika adalah petani subsisten. Artinya, orientasinya bukan ekonomi pasar atau sebuah perusahaan bisnis tetapi ekonomi keluarga (mengelola sebuah rumah tangga). Oleh karena itu, Tohir mengatakan bahwa berladang merupakan salah satu bentuk pertanian dalam arti luas karena mempunyai syarat-syarat: (1) dalam proses produksi hanya terbentuk bahan-bahan organis yang berasalkan dari zat-zat anorganis dengan bantuan tumbuh-tumbuhan atau hewan seperti: ternak, ikan, ulat sutera, laba-laba, dan sebagainya; (2) adanya usaha untuk memperbaharui proses produksi yang bersifat “reproduktif” dan atau “usaha pelestarian” (Tohir; 1991: 2).
Pada masa lalu masyarakat Jawa Barat yang penduduk aslinya adalah sukubangsa Sunda pada umumnya bermatapencaharian sebagai peladang. Bukti-bukti yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah peladang, antara lain terdapat pada naskah kuno Carita Parahyangan. Dalam naskah tersebut hanya dijumpai satu perkataan “sawah” dalam rangkaian nama “sawah tampaian dalun”. Naskah tersebut juga menyebutkan bahwa titisan Pancakusika yang berjumlah lima orang, tiga di antaranya menjadi pehuma (peladang), penggerek (pemburu), dan penyadap. Herayati, dkk. (1990:20) menyebutkan bahwa ketiga jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan di ladang.
Pertanian sawah yang menggunakan sistem irigasi baru dikenal oleh masyarakat Jawa Barat sekitar abad ke-18 Masehi (Ekajati, Edi S, 1980:180). Berita pertama mengenai perluasan sawah ke tanah pegunungan di Jawa Barat adalah sekitar tahun 1750 di kawasan Sumedang dan Tasikmalaya. Setengah abad kemudian di lembah dataran tinggi Bandung dan Bogor. Dewasa ini pertanian sawah dengan sistem irigasi telah hampir menyeluruh, sehingga dikenal beberapa nama tempat lumbung padi, seperti: Cianjur, Sumedang, Karawang, dan Indramayu. Malahan, beras Cianjur sangat populer sehingga tidak hanya dikenal oleh warga masyarakat Jawa Barat semata, tetapi warga masyarakat daerah lainnya di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti bahwa seluruh wilayah daerah Jawa Barat lepas dari perladangan karena di dataran tinggi Jawa Barat bagian tengah dan di kawasan pantai selatan masih ditemui areal perladangan. Di kawasan puncak Gunung Manglayang misalnya, di sana banyak dijumpai areal perladangan, termasuk di sebagian wilayah Desa Cibiru Wetan, tepatnya di Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan. Keempat kampung tersebut memang letaknya di kawasan puncak Gunung Manglayang. Kemiringan tanahnya yang cukup tajam ditambah dengan keterbatasan sumber airnya pada gilirannya membuat warga setempat sulit untuk mengusahakan pertanian dengan sistem irigasi (sawah). Oleh karena itu, mereka melakukan perladangan karena tanaman ladang tidak membutuhkan air yang begitu banyak dibanding sawah. Sedangkan, jenis tanaman yang dibudidayakan oleh mereka adalah: padi ladang (2 Ha), cabe (5 Ha), kacang tanah (35 Ha), jagung (80 Ha), tomat, kubis, pecai, dan kentang yang luasnya mencapai 25,5 Ha.
Ladang atau huma yang ada di Desa Cibiru Wetan pada umumnya bukan ladang yang baru (ladang lanjutan). Artinya, para peladang di sana hanya meneruskan ladang yang sudah ada. Jadi, mereka tidak perlu berpindah-pindah tempat seperti pada masa lalu. Konon, di masa lalu ladang yang tidak subur lagi akan ditinggalkan dengan membuka ladang baru di lain tempat. Akan tetapi, kini hal itu tidak dilakukan lagi. Tanah yang tidak subur dibiarkan begitu saja untuk beberapa musim. Setelah itu, digarap kembali dengan cara membersihkan semak-semaknya. Ladang yang ditumbuhi oleh semak-semak disebut sebagai reuma. Sedangkan, pembersihannya disebut ngareuma. Namun demikian, jika mereka ingin membuka ladang yang baru, maka mesti menebang pohon-pohon yang besar. Penebangan pohon-pohon ini disebut sebagai nyacar.
Kampung Cikoneng I, II, dan III adalah pemekaran dari sebuah kampung yang bernama “Cikoneng” pada tahun 1985. Asal mula nama kampung ini sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Konon, ketika para karuhun (pendiri kampung) mengadakan selamatan atas keberhasilannya membuka hutan dan mendirikan perumahan, maka gula yang dipakai untuk minuman adalah gula aren, yaitu gula yang terbuat dari pohon aren. Ternyata warna minuman berubah menjadi kuning. Oleh karena warna air minum berubah menjadi kuning maka kampung tersebut dinamai “Cikoneng”. “Ci” berasal dari kata “cai” (bahasa Sunda) yang artinya “air” (bahasa Indonesia), sedangkan “koneng” (bahasa Sunda) yang artinya “kuning” (bahasa Indonesia). Jadi, artinya “air yang berwarna kuning”.
Lokasi perladangan di keempat kampung itu sekitar 2 kilometer dari kantor Desa Cibiru Wetan atau 3 kilometer dari jalan raya Cibiru. Lokasi itu dapat dicapai melalui jalan-jalan yang relatif kecil sepanjang Cinunuk sampai dengan Ujungberung. Namun, jalan mana saja yang ditempuh, semakin mendekati perkampungan itu semakin menanjak. Bukan itu saja, kondisi jalannya cukup parah. Lubang ada di mana-mana. Bahkan, bebatuan yang dahulunya sebagai alas aspal, kini banyak tertebaran karena aspalnya telah mengelupas. Pada tahun 80-an memang pernah dilakukan pengaspalan jalan (dari Kampung Sindang Reret sampai dengan Cikoneng I). Namun, sampai saat ini pengaspalan tidak pernah dilakukan lagi, sehingga kondisi jalan semakin hari semakin parah. Meskipun demikian, angkutan umum yang berupa kol buntung dan ojeg sampai juga ke sana.
Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, penduduk yang bekerja di sektor pertanian (perladangan) tercatat 1.597 orang. Dari jumlah itu sebagian besar (1.051 orang atau 65,81%) mempunyai tanah perladangan. Sedangkan, selebihnya (546 orang atau 34,19%) tidak memilikinya. Dari jumlah yang memiliki tanah perladangan itu sendiri hanya sebagian kecil yang ladangnya mencapai 1 Ha lebih (20 orang atau 1,25%). Selebihnya (1.031 orang atau 64,56%) adalah peladang yang pemilikannya kurang dari 1 Ha. Meskipun demikian, yang sama sekali tidak memiliki tanah perladangan dapat saja menggarap perladangan melalui berbagai cara. Misalnya, sistem sewa dan atau maro (nengah). Jika cara yang diambil adalah sistem sewa, maka untuk 100 tumbak (satu tumbak sama dengan 14 meter persegi) penyewa harus membayar sejumlah Rp50.000,00 per sekali penanaman. Namun, jika yang diambil dalam maro atau nengah adalah sistem bagi hasil, maka modal penggarapan dibagi dua, tetapi yang menggarap adalah penengah. Hasilnya dibagi dua antara pemilik dan penengah.
Proses Perladangan
Bercocok tanam adalah teknologi untuk menggarap tanah sampai menghasilkan panen tanaman untuk keperluan hidup (Koentjaraningrat, dkk, 2003:25). Secara umum proses bercocok tanam di ladang pada prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Tahap pengolahan tanah terdiri atas: ngaresik atau pembersihan tanah dari pepohonan kecil dan rerumputan, nguyab atau pembakaran pepohonan kecil atau rerumputan yang telah ditebang dan dicabut dalam proses ngaresik, ngeprek atau penggemburan tanah, ngagaritan atau pemetakan tanah, Ngalobang atau membuat lubang untuk memasukkan pupuk, dan ngaseuk atau membuat lubang untuk memasukkan benih. Tahap berikutnya adalah tahap penanaman yang biasanya dilakukan bersamaan dengan ngaseuk.
Tahap ketiga adalah pemeliharaan tanaman meliputi Ngabaladah yaitu pembersihan rerumputan liar di sekitar tanaman dan ngarabas yang sebenarnya sama dengan ngabaladah namun cara pengerjaannya yang berbeda. Ngabaladah dimulai dari bagian lebar ke arah panjang ladang, sedangkan ngarabas dimulai dari bagian panjang ke arah lebar ladang. Pemeliharaan tanaman tidak hanya berkaitan dengan kegiatan membersihakan rerumputan liar saja, tetapi juga menjaga kesuburan tanaman dan menjaga tanaman dari hama dan serangan binatang lain yang merusak tanaman.
Tahap terakhir adalah pemungutan dan pengolahan hasil. Tanaman ladang, apakah itu berupa padi-ladang, kunyit, gandum, kedelai, kacang tanah, maupun jagung, setelah dipungut kemudian dijemur. Padi-ladang misalnya, setelah dipungut kemudian dijemur dan disimpan. Padi yang dihasilkan oleh para peladang di Desa Cibiru Wetan bukan ditujukan untuk pasar (dijual ke pasaran), tetapi untuk kebutuhan rumah tangga. Kunyit setelah dijemur lalu dirontokkan dan ditampi agar kotorannya tersisih, sehingga bersih. Demikian juga untuk gandum, wijen, dan kedelai. Kemudian, kacang yang telah kering langsung disimpan dalam karung. Kacang sengaja tidak dikupas kulitnya agar bisa tahan lama. Sementara itu, jagung ada yang langsung dijual dan ada yang dijemur sampai kering. Setelah kering lalu dikupas kulitnya dan dirontokkan butir-butirnya dengan tangan.
Penjualan berbagai hasil panen perladangan umumnya melalui tengkulak yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai bandar. Bandar dapat dikategorikan berdasarkan apa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, ada bandar: jagung, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Mereka keluar-masuk kampung sehingga tahu persis masa-masa panen. Malahan, tidak hanya itu saja, mereka juga mengetahui peladang yang langsung menjual hasil panennya dan peladang yang menjualnya dikemudian hari.
Hasil panen yang telah dibeli oleh para bandar, seperti: kacang tanah, kedelai, cabe, dan jagung, dikumpulkan pada suatu tempat kemudian dibawa ke pasar Ujungberung, Gedebage, dan pasar Caringin dengan kol buntung. Sementara, ubi kayu (singkong) disetor ke pabrik-pabrik aci (tapioka) yang berada di Tasikmalaya dan Ciamis.
Beternak
Warga Kampung Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan yang tergabung dalam Desa Cibiru Wetan tidak hanya berladang, tetapi juga berternak. Ternak yang diusahakan oleh mereka adalah: sapi-perah, ayam, domba, dan kerbau. Usaha yang pada mulanya hanya merupakan sampingan ini lama-kelamaan menjadi penting, sejak kawasan puncak Gunung Manglayang dilanda longsor. Kelongsoran yang terjadi tahun 1977 ini membuat sebagian besar areal perladangan menjadi rusak. Pihak pemerintah menganggap bahwa longsornya kawasan itu disebabkan oleh gundulnya hutan karena banyaknya areal perladangan, sehingga ketika hujan lebat tidak ada pepohonan yang menahannya, lalu terjadilah kelongsoran. Untuk itu, agar tidak terjadi longsor lagi, setahun kemudian (1978) pemerintah menjadikan wilayah sekitar puncak Gunung Manglayang sebagai kawasan hutan lindung. Hutan lindung itu, 30 Ha diantaranya, berada di wilayah Desa Cibiru Wetan, tepatnya di Kampung Cikoneng I. Kemudian, agar warga kampung yang bersangkutan secara bertahap meninggalkan usahanya sebagai peladang, maka pemerintah menyediakan kredit pemilikan sapi-perah melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang pelaksanaannya diserahkan Koperasi Unit Desa (KUD) yang bernama “Sinar Jaya” yang berada di Cilengkrang yang ketika itu masih termasuk dalam wilayah Desa Cibiru.
Tahun demi tahun usaha di bidang peternakan ini, khususnya sapi-perah, menunjukkan keberhasilan, sehingga sedikit demi sedikit banyak warga yang mulai meninggalkan usahanya sebagai peladang, karena hasilnya lebih menjanjikan ketimbang berladang. Pada saat penelitian ini dilakukan jumlah sapi-perah yang berada di desa Cikoneng I mencapai 1.424 ekor, dengan produksi sekitar 4.500 liter per hari.
