Pulau Penyengat


Menurut catatan, nama Pulau Penyengat baru dicatat dalam sejarah ketika terjadi perang perebutan kekuasaan antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan iparnya Raja Kecil pada tahun 1719. Raja Kecil menjadikan pulau kecil ini sebagai benteng pertahanan untuk menangkis serangan yang datang dari Hulu Riau.

Puluhan tahun kemudian, di pulau ini terjadi pertempuran besar antara pasukan yang dipimpin oleh Raja Haji dengan Belanda yang dikenal dengan perang Riau pada tahun 1782--1784. Setelah Raja Haji tewas dalam pertempuran di Malaka tahun 1784, penggati Raja Haji membenahi benteng-benteng di Pulau Penyengat dan melanjutkan perjuangannya. Sampai saat ini sisa-sisa dari benteng tersebut masih dapat disaksikan diantaranya adalah parir-parit pertahanan dan meriam dalam berbagai ukuran.

Kemudian Pulau Penyengat mulai ditempati sebagai perkampungan setelah perkawinan Sultan Mahmud Syah III dengan Raja Hamidah binti Raja Haji atau dikenal juga dengan nama Engku Puteri pada tahun 1803. Pulau Penyengat dihadiahkan sebagai mas kawin dari Sultan Mahmud Syah III. Adapun pulau tersebut dijadikan tempat kediaman Raja Hamidah dan saudara-saudaranya. Setelah menjadi tempat tinggal, lalu dibangunlah sebuah negeri sebagai tempat kedudukan Yam Dipertuan Muda Kerajaan Riau yang pangkatnya setara dengan perdana menteri, sedangkan sultan berkedudukan di Daik Lingga. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 1903 pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah, kedudukan sultan pindah ke Pulau Penyengat. Dan sejak saat itu, pulau tersebut berperan sebagai pusat pemerintahan, pusat adat istiadat, pusat agama, dan pusat kebudayaan. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat Pulau Penyengat dikenal sebagai masyarakat yang agamis atau masyarakat yang taat beragama.

Adapun peninggalan-peninggalan kebesaran imperium Melayu di Pulau Penyengat dapat disaksikan sampai sekarang yaitu makam Engku Puteri sebagai pemilik Pulau Penyengat, Makam Raja Jakfar, Makam Raja Haji Fisabilillah, Kedaton, Benteng Pertahanan, dan Mesjid Raya Sultan Riau. Bekas-bekas peninggalan tersebut sering menjadi obyek wisata para pengunjung yang datang ke Pulau Penyengat. Adapun cara mengunjungi obyek wisata itu selain dengan berjalan kaki, dapat juga naik becak agar dapat memutari seluruh bekas peninggalan sejarah. Apabila menggunakan jasa angkutan becak, maka penumpang yang diantar ke lokasi bersejarah membayar ongkos sekitar Rp. 15.000,- Pada masa sekarang ini Desa Penyengat telah dijadikan desa wisata karena banyaknya pengunjung yang mendatangi pulau tersebut. Bahkan ada anggapan apabila orang yang datang ke Tanjungpinang tidak menyinggahi dahulu Pulau Penyengat, maka dikatakan bahwa orang tersebut belum sampai ke Kepulauan Riau.

Keadaan alam Penyengat dikelilingi oleh pantai. Di sekeliling pantainya yang menghadap ke kota Tanjungpinang dipenuhi oleh rumah-rumah panggung, namun di darat rumah rumah itu tidak seluruhnya panggung karena sudah banyak pula rumah yang bentuknya permanen yaitu keseluruhan bagian rumah sudah memakai batu bata atau batako dilengkapi dengan jendela kaca dan berlantai keramik bahkan dindingnyapun dilapisi keramik pula. Sebagai atap rumah digunakan seng atau ada juga yang memakai asbes.

Disamping rumah-rumah yang tertata rapi juga jalan-jalan yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya sudah diplaster, sehingga memudahkan pendatang mengunjungi tempat-tempat wisata yang akan dituju. Kebersihan jalan-jalan terjaga baik hingga pengunjung dan penduduk setempat merasa nyaman.

