Dalang Jemblung meruakan jenis kesenian rakyat yang berbentuk teater tutur yang terdapat di daerah Banyumas. Di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur terdapat suatu tradisi mengadakan kegiatan “macapatan”, yaitu membaca atau menyampaikan “sastra lisan” dalam bentuk “tembang” (nyanyian). Dalam perkembangannya “macapat” ini berubah menjadi “Maca kanda”, yaitu menyampaikan/membaca sastra lisan yang berbentuk prosa, cerita.
Teater tutur ialah bentuk ungkapan/kesenian dengan cara dituturkan, diceriterakan dengan dinyanyikan pada mulanya hanya oleh satu orang. Kemudian dalam perkembangannya teater tutur dimainkan oleh beberapa orang menurut kebutuhan. Dalam pelaksanannya teater tutur sering diiringi oleh “tabuhan” (iringan musik tradisional), yang berupa:suling, siter atau gendang/terbang.
Dalang jemblung merupakan teater tutur yang spesifik Banyumassan, tidak diiringi oleh peralatan musik tradisional tetapi para pemain dengansuaranya sendiri (vokal) bertindak sebagai “musik” pengiring. Pemain Dalam Jemblung bukan saja (dengan vokal/suaranya) bermain sebagai tokoh dalam ceritera, tetapi juga sebagai “alat musik” bagi yang pria dan sebagai “waranggana” (pesinden, penyanyi) bagi wanita. Salah seorang pemain menjadi dalang dan sekaligus juga bermain sebagai tokoh dalam ceritera.
Bentuk pementasan Dalang Jemblung sangat sederhana dan dilakukan di dalam rumah. Para pemain empat orang (tiga pria, satu wanita) duduk berkeliling, di tengahnya terdapat sebuah meja kecil pendek dengan hanya satu perlengkapan yaitu “kudhi” semacam pisau khas Banyumas. Fungsi kudhi sebagai peralatan untuk membantu pelaksanaan pementasan, yaitu sebagai perwujudan senjata apabila ada adegan perang, sekaligus juga sebagai “cempala” dalam pementasan Wayang Kulit atau sebagai “keprak”. Pakaian para pemain (kostum) adalah pakaian biasa, pakaian daerah Banyumas lengkap, yaitu belangkon atau iket, jas tutup atau surjan, kain batik dan memakai “selop” (sandal).
Dalang jemblung merupakan teater tutur yang paling “murni” dan paling sederhana, yang semua ungkapannya dilakukan dengan media ungkap yang paling esensial, ialah suara. Dengan kemampuan suaranya para pemain dapat menggambarkan suasana ceritera, kejadian dalam ceritera dan dapat menggambarkan berbagai tokoh dan berbagai watak yang dimainkan.
Di daerah Banyumas terdapat suatu tradisi, yakni saat ada kelahiran seorang bayi, maka diadakan acara yang disebut “nguyen”, suatu bentuk tirakatan pada malam hari bersama sanak keluarga dan tetangga dekat semalam suntuk sampai menjelang subuh. Di dalam “nguyen” tersebut sering diadakan acara “macapatan” dari salah seorang peserta “nguyen’. Hal ini dimaksud sebenarnya untuk mencegah kantuk, dan juga untuk menolak makhluk halus yang akan mengganggu bayi yang baru lahir atau ibunya yang habis melahirkan.
Macapatan, ialah kegiatan menyampaikan “sastra lisan”/ceritera dalam bentuk tembang/nyanyian yang dalam perkembangannya setelah lahir sastra tulis berubah menjadi membaca ceritera-ceritera dalam bentuk sekar/tembang/nyanyian. Macapatan ini sangat digemari oleh masyarakat karena pelaksanaannya sangat mudah, sederhana dan murah.
Macapatan berkembang menjadi Maca kanda, kemudian karena pengaruh teater rakyat lainnya, berkembang pula menjadi Dalang Jemblung, yang merupakan bentuk teater tutur. Seperti umumnya teater tutur, pelaksanaannya sangat sederhana dan tidak terkait oleh peraturan panggung. Dalang Jemblung lebih berfungsi sebagai tontonan dan hiburan.
Ceritera-ceritera yang dihidangkan tak ubahnya ceritera yang terdapat dalam pewayangan, tetapi sering mengambil ceritera Wayang Menak atau Golek Menak, yang sering disebut Babat Menak (Serat Menak). Ceriteranya banyak menyangkut masalah penyebaran agama islam antara lain ceritera “Wong Agung Menak”.
Ceritera Serat Menak sering dimainkan oleh Wayang Golek Menak atau dimainkan oleh Wayang Tengul. Ceriteranya dengan tokoh-tokoh yang terkenal: Amir Hamzah dan Omar Maya. Sedangkan dalam Dalang Jemblung tokoh yang terkenal tersebut Umarmaya dan Umarmadi.
Sebagaimana umumnya teater tutur, ceritera yang dihidangkan bertolak dari sastera lisan yang oleh masyarakat lingkungannya sudah sangat dikenal. Para pemain secara improvisatoris memainkan tokoh-tokoh dalam ceritera yang sudah dipahami secara mentradisi. Secara turun temurun mereka sudah mengikuti pendahulunya dalam membawakan isi ceritera. Ceritera yang disampaikannn tak lupa selalu diungkapkan dalam gaya yang menarik dan penuh humor. Tokoh “punakawan” selalu memeriahkan suasana pementasan. Meskipun hanya dengan suara/vokal, pertunjukan sangat menarik karena para pemainnya sangat pandai membawakan pertunjukan tersebut. Tidak membosankan, penuh variasi dan tak lupa diselingi humor yang menjadi kegemaran para penonton, terutama humor khas Banyumasan, dengan dialek khas Banyumas.
Dalang Jemblung sampai saat ini masih digemari oleh masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan di Banyumas. Pertunjukan Dalam Jemblung bukan saja berfungsi sebagai hiburan melainkan juga memberikan pendidikan dan ajaran moral dalam kehidupan sehari-hari. Pesan dan kritik sering dilontarkan dalam pertunjukan, namun sangat efektif karena disampaikan lewat sindiran yang mengena atau lewat banyolan yang segar.
Pertunjukan Dalang Jemblung umumnya selalu ditanggap atau dipesan oleh seseorang yang memerlukan untuk keperluan hiburan pada saat punya hajat. Banyak dipilih, dibanding dengan wayang, karena bentuknya yang sederhana, murah dan mudah.
Pertunjukan Dalang Jemblung dapat dilaksanakan dengan cara duduk bersila dan hanya menghadapi sebuah meja kecil-pendek. Apabila yang memerlukan kurang mampu, Dalang Jemblung dapat dimainkan oleh dua orang dan bahkan cukup satu orang saja.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.