Dewasa ini sapi-perah tidak hanya dilirik oleh warga setempat, tetapi orang-orang berduit dari kota Bandung dan Jakarta. Mereka sengaja membeli sapi-perah, kemudian diserahkan atau diurus oleh warga setempat dengan sistem bagi hasil (hasilnya dibagi dua antara pemilik dan pemaro atau pemelihara). Agar sapi-perah dapat memproduksi susu sesuai yang diharapkan, maka kesehatan sapi menjadi penting. Untuk itu, perlu dibuatkan bangunan tempat tinggal binatang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) (1990: 385) disebut sebagai kandang. Letak kandang ada yang di sekitar rumah tinggal, tetapi ada juga yang dari jauh rumah, khususnya yang sapinya lebih dari 5 ekor. Kandang yang bentuknya persegi empat dan tidak berdinding, beratap genting. Lantainya disemen agar mudah dibersihkan.
Selain itu, sapi-perah perlu diberi makanan yang cukup. Makanan dan minuman itu berupa: dedek, bekatul, onggok, ampas tahu, bungkil kelapa, dan rumput gajah dan air minum yang dicampur dengan konsentrat. Dalam sehari sapi-perah perlu diberi makan sejumlah empat kali (pukul: 06.00, 10.00, 12.00, dan 15.00 WIB). Mengingat bahwa rerumputan merupakan makanan pokok sapi-perah, maka pihak KUD Sinar Jaya menyarankan agar areal perladangan perlu ditanami dengan rumput gajah. Dengan demikian, persediaan makanan sapi-perah akan lebih terjamin. Meskipun demikian, di musim kemarau, terkadang rerumputan yang ada di perladangan di Kampung Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan menjadi berkurang karena kekurangan air. Jika ini terjadi, maka peternak mencari rerumputan di daerah lain, seperti: Rancakalong, Sumedang, dan Buah Batu.
Selanjutnya, agar sapi-perah selalu sehat, maka kandang dan sapi-perah itu sendiri selalu dijaga kebersihannya. Setiap dua kali sehari sapi-perah dimandikan. Bagian putingnya betul-betul dibersihkan, sehingga ketika diperah, pemerahan susu bebas dari kotoran. Sementara itu, perawatan yang berkenaan dengan medis, KUD Sinar Jaya menyediakan dokter hewan, yang jika diperlukan, akan memberi pelayanan tentang pencegahan dan pengobatan ternak (sapi-perah). Obat-obatan yang digunakan untuk menjaga kesehatan atau untuk mengobati penyakit sapi yang dapat dilakukan sendiri oleh peternak diantaranya adalah: mineral, vitamin, dan vaksin. Mineral adalah tepung yang terbuat dari tulang yang berguna untuk menjaga kondisi sapi agar tidak lemah dan produksi susunya tetap stabil. Pemberian mineral biasanya dicampur dengan dedek dan dilakukan secara rutin setiap hari. Mineral dapat di beli di koperasi Sinar Jaya dengan harga Rp15.000.00 per kilogram. Satu kilogram mineral dapat digunakan untuk empat ekor sapi selama satu bulan. Selain mineral, peternak juga memberikan vitamin B Kompleks kepada sapinya agar daya tahannya terjamin.
Setiap sapi yang dipelihara harus mempunyai kartu recording dengan tujuan dapat mengetahui: umur, bangsa, jenis kelamin, waktu birahi, dewasa kelamin, dewasa, tubuh, kesehatan (penyakit sapi). Recording adalah kartu yang berfungsi sebagai identitas yang biasanya ditempelkan di kandang. Setiap sapi harus mempunyai kartu recording untuk mempermudah pemeriksaan sapi.
Pada saat sapi-perah telah berumur 2 tahun atau sudah memasuki masa birahi yang siklusnya berlangsung selama 18-21 hari sekali, dengan lama birahi antara satu sampai dua hari, maka dalam masa itu sapi harus dikawinkan agar dapat bunting, baik dengan cara alami maupun dengan inseminasi buatan. Mengingat bahwa mengawinkan sapi-perah secara alami agak sulit karena membutuhkan pejantan yang birahi, maka inseminasi buatan banyak dipilih oleh para peternak di Kampung Cikoneng I, II, III. Beberapa kelebihan cara ini adalah: (1) murah, (2) dapat menghemat sperma, (3) tingkat keberhasilan lebih besar ketimbang perkawinan alamiah, dan (4) dapat memperoleh keturunan yang lebih bagus karena bisa memilih sperma jenis sapi yang diinginkan. Untuk melakukan inseminasi buatan ini peternak mesti mendatangkan dokter hewan yang disediakan oleh KUD Sinar Jaya, dengan biaya Rp15.000,00.
Dalam satu hari peternak dapat melakukan pemerahan sejumlah dua kali, yaitu pukul 05.30 dan 15.30 WIB. Seekor sapi dapat menghasilkan 10 sampai dengan 18 liter susu. Susu tersebut dibeli oleh KUD Sinar Jaya dengan harga per liter Rp1.500,00. Meskipun ada harga yang tinggi dibanding harga yang dipatok oleh KUD Sinar Jaya, tetapi para peternak tidak leluasa menjual kepada pihak lain, seperti KUD Pasir Angin dan para bandar kecil; sebab jika diketahui maka peternak yang bersangkutan dapat dikeluarkan dari keanggotaan KUD Sinar Jaya. Oleh karena itu, peternak mengharapkan agar pihak KUD dapat menaikkan harga yang lebih pantas, misalnya Rp1.750,00.
Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cibiru Wetan meliputi: Taman Kanak-kanak (TK) sejumlah 4 buah), Sekolah Dasar (SD) sejumlah 6 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 1 buah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sejumlah 2 buah. Keempat TK tersebut yang jumlah gurunya ada 16 orang dapat menampung 172 siswa. Kemudian, keenam SD yang ada dapat menampung 1.461 siswa, dengan jumlah guru 45 orang. Sedangkan, kedua SLTA yang memiliki guru sejumlah 75 orang dapat menampung 1.700 siswa. Sementara itu, jumlah guru dan siswa yang dapat ditampung oleh sebuah SLTP yang ada belum diketahui karena pihak desa belum mendatanya.
Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Cibiru Wetan hanya sampai SLTA. Ini artinya, jika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, maka mesti keluar dari desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kota Bandung, karena tidak jauh dari desa tersebut ada perguruan tinggi, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Jati yang berada di Cibiru dan Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor. Selain itu, di Kota Bandung sendiri juga banyak perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh warga tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
TABEL 4
PENDUDUK DESA CIBIRU WETAN
BERDASARKAN PENDIDIKAN
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Prosentase (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
Belum sekolah
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat Akademi
Tamat Perguruan Tinggi
1.419
63
227
2.823
2.667
2.200
1.246
691
12,51
0,55
2,00
24,90
23,52
19,44
10,99
6,09
Jumlah
11.336
100,00
Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005
Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai oleh penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar SD/sederajat (24,90%). Sebagian lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (23,53%) dan tamatan SLTA/sederajat (19,44%). Sedangkan, yang menamatkan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 17,08%.
Sementara itu, sarana kesehatan yang ada di Desa Cibiru Wetan adalah sebuah Puskesmas Pembantu dan 15 unit Posyandu dengan tenaga medis 6 orang yang terdiri atas: seorang dokter umum, seorang dokter gigi, dan 4 orang bidan. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di desanya, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada dua orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji. Jika ada yang sakit parah maka yang bersangkutan akan dirujuk ke rumah sakit-rumah sakit terdekat di Kota Bandung, seperti Rumah Sakit Santo Yosef dan Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin.
Transportasi
Desa Cibiru Wetan, sebagaimana telah disinggung pada bagian depan, adalah desa yang wilayahnya langsung berbatasan dengan wilayah kota Bandung, sehingga desa ini dapat dicapai dengan relatif mudah. Apalagi, sebagian wilayahnya dilintasi oleh Jalan Raya Cibiru yang tidak hanya menghubungkan kabupaten: Sumedang, Majalengka, Cirebon, Majalaya, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar, tetapi juga kota-kota yang ada di Jawa Tengah bagian utara dan selatan. Oleh karena itu, jalan ini seringkali padat7), sehingga kemacetan seringkali tidak bisa dihindari, khususnya di pertigaan Sindang Reret, karena di sekitar pertigaan ini seringkali angkutan kota ngetem (menunggu penumpang) dan atau menurunkan penumpang. Malahan, seringkali berhentinya secara tiba-tiba dan posisinya menyulitkan bagi kendaraan lain yang akan mendahuluinya. Jalan yang sering mengalami kemacetan ini, selain seakan-akan membelah desa Cibiru Wetan menjadi dua bagian, tetapi juga sekaligus menjadi pembatas antara Kampung Lio dan Kampung Sindang Reret.
Selain itu, di dalam desa itu sendiri juga ada jalan yang diaspal sepajang kurang lebih 10,5 Km dengan lebar 3 meter. Saat penelitian ini dilakukan kondisinya parah. Sebagian besar (75%) berlubang. Hanya 25% yang kondisinya baik. Lumayan kalau hanya sekedar lubang, batu-batu kerikil yang tajam juga ada di mana-mana. Keadaan yang demikian membuat cukup sulit untuk dilewati dengan kendaraan bermotor, terutama roda 4 atau lebih. Apalagi, jika musim hujan. Lubang-lubang seringkali tidak kelihatan sehingga kalau tidak hati-hati bisa bermasalah.
Warga Desa Cibiru Wetan itu sendiri jika ingin bepergian dari satu tempat ke tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah desa, dapat menggunakan jasa tukang ojeg yang berpangkalan di pertigaan Sindang Reret. Jumlah mereka cukup banyak (96 orang) dan terorganisir, sehingga tidak semua orang dapat ngojeg di wilayah desa ini, kecuali orang-orang yang sudah terdaftar sebagai pengojeg. Dengan perkataan lain, mempunyai kartu ojeg yang dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan bekerja sama dengan pihak kepolisian setempat. Jumlah uang yang mesti dikeluarkan untuk memperoleh kartu itu lumayan besar, yaitu kurang lebih Rp3.500.000,00. Dengan diterimanya kartu itu bukan berarti bahwa sang pemilik bebas dari berbagai kewajiban, akan tetapi, ada kewajiban untuk membayar iuran sejumlah Rp1.000,00 per hari manakala ngojeg. Uang yang terkumpul dari iuran ini digunakan untuk keperluan pengojeg itu sendiri, seperti sumbangan untuk yang mengalami musibah dan perbaikan pangkalan ojeg dan sebagainya.
Tarif yang dikenakan kepada penumpang bergantung jarak dari pangkalan ke tempat tujuan dan ketinggian jalan. Jika keadaan jalan datar, maka untuk jarak 1 sampai dengan 3 Km dikenakan tarif Rp1.000,00; lebih dari 3 sampai dengan 5 Km dikenakan tarif Rp1.500,00 sampai dengan Rp5.000,00. Akan tetapi, jika jalan yang harus dilalui mendaki (naik), maka tidak menggunakan ukuran Km. Misalnya, jika seseorang ingin pergi ke Kampung Cikoneng; walaupun jaraknya kurang dari 5 Km, tetapi karena jalan yang akan dilewati mendaki (ke arah puncak Gunung Manglayang), maka orang tersebut harus mengeluarkan uang sejumlah Rp5.000,00. Namun, sebaliknya jika dari Cikoneng ke pangkalan ojeg (Sindang Reret), maka cukup hanya mengeluarkan sejumlah Rp3.000,00 karena tidak membutuhkan bensin yang begitu banyak; sebab jalan yang dilewatinya bukan mendaki tetapi menurun.
Tarif selain berdasarkan jarak dan datar-tingginya jalan yang dilalui, juga bergantung waktu, terutama untuk jarak yang relatif jauh. Pergi ke Kampung Cikoneng pada waktu pagi sampai dengan menjelang pukul 18.00 WIB lebih murah biayanya ketimbang pukul 18.00 sampai dengan 23.00 WIB. Jadi, jika seseorang pergi ke Cikoneng pada malam hari (lebih dari pukul 18.00 WIB), maka berkisar antara Rp7.500,00 dan Rp10.000,00. Alasannya adalah, disamping suasana semakin sunyi dan sepi, juga semakin gelap. Suasana seperti itu cukup menakutkan bagi pengojeg; bukan takut dirampok atau sepeda motornya dirampas orang, tetapi di kalangan para pengojeg sering mengembangkan isu bahwa di sekitar jalan yang menuju ke Cikoneng banyak penunggunya (makhluk-makhluk halusnya). Apalagi, harus melewati perladangan yang luasnya puluhan hektar.