Seperti kebanyakan daerah di tepi pantai, penduduk Penyengat bermatapencaharian sebagai nelayan, itu terjadi sebelum tahun 70-an. Namun pada tahun-tahun sesudahnya, matapencaharian sebagai nelayan menjadi kurang diminati karena orientasi masyarakat setempat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ada kemungkinan berkurangnya minat mereka menjadi nelayan karena dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan perkembangan sosial serta ekonomi yang semakin meningkat, selain itu pendidikan yang lebih maju mengubah pola pikir dan penilaian mereka bahwa pekerjaan sebagai pegawai negeri dapat meningkatkan status atau gengsi di masyarakat. Sehingga mereka sering beranggapan apabila menjadi pegawai negeri mereka merasa lebih dihargai di tengah-tengah masyarakat.

Namun demikian, sampai saat inipun masih ada masyarakat yang menjadi nelayan, walau tidak lagi banyak jumlahnya karena bagaimanapun melaut sudah menjadi panggilan jiwa mereka. Para nelayan Penyengat tidak pergi melaut jauh ke tengah, cukup di dekat peraian pantai saja. Disamping itu ada pula penduduk yang kadang-kadang turun melaut untuk menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Tetapi itu hanya dilakukan sekali-kali sebagai perintang waktu, sehingga hasil yang diperolehnyapun hanya cukup untuk keperluan makan keluarga.

Pergeseran nilai dari mata pencaharian sebagai nelayan menjadi pegawai sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang dicapai oleh penduduk setempat. Disamping para orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya seperti mereka, menjadi nelayan mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarga. Para orang tua di desa Penyengat sekarang menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri karena menurut anggapan mereka pegawai itu punya masa depan yang bagus.

Adapun pendidikan yang diraih oleh penduduk Desa Penyengat adalah sebagai berikut Buta Aksara berjumlah 7 orang, Tidak Tamat SD sebanyak 166 orang, Tamat SD atau Yang Sederajat 510 orang, Tamat SLTP dan Yang Sederajat 706 Orang, Tamat SLTA dan Yang Sederajat sebanyak 665 Orang, Tamat Akademi dan Yang Sederajat sebanyak 7 Orang, Tamat Perguruan Tinggi dan Sederajat 17 Orang. Dari uraian yang berkaitan dengan pendidikan tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh penduduk Desa Penyengat pernah duduk di bangku sekolah. Di desa tersebut hanya ada 7 orang saja yang tidak mengenyam pendidikan atau buta aksara. Tetapi penduduk yang berpendidikan menengah ke atas cukup banyak. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila orientasi pemilihan pekerjaan lebih terpusat pada sektor perkantoran atau memilih sebagai pegawai.

Keadaan alam di Pulau Penyengat sama dengan keadaan alam di daerah lain di Kepulauan Riau pada umumnya, yaitu beriklim basah dengan temperatur rata-rata terendah 22 derajat Celsius dan tertinggi 32 derajat Celsius dengan kelembaban udara 85%. Pulau ini secara geografis terletak diantara104°20’ Bujur Timur 04°30’ Bujuir Timur dan 0°50’Lintang Utara--1°Lintang Utara. Secara administrasi Pulau Penyengat merupakan salah satu desa di Kecamatan Tanjungpinang Barat dengan batas-batas wilayah sebagai berikut di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjungpinang Kota, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Kampung Bugis, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pangkil.

Luas Pulau Penyengat lebih kurang 240 hektar, terdiri atas daratan 40,8 hektar dan perbukitan seluas 192,2 hektar. Sebagian tanahnya digunakan sebagai lahan pemukiman dan sarana fasilitas umum yaitu kurang lebih 120 hektar. Sedangkan sisanya berupa hutan yaitu 23 hektar dan kebun-kebun rakyat seluas 97 hektar. Adapun jenis-jenis tanaman yang tumbuh di Pulau Penyengat antara lain kelapa, jambu, rambutan, ciku (sawo), ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, cengkeh, dan rerumputan.

Jenis tanah di Pulau Penyengat berupa campuran pasir, batu kerikil, tanah liat, dan batu karang. Karena jenis tanah yang demikian, menyebabkan tidak begitu bagus untuk lahan pertanian. Oleh sebab itu, penduduk setempat kebanyakan hanya menanam tanaman tahunan yang tidak perlu dirawat secara intensif. Sedangkan kacang-kacangan, ubi kayu, dan cabe hanya sedikit yang menanamnya itupun di halaman belakang rumah yang agak luas tanahnya. Tujuannya ditanam berdekatan dengan rumah agar gampang merawatnya.

