Yang dimaksud Candi Naga ialah candi yang bagian tubuh candinya dibelit oleh ular besar atau naga. Ini sangat unik karena di seluruh Indonesia candi ini merupakan satu-satunya bangunan candi yang dihias ular naga dengan bentuk yang sangat mencook. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik atau mutiara. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Dari tiga peran naga yang dicontohkan di atas fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan.
Pemujaan Naga di India dan Kamboja
Candi sebagai tinggalan purbakala merupakan warisan tradisi kebudayaan Hindu yang asal usulnya dari India. Penggunaan hiasan atau wujud naga dengan sendirinya juga berasal dari sumber yang sama walaupun ada kemungkinan kebudayaan lokal juga mengenai pemujaan kepada jenis ular.
Menurut tradisi ular naga termasuk hewan suci yang dipuja-puja oleh kelompok masyarakat Dravidia (1500 – 600 SM) di India. Dalam pemujaan kepada kekuatan atau unsur alam dan hewan-hewan kekuatan air atau jiwa air diwujudkan dalam bentuk ulat tetapi kemudian diwujudkan dalam bentuk badan manusia dengan kepala ular kobra (lihat Benjamin Rowland: The art and architecture of India 1970: 49). Karena kepercayaan ini maka pada awal kebangkitannya kesenian yang bercorak Buddhis semua bangunannya dihias dengan naga dan juga yaksha yaitu raksasa sebagai penjaga candi. Bangunan candi yang dihias dengan banyak naga ialah candi Sanchi yang dibangun oleh dinasti Maurya (322 – 185 SM) dan Candi Amarawati (lihat James Ferguson: Tree and Serpent Worship in India. Delhi, 1868: 68 foto no. 4; 187 plate LXVIII – LXX.LXXVI – LXXVII.XCI – XCII).
Di Kamboja banyak candi yang dihias naga antara lain pada Candi Nakhon Vat. Angkor Vat. Preah Khan. Bayon dan Bakong (lihat Arthaud & Bernard Philippe Groslier: Angkor, 1968 (Paris) gambar 8, 67, 71, 81 dan nomor J. Pada Candi Nakhon Vat tubuh candi dibelit oleh naga dan tiap sudut atap candinya dihias dengan tujuh kepala naga (Ferguson 1968: 48). Pada Candi Angkor Vat (abad Xii M) jalan masuknya diapit oleh pagar yang berbentuk sepasang naga yang berpuluh-puluh meter panjangnya dan reliefnya juga menggambarkan kobra berkepala tujuh yang badannya disangga oleh sekitar 40 orang (lihat Arthaud 1968 gambar 8). Pada Candi Preah Khan (1191 M) naga yang digambarkan bernama Vasuki (lihat Arthaud gambar 67 dan 71). Pada Candi Bayon (abad XIII M) banyak dilukiskan kepala kobra. Pada Candi Bakong (881 M) juga hanya dilukiskan bentuk hiasan naga.
Candi Naga di Blitar
Candi ini berdiri di kompleks percandian Panataran di Kabupaten Blitar. Di kompleks percandian ini ditemukan prasasti batu yang berangka tahun 1119 Saka (1197 M): prasasti ini menyebut nama Palah, kiranya nama asli dari Candi Panataran. Di kompleks ini berdiri tiga candi dan ada beberapa batur pendopo (lihat Satyawati Suleiman: Batur Pendopo Panataran. Seri Penerbitan Bergambar No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1981). Kompleks percandian ini menghadap ke barat. Sesudah pintu gerbang ada teras pendopo (dahulu ada atapnya dari kayu) lalu di belakangnya berdiri Candi Angka Tahun (Belanda: jaar tempel) karena di atas ambang pintu candi terpahat angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka atau 1369 M (lihat Bernet Kempers: Ancient Indonesian Art 1959: 92). Di belakang Candi Angka Tahun ini ada dua batur pendopo kemudian di belakangnya lagi berdirilah Candi Naga (besarnya hanya seperempat Candi Angka Tahun) dan di belakangnya lagi berdiri candi induk yang besarnya 10 kali Candi Angka Tahun.