Selain jasa angkutan ojeg, warga desa Cibiru Wetan juga dapat memanfaatkan jasa angkutan umum lainnya yang beroda empat tetapi bagian belakangnya terbuka (bak terbuka). Kendaraan buatan Jepang yang bermerek Mitsubishi (Colt) dan Suzuki Carry ini jumlah mencapai 12 buah. Oleh karena bentuknya yang tidak utuh, tetapi bagian belakangnya berupa bak yang terbuka, maka masyarakat setempat menyebutnya sebagai kol buntung atau dolak. Pada mulanya angkutan ini khusus untuk mengangkut hasil tanaman ladang yang diproduksi oleh peladang setempat ke pasar-pasar tradisional yang berada di kota dan sekitar Kabupaten Bandung, seperti Pasar: Ujungberung, Cileunyi, Caringin, dan Gede Bage. Selain itu, pada saat-saat tertentu, terutama pada musim kemarau, kendaraan ini juga digunakan mengangkut pakan ternak (sapi dan domba) yang berupa rumput dari daerah Buah Batu atau Sumedang; sebab di musim itu seringkali peternak mengalami kekurangan pakan ternaknya. Namun, karena seringkali ada orang yang menumpang, maka lama kelamaan menjadi angkutan penumpang juga, walaupun keberdaannya tidak tentu. Artinya, tidak setiap saat ada sebagaimana angkutan kota atau ojeg. Angkutan ini relatif lebih murah ketimbang ojeg karena dengan jarak yang sama (Cikoneng-Sindang Reret) hanya Rp1.000,00.
Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan beragam, yaitu: Islam, Kristen Protestan, dan Katholik. Namun demikian, berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (11.196 orang atau 98,76%). Sebagian lainnya adalah mereka yang menganut agama Kristen Protestan (57 orang atau 0,5%) dan Katholik (83 orang atau 0,73%).
Ada korelasi yang positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam (mesjid dan musholla atau langgar). Berdasarkan data yang tertera dalam Potensi Desa Cibiru Wetan, jumlah mesjid yang ada di sana mencapai 15 buah, sedangkan, langgar yang ada mencapai 33 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut agama Kristen Protestan dan Katholik belum terdapat di desa ini. Oleh karena itu, jika para penganut nasrani ingin melakukan kebaktian, maka mereka mesti ke luar desa. Sedangkan, bagi para muslim yang akan melaksanakan salah satu kewajibannya (sholat) cukup dengan mendatangi mesjid atau langgar yang terdekat (tidak perlu harus keluar desa).
Sulit untuk mengetahui secara persis tingkat aktivitas keagamaan pada warga masyarakat Cibiru Wetan. Namun demikian, berdasarkan kerajinan dalam beribadat, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni rajin dan kurang rajin. Kelompok pertama adalah orang-orang yang tinggal di sekitar mesjid dan langgar yang bertebaran di perkampungan di sekitar Jalan Cibiru, seperti: Kampung Sindang Reret, Warung Gede, Lio-Warung Gede, Babakan Biru, Jadaria, dan Cibiru Indah. Mereka dapat dikatakan rajin melaksanakan sholat lima waktu, khususnya magrib dan isya, serta Jumatan (sholat Jumat) yang dilakukan seminggu sekali. Selain itu, setiap Kamis malam, selepas sholat isya, hampir setiap Rukun Warga (RW) mengadakan ceramah agama dengan mengundang seorang ustadz atau imam mesjid yang berada di RW yang bersangkutan.
Kelompok kedua adalah sebagian besar orang-orang yang tinggal di sekitar puncak Gunung Manglayang, tepatnya orang-orang yang tinggal di Kampung: Cikoneng I, Cikoneng II, Cikoneng II dan sebagian di Kampung Pamubusan yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai peladang dan peternak. Kehidupan beragama di keempat kampung tersebut tidak begitu tampak. Ada berbagai faktor yang menyebabkannya, antara lain: jarak dan jumlah tempat peribadatan itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian depan bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan terkonsentrasi di wilayah desa bagian “bawah” (di kaki Gunung Manglayang atau di sekitar Jalan Cibiru). Semakin ke atas, penduduknya semakin sedikit. Oleh karena itu, jumlah tempat peribadatannya (mesjid dan langgar) semakin sedikit. Kesedikitan jumlah sarana peribadatan sesungguhnya tidak menjadi masalah karena jumlah penduduknya juga sedikit; yang menjadi masalah adalah jarak antara rumah penduduk dan tempat peribadatan yang relatif jauh. Apalagi, untuk menuju tempat peribadatan harus melewati pekarangan orang dan areal ladang yang cukup luas. Oleh karena itu, tempat peribadatan yang ada seringkali tampak sunyi.
Selain itu, tampaknya ada faktor lain yang pada gilirannya membuat tempat-tempat peribadatan yang di kawasan lereng Gunung Manglayang tidak seramai tempat-tempat peribadatan yang ada di wilayah kaki gunung tersebut. Faktor itu adalah masa lalu (kesejarahan) sebagaimana yang dituturkan oleh Kepala Kampung Cikoneng I. Konon, di masa lalu, Cikoneng adalah sebuah daerah yang penduduknya dianggap sebagai “pemberontak” oleh masyarakat sekitarnya. Disebut demikian, karena orang-orangnya seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, seperti mencuri dan merampok. Oleh karena itu, daerah Cikoneng dianggap daerah yang tidak aman bagi siapa saja yang akan melewatinya. Anehnya, perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama itu, oleh mereka, dianggap sebagai “pekerjaan sambilan”.
“Pekerjaan sambilan” itu tidak dilakukan lagi oleh warga Cikoneng begitu bangsa Indonesia merdeka. Namun demikian, kehidupan keagamaan, khususnya pelaksanaan sholat lima waktu, belum tampak. Kehidupan keagamaan mereka mulai terlihat tahun 60-an, yaitu ketika seorang lulusan salah satu pondok pesantren di Jawa Barat menetap di sana. Lulusan dari pesantren inilah yang kemudian membimbing mereka untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama yang mereka anut (Islam). Untuk itu, Sang Lulusan dari pesantren ini mendirikan sebuah rumah kayu yang sekaligus berfungsi sebagai langgar. Berkat kegigihannya, maka sedikit demi sedikit warga Cikoneng mulai melakukan sholat lima waktu, sehingga lama kelamaan rumah-langgar yang didirikan itu banyak yang mendatanginya. Dengan banyaknya warga Cikoneng yang melakukan sholat bersama, baik lima waktu, jumatan, idul fitri, maupun idul adha, berarti tinggalnya Sang Santri di kampung tersebut tidak sia-sia. Untuk itu, Sang Santri memutuskan tidak perlu berlama-lama lagi tinggal di sana. Demikian, akhirnya Sang Santri meninggalkan kampung itu untuk menyiarkan ajaran-ajaran Islam di kampung-kampung lainnya.
“Malang tak dapat diraih dan mujur tak dapat ditolak”, demikian kata suatu ungkapan; di tahun 70-an sekitar lereng Gunung Manglayang mengalami longsor. Banyak bangunan yang runtuh dan terimbun tanah, salah satu diantarnya adalah langgar mereka. Hal ini membuat suasana keagamaan kembali tidak terlihat lagi. Kedaan seperti itu berjalan sekitar 10 tahun, karena baru sekitar tahun 80-an langgar didirikan kembali dengan dana swadaya masyarakat setempat. Akan tetapi, karena sudah cukup lama tidak melaksanakan sholat, maka langgar tidak seramai dulu lagi karena hanya penduduk yang berdekatan saja yang mendatanginya. Walaupun denikian, saat-saat menjelang hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha tampak meriah. Malahan, tidak sedikit handai taulan warga Cikoneng yang berada di rantau sengaja datang menjelang bulan puasa (munggahan) dan berlebaran di kampung halaman.
Masyarakat Desa Cibiru Wetan adalah masyarakat yang beragama. Namun demikian, kepercayaan yang berbau animisme, dinamisme, dan kekuatan gaib masih mewarnai kehidupan sehari-hari mereka. Hal itu tercermin dari berbagai upacara yang berkenaan dengan roh nenek moyang (para leluhur atau karuhun), upacara di lingkaran hidup individu, “penunggu” tempat-tempat tertentu, dan perilaku tertentu memperoleh sesuatu yang diinginkan (kaya). Semua itu dipercayai dapat mendatangkan kesejahteraan dan atau sebaliknya jika tidak diperlukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Suhamihardja, dalam Ekadjati (1984:282) mengatakan bahwa kehidupan beragama sering dipengaruhi oleh kepercayaan kepada kekuatan makhluk halus dan magis.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang tercermin dalam perilaku jaroh dan nyekar ke makam yang dianggap berkeramat dengan memberikan sesajen (sesaji) yang berupa: kemenyan, kembang tujuh rupa, dan kopi pahit. Tujuannya adalah agar roh yang ada di balik makam tersebut memberkati pekerjaan-pekerjaan penting yang akan dilakukan oleh seseorang, sehingga terhindar dari berbagai bencana. Dengan perkataan lain, agar apa yang akan dilakukan oleh seseorang dapat dilalui dengan selamat atau agar apa yang diharapkan atau dicita-citakan dapat tercapai.
Perilaku nyekar ke makam yang dianggap keramat yang ada Desa Cibiru Wetan terletak di sekitar hutan lindung yang juga merupakan sebuah obyek wisata yang bernama “Batu Kuda”. Pemberian nama itu ada kaitannya dengan batu yang bentuknya menyerupai seekor kuda. Kuncen yang bertugas di tempat itu mengatakan bahwa batu yang menyerupai kuda itu adalah kuda yang ditunggangi oleh Prabu Layang Kusuma beserta permaisurinya (Prabu Layang Sari). Menurut penuturannya, konon di zaman dahulu ada seorang raja dari salah satu kerajaan di Jawa Barat. Namanya Prabu Layang Kusuma. Suatu hari Sang Prabu bersama permaisurinya (Prabu Layang Sari), dengan berkuda, lewat Gunung Manglayang. Namun, ketika sampai di puncak tiba-tiba kuda yang ditungganginya terperosok ke dalam lumpur. Begitu dalamnya kuda itu terperosok hingga hanya separuh badannya yang kelihatan. Secara tiba-tiba pula kuda itu berubah menjadi batu. Oleh karena kuda yang ditunggangi menjadi batu, mau tidak mau Sang Prabu beserta Sang Permaisuri dan para pengawalnya menghentikan perjalanannya. Kemudian, Sang Prabu melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Hasilnya adalah bahwa tempat itu sangat cocok untuk bertapa. Sehubungan dengan itu, Sang Prabu memutuskan untuk mendirikan tempat peristirahatan yang letaknya tidak jauh dari tempat perpelosoknya kuda. Di tempat peristirahatan itulah Sang Prabu bertapa dan tidak meneruskan perjalanannya hingga akhir hayatnya. Demikian juga Sang Permaisuri dan para pengawalnya.
Keadaan alam yang indah, nyaman, dan berhawa sejuk ditambah legenda yang ada, pada gilirannya membuat Batu Kuda (sesungguhnya tidak hanya semata karena ada Batu Kuda melainkan juga ada batu berbentuk gunung yang diberi nama Batu Gunung yang tingginya mencapai 15 meter) dan makam Sang Raja banyak dikunjungi orang dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar menikmati keindahan alamnya yang penuh dengan pohon cemara; ada yang hanya berziarah; dan ada pula yang berziarah sambil menikmati keindahan alam. Para pengunjung yang tujuannya hanya sekedar rekreasi (menikmati keindahan alamnya) biasanya datang pada hari-hari libur (Sabtu dan Minggu). Sementara, para pengunjung yang tujuannya berziarah dan atau berziarah sambil menikmati keindahan alamnya tidak terbatas pada hari-hari libur. Para peziarah meyakini bahwa Batu Kuda dan Batu Gunung yang mencengangkan serta makam Sang Raja berkeramat, sehingga mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, dibalik berziarah punya keinginan-keinginan tertentu, seperti ingin cepat memperoleh jodoh, usaha lancar, dan naik pangkat (memperoleh jabatan). Untuk itu, sebelumnya mereka mesti berhubungan dengan Sang Kuncen karena ada pantangan-pantangan yang harus diperhatikan. Malahan, seringkali para peziarah minta bantuan atau memanfaatkan jasa Sang Kuncen untuk mencapai apa yang diinginkan karena Sang Kuncen sangat menguasai prosesi upacara perziarahan beserta perlengkapannya. Jadi, para peziarah mesti menyediakan sesaji yang berupa: telor, gula, kopi, rujak asem, rujak kelapa, cerutu, kelapa muda, sirih, gambir, dan kapur pinangan. Selain itu, uang (bergantung kemampuan dan keihklasan peziarah) sebagai tanda terima kasih. Berkenaan dengan ziarah ini ada pantangan-pantangan yang mesti dipatuhi, yakni: (1) Dilarang berziarah pada Senin dan Kamis; (2) Tidak boleh berbuat sembarangan seperti: menaiki, mencoret-coret, dan memotret Batu Kuda, Batu Gunung, pemakaman; dan (3) Tidak boleh berbicara sembarangan di sekitar areal Batu Kuda. Pantangan-pantangan itu jika dilanggar dapat menyebabkan si pelanggar mengalami sesuatu yang tidak diinginkan (musibah).
Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu tercermin dari adanya apa yang disebut sebagai: dedemit, jurig, ririwa, kuntilanak, kelong, budak hideung, dan lain sebagainya (Suhamihardja, A. Suhandi: 1984: 282). Dedemit ialah makhluk halus yang menempati mata air, batu besar, dan pohon-pohon besar. Jurig adalah makhluk halus yang suka mengganggu anak-anak. Ririwa ialah makhluk halus yang berasal dari roh orang yang baru meninggal secara tidak wajar. Kuntilanak ialah makhluk halus yang berasal dari seorang perempuan yang meninggal dunia dalam keadaan hamil. Kelong ialah makhluk halus yang berbuah dada panjang dan Budak hideung ialah makhluk halus yang menyerupai anak-anak yang berkulit hitam. Usaha yang perlu dilakukan agar makhluk tersebut tidak mengganggu orang adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dengan maksud agar arwah yang bersangkutan di terima disisi-Nya.
Selain itu, juga ada kepercayaan tentang seseorang yang dengan cara-cara tertentu (berhubungan dengan setan) dapat mendadak menjadi kaya. Suhamihardja (1984:286), menyebut kepercayaan ini sebagai munjung. Seseorang dapat munjung dengan cara menjadi seekor bagong, ular, kera, atau anjing, dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Misalnya, jika berhasil (kaya raya) yang bersangkutan, jika meninggal, akan menjadi bagong, kera, ular, dan atau anjing (bergantung yang dipuja). Jika Si Pemuja tidak mau mengambil resiko itu, maka ia bisa mengambil persyaratan lainnya, yaitu setiap tahun anaknya akan meninggal. Jika anaknya sudah meninggal semua akan digantikan oleh kerabatnya atau pelayannya. Persyaratan seperti ini disebut sebagai ngawadalken (kurban persembahan). Jika sudah tidak ada lagi yang dipersembahkan sebagai kurban, maka dirinya sendiri yang akan menjadi kurban. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh Si pemuja adalah jika membangun rumah jangan diselesaikan (bagian belakangnya dibiarkan); sebab jika diselesaikan maka Si Pemuja akan langsung menjadi wadal.
Konon, orang yang munjung setiap malam Selasa dan Jumat menjelma menjadi binatang yang dipujanya. Orang yang nyegik (munjung bagong) misalnya, pada malam-malam tersebut ia menjelma menjadi bagong untuk mencari kekayaan (uang). Bagong jelmaan itu senantiasa menghindari orang karena jika terlihat akan diburunya, dan segala sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Untuk menghindari hal itu, maka Sang Isteri dengan tekun menunggui sebaskom air dan sebatang lilin atau lampu tempel yang menyala di rumahnya. Apabila airnya bergoyang dan nyala lampu berkelok-kelok bagaikan tertiup angin, maka itu pertanda bahwa suaminya dalam bahaya. Untuk itu, Sang Isteri segera memadamkannya sehingga Si pemburu kehilangan jejak. Misalnya, jika bagong jelmaan tadi kena bacok atau tombak kakinya, maka ketika sampai di rumah kaki suaminya akan luka (berdarah-darah).
Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Desa adalah jajaran sistem pemerintahan nasional di tingkat yang paling bawah. Walaupun demikian, desa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sistem pemerintahan yang ada di atasnya, khususnya kecamatan, karena jauh sebelum otonomi daerah diberlakukan, desa sudah merupakan daerah yang otonom. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikemukakan oleh Palmer, yaitu bahwa desa, termasuk Desa Cibiru Wetan, merupakan kesatuan administratif, teritorial, dan kesatuan hukum menurut batas-batas wilayah tertentu (Palmer, 1984: 326), yang penyelenggaraan pemerintahannya adalah otonom (oleh, untuk, dan dari sekelompok orang yang menempati wilayah tersebut). Selain itu, desa juga merupakan kesatuan sosial, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan hubungan-hubungan sosial antarwarga masyarakat, yang di dalamnya seringkali terdapat nilai-nilai kekerabatan yang cukup kuat serta melandasi hubungan-hubungan tersebut (Palmer, 1984: 324)
Secara administratif dan teritorial, Desa Cibiru Wetan terbagi ke dalam 15 kampung atau dusun dan 69 Rukun Tetangga (RT). Ke-15 kampung itu adalah: Cikoneng I, Cikoneng II, Cikoneng III, Pamubusan, Cibangkonol, Jadaria, Cibiru Tonggoh, Babakan Biru, Kudang, Sindang Reret, Warung Gede, Lio-Warung Gede, Ciendog/SPG, Cibiru Indah, dan Cibiru Raya. Wilayah kampung sekaligus merupakan wilayah Rukun Warga (RW). Oleh karena itu, jumlah kampung dan RW sama (15 buah). Setiap kampung diketuai oleh seorang yang disebut sebagai Ketua Kampung, kecuali Kampung: Cikoneng I, II, dan III. Ketiga kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung. Struktur organisasi pemerintahan desa Cibiru Wetan dapat dilihat pada bagan berikut ini.
STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN
DESA CIBIRU WETAN
Sekretaris Desa
Dadang SF
Badan Perwakilan Desa
Kaur Pemerintahan
Oyo Didi
Kaur Kesra
H. Ating
Kepada Desa
Dade Sujana, Sm. Hk
Kaur Ekbang
Asep Rahmat
Kaur Pembangunan
Ade Permana
K Dusun IV
Sarji
K Dusun VI
Mulya
K Dusun I, II, III
Misla
K Dusun VII
Aziz Salim
K Dusun VII
Dadi Kusnayadi
K Dusun IX
Ayi Husein
K Dusun X
Saefullah S.sos
K Dusun XI
Bahrul Hayat
K Dusun XII
Dr. Purnomo
K Dusun XIII
Drs. Asep K
K Dusun XIV
Sobur
K Dusun XV
Bambang Surono
Dari struktur itu dapat diketahui bahwa tampuk pimpinan tertinggi desa dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Pengangkatannya dipilih oleh masyarakat untuk periode delapan tahun. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian, dan pembangunan. Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Perekonomian, dan Kepala Urusan Pembangunan. Setiap kepala urusan mempunyai seorang staf. Dengan demikian, perangkat Desa Cibiru Wetan, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 23 orang.
Selain perangkat desa yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai “pamong desa”, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para ketua kampung yang ada di dalam desa. Jumlahnya ada 13 orang, dengan rincian: 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 11 orang anggota. Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya. Selain itu, melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan akan berlangsung komunikasi antara masyarakat dan perangkat pemerintahan serta antarwarga masyarakat desa itu sendiri. Namun demikian, yang terjadi seakan-akan antara perangkat desa dan BPD berjalan sendiri-sendiri (tidak ada koordinasi). Ini tercermin dari rapat atau musyawarah tentang rencana dan pelaksanaan program pembangunan, baik yang menyangkut fisik maupun non-fisik (kesejahteraan) yang seharusnya dilaksanakan secara periodik (minggon atau mingguan dan triwulan) jarang dilakukan (kalau tidak dapat dikatakan tidak pernah dilakukan). Malahan, jika ada kebijakan dari atas (Pemerintah Pusat dan atau Daerah) melalui kecamatan, biasanya kepala desa hanya menginstruksikan kepada perangkat desanya tanpa bermusyawarah dengan BPD.
Sementara itu, organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Desa Cibiru Wetan adalah organisasi kepemudaan yang bernama “Karang Taruna” dan organisasi para ibu rumah tangga yang bernama “Pendidikan Kesejahteraan Keluarga” (PKK). Sebagaimana BPD, kedua organisasi ini juga kurang aktif. Karang Taruna misalnya, organisasi yang beranggotakan 50 orang ini baru tampak jika desa menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu (memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia). Hal yang sama juga terjadi pada PKK. Organisasi ini seakan-akan hanya melaksanakan kesehatan ibu hamil dan balita. Itupun hanya dilakukan dua minggu sekali di Posyandu, dan hanya diikuti oleh beberapa anggotanya saja.
Banyak faktor yang pada gilirannya membuat organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Cibiru Wetan kurang aktif. Salah satu diantaranya adalah kekurangpedulian perangkat desa terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di desanya. Hal itu tercermin dari kurang rutinnya pembinaan terhadap organisasi yang ada di desanya. Organisasi-organisasi tersebut diperlukan jika dibutuhkan. Perangkat desa itu sendiri juga seringkali tidak ada di tempat (kantor desa seringkali kosong). Adapun yang menonjol di desa ini adalah hubungan kekerabatan. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan mendirikan rumah yang berdekatan. Tujuannya adalah agar antarkerabat dapat dengan mudah saling tolong-menolong. Selain itu, keamanan lebih terjamin karena satu dengan lainnya masih ada pertalian darah. Hampir setiap kampung ada kelompok-kelompok sosial seperti itu, terutama di wilayah desa bagian atas. Sedangkan, di wilayah desa bagian bawah semakin jarang. Malahan, di Kampung Cibiru Indah hal itu tidak tampak karena kebanyakan warganya adalah para pendatang.
Oleh:
Pepeng
4) Termasuk dalam lain-lain adalah perkuburan dan hutan lindung, jalan-jalan desa, tanah wakaf, sarana pendidikan (Taman Kanak-kanak, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), sarana kesehatan (puskesmas, poliklinik/balai pengobatan, apotik, dan posyandu), dan sarana peribadatan (mesjid dan mushola)
5) Mata air ini, konon dahulu kedalamannya mencapai 100 meter. Akan tetapi, karena dibiarkan begitu saja lama-kelamaan kedalamannya menjadi berkurang hingga setengahnya. Mengingat bahwa sumber itu penting bagi kehidupan penduduk yang ada di sekitarnya, maka kini sumber tersebut telah diperdalam lagi. Asal usul nama sumber ini ada kaitannya peristiwa masa lalu. Konon, di masa lalu, ketika kita masih dijajah Belanda, sumber itu merupakan tempat persinggahan badak. Suatu saat pasukan Belanda yang sedang berpatroli melihat ada seekor badak yang sedang minum di sumber tersebut. Kemudian, mereka menembakinya hingga mati. Demikian, sehingga penduduk setempat menyebut lokasi matinya badak tersebut sebagai “pangguyangan badak”.
6) Termasuk dalam buruh/swasta adalah pekerja bangunan, buruh-pabrik, dan pengemudi. Jumlah yang pasti tentang mereka sulit diketahui. Yang jelas jumlah buruh-bangunan dan pengemudi lebih kecil ketimbang buruh-pabrik.
7) Setiap hari Jalan Raya Cibiru dilalui oleh berbagai macam kendaraan dan angkutan umum, mulai dari angkutan kota sampai luar kota, bahkan antarprovinsi. Angkutan kota yang berbentuk mini bus melayani penumpang untuk jurusan Majalaya-Gede Bage dan Cicaheum-Cileunyi. Sedangkan yang berbentuk bus (Damri) melayani penumpang untuk jurusan Jatinangor-Dipati Ukur, Jatinangor-Elang, dan Tanjung Sari-Kebon Kelapa. Bus-bus kecil (ukuran ¾) melayani penumpang untuk jurusan Cileunyi-Cililin dan Majalaya-Leuwi Panjang. Selain itu, juga bus-bus, baik ukuran ¾ maupun besar yang melayani penumpang antarkota dan antarprovinsi.