Pemukiman penduduk, selain memanfaatkan tanah yang ada di daratan pulau tersebut, juga berada di sekililing pantai yang menghadap ke kota Tanjungpinang, yaitu berupa rumah-rumah panggung. Adapun di daratan rumah-rumah para penduduk ada yang terdiri atas rumah panggung, setengah permanen, dan permanen. Perumahan atau rumah-rumah yang ada di Pulau Penyengat asri dan bersih dengan halaman yang rata-rata luas. Selain rumah-rumah yang teratur dan berhadap-hadapan di darat, juga jalan-jalan yang terbentang dan sudah disemen yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya. Kampung-kampung yang terdapat di Pulau Penyengat terdiri atas Kampung Datuk, Kampung Bulang, Kampung Ladi, Kampung Balik Kota, dan Kampung Baru

Letak Pulau Penyengat yang dikelilingi oleh perairan, membuat transportasi yang dipakai sampai saat ini menggunakan sarana perhubungan laut. Sarana ini merupakan satu-satunya alternatif bagi masyarakat yang ke luar masuk pulau ini. Alat transportasi laut yang digunakan berupa perahu motor yang dalam istilah setempat disebut pompong. Pompong ini tersedia baik di pelabuhan Tanjungpinang maupun di pelabuhan Penyengat yang melayani penumpang dari pagi yaitu sekitar pukul 06.00 WIB sampai dengan malam sekitar pukul 21.00 WIB. Dari Tanjungpinang menuju Pulau Penyengat memerlukan waktu kurang lebih 15 menit perjalanan yang ditempuh dengan pompong. Ongkos untuk para penumpang pompong berbeda, yaitu apabila warga Pulau Penyengat dikenakan ongkos sebesar Rp. 1000,- sampai dengan 1500,- tetapi apabila pengunjung akan dikenakan ongkos sebesar Rp. 2000,-. Namun apabila ada pesta perkawinan ataupun khitanan di Pulau Penyengat dan kebetulan banyak warga Tanjungpinang yang menjadi undangan, maka para undangan yang datang dari luar Penyengat tidak dipungut bayaran karena tuan rumah telah menyediakan kendaraan laut tersebut yaitu dengan jalan menyewa 2 sampai 4 pompong untuk keperluan menjemput dan mengantar para undangan yang datang. Untuk membedakan pompong penumpang dengan pompong yang mempunyai hajat, biasanya di atap depan pompong tersebut diselipkan bunga manggar yaitu sejenis hiasan dari lidi yang dililitkan kertas krep berwarna-warni sebagai tanda agar penumpang tidak keliru. Selain itu tempat menunggu penumpangpun dibedakan pula, apabila untuk penumpang umum pompong yang menunggu di pelabuhan depan, sedangkan untuk para undangan di pelabuhan belakang yang berjarak sekitar 100 meter. Adapun alat transportasi di darat yaitu kendaraan berupa becak motor yang dapat dipakai oleh masyarakat setempat dan pengunjung. Rata-rata ongkos becak ini adalah Rp.2000,-. Untuk para pendatang atau wisatawan yang ingin mengunjungi situs-situs bersejarah mereka dikenakan biaya Rp15.000 sekali jalan yang dapat mengelilingi seluruh tempat wisata yang ada di Pulau penyengat.

Adapun daya tarik yang membuat Pulau Penyengat selalu dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri terutama wisatawan yang datang dari negara Singapura dan Malaysia karena mereka ingin mengunjungi peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa mesjid, bekas istana atau kedaton, makam raja-raja Melayu beserta keluarganya, benteng pertahanan, tempat pemandian puteri, dan lain-lain. Warga Singapura dan Malaysia yang berkunjung ke Penyengat terutama ingin berziarah ke makam Raja-raja. Alasannya Raja-raja yang dimakamkan di Pulau Penyengat adalah raja-raja Melayu yang kekuasaannya mencakup negeri Singapura dan Malaysia. Para wisatawan merasa nyaman mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang akan didatangi karena kondisi jalan antarkampung yang cukup bagus dan bersih. Mereka dapat mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan menggunakan kendaraan yang berupa becak motor atau dapat juga berjalan kaki.

Foto: http://images.mozank3roet.multiply.com
Sumber:
Evawarni, 2000, Naskah Kuno: Sumber Ilmu Yang Terabaikan (Telaah Terhadap Beberapa Naskah Kuno), Penelitian, Departemen Pendidikan Nasional Direktoran Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
Melalato. M. Yunus, 1995, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L--Z, Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB): Jakarta.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive