Lokasi dan Keadaan Geografis
Cangkuang adalah nama suatu desa dan sekaligus danau yang ada di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di daerah ini ada sebuah candi yang namanya sama dengan nama desa dan danau yang ada di sana, yaitu Candi Cangkuang. Candi ini ada di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,4 hektar. Pulau kecil yang ada di tengah Danau Cangkuang ini secara astronomis letaknya pada koordinat 106 derajat bujur timur dan 7 derajat Lintang Selatan. Selain pulau ini ada juga dua pulau lainnya yang ukurannya lebih kecil. Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi Hindu yang ada di tatar Sunda. Sampai sekarang belum ditemukan bukti yang dapat mengaitkan candi tersebut dengan masyarakat atau kerajaan tertentu. Namun demikian, data arkeologis menunjukkan bahwa sebelum datangnya pengaruh Hindu, di daerah Cangkuang dan sekitarnya sudah berkembang kebudayaan yang menghasilkan alat-alat mikrolit-obisidian, kapak/beliung batu, tembikar, alat-alat logam serta bangunan yang terbuat dari susunan batu. Candi Cangkuang sendiri diperkirakan merupakan produk budaya masa klasik Jawa Barat pada abad ke-5, yaitu pada masa kerajaan Taruma atau To lo mo (menurut tambo Cina) yang kemudian menjadi Sun to (Sunda?) yang hingga akhir abad ke-7 masih disebut-sebut. Jika dilihat dari bentuk bangunannya, maka sementara ahli berpendapat bahwa Candi Cangkuang berasal dari abad ke-8. Namun, jika dilihat dari kesederhanaan hiasan, teknik pembuatan, serta keterangan dari tambo Cina, maka tidak mustahil bangunan Candi Cangkuang berasal dari abad ke-7, bersamaan dengan pembuatan candi-candi lainnya di Pulau Jawa.
Danau Cangkuang terletak di sebuah lembah yang subur, di atas ketinggian kurang lebih 690 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi pegunungan Pegunungan itu adalah: Gunung Haruman (1.218 m) yang berada di sebelah timur-utara; Gunung Pasir Kadaleman (681 m) yang berada di sebelah di tenggara; Gunung Pasir Gadung (1.841 m) yang berada di sebelah selatan; Gunung Guntur (2.849 m) yang berada di sebelah barat-selatan; Gunung Malang (1.329 m) yang berada di sebelah barat; Gunung Mandalawangi yang berada di sebelah selatan-utara; dan Gunung Kaledong (1.249 m) yang berada di sebelah timur. Sedangkan, Pulau Cangkuang terdiri atas bagian perbukitan dan daratan rendah. Dan, Candi Cangkuang terletak pada bagian yang paling tinggi. Candi ini sekarang telah dihiasi dengan pertamanan dan dilengkapi dengan sebuah balai informasi. Pemakaman masyarakat setempat ada bagian bawahnya (kurang lebih 3 kilometer). Pada bagian dataran rendahnya terdapat kampung adat (Kampung Pulo) dengan beberapa rumah tinggal dan satu langgar. Di tengah-tengah kampung tersebut terdapat halaman yang cukup luas. Penghuninya terikat pada peraturan-peraturan adat tertentu yang berkaitan dengan makam Islam legendaris yang berada di atas bukit Cangkuang. Sebenarnya Pulau Cangkuang dapat dicapai bukan hanya dengan getek (semacam perahu) dari Desa Ciakar, tetapi juga dapat dengan berjalan kaki menyusuri jalan setepak di tengah persawahan.
Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat. Serpihan pisau dan batu-batu besar yang ditemukan itu diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.
Setelah dikaji hampir sepuluh tahun lamanya, LPPN yang pada waktu itu dipimpin oleh Satyawati Soeleiman, berpendapat bahwa pemugaran secara memuaskan tidak mungkin, karena bahannya tinggal + 40% dan di mana letak serta arah menghadapnya secara pasti belum diketahui. Namun apabila dibiarkan, batu-batu akan makin aus dan banyak yang hilang. Untuk itu, diputuskan untuk direkonstruksinya. Untungnya sisa-sisa candi yang 40% itu masih mewakili unsur-unsur seluruh bagian candi. Tentang lokasinya tentunya di tempat konsentrasi batu. Soal menghadapnya disesuaikan dengan letak candi-candi yang ada di Jawa, yaitu ke timur (walaupun ada yang ke barat). Pada Pelita II yakni tahun 1974 sampai 1977 rekonstruksi candi dapat diselesaikan. Hasilnya meskipun masih kurang mantap namun dapat menggugurkan pendapat umum yang berkembang selama ini bahwa di Jawa Barat tidak ada candi.
Struktur Bangunan
Candi cangkuang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang bahannya terbuat dari batu andesit, berukuran 4,7 x 4,7 meter dengan tinggi 8,5 meter. Seperti candi-candi yang lain, Candi Cangkuang terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi, ukurannya 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 1,37 meter. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 meter dan lebar 1,26 meter.
Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22m dengan tinggi 2,49 meter. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran tinggi 1,56 meter dan lebar 0,6 meter. Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 meter dengan tinggi 1,56 meter dan 2,74 x 2,74 meter yang tingginya 1,1 meter. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 meter yang tingginya 2,55 meter. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 meter yang dalamnya 7 meter (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).
Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala lembu nandi yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga. Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 centimeter, lebar pundak 18 centimeter, lebar pinggang 9 centimeter, padamasana 38 centimeter (tingginya 14 centimeter), lapik 37 centimeter dan 45 centimeter (tinggi 6 centimeter dan 19 centimeter), tinggi 41 centimeter.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bambang Budi Utomo. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
http://www.arkeologi.net
http://id.wikipedia.org
http://www.budpar.go.id