Batur pendopo paling depan berangka tahun 1297 Saka (1375 M) dan ada relief ceritera Bubuksah – Gagang Aking dan ceritera Sang Satyawan serta angka tahun 1297 Saka (1375 M0. Pada Candi Angka Tahun atapnya dihias dengan bentuk-bentuk binatang dan di atas ambang pintu ada angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka (1369 M).
Candi Naga dibelit oleh naga dan badan naga ini disangga oleh sembilan makhluk laki-laki yang berdandan model raja-raja sambil memegang genta pendeta. Kaki candinya dihias dengan relief ceritera binatang.
Sesuai dengan tradisi di Bali naga yang membelit candi ini ditafsirkan sebagai wujud dari penjagaan kekayaan dewa. Sementara itu ada pula yang menghubungkan Candi Naga dengan Gunung Meru karena di gunung ini banyak ular.
Wujud ular juga ditampilkan pada batur pendopo paling depan serta pada candi induk. Terlepas dari masalah makna simbol naga pada bangunan ini ular itu membedakannya dari berbagai ornamen sebagai tiruan dari Gunung Meru. Hubungan antara candi kecil ini dengan Gunung Meru terutama sebagai wadah atau tempat amrta (dalam pengertian sebagai air suci) ialah sebagai tempat penyimpanan amrta di dalam candi ini. Dalam hubungan dengan amrta dapat pula ditafsirkan secara lain. Air suci di dalam canoi ini mungkin sebagai minuman dewa yang dihasilkan dari kekuatan meditasi. Dari sudut pandang ini Candi Naga ialah tempat raja dalam wujud sebagai inkarnasi dewa yang dikukuhkan lagi penyatuannya (dengan dewa) dengan cara meditasi.
Kompleks percandian Panataran ini oleh beberapa dinasti raja Jawa Kuna telah dipergunakan sebagai tempat ibadah yang utama sejak 1197 M hingga masa Majapahit (abad ke-15 M0. Bagaimana peran Candi Naga di tengah kompleks percandian Panataran sukar untuk diterangkan. Yang pasti Candi Naga merupakan suatu unikum tersendiri dan atraktif sebagai obyek kunjungan wisata di tengah kompleks percandian Panataran di Blitar Jawa Timur.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemujaan Naga di India dan Kamboja
Candi sebagai tinggalan purbakala merupakan warisan tradisi kebudayaan Hindu yang asal usulnya dari India. Penggunaan hiasan atau wujud naga dengan sendirinya juga berasal dari sumber yang sama walaupun ada kemungkinan kebudayaan lokal juga mengenai pemujaan kepada jenis ular.
Menurut tradisi ular naga termasuk hewan suci yang dipuja-puja oleh kelompok masyarakat Dravidia (1500 – 600 SM) di India. Dalam pemujaan kepada kekuatan atau unsur alam dan hewan-hewan kekuatan air atau jiwa air diwujudkan dalam bentuk ulat tetapi kemudian diwujudkan dalam bentuk badan manusia dengan kepala ular kobra (lihat Benjamin Rowland: The art and architecture of India 1970: 49). Karena kepercayaan ini maka pada awal kebangkitannya kesenian yang bercorak Buddhis semua bangunannya dihias dengan naga dan juga yaksha yaitu raksasa sebagai penjaga candi. Bangunan candi yang dihias dengan banyak naga ialah candi Sanchi yang dibangun oleh dinasti Maurya (322 – 185 SM) dan Candi Amarawati (lihat James Ferguson: Tree and Serpent Worship in India. Delhi, 1868: 68 foto no. 4; 187 plate LXVIII – LXX.LXXVI – LXXVII.XCI – XCII).
Di Kamboja banyak candi yang dihias naga antara lain pada Candi Nakhon Vat. Angkor Vat. Preah Khan. Bayon dan Bakong (lihat Arthaud & Bernard Philippe Groslier: Angkor, 1968 (Paris) gambar 8, 67, 71, 81 dan nomor J. Pada Candi Nakhon Vat tubuh candi dibelit oleh naga dan tiap sudut atap candinya dihias dengan tujuh kepala naga (Ferguson 1968: 48). Pada Candi Angkor Vat (abad Xii M) jalan masuknya diapit oleh pagar yang berbentuk sepasang naga yang berpuluh-puluh meter panjangnya dan reliefnya juga menggambarkan kobra berkepala tujuh yang badannya disangga oleh sekitar 40 orang (lihat Arthaud 1968 gambar 8). Pada Candi Preah Khan (1191 M) naga yang digambarkan bernama Vasuki (lihat Arthaud gambar 67 dan 71). Pada Candi Bayon (abad XIII M) banyak dilukiskan kepala kobra. Pada Candi Bakong (881 M) juga hanya dilukiskan bentuk hiasan naga.
Candi Naga di Blitar
Candi ini berdiri di kompleks percandian Panataran di Kabupaten Blitar. Di kompleks percandian ini ditemukan prasasti batu yang berangka tahun 1119 Saka (1197 M): prasasti ini menyebut nama Palah, kiranya nama asli dari Candi Panataran. Di kompleks ini berdiri tiga candi dan ada beberapa batur pendopo (lihat Satyawati Suleiman: Batur Pendopo Panataran. Seri Penerbitan Bergambar No. 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1981). Kompleks percandian ini menghadap ke barat. Sesudah pintu gerbang ada teras pendopo (dahulu ada atapnya dari kayu) lalu di belakangnya berdiri Candi Angka Tahun (Belanda: jaar tempel) karena di atas ambang pintu candi terpahat angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka atau 1369 M (lihat Bernet Kempers: Ancient Indonesian Art 1959: 92). Di belakang Candi Angka Tahun ini ada dua batur pendopo kemudian di belakangnya lagi berdirilah Candi Naga (besarnya hanya seperempat Candi Angka Tahun) dan di belakangnya lagi berdiri candi induk yang besarnya 10 kali Candi Angka Tahun.
Batur pendopo paling depan berangka tahun 1297 Saka (1375 M) dan ada relief ceritera Bubuksah – Gagang Aking dan ceritera Sang Satyawan serta angka tahun 1297 Saka (1375 M0. Pada Candi Angka Tahun atapnya dihias dengan bentuk-bentuk binatang dan di atas ambang pintu ada angka tahun Jawa Kuna: 1291 Saka (1369 M).
Candi Naga dibelit oleh naga dan badan naga ini disangga oleh sembilan makhluk laki-laki yang berdandan model raja-raja sambil memegang genta pendeta. Kaki candinya dihias dengan relief ceritera binatang.
Sesuai dengan tradisi di Bali naga yang membelit candi ini ditafsirkan sebagai wujud dari penjagaan kekayaan dewa. Sementara itu ada pula yang menghubungkan Candi Naga dengan Gunung Meru karena di gunung ini banyak ular.
Wujud ular juga ditampilkan pada batur pendopo paling depan serta pada candi induk. Terlepas dari masalah makna simbol naga pada bangunan ini ular itu membedakannya dari berbagai ornamen sebagai tiruan dari Gunung Meru. Hubungan antara candi kecil ini dengan Gunung Meru terutama sebagai wadah atau tempat amrta (dalam pengertian sebagai air suci) ialah sebagai tempat penyimpanan amrta di dalam candi ini. Dalam hubungan dengan amrta dapat pula ditafsirkan secara lain. Air suci di dalam canoi ini mungkin sebagai minuman dewa yang dihasilkan dari kekuatan meditasi. Dari sudut pandang ini Candi Naga ialah tempat raja dalam wujud sebagai inkarnasi dewa yang dikukuhkan lagi penyatuannya (dengan dewa) dengan cara meditasi.
Kompleks percandian Panataran ini oleh beberapa dinasti raja Jawa Kuna telah dipergunakan sebagai tempat ibadah yang utama sejak 1197 M hingga masa Majapahit (abad ke-15 M0. Bagaimana peran Candi Naga di tengah kompleks percandian Panataran sukar untuk diterangkan. Yang pasti Candi Naga merupakan suatu unikum tersendiri dan atraktif sebagai obyek kunjungan wisata di tengah kompleks percandian Panataran di Blitar Jawa Timur.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.